LATEST POSTS:
Recent Posts
Showing posts with label Imam Mahdi. Show all posts
Showing posts with label Imam Mahdi. Show all posts

=Article= Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif - Bagian Keenam

oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Keenam

PERBANDINGAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH
Sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu, paham Mahdi atau Mahdiisme Syi'ah dan Ahmadiyah tampak jelas perbedaannya, baik dilihat dari aspek teologi, cara-cara merealisasikan ide-ide kemahdiannya masing-masing aliran, maupun dari aspek ajarannya.
Seperti diketahui, ide kemahdian ini bermula dari kekecewaan dan penderitaan kaum Syi'ah yang berkepanjangan. Mereka selalu dalam tekanan-tekanan politik musuh-musuhnya, sesudah mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh kembali kekuasaan politik. Oleh karena itu, mereka selalu mendambakan sosok pimpinan yang berwibawa, dihormati olehlawan atau kawan dan menjadi penguasa tunggal di dunia Islam, itulah al-Mahdi.
Dalam masalah ini kaum Syi'ah sepakat, bahwa al-Mahdi itu harus lahir dari keturunan 'Ali ibn Abi Talib. Namun mereka berbeda pendapat, apakah ia harus dan keturunan Hasan dan Husain (dan garis Rasulullah) atau tidak? Tampaknya masing-masing golongan telah mengangkat tokoh-tokohnya sendiri sebagai al-Mahdi, seperti Syi'ah Kaisaniyyah. Barangkali cukup menarik, perbedaan antara Mahdiisme Isma'iliyyah dengan Mahdiisme Isna 'Asyariyyah, yang keduanya mengaku dari keturunan Husain. Paham kemahdian Isma'iliyyah tampak lebih realistis daripada paham kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah yang fantastis, karenanya al-Mahdi belum pernah muncul, bahkan ia tidak pernah akan muncul untuk selama-lamanya.
Adapun paham kemahdian Ahmadiyah, yang dimotivasi oleh keinginan untuk mengadakan pembaharuan pemikiran dalam memahami ajaran Islam, bukan untuk merebut kekuasaan politik. Akan tetapi, kemunculan al-Mahdi pada aliran ini dipadukan dengan kedatangan kembali 'Isa al-Masih dan Krishna yang terjelma pada diri Mirza Ghulam Ahmad. Kemunculan al-Mahdi yang inkarnatif ini, menandakan adanya pengaruh kehinduan, oleh karena itu, aliran baru tersebut banyak memunculkan akidah baru yang inovatif, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan paham kemahdian Syi'ah ataupun lainnya. Oleh karena itu, mereka menolak paham Mahdi yang person kemahdiannya bukan berasal dari India, tentunya kaum Syi'ah pun menganggap asing dan menolak munculnya al-Mahdi di luar keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
A. ASAL MULA LAHIRNYA PAHAM MAHDI
'Akidah Mahdiyyah dalam tradisi Syi'ah maupun Ahmadiyah merupakan prinsip keyakinan yang mesti dipertahankan. Menurut aliran-aliran Syi'ah, di akhir zaman nanti pasti akan muncul seorang tokoh keturunan Ahlul-Bait yang akan menegakkan kejayaan Islam, memberantas segala bentuk kecurangan, dan mengadakan pemerataan keadilan. Ia akan memegang kekuasaan tertinggi di dunia Islam dan menjadi ikutan ummat manusia.
Adapun orang yang pertama kali meneriakkan sebutan al-Mahdi adalah Sulaiman ibn Surad, yang ditujukan kepada Husain sewaktu ia terbunuh, dengan mengatakan: "Husain sebagai al-Mahdi putera al-Mahdi"1 Selanjutnya dijelaskan, bahwa kata 'al-Mahdi' semula dipahami dalam pengertian bahasa yang artinya, "orang yang mendapat petunjuk Tuhan." Kemudian kata tersebut diartikan sebagai orang yang ditunggu-tunggu kemunculannya dengan membawa kesejahteraan dan kedamaian. Orang yang mula-mula memberi pengertian demikian adalah Kaisan, bekas budak 'Ali ibn Abi Talib dan sebagai tokoh pendiri aliran Kaisaniyyah, yang dialamatkan kepada diri Muhammad ibn Hanafiyyah yang diyakininya sebagai al-Mahdi yang tinggal di bukit Radwa.2 Julukan al-Mahdl ini mulai tersebar, sejak tahun 66 H, yaitu sesudah pemerintahan Bani Umayyah gagal mempertahankan sendi-sendi keadilan dan persamaan. Menurut aliran ini (Syi'ah Kaisaniyyah), Muhammad ibn al-Hanafiyyah itu adalah al-Mahdi al-Muntazar yang dikenal pula dengan al-Mahdi ibn al-Wasi. Selanjutnya Donaldson menjelaskan, penggunaan istilah al-Mahdi itu, lebih 200 tahun sebelum masa pengumpulan hadis-hadis Nabi, yaitu masa yang cukup untuk kristalisasi pemikiran tentang al-Mahdi dalam bentuknya yang pasti.3
Sehubungan dengan uraian di atas, hadis-hadis Mahdiyyah memang melahirkan berbagai pendapat yang kontroversial di kalangan ummat Islam. Hadis-hadis Mahdiyyah tidak dimuat dalam Sahih al-Bukhari maupun Sahih al-Muslim, mungkin sekali karena sanad-sanadnya tidak siqah atau dapat dipercaya, sehingga banyak para cendekiawan Muslim yang belakangan seperti: Syaikh Muhammad Darwisy, Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Farid Wajdi, Syaikh Tahir Jalaluddin, dan A. Hasan dari PERSIS, tidak mau menerimanya sebagai yang otentik. Akan tetapi sementara ahli-ahli hadis seperti: al-Qurtubi, Ibn Hajar al'Asqalani, Abul-Husain al-Abiri, Syamsuddin as-Sakhawi, Jalaluddin as-Suyuti, Ibn Hajar al-Haitami, az-Zarqani, al-Qadi Muhammad as-Syaukani, al-Qanuji, Abul-Hasan Muhammad as-Sahari, Muhammad Habibullah as-Syanqiti, dan as-Safarini memandang hadis-hadis Mahdiyyah sebagai muttawatir. Hanya saja al-Muhaddis Sayyid Ahmad menegaskan, bahwa tiap-tiap bagian dari hadis-hadis Mahdiyyah itu dengan memandang sanad-nya, tidak dapat dianggap mutawatir.4)
Terjadinya perbedaan pendapat yang bertolak belakang, mengenai hadis-hadis Mahdiyyah disebabkan adanya perbedaan cara menilai keabsahan hadis-hadis tersebut. Pihak yang menolak keotentikannya, disamping mereka mengadakan analisis obyektif dengan menggunakan ilmu-ilmu hadls, juga mengadakan analisis sejarah ummat Islam tentang asal mula terbentuknya paham Mahdi atau Mahdiisme di kalangan kaum Syi'ah. Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun pun menolak keotentikan hadis-hadis tersebut, tidak dapat dipercaya riwayatnya. Seperti 'Asim dan Muhammad ibn Khalid adalah perawi-perawi yang kontroversial dalam penilaian kaum Muhaddisin.5 Dan masalah Mahdiisme ini, Ibn Khaldun tampak lebih menonjolkan teori al-'Asabiyyah-nya . Ia berpendapat, bahwa dakwah Mahdiyyah tidak dapat ditegakkan tanpa disertai semangat fanatisme yang kuat (al-'Asabiyyah) sehingga Allah memberikan pertolongan-Nya, sebab tanpa kekuatan dan fanatisme (idealisme perjuangan) tidak banyak terwujud.6)
Adapun bagi pihak-pihak yang memandang hadis-hadis Mahdiyyah sebagai otentik, pada umumnya analisis mereka hanya didasarkan pada satu aspek saja, yaitu ilmu hadis, seperti ilmu Mustalah Hadis; ilmu Rijalul-Hadis, dan yang semisalnya. Akan tetapi keotentikannya tidak didukung oleh keobyektifan sejarah, terutama sejarah kaum Syi'ah. Mereka tidak menyadari siasat kaum Syi'ah yang selalu mengisukan paham Mahdi dalam perjuangan politiknya, sehingga dapat membentuk opini masyarakat dengan menyebarluaskan atau mengekspos hadis-hadis Mahdiyyah. Dengan demikian pengamhnya sangat luas dan diserap oleh pelbagai sekte dalam Islam. Dan bahkan sementara ahli-ahli hadis sendiri ada yang menilai keotentikannya, hanya dengan mengukur banyaknya orang yang meriwayatkan hadis-hadis Mahdiyyah tersebut. Sebagaimana diketahui, kaum Syi'ah yang berpusat di Irak banyak membuat hadis-hadis palsu (maudu'), sehingga tidak mustahil di antara hadis-hadis Mahdiyyah itu adalah ciptaan mereka, mengingat banyak materi hadisnya yang kontroversial.
Memang tepatlah apa yang dinyatakan oleh al-Maududi bahwa apabila hadis-hadis Mahdiyyah ini dilihat lebih cermat, maka akan terdapat dalam sanad-sanad (urut-urutan orang yang meriwayatkannya), banyak segi yang melemahkan. Diantaranya terdapat berbagai ikhtilaf (pertentangan) yang jelas tentang materi hadis itu sendiri. Kedua, partai-partai politik yang terlibat dalam perselisihan di awal sejarah Islam, mereka berusaha menebarkan hadis-hadis Mahdiyyah untuk kepentingan dan tujuan politik masing-masing golongan. Sebab, banyak perawi hadis yang terlibat dalam kegiatan politik praktis saat itu.7 Selanjutnya pendapat Syaikh Muhammad Darwisy yang dikutip oleh H. M. Arsyad Talib Lubis, menyatakan bahwa hadis-hadis Mahdiyyah adalah lemah (da'if) seluruhnya, tak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan janganlah terperdaya oleh orang yang mengumpulkannya dalam berbagai tulisan.8
Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya paham Mahdi, dapat dilihat dari dua aspek yaitu: Pertama aspek politis dan kedua aspek teologis. Pada aspek politik bermula dari kegagalan-kegagalan kaum Syi'ah secara beruntun untuk memperoleh kekuasaan politik. Kekecewaan mereka yang paling dalam, berawal dari tidak terpilihnya 'Ali ibn Abi Talib sebagas Khalifah pertama. Kemudian disusul oleh kegagalan politik 'Ali dalam menghadapi pembelotan Mu'awiyah yang melahirkan tahkim atau arbitrase, sehingga Khalifah 'Ali menjadi korban kekerasan politik kaum Khawarij, sekalipun saat itu secara doktrinal Syi'ah belum lahir.
Pemikiran tentang al-Mahdi, semula bersumber dari aliran Syi'ah, dan terbentuknya pemikiran ini, semenjak mereka kehilangan kekuasaan politik yang berpindah ke tangan Mu'awiyah, sesudah terbunuhnya Khalifah 'Ali. Penyerahan kekuasaan oleh Hasan ibn 'Ali kepada Mu'awiyah, kemudian disusul oleh kematian Husain di padang Karbela, merupakan saat-saat yang mempercepat proses terbentuknya pemikiran tersebut.

Apabila kematian 'Ali merupakan awal lahirnya paham Syi'ah yang secara doktrinal ditandai oleh tuntutan mereka akan hak legitimasi kekhalifahan pada keturunan Ahlul-Bait, maka kematian Husain, bagi kaum Syi'ah merupakan awal lahirnya istilah al-Mahdi, sekalipun masih dalam pengertian bahasa. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tersebut berubah menjadi paham Mahdi al-Muntazar, setelah term al-Mahdi tadi, dihubungkan dengan 'aqidah ar-raj'ah, dan paham Mahdi tersebut dipelopori oleh golongan Syi'ah Kaisaniyyah, sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah wafat. Rupanya paham Mahdi ini semula, oleh sementara pemimpin Syi'ah Isna 'Asyariyyah, terutama sesudah Muhammad ibn Hasan al-'Askari dinyatakan hilang secara misterius, dijadikan cara untuk mengalihkan perhatian para pengikutnya yang mulai kehilangan semangat dan daya juang mereka, disamping eksistensi sekte ini mulai terancam perpecahan yang serius. Kemudian dimitoskanlah seorang tokoh yang akan membawa kemenangan dan kesejahteraan dengan sebutan al-Mahdi yang ditunggu-tunggu, guna menghimpun kembali potensi mereka. Dalam hubungan ini Ahmad Amin menjelaskan, bahwa para pemimpin gerakan Syi'ah yang berpandangan jauh, menganggap kekecewaan politik tersebut merupakan faktor penyebab keputusasaan, dan faktor ini dikhawatirkan akan menjadi penyakit yang meracuni jiwa kaum Syi'ah. Mereka berusaha membesarkan hati kaumnya dengan ide akan kembalinya kepemimpinan mereka, yang akan menghancurkan kekuasaan Bani Umayyah. Untuk meyakinkan kaumnya, ide tersebut harus bercorak keagamaan. Sebelum terbentuknya paham al-Mahdi al-Muntazar, demikian Ahmad Amin, mula-mula mereka gunakan istilah al-Hukumah al-Muntazirah (pemerintahan Syi'ah yang ditunggu-tunggu), kemudian isu ini berubah menjadi al-Hakim al-Muntazar atau penguasa (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Akhirnya, isu kedua ini berkembang dan berubah menjadi al-Mahdi al-Muntazar.9)
Dalam merealisasikan ide Mahdiisme, kaum Syi'ah menempuh dua cara yang berbeda. Di satu pihak, kaum Syi'ah ingin merealisasikannya dalam bentuk perjuangan politik nyata, seperti 'Abdullah yang mengaku sebagai Mahdi dari Syi'ah Isma'iliyyah. Akan tetapi, di lain pihak ada beberapa sekte Syi'ah, sengaja tidak ingin mewujudkan tokoh Mahdi sebagai realita, tapi hanya sebagai mitos seperti yang diyakini oleh golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dan sekte-sekte Syi'ah lainnya. Oleh karena itu sekte ini tetap mempertahankan konsep al-Mahdi al-Muntazar. Tampaknya konsep keimanan Syi'ah itu memberi kesan, semakin imam itu gaib, semakin ma'sum-lah imam itu. Dan kema'suman itulah yang mendorong pengikut Syi'ah memberi kedudukan istimewa atau otoritas yang tinggi kepada seorang imam.
Tampaknya konsep akidah Mahdiyyah bagi pengikut Syi'ah Dua belas, bermula dari kevakuman imam sesudah Imam ke11, yaitu Hasan al-'Askari. Munculnya sekte baru, yaitu aliran Ja'fariyyah yang dipimpin oleh Ja'far saudara Imam Hasan al'Askari, benar-benar dipandang oleh golongan Syi'ah Dua belas sebagai ancaman yang berbahaya. Sebab sekte baru tersebut, berkeyakinan bahwa keimaman bagi mereka masih terbuka lebar. Di sisi lain, rupanya Syi'ah Dua belas ingin menyatukan sub-sub sekte lain dari jalur Musa al-Kazim yang telah bercerai-berai.
Untuk mencapai maksud tersebut, kemudian oleh pakar-pakar sekte ini, diciptalah teori tentang "imam yang gaib" dengan al-Mahdi sebagai tokohnya, putera Hasan al-'Askari sebagai Imam ke-12, atau yang terakhir belum ada keterangan yang jelas. Dalam masalah ini, sebagai yang dikutip oleh Montgomery Watt dari pendapat an-Nubukhtiy, tentang ada atau tidaknya putera Hasan al-'Askari, memang ada tiga pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa Imam ke-11 ini, tidak mempunyai anak laki-laki. Pendapat kedua menyatakan, bahwa ia mempunyai anak laki-laki tetapi, ia wafat sewaktu berusia dua tahun, sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa ia wafat sewaktu dilahirkan.10)
Ketidakjelasan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah tentang keberadaan imam mereka yang kedua belas, mungkin sekali dimanfaatkan oleh kaum politisinya yang lihai untuk mencipta mitos al-Mahdi al-Muntazar. Dengan mitos tersebut kaum politisi aliran ini, dapat mempertahankan loyalitas pengikut Hasan al'Askari kepada imam penggantinya yang selalu gaib itu.
Dalam kaitan ini, Montgomery Watt menjelaskan bahwa teori keimaman (imam duabelas) merupakan sebuah interpretasi dari berbagai peristiwa yang telah diseleksi dan dengan sengaja dicipta oleh kaum politisi Syi'ah untuk mencapai tujuan akhir mereka. Seorang yang paling bertanggung jawab terhadap formulasi teori ini dan yang mempertahankannya secara intelektual serta menentang pikiran-pikiran lainnya adalah Abu Sahl an-Naubakhti yang meninggal tahun 913.11) Dengan demikian, munculnya teori keimaman yang gaib terakhir ini, dengan tokohnya yang menghilang secara misterius, yang dikenal dengan sebutan al-Mahdi al-Muntazar adalah akibat krisis keimaman di kalangan Syi'ah Dua belas. Untuk menjaga keutuhan eksistensi dan loyalitas para pengikutnya, maka diciptalah teori tersebut, sebagai suatu idealisme perjuangan politik mereka.
Selanjutnya, faktor-faktor penyebab terbentuknya paham al-Mahdi atau Mahdiisme ini, pada dasarnya ada dua faktor penyebabnya yang sangat erat hubungannya satu sama lain, Pertama adalah faktor intern. Sebagaimana uraian di atas, kaum Syi'ah mengalami kekecewaan dan penderitaan yang bertubi-tubi, dan banyak imam mereka yang menjadi korban kekerasan lawan-lawan politiknya. Keadaan ini mendorong kaum Syi'ah lebih terbuka terhadap masuknya pikiran-pikiran non-Islam, karena mereka ingin mendapat dukungan politik di masyarakat luas, yang sebagian besar anggotanya belum dapat meninggalkan keyakinan lama mereka. Dan sebagai akibatnya lahir keyakinan baru yang inovatif yang dicipta oleh orang yang berpura-pura mencintai Ahlul-Bait.
Keputusasaan kaum Syi'ah yang diakibatkan oleh kekalahan politik dan penganiayaan yang berulang-ulang mendorong mereka menjadi gerakan bawah tanah dan siap menerima berbagai macam ide.12 Sikap keterbukaan aliran ini hampir dapat dipastikan merupakan faktor utama timbulnya berbagai doktrin isoteris, dan salah satunya adalah ajaran Mahdiisme.
Selain itu, kisah-kisah dalam al-Quran seperti kisah 'Uzair dan Ashab al-Kahfi, demikian pula dalam kitab-kitab hadis tentang akan turunnya kembali 'Isa ibn Maryarn ke dunia di akhir zaman, sering dijadikan sebagai landasan 'aqidah ar-raj'ah yang kemudian diformulasikan sebagai doktrin Mahdiisme. Disamping itu, usaha-usaha penyebaran hadis-hadis Mahdiyyah oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dibiarkan saja oleh tokoh-tokoh Syi'ah, Umayyah dan 'Abbasiyyah yang mengetahuinya. Karena masing-masing pihak merasa mendapat keuntungan darinya Sikap masa bodoh terhadap orang-orang yang membuat hadis Mahdiyyah ini, oleh Ahmad Amin diistilahkan sebagai persekongkolan yang keji yang dapat merusak pikiran orang banyak.13) Kelompok Islam tertentu yang tidak berkepentingan dengan hadis-hadis Mahdiyyah, ternyata mengingkari paham Mahdi dan 'aqidah ar-raj'ah seperti: Golongan Muktazilah, Khawarij, dan Syi'ah Zaidiyyah.
Tidak kalah hebatnya pengaruh dan peranan sementara kaum Sufi14) yang telah menyerap paham Mahdi dan memasukkannya ke dalam doktrin esoteris serta mereka gubah dalam bentuk syair, dan pada golongan awam yang telah mereka tenggelamkan kedalam kehidupan penuh khayalan sehingga dapat merusak akidah dan menjadikan mereka statis dalam menghadapi kenyataan hidup, apa lagi dalam menegakkan hukum dan kebenaran. Oleh sebab itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa sebenarnya paham Mahdi di kalangan Islam Sunni, pada dasarnya adalah bersumber pada doktrin Imamah Syi'ah yang didesakkan oleh kaum Sufisme.15 Dengan demikian, tidaklah mustahil paham kemahdian Islam Sunni ini bermula lewat hadis-hadis Mahdiyyah yang diriwayatkan oleh golongan Sunni sendiri yang kurang selektif terhadap perkembangan sejarah perjuangan politik kaum Syi'ah di satu pihak, dan kegiatan kaum Sufi di pihak lain, dalam memasyarakatkan paham Mahdiyyah tersebut.
Kedua, adalah faktor ekstern. Sikap keterbukaan kaum Syi'ah menerima ide-ide dan keyakinan non-Islam, sangat memudahkan penetrasi akidah atau kepercayaan mesianistis dan millenaristis yang bersumber dari pengikut-pengikut ajaran Yahudi dan Nasrani, lewat tokoh-tokohnya yang berpura-pura mencintai Ahlul-Bait.
Sebagaimana diketahui, keyakinan seperti disebut terakhir ini, sudah muncul dan berkembang sejak ribuan tahun sebelum Masehi, terutama di kalangan masyarakat Yahudi, sesudah kerajaan mereka dihancurkan oleh bangsa lain. Kemudian mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka, melalui seorang Juru Selamat atau Mesiah.16) Tokoh ini, menurutkepercayaan mereka ada pula yang berkeyakinan, bahwa dia akan muncul secara supernatural dari seorang wanita. Akan tetapi, sesudah Nabi 'Isa dilahirkan dan terutama sesudah dia diangkat menjadi nabi, banyak kaumnya mengharap agar dia bisa memainkan peranan sebagai al-Masih untuk membebaskan mereka dari penindasan bangsa lain, kalau perlu dengan kekerasan. Akan tetapi, Nabi 'Isa menolak, sebab tugasnya adalah menyelamatkan domba-domba Israil dari kemerosotan rohaniah.17)
Keyakinan tentang akan kembalinya orang yang telah mati ('aqidah ar-raj'ah), dalam kaitan ini Ahmad Amin menyebutkan bahwa keyakinan tersebut, mula-mula dihembuskan oleh Ibn Saba' di tengah-tengah ummat Islam, sewaktu Khalifah 'Ali terbunuh, dengan kelihaiannya ia dapat menarik simpati ummat Islam yang masih awam, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali seribu kali kepada kami, kami tidak akan membenarkan kematiannya. Dia tidak akan mati sehingga ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana dipenuhinya bumi ini oleh kecurangan."18)
Bagian akhir dari pernyataan tersebut, kalimatnya sama dengan sebagian besar teks hadis-hadis Mahdiyyah. Kalimat di atas, mengisyaratkan kepada kita, perlu diragukannya keotentikan hadis-hadis Mahdiyyah yang senada dengan pernyataan Ibn Saba' di atas. Akan tetapi, justru hadis-hadis Mahdiyyah semacam itu, sering dijadikan dalil oleh sementara ummat Islam untuk membenarkan mitos al-Mahdi sang Juru Selamat.
Berbeda dengan terbentuknya paham kemahdian Ahmadiyah, Mahdiisme Ahmadiyah ini, bermula dari penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di sebuah desa bernama Mohalla Khan Yar, di kota Srinagar, Kashmir. Makam itu diyakininya sebagai makam Nabi 'Isa, oleh karenanya Abu Zahrah menyatakan:
"Dan sungguh Ghulam Ahmad ini, sesudah ia menemukan sebuah kuburan di Srinagar dekat Kashmir ... Dan sungguh ia telah mengarahkan (kegiatannya) mengajak kepada agama baru ..."
Selanjutnya dinyatakan: "... sungguh dengan ditemukannya kuburan al-Masih ini, ruh dan kekuatan al-Masih melebur kedalam dirinya, dan mengaku bahwa dirinya adalah al-Mahdi al-Muntazar..."19)

Reinkarnasi yang bersumber dari ajaran Hindu yang diambil alih oleh beberapa sekte Syi'ah ekstrem, tampaknya juga mewarnai akidah Mahdiyyah di kalangan Ahmadiyah. Selain itu, interpretasi kaum Sufi tentang keberadaan al-Mahdi, mengisyaratkan akan lahirnya seorang tokoh pembaharu untuk menegakkan hukum-hukum agama dan kebenaran demikian Ibn Khaldun,20 juga mewarnai paham Mahdi Ahmadiyah. Kiranya memang agak sulit untuk dikatakan, bahwa paham Ahmadiyah itu, dipengaruhi oleh aliran tertentu dalam Islam atau yang non-Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, jika dilihat dari unsurnya yang beragam, tampaknya paham kemahdian aliran ini, lebih menunjukkan paham kemahdian yang sinkretis.
Dari uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa kepercayaan yang bersifat Mesianistis atau Millenaristis, tampaknya sudah muncul sejak lama dan pemunculannya kembali ditengah-tengah masyarakat yang tertindas akibat kezaliman penguasa, mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Gejala umum yang tampak, yaitu diawali dengan munculnya protes-protes sosial yang dibarengi dengan harapan-harapan akan datangnya seorang tokoh legendaris yang akan membawa kesejahteraan dan ketenteraman dalam Islam, tokoh tersebut dikenal dengan Imam Mahdi, Messiah dalam agama Nasrani danYahudi, Ratu Adil dalam budaya Jawa, dan Uri di kalangan orang primitif di Irian. Atas dasar kenyataan sejarah seperti di atas, rupanya para cendekiawan Muslim yang berwawasan luas sulit menerima paham Mahdi yang bersifat eskatologis ini.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, kiranya dapat dibedakan secara jelas antara gerakan Mahdi Syi'ah dengan gerakan Mahdi Ahmadiyah. Apabila gerakan Mahdi Syi'ah berangkat dari keinginan untuk mengangkat derajat rakyat tertindas dan membawanya pada kondisi yang lebih baik, sebagai akibat kezaliman dan kecurangan penguasa, maka jalan yang ingin ditempuhnya adalah dengan merebut kekuasaan politik, atau dengan jalan kekerasan. Dengan kekuatan dan kekuasaanlah al-Mahdi akan memberantas segala macam kecurangan dan ketidakadilan. Dengan demikian, jalan yang ditempuhnya dalam merealisasikan ide kemahdiannya adalah dengan jalan melalui dari atas, dan di sini al-Mahdi dilambangkan dengan al-Qa'im (yang bangkit untuk menumpas pemerintahan yang zalim).
Adapun gerakan Ma'ndi Ahmadiyah yang bertolak dari keinginan untuk membangun ummat yang telah rusak dan terbelakang, dan ingin mengembalikan Islam dan ummat pemeluknya pada kejayaaannya, maka dalam hal ini, al-Mahdi berkeyakinan, bahwa ummat Islam harus dapat memahami Islam secara aktual. Untuk itu, mereka harus menerima pembaharuan yang dimajukan oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai tokoh al-Mahdi dan sekaligus sebagai al-Masih. Menurut pendapatnya, Islam dan ummat Islam akan maju, apabila mereka mau melaksanakan ajaran yang diterimanya dari Tuhan yang berupa ilham atau yang dikenal dengan wahyu walayah guna melaksanakan ajaran al-Quran sesuai dengan tuntutan zamannya. Oleh karena itu, al-Mahdi al-Ma'hud yang mengaku juga sebagai al-Masih dan Krishna, ingin menghimpun pemeluk-pemeluk agama Nasrani dan Hindu ke dalam Islam tanpa menggunakan kekerasan. Dengan demikian, jalan yang ditempuh oleh gerakan Mahdi Ahmadiyah ini adalah dengan menempuh jalan dari bawah, yaitu dengan mengefektifkan dakwah Islam, terutama lewat tulisan-tulisan, untuk menunjukkan kebenaran Islam terhadap pandangan mereka non-Muslim yang keliru. Oleh karena itu, al-Mahdi berusaha sebagai pendamai di antara ummat yang berselisih, di sinilah ia dilambangkan sebagai Hakim Pengislah (Juru pendamai di antara pihak-pihak yang sedang berselisih).
B. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN PAHAM MAHDI AHMADIYAH
Pada umumnya keyakinanterhadap al-Mahdi mulai terbentuk sesudah pemimpin Syi'ah yang dicintai oleh pengikutnya itu wafat, sejak dari Mahdiisme Kaisaniyyah sampai Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Krisis kepemimpinan Syi'ah selalu dibarengi dengan usaha-usaha untuk mempertahankan kebenaran kelompoknya dengan memasukkan doktrin 'aqidah ar-raj'ah, masalah gaibah dan Mahdiyyah kepada para pengikutnya, kemudian diikuti dengan membuat hadis-hadis tentang al-Mahdi.
Demikian juga keadaan ummat Islam India yang sedang dalam penderitaan, dibawah tekanan pernerintah kolonial Inggris, tentunya mereka juga mengharapkan munculnya seorang tokoh pimpinan yang dapat melepaskan mereka dari berbagai penderitaan. Terutama sekali sesudah pemerintah Inggris di India mengucilkan ummat Islam di satu pihak, dan menganak-emaskan ummat Hindu di pihak lain, seperti sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap golongan Muslim di Indonesia,dengan menganak-emaskan golongan Cina dan kaum Nasrani, pada masa sebelum kemerdekaan.
Apabila di tengah-tengah memuncaknya penderitaan masyarakat Muslim India yang tertindas seperti yang dialami oleh ummat Islam di Indonesia, kemudian timbul pemberontakan melawan pemerintah kolonial, namun akhirnya dapat ditumpas, maka dalam situasi yang demikian itu, lalu muncul seorang tokoh baru yang mengaku sebagai al-Masih al-Mau'ud dan al-Mahdi al-Ma'hud adalah merupakan gejala umum munculnya ide Mahdiisme di kalangan masyarakat Muslim. Akan tetapi perlu diketahui, munculnya gerakan Mahdiisme di India ini, berbeda dengan gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial, baik yang muncul di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun di Jawa Timur yang dipelopori oleh ummat Islam, dikenal pula dengan sebuah gerakan Mahdi, namun gerakan Mahdi di Jawa lebih mirip dengan gerakan Mahdi Syi'ah. Sekalipun demikian, gejala-gejala yang muncul di permukaan, seperti adanya kepercayaan terhadap tokoh karismatis yang dijanjikan, kekeramatan atau keajaiban, pengakuan sebagai Wali Allah, pengakuan (seorang tokohnya) telah menerima wahyu atau wangsit (pesan) dari tokoh yang supematural dan masih gaib, kemudian disusul dengan munculnya seorang yang mengaku atau ditokohkan sebagai al-Mahdi atau Ratu Adil, untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gerakan Mahdi dan seumpamanya, adalah melupakan modus suatu masyarakat tertindas dan belum maju serta mengalami perubahan sosial yang drastis, guna menuntut perbaikan nasib mereka, atau sebagai protes sosial tehadap penguasa yang zalim, dan keadaan seperti ini, selalu terjadi dalam siklus sejarah ummat manusia. Biasanya gerakan Mahdiisme ini, selalu ditandai dengan protes-protes sosial yang bersifat keagamaan dan sering menjurus ke arah radikalisme. Kadang-kadang gerakannya bersifat nativistis, dan di saat yang lain, ia lebih bersifat millenaristis, bahkan kadangkadang lebih bersifat messianistis.
Adapun persamaan dan perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dengan paham Mahdi Ahmadiyah ialah bahwa kedua aliran ini telah menjadikan paham Mahdi sebagai keyakinan prinsip mereka. Hanya saja bagi golongan Ahmadiyah dan Syi'ah Isma'iliyyah, kemunculan tokoh al-Mahdi telah menjadi kenyataan sejarah Bedanya kalau idealisme kemahdian Syi'ah Isma'iliyah telah berakhir dengan wafatnya 'Abdullah al-Mahdi, maka lain halnya dengan idealisme kemahdian golongan Ahmadiyah yang terus hidup dan berkembang, karena ide pembaharuan yang dicanangkan oleh Mirza Ghul-am Ahmad belum tercapai. Idealisme Ahmadiyah, tampak lebih realistis bila dibandingkan dengan idealisme kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dimana keinginan untuk mewujudkan cita-cita golongan terakhir ini menunggu al-Mahdi al-Muntazar, adalah merupakan idealisme yang fantastis. Sekalipun demikian, semangat Mahdiisme di kalangan pengikut Syi'ah Dua belas ini, lebih lama bertahan daripada semangat Mahdiisme Syi'ah yang lain.
Adapun persamaan landasan tersebut, tampaknya kedua aliran ini, sama-sama menggunakan al-Quran dan hadis sebagai dasar aqidah Mahdiyyah masing-masing, sekalipun al-Quran sendiri secara eksplisit tidak pernah menyinggung masalah kemahdian. Akan tetapi, bagi kaum Syi'ah, menunggu kehadiran al-Mahdi merupakan keyakinan pokok, dan untuk menguatkan keyakinannya, mereka mencipta nama julukan untuk al-Mahdi, seperti kata al-qa'im, yang terdapat di dalam al-Quran. Oleh karena itu, al-Kulaini menafsirkan kata al-qa'im dalam Surah ar-Ra'd: 33,) sebagai al-Mahdi.
"Apakah Tuhan yangmenjaga setiap diri (al-Qa'im) terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?"
Kata al-qa'im di atas, diinterpretasikan sebagai al-Mahdi, demikian menurut paham Syi'ah.21 Tentunya penafsiran tersebut, dikuatkan pula oleh hadis-hadis Mahdiyyah versi Syi'ah yang berupa fatwa-fatwa para Imam Syi'ah.
Bagi kaum Syi'ah, sekalipun mereka mensejajarkan kehebatan Imam Mahdi dengan kehebatan nabi, namun umumnya mereka secara tegas tidak memandang al-Mahdi sebagai nabi, berbeda dengan golongan Ahmadiyah, khususnya sekte Qadiani, mereka berkeyakinan bahwa al-Mahdi adalah nabi yang tidak mandiri (gair mustaqil). Oleh karena al-Mahdi adalah al-Masih, dan
al-Masih adalah nabi yang mengejawantah pada diri Mirza Ghulam Ahmad, maka untuk menguatkan keyakinan ini, mereka menafsirkan kata [kata-kata Arab] dalam surah as-Saf: 6, sebagai al-Mahdi.
"Dan (ingatlah) ketika'Isa ibn Maryam berkata, "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang diturunkan) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku namanya Ahmad."
Sekte Qadiani berpendapat bahwa dalam ayat ini, nama Ahmad diperuntukkan kepada Mirza Ghulam Ahmad, karena dia sama dengan Nabi Isa a.s., dalam sifat-sifatnya, sedangkan Nabi Muhammad SAW., sifat dan pola perjuangannya sama dengan Nabi Musa a.s.22 Pendapat ini berbeda dengan pendapat sekte Lahore, bahwa nama Ahmad dalam ayat tersebut, adalah untuk diri Nabi Muhammad, sesuai dengan tafsiran para sahabat dan tafsiran Mirza Ghulam Ahrnad sendiri.23 Selanjutnya tentang hadis-hadis yang mereka pergunakan sebagai dalil untuk menguatkan pendirian mereka, umumnya adalah hadis-hadis yang terdapat pada kitab-kitab Sunan sebagaimana yang digunakan oleh kaum Sunni. Sekalipun demikian, mereka tidak memakai hadis-hadis Mahdiyyah Ahmadiyah, tidak bisa menerima al-Mahdi keturunan Arab. Akan tetapi, yang mereka yakini adalah Mahdi keturunan Persia dan tidak ada hubungannya dengan Ahlul-Bait.
Barangkali perlu ditambahkan bahwa kedudukan al-Mahdi dalam pandangan Syi'ah, lebih tinggi daripada kedudukan 'Isa al-Masih yang diturunkan kembali ke dunia, dimana al-Mahdi tampil sebagai imam salat, sedangkan al-Masih sebagai ma'mumnya, mengakui semua imam-imam Syi'ah, dan mengingkari al-Mahdi, demikian menurut keyakinan mereka, ibarat orang yang mengakui semua nabi dan mengingkari Nabi Muhammad.24)

C. CORAK KEMAHDIAN SYI'AH DAN AHMADIYAH
Adapun corak kemahdian Syi'ah atau Ahmadiyah, kiranya dapat dilihat dari aspek, bagaimana kedua aliran tersebut merealisasikan ide kemahdian masing-masing. Sebagaimana diketahui bahwa ide kemahdian Syi'ah lebih bersifat politis. Ini memang dapat dimaklumi, karena kaum Syi'ah sejak awal pertumbuhan dan perkembangannya selalu mendapat tekanan dan intimidasi dari lawan-lawan politiknya. Sehingga keinginan balas dendam tampak lebih mewamai ide kemahdiannya, dan mendorong aliran ini menjadi gerakan bawah tanah yang agresif untuk merebut pemerintahan. Karena itu, figur al-Mahdi yang mereka dambakan dijulukinya dengan sebutan al-Qa'im. Selanjutnya al-Mahdi dilambangkan sebagai penguasa tunggal di dunia Islam.
Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah yang masih berkembang di Iran sampai saat ini, lebih banyak dipengaruhi oleh unsur kedengkian dan dendam bangsa Iran terhadap bangsa Arab, sehingga kehadiran al-Mahdi al-Muntazar melambangkan kekuasaan otoriter. Dan sebagai penguasa, al-Mahdi akan membantai semua orang Arab Quraisy, demikian menurut riwayat ahli-ahli hadis Syi'ah.25 Gambaran kepemimpinan Mahdiisme Syi'ah Dua belas, barangkali dapat dikatakan sebagai yang tercermin pada kepemimpinan Ayatullah Khumaini dalam menghadapi lawan-lawan politiknya.
Selanjutnya kaum Syi'ah berkeyakinan bahwa al-Mahdi akan membangkitkan mereka (musuh-musuh) yang telah mati demikian pula dengan sahabat-sahabat Nabi untuk diadili dan dibunuhnya. Ditambahkan pula bahwa al-Mahdi membawa kitab baru dan mengajak manusia kepada perkara baru, sebagaimana riwayat al-Majlisi yang menjelaskan bahwa al-Mahdi akan menempuh cara baru sebagai yang ditempuh oleh Rasulullah. Yaitu dia akan menghancurkan apa (tatanan) yang telah ada sebelumnya (yang telah rusak) dan digantikan dengan ajaran baru yang dibawanya.
Berbeda dengan corak kemahdian Ahmadiyah, yang di dalamnya, al-Mahdi tidak dipandang sebagai al-Qa'im tetapi sebagai Hakim Pengislah atau sebagai "Juru Damai." Menurut keyakinan aliran ini, al-Mahdi mempunyai tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan ummat Islam, baik di bidang akidah maupun syariah. Sehingga mereka bersatu kembali sebagaimana di zaman Nabi SAW. Selain itu, al-Mahdi ingin menyatukan semua agama, terutama agama Nasrani dan Hindu, melebur ke dalam agama Islam. Gerakan Mahdiisme yang bermotif tajdid atau pembaharuan ini, beranggapan bahwa kehadiran al-Masih yang Islami, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, pada saat yang tepat. Yakni kondisi ummat Islam saat itu terpecah belah, bersikap taqlid buta pada pendapat ulama, suka menjelek-jelekkan golongan lain, dan para ulamanya mementingkan keduniaan.

Kondisi ummat yang demikian, menurut paham Mahdi Ahmadiyah ini, diperlukan adanya wahyu muhaddas oleh seorang Mujaddid guna membersihkan agama dari berbagai bentuk kebid'ahan dan penyelewengan. Kedua, agar dapat menangkap makna al-Quran dan menafsirkannya sesuai dengan perkembangan zamannya.
Ketiga, guna memberi contoh cara-cara hidup Muslim yang sejati, dan cara-cara memperjuangkan Islam yang relevan dengan tuntutan masanya. Oleh sebab itu, gerakan Mahdiisme Ahmadiyah dalam merealisasikan ide kemahdiannya, menuju pada tujuan yang dicita-citakan adalah dengan jalan damai tanpa kekerasan. Cara ini menurut mereka, adalah cocok dengan sifat dan cara yang ditempuh oleh 'Isa al-Masih dalam menyampaikan dakwahnya kepada Bani Israil. Menurut paham aliran ini, menyebarkan kebenaran Islam dan paham kemahdiannya dengan menggunakan argumen-argumen rasional dan fakta-fakta sejarah yang obyektif, bila dibandingkan dengan cara-cara kekerasan dan berperang atau jihad asgar, cara terakhir ini, dianggap tidak sesuai dengan sifat Islam itu sendiri, yang merupakan rahmatan lil-Alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Dengan demikian, corak kemahdian Syi'ah pada umumnya adalah aktif yang agresif dan bersifat politiko-religious, sedangkan corak kemahdian Ahmadiyah adalah aktif yang defensif dan bersifat sosio-religious.
D. PAHAM MAHDI DAN MASALAH AKIDAH
Sebagaimana diketahui dalam uraian di atas, paham Mahdi atau Mahdiisme bagi golongan Syi'ah maupun Ahmadiyah, dipandang sebagai keyakinan yang prinsip, sehingga ia merupakan ajaran yang harus dipertahankan dan diperjuangkan keberadaannya. Akan tetapi, apabila paham ini dikaitkan dengan akidah Islam, maka ia bukan merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini dan diikuti oleh setiap Muslim. Oleh karena paham ini tidak ada hubungannya serta tidak ada dasarnya dalam al-Quran atau dasar otentiknya.
Gerakan millenarium atau gerakan messiah yang diwarnai dengan [kata-kata Arab], yang dikenal oleh masyarakat Islam sebagai gerakan al-Mahdi, pada dasarnya dipengaruhi oleh unsur-unsur ajaran Yahudi dan terutama oleh ajaran Nasrani.
Gerakan yang serupa, yang pernah juga terjadi di luar kelompok Islam seperti: Gerakan Mwana Leza, di kalangan masyarakat Ila di Rhodesia Utara, gerakan orang-orang Cina Taiping (1850-1865) yang dimotori oleh Hung Siu-chuan, gerakan millenarium di kalangan masyarakat Munda dan Oraon dari Chota Nagpur di India. Demikian pula gerakan Taborite dari Bohemia, Thomas Munzer dan gerakan Pemerintahan Orang Suci di Munster, membuktikan betapa besarnya pengaruh ajaran Nasrani pada gerakan-gerakan tersebut.26)
Sehubungan dengan masuknya pengaruh ajaran Yahudi maupun Nasrani yang mewarnai gerakan-gerakan yang milleniaristis dan Mesianistis dalam siklus sejarah ummat manusia, apa lagi dalam hadis-hadis Mahdiyyah yang dijadikan pegangan oleh kaum Syi'ah, redaksinya mirip dengan ucapan Ibn Saba' (sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat) pada halaman 93 di atas. Sedangkan hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum Ahmadiyah, seperti pada halaman 50, perawinya menurut penilaian ahli-ahli hadis sendiri adalah lemah, sehingga Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa hadis tersebut adalah da'if mudtarib27) (lemah lagi kacau sanad atau matannya). Dengan demikian, hadis-hadis Mahdiyyah adalah tidak otentik, oleh sebab itu, tidak bisa dijadikan landasan atau dasar dalam masalah akidah. Sementara kaum Mutakallimin (para teolog Muslim) membuat suatu komitmen bahwa dasar akidah haruslah dasar yang qat'i (pasti kebenarannya) seperti ayat alQuran atau hadis mutawatir.
'Akidah Mahdiyyah yang muncul di kalangan Syi'ah Kaisaniyah, sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyah wafat, untuk pertama kalinya sampai dewasa ini, rupanya merupakan salah satu sumber utama lahirnya bid'ah 'aqidah. Sebagaimana dimaklumi, akidah Mahdiyyah bagi kaum Syl'ah, tidak bisa lepas hubungannya dengan masalah kekhalifahan dan keimaman.
Demikian pula bagi golongan Ahmadiyah, akidah tersebut erat hubungannya dengan masalah kewalian, kemuhaddasan, atau kemujaddidan. Sekalipun demikian, keduanya terdapat kemiripan-kemiripan akidah terutama pada masalah kenabian dan kewahyuan.
Dalam keyakinan Syi'ah, menunjukkan bahwa keberadaan imam sebagai khalifah atau missi kerasulan atau kenabian Muhammad SAW, adalah mutlak diperlukan oleh ummat manusia sepanjang zaman. Bagi mereka, seorang imam dipandang sebagai gudang ilmu Tuhan, sebagai penterjemah wahyu-Nya, sebagai hujjah nyata bagi ummat manusia, dan ia juga merupakan cahaya Allah yang menerangi hati mereka. Karena itu, scorang imam juga memperoleh wahyu dari Tuhan. Golongan ini -khususnya Syi'ah Isna 'Asyariyyah- juga mempunyai paham bahwa kenabian itu tidak terhenti sampai pada Nabi Muhammad saja, tetapi kenabian itu tetap berlangsung pada 'Ali dan keturunannya. Hanya saja status kenabiannya tidak dinyatakan secara eksplisitt dan sebagai ganti istilah kenabian itu, mereka gunakan term-term al-Wasi, al-Mahdi, atau al-Imam.
Paham seperti ini, demikian Ihsan Ilahi Zahir menjelaskan, adalah diserap dari pemikiran Yahudi yang memandang Yusa' ibn Nun sebagai penerima wasiat atau kekhalifahan dari Nabi Muhammad SAW guna mempertahankan kejayaan Islam dan ummat Islam.28)
Paham Syi'ah ini senada dengan paham Ahmadiyah terutama sekali dari sekte Qadian yang secara tegas memandang Mirza sebagai nabi dengan menggunakan istilah Nabi Gair Mustaqil atau Gair Tasyri'i. Berbeda dengan sekte Lahore yang lebih moderat dan lebih dekat dengan Ahlu Sunnah, dalam rumusan akidahnya, mereka menunjukkan bahwa sekte ini berkeyakinan, tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad dan diakuinya bahwa kepercayaan mereka terhadap Mirza, hanya sebagai Mujaddid. Dan kepercayaan terhadapnya pun tidak termasuk rukun iman, dan kepada Muslim lain yang tidak mempercayainya, juga tidak dianggap kafir. Dia (al-Mahdi al-Ma'hud) adalah Mujaddid, Wali Allah, atau sebagai Muhaddas. Namun demikian, sekte terakhir ini masih menyebutnya sebagai Nabi Gair Tasyri'i atau Gair Haqiqi, selain itu, mereka juga masih menggunakan term wahyu taydid, wahyu walayah, atau wahyu muhaddas.
Apabilia dalam paham Mahdi Syi'ah yang didasarkan pada 'aqidah ar-raj'ah, melahirkan teori tentang Mandataris Imam, maka dalam paham Mahdi Ahmadiyah tampaknya bersumber dari teori al-Bab. Selain itu, jika paham Mahdi Syi'ah menunjukkan rasa permusuhan dan kedengkian sesama Muslim, maka dalam paham Ahmadiyah, menunjukkan adanya ide pembaharuan. Oleh sebab itu, aliran ini beralasan bahwa untuk memperoleh konsep pembaharuan diperlukan wahyu yang baru.
Dalam menjalankan syari'at Islam, tampaknya kaum Ahmadiyah tidak jauh berbeda dengan kaum Sunni, terutama dari sekte Lahore, bila dibandingkan dengan kaum Syi'ah. Demikian pula Kitab Sucinya, hadis-hadis serta pendapat ulama yang terhimpun dalam berbagai kitab yang mereka jadikan sebagai dalil, adalah sama dengan cara-cara yang biasa digunakan oleh kaum Sunni. Hanya saja, karena perbedaan latar belakang akidah yang kecil saja, yaitu tentang pemahaman term kenabian dan kewahyuan semata, mengapa mereka harus dipandang sebagai non-Muslim? Sedangkan golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan terutama dari sekte Isma'iliyyah, seperti kelompok Druz yang masih ada sampai sekarang tetap diakui sebagai kelompok Muslim, padahal tradisi mereka jauh berbeda dengan tradisi kaum Sunni.
Dari keterangan di atas, apabila kita kaitkan dengan Amandemen Konstitusi Pakistan 1973 nomor 2, demikian pula jika dikaitkan dengan Keputusan Muktamar Alam Islami yang tidak mengakuinya aliran Almadiyah -sebagai kelompok Muslim seperti yang lain, maka penulis berkesimpulan bahwa keputusan yang demikian itu lebih bersifat politis dan emosional. Tidak mustahil vonis yang dijatuhkan kepada golongan Ahmadiyah ini, berlatar belakang pada peristiwa yang pernah terjadi di awal kemunculan aliran ini, yang diwarnai oleh kekerasan antara golongan Sunni dengan golongan Ahmadiyah. Dan diantara tokoh Sunni yang paling keras menentang keberadaan aliran tersebut adalah Syaikh Abul-A'la al-Maududi, namun yang ditentangnya adalah golongan Ahmadiyah Qadiani, seperti dalam bukunya [kata-kata Arab].


Catatan kaki:
1 Duhal-Islam III, op. Cit., hlm. 236.
2 Ibid.
3 Donaldson, op. Cit., hlm. 231.
4 H.M. Arsyad Thalib Lubis, Imam Mahdi, (Medan: Firma Islamiyah, 1967), hlm. 36, et. Seq.
5 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 312-3, 322.
6 Al-Maududi, op. cit., hlm. 159-60.
7 bid., hlm. 159-160.
8 H.M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 36.
9 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 241-2.
10 W. Montgomery Watt, The Majesty That was Islam, (London: Sidgwick & Jackson, 1974), hlm. 170; Syah 'Abdul-'Aziz Gulam Hakim ad-Dihlawi, Mukhtasarut-Tuhfah al-Isna Asyariyyah, ed .
Muhammad Syukri al-Alusi (Istanbul: Isik Kitabevi, 1980), hlm. 199.
11 Ibid., hlm. 170-1.
12 Fazlur Rahrnan, op. cit., hlm. 172.
13 Duhal-Isram III, op. cit., hlm. 243.
14 Kaum Sufi yang dimaksud disini ialah mereka yang pernah bergabung dengan Syi'ah Isma'iliyyah yang terkemudian mengajarkan tentang al-qatb dan abdal.
15 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 179.
16 Kata "Mesiah" berasal dari bahasa Ibrani "Mashiat," dalam bahasa Arab disebut al-Masih, yang berarti seorang yang diusap dengan minyak kesturi. Demikian pula kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Christos," yang selanjutnya dikenal dengan Juru Selamat sebagai yang dikenal sekarang.
17 H.M. Rasyidi, "Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan," Prisma VI, (Januari, 1977), hlm. 45.
18 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 250-1.
19 Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 250-1.
20 Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 327.
21 Donaldson, op. cit., hlm. 232.
22 Departemen Agama, "Potensi Organisasi Keagamaan Ahmadiyah Qadian," vol. II, (Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Kanwil Departemen Agama Semarang,
1984/1985), hlm. 33.
23 Tim Dakwah PB. GAI, op. cit., hlm. 23.
24 Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 362.
25 Ibid., hlm. 376 et.seq.
26 Peter Worsley,The Trumpet Shall Sound, (New York: Schocken Book 1974), hlm. 22-224.
27 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322.
28 Ihsan Ilahi Zahir, op. Cit., hlm. 396-397.
Sumber : http://www.akhirzaman.info 
{[['']]}

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif - Bagian Ketiga

oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Ketiga

C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN DENGAN PAHAM MAHDI ATAU MAHDIISME
Bahasan ini penulis batasi pada ajaran pokok Syi'ah yang berkaitan erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada masalah Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.
1. MASALAH KEIMAMAN
Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental, terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas. Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka guru agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai mutawatir. Oleh karena ia merupakan anugerah Tuhan yang harus diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu merupakan kewajiban Tuhan baik secara rasional maupun tekstual.
Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi ummat atau memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga harus menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum dari ayat-ayat al-Quran.38) Alasan kedua ini senada dengan argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji dana di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn Abi Talib sebagai penggantinya. Salah satu di antara riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir:
" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain, dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan Ahlul-Bait.
Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih berjalan terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali. Jabatan ini dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khumaini. Menurut pendapatnya, ajaran para imam adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul, ia diwakili oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi dalam pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.39)
2. MASALAH KEGAIBAN IMAM
Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan Syi'ah berkaitan erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya imam-imam Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan [kata-kata Arab].Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan bahwa imam yang mereka cintai itu tidak mati, tetapi hanya menghilang untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali, aku tidak akan membenarkan kematiannya"40)
Imam itu mempunyai masa kegaiban. "Apabila telah sampai kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita tentang kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka janganlah kalian mengingkarinya."41) Demikianlah kepercayaan kaum Syi'ah terhadap imam mereka.
Teori tentang kegaiban imam, tampaknya dicipta untuk mempertahunkan eksistensi suatu aliran tertentu yang terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara sekte-sekte yang ada saat itu. Dengan demikian teori tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan, karena aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup serius. Semula kaum Syi'ah hanya bersikap menunggu, akan tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi dengan seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul bersamaan dengan timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait yang ingin memainkan peranan imam sesudah Imam Muhammad ibn Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua macam teori tentang al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.
Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran Syaikhiyyah yang mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu selalu mengejawantah dan muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki yang disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali. Teori ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad asy-Syirazi bekas murid al-Kazim ar-Rasti penganut aliran tersebut. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu perantara) antara [kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan kaum Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.42) Akhimya lahirlah aliran baru yang dikenal sebagai aliran al-Babiyyah.
Teori kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori ini adalah pengembangan dari teori yang pertama diatas. Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia memberitahukan kepada Muhammad al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali sampai datang saat yang telah ditentukan oleh Tuhan, yaitu sesudah hati manusia menjadi beku dan kecurangan telah merajalela di atas bumi.43) Sehingga dalam kepercayaan tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib sementara, dimana al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan duta yang terakhir adalah as-Samiri. Kedua, al-Gaibah al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. Selama al-Mahdi absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama dalam hirarki Syi'ah Dua belas.
3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH
Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah, tentang akan kembalinya seorang imam yang telah wafat, adalah bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah 'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi Harun dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena kedengkiannya kepada Nabi Harun. Sementara kaum Yahudi mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke dunia, sedangkan yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya gaib dan akan kembali lagi.44) Adanya kesamaan antara kepercayaan kaum Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan sesudah kedua belah pihak terjadi kontak langsung secara akrab. Diantara penulis Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah, Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, berpendapat bahwa 'Aqidah Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn Saba' dan ajaran golongan Saba'iyyah.
Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen psikologis tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah. Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah terhadap imam-imam mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka amat mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu. Akhimya mereka ragu-ragu akan kematiannya, dia hanya absen dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan yang kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun kadang-kadang apa yang diyakininya itu bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai dengan keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai itu, kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan kehadirannya kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.45)
Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang pemimpin yang dicintai, sering menimbulkan perubahan sikap atau tingkah laku seseorang, apabila ketegangan tersebut sulit diatasi. Keadaan semacam ini rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn Khattab sewaktu mendengar berita Rasulullah wafat. Ia tidak mengakui Nabi telah wafat, dengan pedang terhunus ia mengancam siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah tiada. Akan tetapi, perubahan sikap demikian itu, tampaknya hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami 'Umar tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia lainnya. Dan bahkan jauh sebelum agama Yahudi lahir, bangsa Chaldea sudah pernah mengalami kasus seperti itu, yaitu tidak mau mengakui kematian Qabil sewaktu dibunuh oleh saudaranya, Habil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi ke dunia. Demikian pula halnya dengan kaum Nasrani, mereka meyakini bahwa Yesus yang mati di tiang salib, bangkit kembali dan terus naik ke langit dan duduk di sisi Tuhan, dia akan datang kembali ke dunia untuk memenuhi bumi dengan kedamaian dan kesucian.
Dari keterangan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pendapat al-Bahi tersebut memandang berpengaruhnya ajaran Yahudi di kalangan Syi'ah hanyalah sebagai faktor yang mempercepat proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan seperti itu merupakan gejala umum jiwa manusia dan tidak terbatas pada sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya 'Aqidah Raj'ah dalam suatu kelompok, terbatas pada para pencinta pimpinan atau imam, mereka menderita kesedihan yang hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang dicintai tersebut.
Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat dengan 'Aqidah ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Syi'ah terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penganut Syi'ah Duabelas. Rupanya sekte ini saja yang masih gigih mempertahankan paham Mahdi, sedangkan sekte-sekte lainnya yang semula memiliki kepercayaan yang serupa semakin lama semakin memudar bersama dengan memudarnya pengaruh sekte-sekte tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan sekte Syi'ah Zaidiyyah. Sekte ini secara tegas menolak paham Mahdi, kecuali golongan al-Jarudiyyah yang merupakan subsekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah menyimpang jauh dari doktrin kezaidiyyahannya.
Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam perjalanan sejarahnya, banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran non-Islam dan hanya Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan sikap kaum Syi'ah dalam menghadapi penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah berakar dalam suatu masyarakat sebelum Islam datang, agaknya merupakan salah satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam ortodoks dalam kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor terbentuknya paham Mahdi dengan berbagai macam versinya.
Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih nyata daripada kemahdian Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut belakangan ini mencipta teori tentang al-Bab dan teori tentang Mandataris Imam, dengan demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan daripada yang lain.
Catatan kaki:
1 Keberadaan Ibn Saba' dalam sejarah, tampaknya menjadi masalah yang kontroversial, sementara penulis-penulis Islam modem ada yang tidak meyakini keberadaannya. Pendapat ini senada dengan pendapat Montgomery Watt dalam salah satu karyanya, memandang Ibn Saba' sebagai mitos bikinan kaum Sunni. Pernyataan ini berbeda dengan pengakuan penulis-penulis Muslim terdahulu baik dari kalangan Syi'ah maupun Sunni. Seperti: at-Tabari, al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Syahrastani, Ibnul-Asir dan lain-lainnya. Sedang dari penulis-penulis Muslim belakangan, antara lain: Ahmad Syalabi, Ahmad Amin dan Abu Zahrah, mereka pada dasarnya mengakui keberadaan Ibn Saba' seperti halnya Sayyid Amir' Ali dari kalangan Syi'ah. Kaum Syi'ah pada umumnya mengakui keberadaannya namun mereka tidak mengakuinya sebagai kelompok Syi'ah.Dalam kaitan ini, Ahmad Syalabi menandaskan, adanya sebuah buku yang berjudul 'Abdullah ibn Saba' yang ditulis oleh Dekan Fakultas Ushuluddin di Irak, Murtada al-Askari. Pengarang buku ini mencoba membuktikan kebenaran pendapatnya dengan berbagai alasan atau argumen. Menurut pendapatnya bahwa Abdullah ibn Saba' yang ada didalam sejarah Islam itu hanya cerita bohong cerita itu telah diciptakan oleh seorang yang bernama Saif ibn 'Umar yang meninggal 170 tahun sesudah Hijrah. Riwayatnya ini bertentangan dengan kebanyakan riwayat yang lain. Tampaknya penulis buku tersebut, juga membawa kebohongan, yang penting, demikian Ahmad Syalabi, bukan masalah nama, akan tetapi kebenaran tokoh sesat dan menyesatkan itu memang benar-benar ada. Demikianlah komentar Syalabi menaggapi pendapat diatas, dalam bukunya, Mausu'atut-Tarikh al-Islami wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol.III, hlm. 145-146. 2 Donaldson op. cit., hlm. 230.
3 Ahmad Amin, Duhal-Islam,vol.III, selanjutnya disebut Duhal-Islam III (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964), hlm. 235-6.
4 H.A.R. Gibb and Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia Islam, (Leiden E. J. Brill, 1947), hlm. 310.
5 Ahmad Amin, Fajrul-Islam, selanjutnya disebut Fajrul-Islam, (Singapura Sulaiman al-Mar'i 1965), hlm. 270.
6 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Munyah wal 'Amal fi Syarhil-Milal wan Nihal, ed. Dr. Mahmud Jawad Masykur, Beirut: Darul-Fikr, 1979), hlm. 81.
7 Maulana Muhammad 'Ali, Mirza Ghulam Ahmah of Qadian, His Life and Mission, (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, 1959), hlm. 17.
8 Donaldson, op.cit., hlm. 32.
9 Ibnul-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, vol II, (Darus-Sadir, 1965), hlm. 317.
10 Syed Amir 'Ali, Api Islam, terj. HB. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 471.
11 Donaldson, op. cit., hlm. 55.
12 Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 140.
13 Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah, vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt), hlm. 36.
14 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 266-7.
15 Pada prinsipnya kaum Syi'ah tidak: mau mengakui golongan Saba'iyyah sebagai sektenya, tetapi kaum Sunni pada umumnya memandang golongan Saba'iyyah sebagai Syi'ah.
16 Ihsan Ilahi Zahir, asy-Syi'ah wat-Tasyayyu selanjutnya disebut asy-Syi'ah (Lahore: Iradah Tarjumann as-Sunnah, 1984), hlm. 163.
17 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1977), hlm. 171.
18 Asy-Syiah, op.cit., hlm. 186.
19 Ibid., hlm. 187.
20 Ahmad Syalabi, Mausu'atut-Tarikhul-Islami wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol. II, (Qahirah: Maktabah an-Nahdatul-M?sriyyah, 1978), hlm. 147-8.
21 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm. 82.
22 Abul-Fath 'Abdul-Karim asy-Syahrastani, selanjutnya disebut asy- Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, (Beirut: Darul-Fikr, tt.), hlm. 149.
23 Ibid., hlm. 151.
24 Duhal Islam III, op. cit., hlm. 271-2.
25 Abdur Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, selanjutnya disebut Ibn Khaldun, (Darul-Fikr, tt.), hlm. 200.
26 Ibid., hlm. 162.
27 'Ali adalah satu-satunya putera Husain yang selamat dari pembantaian tentara Yazid, sewaktu Husain terbunuh di padang Karbela. Sikapnya yang pemurung dan sesing menangis karena teringat mendiang ayahnya, maka ia memusatkan aktivitasnya pada ibadah, oleh karenanya ia dijuluki dengan [kata-kata Arab]. Pengikut aliran ini kemudian membuat cerita fiksi bahwa 'Ali sewaktu remajanya pernah pergi ke Hajar al-Aswad bersama Muhammad ibn al-Hanafiyyah, keduanya untuk meminta petunjuk Tuhan, siapa diantara keduanya yang lebih berhak menjadi imam. Saat 'Ali ibn Husain berdoa, terguncanglah Hajar al-Aswad itu, sebagai pertanda bahwa dirinyalah yang lebih berhak menjadi imam sesudah ayahnya.
28 Donaldson, op. cit., hlm. 123.
29 Asy-Syi'ah, op. cit., hlm. 216.
30 Aliran Huramiyah ini membolehkan pengikutnya hidup bergelimang dalam kesenangan dan kemewahan serta membebaskan pengikutnya dari segala macam kewajiban. Aliran ini juga dikenal dengan al-Babikiyyah, pemimpirmya terbunuh dalam pemberontakan melawan pemerintahan al-Mu'tasim dari dinasti 'Abbasiyyah.
31 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm.96-7.
32 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 175-6.
33 As-Syi'ah. op. cit., hlm. 235.
34 Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., hlm. 62-3.
35 Ahmad Syalabi, op. Cit., hlm. 190.
36 Asy-Syahrastani. op. cit., hlm. 170.
37 Gibb dan Kramers, eds., op. cit., hlm. 188.
38 Donaldson, op. Cit., hlm. 305-6.
39 As-Syi'ah, op. Cit., hlm. 362.
40 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 270.
41 Duhal-Islam, III, op. cit., hlm. 218.
42 Muhammad Aba Zahrah, op. cit., hlm. 239.
43 Asy Syi'ah, op. cit., hlm. 352.
44 Muhammad al-Bahi, al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami, (Qahirah: Daru Ihya'il-Kutubil-'Arabiyyah, 'Isa al-Babi al-Halabi, 1948), hlm. 88.
45 Ibid, hlm. 88-9.
Sumber : http://www.akhirzaman.info 
{[['']]}

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif - Bagian Kedelapan


oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.  
Bagian Kedelapan

A. ASPEK LANDASAN IDIIL MAHDIISME
Sebagai diketahui paham Mahdi muncul, adalah akibat kegagalan kaum Syi'ah berperan di bidang politik. Memang benar, paham ini telah dikenal secara luas di kalangan ummat Islam, namun pengenalan mereka tidak ditunjang oleh pengetahuan yang luas dan obyektif. Mereka kurang memahami proses terbentuknya paham tersebut, dan pada umumnya mereka mengenal paham Mahdi hanyalah lewat kitab-kitab hadis yang memuat hadis-hadis Mahdiyyah. Ummat Islam mengenal paham ini, sangat boleh jadi sesudah tersebarnya hadis-hadis Mahdiyyah secara intensif dalam berbagai versinya. Para ahli hadis yang meriwayatkannya, menurut penuturan sosiolog Muslim kenamaan, Ibn Kaldun dalam Muqaddimah-nya, seperti Imam Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Hakim, Imam Tabrani dan Abu Ya'la. Mereka itu menyandarkan hadis-hadis pada sekelompok sahabat Nabi seperti: 'Ali, Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, Talhah, Ibn Mas'ud, Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Sauban ibn Iyas, 'Ali al-Hilaliy, dan Abdullah Ibn Haris. Selanjutnya Ibn Khaldun menyatakan:
"Apabila pada tokoh-tokoh (orang yang menjadi) sanad (sandaran) hadis-hadis Mahdiyyah, terdapat cacat karena ia pelupa atau jelek hafalannya, lemah atau mungkin jelek pandangan (paham)-nya, kemudian mereka (para ahli hadis tersebut) mencari jalan lain untuk menyahihkan hadis Mahdiyyah atau menilainya di bawah derajat hadis sahih ..."1
Dalam kaitan ini al-Maududi dalam bukunya [kata-kata Arab] mengelompokkan hadis-hadis Mahdiyyah menjadi dua bagian: Pertama, hadis-hadis Mahdiyyah yang secara jelas menyebutkan nama "Mahdi." Kedua, hadis-hadis Mahdiyyah yang tidak menyebutkannya secara tegas. Akan tetapi, mengenai asal-usul keturunan al-Mahdi tersebut, terdapat banyak sekali riwayat yang kontroversial.2 Sebagian riwayat-riwayat itu, demikian al-Maududi, bahwa al-Mahdi itu adalah keturunan 'Ali dengan Fatimah puteri Rasulullah. Ada pula riwayat yang menyatakan, al-Mahdi itu berasal dari keluarga 'Abbas bahkan meluas sampai pada keturunan 'Abdul-Muttalib (kakek Rasulullah). Sementara riwayat lain lagi memberitakan bahwa tokoh (al-Mahdi) yang ditunggu-tunggu itu berasal dari suatu kampung yang bernama "Kara'ah," atau "Kadi'ah," atau "Karimah." Golongan Ahmadiyah memandang nama kampung tersebut di atas adalah kampung kelahiran al-Mahdi al-Ma'hud (Mirza Ghulam Ahmad), artinya, bahwa tokoh al-Mahdi itu dilahirkan di luar kota Mekkah dan Madinah.
Pernyataan hadis-hadis Mahdiyyah yang kontroversial seperti itu menunjukkan banyaknya motif yang timbul dari berbagai kelompok Muslim yang sedang bersaing dan berlomba merebut pengaruh, dengan menyebarkan berita-berita akan munculnya seorang tokoh al-Mahdi atau Juru Selamat, sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing. Tokoh itulah yang diisukan sebagai orang yang akan membebaskan mereka dari tindakan kezaliman dan penindasan dari lawan-lawan politiknya. Seandainya kepemimpinan seorang khalifah yang berwibawa, adil, memiliki kesanggupan berkorban, dan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak dan melindungi mereka dari berbagai macam ancaman bahaya, sebagaimana pernah dilakukan oleh kedua Khalifah Abu Bakr dan 'Umar, sehingga kestabilan politik, ekonomi, dan keamanan tetap terjamin, kesatuan dan persatuan ummat Islam dapat dipertahankan, tentulah paham Mahdi atau Mahdiisme tidak akan muncul secepat itu. Dimana kemunculan paham ini didorong oleh timbulnya keresahan dan kerawanan dalam berbagai bidang kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya protes-protes sosial yang sulit dihindarkan. Dalam situasi yang demikian itulah timbul keinginan masyarakat luas yang mendambakan sosok pimpinan yang dapat mengayomi kepentingan dan ketenteraman mereka, dari berbagai tindakan kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang sedang memerintah.
Dengan demikian landasan ideal paham Mahdi tersebut bukanlah didasarkan atas kepentingan agama tetapi, pada mulanya, lebih bersifat politis. Kemudian para pendukung paham ini sedikit demi sedikit membalut kepentingan politik tersebut dengan kepentingan yang bersifat keagamaan, dan barulah kemudian bermunculan hadis-hadis Mahdiyyah dalam berbagai versinya. Dan pada akhirnya tampaklah paham Mahdi ini sebagai paham keagamaan, apalagi sesudah banyak diantara hadis-hadis Mahdiyyah ini secara kurang selektif dimuat dalam kitab-kitab Sunan. Mengapa sampai terjadi yang demikian? Barangkali salah satu faktor penting yang perlu dicatat adalah, bahwa agama merupakan alat paling ampuh untuk meyakinkan masyarakat luas terhadap ide-ide kemahdian. Yang dikaji adalah bahwa teks-teks hadis Mahdiyyah pada umumnya identik dengan teks bagian akhir pernyataan Ibn Saba', yang tidak mempercayai kematian 'Ali ibn Abi Talib, sewaktu berita itu sampai ke telinganya.
1. HADIS MAHDIYYAH DAN IDENTITAS KELOMPOK
Dari fenomena tersebut di atas munculah dalam gerakan politik Syi'ah pengkultusan pribadi 'Ali ibn Abi Talib dan keturunannya. Karena sikap pengkultusan ini, penulis Barat seperti Dozy menilai kaum Syi'ah dalam berbagai tradisinya banyak dipengaruhi oleh budaya Persia, dimana rakyat memandang raja memiliki hak-hak istimewa yang harus dipatuhi dan diikuti seperti halnya Tuhan. Demikian pula golongan Syi'ah memandang 'Ali dan keturunannya atau imam-imam mereka sebagai memiliki kema'suman (suci dari dosa), sehingga ketundukan mereka kepada seorang imam tidak jauh berbeda dengan ketundukan mereka kepada seorang rasul.
Dalam hubungan ini Ihsan Ilahi Zahir, berkesimpulan bahwa sikap pengkultusan kaum Syi'ah terhadap imam-imam mereka, bermula sejak masuknya unsur-unsur Yahudi, Nasrani, dan Majusi (agama Persia kuno) ke dalam Islam. Akan tetapi, unsur yang paling dominan dalam tradisi Syi'ah tersebut adalah unsur kepersiaan, terutama dalam pengkultusan mereka terhadap para imam.3
Fenomena tersebut, tampaknya juga mewarnai hadis-hadis Mahdiyyah, di mana dinyatakan bahwa pasti ada diantara keturunan 'Ali atau Ahlul-Bait yang akan bangkit untuk menegakkan kembali kejayaan Islam, setelah mereka mengalami kekalahan yang serius, terutama untuk menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan. Dengan demikian, wajarlah apabila kaum Syi'ah sangat mendambakan hadirnya seorang Juru Selamat yang dapat membebaskan mereka dari berbagai kezaliman dan dapat mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa tunggal di dunia Islam. Di kalangan Syi'ah Iran umpamanya, dalam paham kemahdiannya, nampak diwarnai oleh perasaan dendam dan cemburu terhadap penguasa Arab, sehingga tidak mustahil antar kedua bangsa itu akan selalu timbul perselisihan yang diikuti dengan tindak kekerasan dan reaksioner.
Perasaan tersebut sangat boleh jadi dipengaruhi oleh sejarah bangsa itu (Iran) sendiri. Di satu pihak, mereka mencapai puncak kejayaan dan merasa sebagai bangsa nomor satu di dunia, akan tetapi di pihak lain, mereka juga pernah dikalahkan bangsa Arab (tentara Islam di bawah pimpinan Khalifah 'Umar ibn Khattab). Tentunya oleh Khalifah, mereka yang telah memeluk Islam, diperlakukan sama dengan Muslim lainnya tanpa dibeda-bedakan satu dengan yang lain. Barangkali saja bangsa Iran ini dianggap sebagai bangsa asing atau 'Ajam, sehingga karenanya kedudukan mereka disejajarkan dengan kedudukan kaum mawali (bekas budak) atau sebagai masyarakat kelas dua. Dengan demikian, perlakuan dinasti Umayyah terhadap bangsa Persia yang bertentangan dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah yang diajarkan oleh Nabi, tampaknya merupakan faktor yang mendorong timbulnya rasa dendam bangsa Persia terhadap bangsa Arab hingga sekarang.
Disamping itu, perkawinan antara puteri Yazdajir III dengan Husain, cucu Rasulullah, juga merupakan faktor tersendiri yang mendorong sebagian besar di antara mereka lebih cenderung menjadi pengikut Syi'ah yang menginginkan hak legitimasi kekhilafahan berada di tangan keturunan 'Ali dengan Fatimah. Oleh karena itu, lepasnya jabatan khalifah dari tangan Ahlul-Bait ke tangan pihak lain dipandang sebagai penyerobotan hak-hak Ahlul-Bait. Itulah sebabnya mereka ingin menjatuhkan dinasti Umayyah dengan jalan kekerasan walaupun, karena kokohnya kekuasaan Umayyah, mereka selalu gagal dan bahkan mereka selalu mendapat tekanan, baik di masa Umayyah maupun 'Abbasiyyah. Karena penderitaan yang berkepanjangan inilah, mereka sangat mengharapkan kehadiran al-Mahdi al-Muntazar untuk membalas dendam mereka.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa faktor yang membentuk kefanatikan Syi'ah Iran terhadap paham Mahdi agak berbeda dengan paham Mahdi Syi'ah lainnya. Dampak dari paham Mahdi Syi'ah Iran tersebut terlihat nyata dalam sikap politik bangsa itu sampai hari ini, terutama sesudah Ayatullah Khumaini berkuasa di Iran.
Rupanya paham Mahdi ini tidak hanya menjadi milik golongan Syi'ah saja, tetapi di kalangan Sunni pun dikenal paham tersebut. Di masa Dinasti Umayyah, terutama di masa-masa kemundurannya, muncul pula paham seperti itu, namun tokohnya bukanlah al-Mahdi, tetapi Sufyani. Demikian pula halnya di kalangan dinasti 'Abbasiyyah. Mereka menunggu-nunggu munculnya al-Mahdi lain dari keturunan 'Abbas. Timbulnya harapan seperti itu, tidak lain karena mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka yang telah silam. Oleh karena dinasti terakhir ini menggunakan bendera hitam sebagai lambang kemenangannya, maka ciri seperti ini juga muncul dalam hadis-hadis Mahdiyyah yang mereka pegangi.
Ada riwayat yang menyatakan, bahwa pada suatu saat nanti akan lahir sekelompok manusia yang datang dari arah timur (Khurasan) berbendera hitam dengan membawa kemenangan. Bahkan ada riwayat lain yang secara jelas menyebutkan bahwa mereka berperang melawan putera Abu Sufyan dari dinasti Umayyah dan para pendukungnya. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, warna hitam merupakan lambang kejayaan pasukan 'Abbasiyyah yang dipimpin oleh Salman al-Farisi dari Khurasan. Dengan demikian, nyata sekali kepalsuan hadis Mahdiyyah tersebut. Kenyataan seperti itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh golongan Umayyah.
Dalam penyebaran paham Mahdi tersebut, rupanya mereka juga tidak ketinggalan untuk membuat hadis-hadis palsu sebagaimana dilakukan oleh golongan Syi'ah, agar paham Mahdi yang mereka jadikan sebagai landasan ideal perjuangan politiknya dapat diterima oleh masyarakat luas dan dapat memotivasi mereka untuk menjadi pendukung ide perjuangannya.
Dalam penuturan Ahmad Amin, pembuat hadis Mahdiyyah untuk golongan Umayyah adalah Khalid ibn Yazid ibn Mu'awiyah.4 Selanjutnya ditegaskan, bahwa kepandaian membuat hadis-hadis Mahdiyyah tersebut ialah dengan cara meninggalkan teks-teks hadis yang dapat dipakai oleh siapa saja dan untuk masa kapan saja. Apabila yang menang itu golongan 'Ali atau golongan 'Abbasiyyah umpamanya, maka hadis-hadis Mahdiyyah tersebut dapat mereka pergunakan untuk kepentingan mereka.5 Penggunaan nama "Sufyani" sebagai nama tokoh yang ditunggu-tunggu oleh golongan Mu'awiyah seperti halnya al-Mahdi yang ditunggu-tunggu oleh kaum Syi'ah, mungkin sekali diambil dari nama salah seorang tokoh putera Umayyah, yaitu Abu Sufyan, dan karena itu nama "Sufyani" sekaligus menjadi identitas golongan ini.
Jika hadis-hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Syi'ah itu menunjukkan, bahwa kedudukan Mahdi diunggulkan sehingga ia narnpak lebih tinggi daripada kedudukan 'Isa al-Masih, maka tidak tertutup kemungkinan ada kelompok lain yang kurang sependapat dengan cara-cara Syi'ah tersebut, dan mencobanya untuk menyejajarkan kedudukan 'Isa al-Masih dengan al-Mahdi, bahkan mengidentikkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah hadis-hadis Mahdiyyah versi lain, seperti hadis yang dijadikan pegangan golongan Ahmadiyyah:
"Tidak ada Mahdi selain 'Isa ibn Maryam."
Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun sebagai sosiolog Muslim, mencoba mengomentari hadis Mahdiyyah diatas, yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Khalid. Perawi ini, menurut penilaian al-Hakim dan al-Baihaqi, adalah orang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) sebagai Ahli hadis dan sebagai orang yang boleh meriwayatkan hadis.6 Bahkan seorang Ahli hadis, Sayyid Ahmad, menilai hadis tersebut sebagai palsu dan tidak berdasar.
Selanjutnya dijelaskan bahwa hadis diatas, oleh sementara orang diinterpretasikan: [kata-kata Arab] artinya,
"tidak seorang (bayi) pun dalam ayunan yang dapat berbicara, selain 'Isa ibn Maryam."
Sedangkan Ibn Abi Wasil menafsirkan demikian:
"Tidak ada Mahdi yang petunjuknya serupa dengan petunjuk 'Isa Ibn Maryam."
Senada dengan hadis Mahdiyyah diatas, Imam Ahmad meriwayatkan sebagai berikut:
"Hampir tibalah saatnya orang yang hidup diantara kalian, akan dapat menjumpai 'Isa ibn Maryam sebagai Imam Mahdi dan sebagai hakim yang adil." (HR. Ahmad).
Hadis ini secara tegas menyamakan antara Mahdi dan 'Isa al-Masih sebagai satu pribadi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kehadiran kembali 'Isa al-Masih di dunia ini melalui proses reinkarnasi sebagaimana diyakini oleh golongan Ahmadiyah ataukah tidak? Untuk menjawab pertanyaan di atas, al-Maududi menjelaskan:
"Bahwa kehadiran 'Isa yang kedua kalinya tidaklah melalui proses kelahiran kembali, yang jelas dipergunakan term nuzul' atau turun. Dan kehadirannya bukan sebagai nabi yang mendapatkan wahyu. Ia tidak membawa Syari'at baru dan tidak menambah atau mengurangi Syari'at Nabi Muhammad. Dia pun tidak mengadakan pembaharuan atau membentuk sekte baru, serta tidak mengajak manusia untuk beriman kepadanya. Kehadirannya yang kedua ini hanya untuk tujuan tertentu, yaitu memberantas fitnah Dajjal."7
Penegasan al-Maududi ini, hanyalah mewakili paham Sunni pada umumnya, tentang 'Isa al-Masih. Namun penegasan tersebut juga mengundang timbulnya pertanyaan baru, yaitu: Apakah selama ini 'Isa a.s., masih hidup di alam malaikat, di alam jin, atau di alam ruh lainnya? Jika ia membenarkan alternatif yang terakhir, bahwa 'Isa bisa hidup di alam ruh, maka akan timbul lagi pertanyaan berikutnya. Apakah dia manusia setengah malaikat, manusia setengah jin, ataukah manusia sebenarnya yang dapat hidup di alam ruh dan terlepas dari hukum alam yang berlaku bagi manusia lainnya? Barangkali pertanyaan terakhir ini, sekaligus merupakan kunci jawaban golongan Sunni dengan disertai interpretasi intuitif, serta mengembalikan persoalan tersebut kepada Masyi'atullah atau kehendak mutlak Tuhan, sebagaimana kepercayaan mereka terhadap Khidir yang pernah hidup semasa dengan Nabi Musa. Masalah tersebut (turunnya 'Isa a s.), menurut Dr. Ahmad asy-Syirbashi, telah menjadi perdebatan diantara para ulama baik dulu maupun sekarang. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa para ulama pada umumnya memandang masalah tersebut bukan merupakan keyakinan pokok, karena tidak ada dasarnya yang mutawatir (otentik) sehingga tidak perlu diperdebatkan.8
Disamping itu perlu dicatat, bahwa hadis sahih hanyalah menghasilkan zan (dugaan) yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil dalam masalah keyakinan. Apalagi masalah turunnya 'Isa al-Masih ini sudah menjadi kepercayaan kaum Yahudi dan Nasrani, dan al-Quran tidak menyinggungnya sedikitpun. Al-Quran hanya menegaskan:
"Sungguh Aku (Allah akan mematikan kamu ('Isa) dan mngangkatmu kepada-Ku ..." (S. Al-Ahzab: 55)
Ayat diatas memberi petunjuk kepada kita bahwa Nabi 'Isa ermasuk makhluk Allah yang mengalami proses kematian sesuai dengan Sunnatullah (hukum alam) yang berlaku untuk setiap ciptaan-Nya, sebagaimana yang dialami oleh manusia lainnya.9
Oleh sebab itu, informasi akan kehadiran 'Isa al-Masih, ebagaimana dinyatakan dalam hadis Bukhari dan Muslim, untuk kedua kalinya masuk akal, apabila informasi tersebut diinterpretasikan sebagai lambang kebangkitan Islam di abad odern setelah manusia kehilangan makna spiritual dalam idupnya. Dengan demikian kerancuan atau kesimpangsiuran adis-hadis Mahdiyyah, jelas menunjukkan kepalsuan hadis tersebut. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan beberapa endapat para 'ulama' dan cendekiawan Muslim tentang hal ersebut.
2. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG HADIS-HADIS MAHDIYYAH SEBAGAI HADIS PALSU
Pertama, pendapat Syaikh Muhammad Darwisy, yang mengatakan dalam bukunya Asna'ul-Matalib:
"Hadis-hadis Mahdiyyah semuanya adalah lemah, tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan seorang tidak boleh terkecoh oleh orang yang (berusaha) mengumpulkannya dalam berbagai karyanya."
Kedua, pendapat Sayyid Ahmad, seorang ahli hadis, dalam bukunya Ibrazul-Wahmil-Ma'mun, terutama mengenai hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Ahmadiyah:
"Sungguh hadis Mahdiyyah ini, bukanlah hadis da'if (lemah) sebagai yang dikatakan oleh si pengeritik hadis (Ibn Khaldun) dan sekalipun (pengeritik) lain mengatakan yang demikian itu, bahkan hadis itu batal, palsu dan dibuat-buat, tidak ada dasarnya hadis itu dari ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam., juga bukan ucapan Anas Ibn Malik, ataupun ucapan Hasan al-Basri."10
Ketiga, pendapat Muhammad Farid Wajdi dalam karya besarnya, Da'iratul-Ma'arif al-Qarnil-'Isyrin, menyatakan:
"Maka sesungguhnya di dalam hadis-hadis Mahdiyyah itu, tergolong (pernyataan) yang keterlaluan, dan merupakan pukulan keras bagi sejarah, serta sangat berlebih-lebihan, tidak memahami pelbagai persoalan manusia, dan jauh dari sunnatullah (hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semua ciptaanNya), yang dikenal oleh manusia. Pada mulanya pembaca tidak merasa, bahwa hadis-hadis Mahdiyyah itu adalah hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat oleh tokoh-tokoh yang sesat, atau oleh para pendukung ('Ali) untuk sebagian ahli propagandisnya yang menuntut kekhilafahan di Arabia atau di Magrib (Afrika)."11
Selain itu, Ahmad Amin juga berpendapat, bahwa hadis-hadis Mahdiyyah itu merupakan hadis yang mengandung cerita bohong, sebab dalam kisah kehidupan al-Mahdi telah dipenuhi dengan cerita yang aneh-aneh dan kabar gaib tentang peristiwa zamannya. Disamping itu, terdapat juga apa yang disebut al-Jafr yaitu ilmu ramalan yang ditulis pada kulit lembu, tentang apa yang akan dialami oleh Ahlul-Bait, dan menurut kaum Syi'ah, ramalan tersebut diriwayatkan dari Ja'far as-S-adiq.12 Berita-berita aneh semacam itu, banyak juga terdapat dalam kitab yang disebut kitab al-Malahim yang dimiliki oleh sebagian ummat Islam. Anehnya berita-berita semacam itu oleh pengarangnya dijadikan sebagai hadis, dan menghubungkannya dengan Rasulullah. Sebagian lagi dihubungkan dengan Ahlul-Bait. Dan sebagian yang lain menghubungkannya dengan Ka'ab al-Akbar dan Wahb ibn Munabbah.
Demikianlah pendapat sementara para sarjana Muslim. Tampaknya mereka meneliti dan melihat dengan jeli hadis-hadis Mahdiyyah itu, tidak hanya dari aspek 'ulumul-hadis atau ilmuilmu hadis, akan tetapi juga menghubungkannya dengan aspek-aspek sejarah yang obyektif, terutama sejarah ummat Islam itu sendiri. Dengan cara seperti ini, seorang akan lebih selamat dan tidak mudah terjebak ke dalam paham-paham yang keliru dan sesat. Hadis-hadis Mahdiyyah yang kontroversial itu, rupanya merupakan akibat dari terjadinya persaingan ketat antara kelompok-kelompok Muslim yang sedang berselisih pada saat itu untuk merebut pengaruh yang lebih luas di bidang politik. Kecenderungan politik yang didasari dengan paham agama, tampaknya mendorong terciptanya paham keagamaan yang bermacam-macam Di saat seperti itulah masing-masing pihak membuat hadis-hadis palsu tentang al-Mahdi dengan berbagai versinya.
B. BEBERAPA INTERPRETASI TENTANG AL-MAHDI
Perbedaan pendapat mengenai tokoh Mahdi sebagaimana digambarkan oleh para pengikut paham (Mahdi) tersebut, menunjukkan adanya bermacam-macam penafsiran mengenai sifat dan sikap kepemimpinan tokoh al-Mahdi. Kaum Syi'ah pada umumnya menilainya sebagai pemimpin otoriter yang memiliki hak-hak istimewa, kejam, dan ingin membalas dendam kepada lawan-lawan politiknya. Bahkan Syi'ah Imamiyyah dan sebagian diantara golongan Syi'ah Rafidah berkeyakinan bahwa tiga orang khalifah (Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman), Mu'awiyah, Yazid, Marwan, Ibn Ziyad, dan lain sebagainya, serta semua pembunuh para Imam Syi'ah, akan dibangkitkan kembali untuk diadili oleh Imam Mahdi dan disiksanya sebelum munculnya Dajjal. Kemudian mereka dimatikan lagi dan akan dibangkitkan untuk kedua kalinya di hari kiamat. Selanjutnya dijelaskan oleh Syarif Murtada, bahwa Abu Bakr dan 'Umar akan disalib pada sebuah pohon oleh al-Mahdi.13
Selain interpretasi tentang al-Mahdi yang otoriter ini, tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan di sini, interpretasi kaum Sufi (Syi'ah) yang bertolak dari pemahaman mereka mengenai hadis [kata-kata Arab].
Semula hadis ini ditafsirkan bahwa tidak ada Mahdi selain Mahdi yang ada hubungannya dengan Syari'at Nabi Muhammad, sebagaimana halnya hubungan 'Isa a.s., dengan Syari'at Nabi Musa. Kemudian penafsiran ini mengalami perubahan dan penafsiran baru bahwa hal itu mengisyaratkan akan munculnya seorang laki-laki yang akan membawa pembaharuan terhadap hukum-hukum Islam dan akan menegakkan kebenaran. Diantara kaum Sufi tersebut berpendapat bahwa al-Mahdi itu adalah keturunan Fatimah dengan 'Ali, dan ada pula yang berpendapat bahwa al-Mahdi itu bisa dari keturunan siapa saja.14
Interpretasi kaum Sufi inilah yang tampaknya mengilhami konsep Mirza Ghulam Ahmad tentang al-Mahdi, mengingat kakeknya berasal dari Persia, dan ia pun kemudian dibesarkan di India yang relatif banyak mendapatkan pengaruh paham Syi'ah yang disebarkan oleh para pengikut Sufi itu.
Adapun menurut interpretasi golongan Ahmadiyah, al-Mahdi ini bukan pimpinan atau tokoh agama bayangan yang suka berperang dan selalu menghunus pedang untuk menghakimi musuh-musuhnya. Dia adalah "juru damai" antar kelompok-kelompok agama yang berselisih dan saling bermusuhan satu sama lain. Interpretasi kemahdian seperti ini merupakan refleksi keadaan ummat beragama di India pada saat itu, baik di kalangan ummat Islam maupun non-Islam. Kelompok-kelompok agama -Islam, Hindu, dan Kristen- yang berselisih itu, ingin ia persatukan lewat Islam. Untuk mencapai maksud tersebut, perlu dilakukan pembaharuan pemikiran keagamaan. Kedua versi interpretasi diatas rupanya menunjukkan bahwa masing-masing golongan ingin mewujudkannya dalam kenyataan. Dengan demikian, penafsiran terhadap al-Mahdi sangat dipengaruhi oleh keadaan ummat saat itu. Dan oleh sebab itu, masing-masing kelompok dalam merealisasikan ketokohan al-Mahdi, baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahmadiyah, melekatkan sifat dan watak yang berbeda terhadap al-Mahdi itu.
Dalam hubungan ini Ibn Khaldun menginterprestasikan tentang al-Mahdi sebagai berikut:
"Sesungguhnya dakwah agama dan (propaganda politik) kerajaan, tidak akan (berlangsung) dengan sempurna, kecuali dengan mewujudkan sesuatu kekuatan yang fanatik, guna menegakkan dan mempertahankan (dakwah atau propaganda) itu sehingga sempurnalah pertolongan Allah untuknya."15
Dengan demikian, munculnya al-Mahdi dalam teori 'asabiyah Ibn Khaldun adalah suatu pertanda atau fenomena lahirnya kelompok masyarakat baru yang ingin mewujudkan cita-cita politik yang didasarkan pada ide millenarium. Untuk itu ide tersebut harus dipacu dengan semangat fanatisme kelompok sehingga dapat mewujudkan kekuatan baru untuk memenangkan perjuangan. Oleh sebab itu, kelompok masyarakat baru tersebut tidak akan memperoleh kekuatan dan tidak pula dapat mencapai tujuan perjuangan, tanpa ikut sertanya para propagandis yang memiliki fanatisme yang kuat terhadap Islam dan Ahlul-Bait. Teori tersebut menegaskan bahwa kemunduran dan kekalahan suatu ummat disebabkan oleh lemah atau memudarnya semangat fanatisme dari jiwa ummat itu sendiri.
Interpretasi tentang al-Mahdi model Ibn Khaldun ini, tampaknya lebih sesuai dengan panalaran ummat dewasa ini daripada harus membayangkannya dalam ujud al-Mahdi yang amat abstrak dan imajinatif. Term al-Mahdi ini rasanya lebih cocok ditafsirkan sebagai pembawa ide-ide baru guna membangun kembali dunia Islam yang tenggelam dalam keterbelakangan, kepesimisan, dan kedangkalan wawasan dalam menghadapi tantangan zamannya. Kemudian ia dapat mengangkat harkat Islam dan ummat Islam dalam arti yang sebenarnya, sehingga ummat Islam dapat diselamatkan dari ekses-ekses modernisasi yang bersifat materialistis, dan sikap latah atau suka meniru tradisi kaum kafir. Seperti diketahui Rasulullah dalam sabdanya pernah mengemukakan sinyalemen sebagai berikut:
"Sungguh kalian (nanti) akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, pastilah kalian mengikuti mereka." Aku menyela, "Apakah (mereka itu) orang Yahudi dan Nasrani?" Jawab beliau: "Siapa lagi?" (HR. Bukhari dan Muslim dari Sa'id al-Khudri).
Lagi pula, dengan pernyataan Rasulullah akan kehadiran kembali Isa al-Masih, sebagaimana disebut dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim, yang diberi mandat untuk membunuh Dajjal (musuh) Islam, hal itu bisa ditafsirkan sebagai lambang akan munculnya kaum pembaharu yang selalu sadar akan bahaya yang senantiasa mengancam dan menteror rohani ummat. Disamping itu mereka pun selalu berorientasi pada kepentingan Islam dan ummat Islam dan berjuang untuk menyelamatkannya dari rongrongm kebebasan hawa nafsu yang ingin mencari kepuasan lahiriah, sebagai ekses dari penerapan teknologi canggih dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Dengan demikian, orang tidak perlu mengaku dan menyatakan dirinya sebagai al-Mahdi maupun sebagai 'Isa al-Masih, apa lagi dengan mengajarkan keyakinan atau peribadatan yang penuh khurafat dan bid'ah.
Keterangan hadis diatas, menunjukkan betapa besarnya pengaruh tradisi Yahudi dan Nasrani dewasa ini terhadap sikap dan perilaku ummat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sistem kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya, tampaknya banyak diwarnai oleh tradisi masyarakat Yahudi dan Nasrani yang dipandang sebagai tradisi modern dan mesti diikuti. Tradisi keislaman hanya tampak pada aspek-aspek ritualnya saja, sedangkan cara hidup dan mempertahankan hidup dan penghidupannya, cara bergaul dan lain sebagainya masih diwarnai oleh tradisi keyahudian atau kenasranian. Jarang diantara ummat Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam kondisi ummat seperti inilah diperlukan Mahdi-Mahdi baru dalam pengertian para da'I (penyeru agama) yang tangguh, sebagai penuntun atau penunjuk ummat dan dapat menyelamatkannya dari kemunafikan, kemusyrikan, kefasikan, dan kekafiran.
Realitas sinyalemen Rasulullah diatas, memang sulit dihindari oleh masyarakat Muslim dewasa ini, dimana perubahan sosial terjadi sangat dinamis. Salah satu penyebabnya adalah adanya akulturasi budaya dan interaksi sosial yang cepat melalui sistem komunikasi modern yang canggih dan yang dapat membuka isolasi masyarakat tradisional untuk menyerap berbagai budaya asing, dalam kaitan ini adalah budaya Barat yang liberal.
Penemuan-penemuan baru yang ditunjang oleh sistem pendidikan modern dalam upaya untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dan kenikmatan hidup lahiriah, membawa manusia selalu dilanda oleh rasa ketidakpuasan dalam bidang-bidang kehidupan tertentu. Keadaan seperti ini mendorong manusia abad modern bersikap longgar terhadap ikatan-ikatan dan keyakinan agama, yang semula dianggap sakral atau tabu. Sebagai akibatnya terjadilah pergeseran nilai dari perilaku manusia itu sendiri. Suatu perbuatan yang sebelumnya dipandang nista, bisa jadi berubah menjadi sesuatu yang biasa atau bahkan menjadi kebanggaan; dan demikian pula sebaliknya. Sebagai akibatnya banyak manusia di zaman modern kehilangan makna spiritual dalam kehidupannya.
Ketidakseimbangan antara kemajuan materiil yang dicapai oleh manusia, di satu pihak, dan kemunduran spiritual yang dideritanya, di pihak lain, menggiring manusia bersikap kurang selektif dalam menerima budaya atau tradisi asing yang destruktif. Oleh karena itu, mereka bersikap sangat toleran terhadap perilaku yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran agama. Dalam kondisi seperti ini kaum kapitalis modern, sebagai penguasa teknologi canggih, mampu membuat hitam atau putihnya situasi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Barangkali mereka inilah yang dilambangkan oleh Rasulullah sebagai Dajjal-nya ummat manusia di zaman akhir. Pada saat seperti ini diperlukan kehadiran al-Mahdl atau al-Masih dalam pengertian simbolis yang lebih aktual dan kontekstual. Yaitu kehadiran kelompok Muballig atau Da'I yang tangguh dan memiliki pengetahuan luas dan visi yang jauh, mampu memecahkan problema kehidupan masyarakat, dan sanggup memberikan berbagai alternatif yang lebih Islami dalam menanggulangi berbagai perilaku, tradisi dan situasi ummat di masa mendatang dan tanggap terhadap kondisi ummat masa kini, sehingga mereka diharapkan dapat menyampaikan ajaran Islam secara tepat dan up to date. Yang lebih penting lagi adalah kemampuan mereka mengisi kekosongan rohaniah para penguasa teknologi dengan ajaran Islam dan menghimpunnya menjadi kekuatan baru yang Islami, sehingga tidak mustahil kebangkitan Islam kembali justru muncul dari Barat sebagai suatu keharusan sejarah.
C. PROSES TERSEBARNYA PAHAM MAHDI
Paham Mahdi atau Mahdiisme, semula merupakan isu politik dari golongan Syi'ah yang kalah secara serius dalam percaturan politik di abad-abad pertama Hijrah. Kekalahan Syi'ah ini, tentunya melemahkan semangat dan daya juang diantara pengikutya. Gejala melemahnya semangat juang mereka dalam mempertahankan eksistensinya, tampaknya menjadi perhatian khusus bagi kaum politisi Syi'ah yang berambisi untuk merebut kekuatan politik. Mereka berusaha membangkitkan kembali semangat perjuangan para pengikutnya dengan mengisukan al-Mahdi sebagai Juru Selamat yang akan memberi pertolongan dan memenangkan kembali perjuanganmereka, lewat para propagandis Syi'ah yang amat fanatik.
Bersamaan dengan isu politik yang baru ini, dicipta pula hadis-hadis Mahdiyyah yang memberi harapan-harapan baru, yaitu akan diraihnya kembali kejayaan dan kemenangan kaum Syi'ah dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Isu al-Mahdi yang bersifat politis ini ditopang oleh 'aqidah ar-raj'ah, masalah al-gaibah dan imamah ciptaan Ibn Saba'. Kemudian isu tersebut diformulasikan oleh kelompok politisi Syi'ah yang lihai, menurut analisis Ahmad Amin rupanya proses terbentuknya paham Mahdi dimulai dari term "pemerintahan Syi'ah yang ditunggu-tunggu," kemudian isu tersebut berkembang dan berubah menjadi "penguasa yang ditunggu-tunggu," yang selanjutnya berubah lagi menjadi "al-Mahdi yang ditunggu-tunggu." Sayang proses terbentuknya paham Mahdi itu, tidak dijelaskan secara kronologis dengan menyebutkan tokoh-tokoh Syi'ah yang mencipta paham tersebut.
Akan tetapi, sejak kekalahan Syi'ah Kaisaniyyah, isu al-Mahdi al-Muntazar sudah muncul dan mereka sebarkan di kalangan pengikutnya. Dari sekte ini, isu al-Mahdi diambil alih oleh sub-sub sekte dari Syi'ah Imamiyyah, dan pengikut paham Mahdi yang paling dikenal dalam sejarah adalah paham Mahdi Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan Isma'iliyyah, keduanya mempunyai daerah pengaruh yang cukup luas, lantaran aktivitas para propagandisnya yang fanatik. Keefektivan penyebaran paham Mahdi ini ditunjang pula oleh adanya suasana kemunduran dan kekalahan diantara kelompok-kelompok Muslim yang sedang bersaing, di satu pihak, dan, di pihak lain, karena adanya semangat baru diantara kelompok tersebut untuk bangkit kembali guna menebus kekalahan mereka di bidang politik. Tujuan utamanya tidak lain adalah membangun kembali kejayaan mereka yang telah hilang, namun demikian, tidak jarang dijumpai dalam masyarakat kita muncul seorang yang mendakwahkan dirinya sebagai Imam Mahdi secara person, tanpa memiliki latar belakang perjuangan dari suatu kelompok tertentu.
Selain itu perlu ditambahkan disini, bahwa golongan Sufi tidak kalah hebat peranannya dalam menyebarkan paham Mahdi. Merekalah yang digambarkan oleh Fazlur Rahman sebagai Qussas, story-teller atau juru cerita yang sangat besar pengaruhnya di kalangan masyarakat umum. Untuk menarik perhatian umum, mereka memperluas cerita dalam al-Quran dan membumbuinya dengan kisah-kisah yang bersumber dari agama Nasrani, Yahudi, Gnostik, bahkan diambil juga dan kisah-kisah dalam agama Buddha dan Zoroaster. Juru cerita yang berhaluan Syi'ah dan yang berada dalam pengaruh Kristen ini dengan sengaja memasukkan ide-ide baru tentang al-Mahdi sebagai figur spiritual yang akan muncul di akhir zaman dan akan menegakkan kembali supremasi dan keadilan Islam dengan memberantas kaum yang menentang Tuhan.16
Dalam hubungan ini, sementara golongan Sufi lain dalam paham kemahdiannya mempunyai corak kemahdian yang berbeda, yaitu apa yang disebut al-Quth, atau pemimpin utama penguasa rohaniah Al-Qutb ini, menurut Ahmad Amin, merupakan tandingan Imam atau al-Mahdi. Dia dipandang sebagai pengatur segala urusan sepanjang masa dan diyakini sebagai tiang penyangga langit dan tanpa keberadaannya sudah barang tentu langit itu akan runtuh. Selanjutnya dijelaskan bahwa di bawah al-Qutb ini adalah tingkatan para cerdik pandai, demikian Ahmad Amin.17
Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa al-Mahdi dalam perspektif rasional tampak sulit diterima sebagai ajaran dari Nabi, dan hal itu sendiri tidak terdapat didalam al-Quran maupun didalam kitab Sahih Bukharõ dan Sahih Muslim. Memang, jika orang membaca hadis-hadis Mahdiyyah hanya sepintas dan hanya beberapa buah hadis saja yang ditelaahnya, tanpa mau membandingkan secara jeli dengan hadis-hadis Mahdiyyah lainnya yang penuh kontroversial, tentunya dia akan menerimanya dan mempercayainya sebagai sesuatu yang benar-benar datang dari Nabi. Akan tetapi, jika dia mempelajarinya dengan sikap kritis serta menghubungkannya dengan sejarah ummat Islam secara obyektif, maka dia tidak akan menerima begitu saja pernyataan-pernyataan hadis Mahdiyyah yang bertentangan dengan penalaran akal sehat itu.


Catatan kaki:
1 'Ibn Khaldun, op. cit.,hlm. 311-2.
2 Al-Maudidi, op. cit., hlm. 159-60.
3 Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 401.
4 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 238.
5 Ibid., Hlm. 219.
6 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322.
7 al-Maududi, op. cit., hlm. 216-7.
8 Ahmad asy-Syirbasyi, Yas'alunaka fid-Din wal-Hayah, (Beirut: Darul-Jail, tt.), hlm. 514.
9 Bandingkan dengan Ahmad asy-Syirbasyi, ibid., hlm. 513.
10 M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 35 dan 45.
11 Muhammad Farid Wajdi Da'iratul-Maarifil-Qarnil-'Isyrin, (Beirut, Libanon: Darul-Ma'rifah lit-Tiba'ah wan-Nasyr, 1971), hlm. 480.
12 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 243.
13 Syah 'Abdul-'Aziz Ghulam Hakim ad-Dihlawi, op. cit., hlm. 201.
14 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327.
15 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327.
16 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 132-3.
17 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 245.
Sumber : http://www.akhirzaman.info
{[['']]}
Lihat PETA WISATA ZI'ARAH CIKUNDUL di peta yang lebih besar
Lisensi Creative Commons
WISATACIKUNDUL oleh BUDAKSHARETM disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.
Berdasarkan ciptaan pada http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/.
Izin di luar dari ruang lingkup lisensi ini dapat tersedia pada @WISATACIKUNDUL.

 
Support : MOVIE LIVE | LIVE DOWNLOAD
Profile Google + : PUTRA SUNDA | BUDAKSHARE-TM
Copyright © 2014. WISATA CIKUNDUL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Follow on FACEBOOK : (1) Wisata Cikundul
Follow on TWITER : (2) Wisata Cikundul
Loading the player...