Home
»
Jejak Sejarah
»
Sejarah Peradaban Islam Di Jawa Barat
Sejarah Peradaban Islam Di Jawa Barat
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
3:03 AM
with
No comments
{[['']]}
Sejarah Peradaban Islam Di Jawa Barat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekuasaan Kaum Muslimin adalah pada abad-abad
pertama munculnya Islam setelah tuntas kemenangan yang Allah berikan kepada
ummat Islam. Setelah sempurna kemenangan itu, Kaum Muslimin bergerak ke seluruh
pelosok dunia untuk berdakwah ke jalan Allah dan mnyebarkan Islam, menegakkan
keadilan, memudahkan perdagangan, dan mengajak manusia untuk menyembah Allah
satu-satunya, tanpa menyembah benda-benda mati, roh-roh halus dan sebagainya, karena semua hamba adalah hamba-hamba Allah
dan semua negeri adalah negeri-negeri Allah. Semuanya itu harus ada pembuktian
yang menunjukkan bahwa kekuasaan itu dilakukan oleh para
mubaligh-mubaligh/ulama.
Terutama di daerah Jawa Barat yang sampai sekarang
masih memakai tradisi dalam penyembahan benda-benda mati, roh-roh halus dan sebagainya
yang dipercayai dapat membawa keberuntungan, bukan malapetaka. Mereka percaya
bahwa dengan melakukan hal itu, kehidupan mereka akan berlangsung baik nyaman.
Sehinnga untuk dapat mempertahankan keyakinan yang sudah mereka yakini, adapun
yang rela untuk pergi ke daerah lain.
Oleh sebab itu, banyak para mubaligh-mubaligh/ulama
yang menyebarkan agama Islam dengan berbagai cara. Ada yang melalui individu,
perdagangan, pernikahan, tradisi, bahkan sampai mendirikan institusi. Mereka
lakukan itu semua agar mereka dapat meyakini kebenaran satu agama yakni agama
Islam dan meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam agama, walaupun memalui
beberapa tahapan untuk mencapai itu semua.
1.2 Batasan Masalah
1. Kapan Proses Islamisasi di Jawa Barat dilakukan ?
2. Siapa saja ulama yang menyebarkan agama Islam di
Jawa Barat ?
3. Di daerah-daerah Jawa Barat mana saja yang
dilakukan para ulama dalam menyebarkan
agama islam ?
4. Apa saja proses yang dilakukan para ulama untuk
menyebarkan agama Islam di Jawa Barat ?
1.3
Tujuan
Yang Ingin Dicapai
2.
Untuk mengetahui Proses Islamisasi di Jawa Barat dilakukan
3.
Untuk mengetahui ulama yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat
4.
Untuk mengetahui daerah-daerah Jawa Barat yang dilakukan para ulama dalam
menyebarkan agama islam
5.
Untuk mengetahui proses yang dilakukan para ulama untuk menyebarkan agama
Islam di Jawa Barat
1.4
Metode
Penulisan
Dalam penyelesaian penyusunan makalah ini kami menggunakan studi kepustakaan, yaitu
dengan mencari buku-buku yang berhubungan dengan Lembaga Keuangan Bukan Bank serta mengambil
beberapa literatur dari internet.
1.5 Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan dan
penutup.
Pada bab satu, kami
sajikan pendahuluan yang berisi latar belakang yang merupakan alasan kami untuk
membahas judul makalah, yang kedua adalah pembatasan makalah agar pembahasan
makalah ini tidak simpangsiur adanya. Yang ketiga adalah tujuan yang ingin dicapai
dalam pembuatan makalah ini. Selanjutnya, metode penulisan yang kami gunakan.
Dan yang terakhir adalah sistematika penulisan makalah.
Di dalam bab dua, kami sajikan pembahasan
makalah sesuai dengan judul yang telah ditentukan. Yang terakhir, bab tiga yang
menyajikan kesimpulan sebagai penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PROSES ISLAMISASI
Proses perluasan Islam di Jawa Barat
lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini
menjadi mungkin Karena kondisi kekuasaan politik yang kuat waktu itu di Jawa
adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi di Indonesia melaui pintu barat. Oleh
Karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya Islam dari pintu gerbang
barat. [1]
Perlu ditambahkan disini bahwa
penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi
militer ataupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya
organisasi missi ataupun semacam zending. J.C. van leur dalam hal ini
menjelaskan bahwa setiap pedagang islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya
masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.
Pada
abad ke-13 dan abad ke-14M, kegiatan perdagangan pada jalur pelayaran tersebut
cukup ramai. Para pedagang muslim mengunjungi pelabuhan yang terdapat di
pesisir utara pulau jawa antara lain banten, kalapa, indramayu (cimanuk),
Cirebon, tuban, gresik, dan jepara.[2]
Pada abad ke-14 tidaklah berarti islam baru masuk, melainkan telah meluas di
Jawa Barat. Proses perluasan ini diawali dengan masuknya sejak abad ke-7.2
Sebagian
daerah galuh berada pada lintasan pelayaran niaga. Ditinjau dari letak
geografisnya itu, daerah Cirebon adalah daerah yang lebih dahulu mendapat
sentuhan agama islam daripada daerah yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada
perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasambangan
sering disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri atau daerah seperti
Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka adalah
saudagar muslim. Sebagai muslim, para saudagar itu akan berusaha memperkenalkan
agama Islam kepada orang-orang di daerah setempat yang belum masuk islam.
Pada mulanya Islam disebarkan di
Pantai Utara Jawa melalui kontak dagang, kemudian di sana disebarkan ke
pedalaman. Dengan kontak itu pula keuntungan ekonomi mengalir dari perniagaan yang dikuasai
orang-orang islam. Memang keuntungan besar dari perdagangan sangat tergantung
dengan adanya kontak dagang dengan luar negeri yang pada waktu itu terletak
pada jaringan perdagangan dengan orang-orang islam.
Masuk dan berkembangnya islam di
daerah galuh semakin kuat, setelah Syarif Hidayat datang di Cirebon dan menjadi
penyebar agama Islam. Kedatangan Syarif Hidayat ini menyebabkan agam Islam
tidak hanya menyebar di daerah Cirebon, tetapi masuk ke pedalaman Galuh dan jawa
barat.
Pertimbangan lain dari keterangan
Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa barat pada abad ke-16. Bahwa pada 1513
penduduk Cirebon dan cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam.
Keterangan
Tome Pires memberikan ilustrasi kepada kita tentang peranan Jawa Barat dalam
jaringan perniagaan di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya. Tidak
saja sebagai wilayah yang penting,
tetapi juga ikut menentukan rute dan persinggahan kapal dagang. Sekaligus
memberikan informasi tentang meluasnya Islam di Jawa barat pada saat itu.[3]
Penyebaran agama Islam pada tahap
awal dilakukan pula oleh dua orang guru agama islam yang datang di daerah Jawa
Barat. Naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari menyebutkan adanya dua orang guru agama islam yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah
Gunung Jati sekarang). Menurut naskah tersebut, Syekh Quro adalah Syekh
Hasanuddin, putera Syekh Yusuf Sidiq seorang ulama terkenal dari negeri Campa.
Seorang murid Syekh Quro adalah Nyai Subanglarang, puteri Ki Jumamjanjati (Ki
Gede Tapa), penguasa pelabuhan Muhara Jati pengganti Ki Gedeng Sindangkasih.
Atas kebaikan Ki Jumajanjati, Syekh Hasanuddin mendirikian pondok pesantren di
Karawang. Dalam naskah itu, Syekh Nurjati disebut pula Syekh Datuk Kahpi atau
Syekh Idhopi. Salah seorang muridnya ialah Walangsungsang, putera Nyai
Subanglarang dari Raja Sunda, Prabu Siliwangi. Walangsungsang inilah yang menjadi
perintis pembangunan kota Cirebon pada sekitar 1455M.
Syekh Quro dan Syekh Nurjati
membangun pesantren di daerah pemukimannya masing-masing. Munculnya pesantren
berarti adanya perkembangan dalam penyebaran agama islam. Penyebaran agama
islam yang semulanya berlangsung dari individu ke individu, kemudian berkembang
menjadi satu lembaga, yaitu pesantren. Dengan kata lain berdirinya pesantren
berarti terjadinya pembentukan kader penyebar agama islam. Santri-santri yang
telah memahami ajaran islam kemudian menyebaran ajaran itu di lingkungan tempat
tinggal masing-masing atau kedaerah lain atas perintah gurunya.
Carita Puraka Caruban
Nagari juga menyebutkan tentang kegiatan perniagaan di pantai
Cirebon sebelum tahun 1470M. Naskah itu mencerikan, bahwa sebelum tempat yang
sekarang menjadi Cirebon dihuni orang, tidak jauh di sebelah utara tempat itu
terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat inilah cikal bakal penduduk Cirebon.
Di sana terdapat empat kegiatan perdagangan yaitu Pelabuhan Muhara Jati dan pasar
Pasembangan. Di sebelah utaranya terdapat daerah yang bernama Singapura, dan
disebelah Timur adalah Jayapura. Di sebelah selatan bagian pedalaman terletak
Caruban Girang. Kiranya masyarakat di tempat-tempat itulah yang diislamkan oleh
Haji Purwa dan Syekh Nurjati bersama santrinya.
Penyebaran agama islam di Cirebon,
khususnya di Cirebon Pantai (Caruban Hilir), berkaitan erat dengan peranan
pelabuhan Muhara Jati dengan Pasar Pasembangan. Kedatangan saudagar-saudagar
muslim di pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasembangan, memungkinkan penduduk
setempat berkenalan dengan agama Islam, lebih-lebih bila para saudagar muslim
itu singgah untuk waktu cukup lama, menunggu saat yang baik untuk melanjutkan
pelayarannya. Dalam kesempatan itu, para saudagar muslim memperkenalkan agama
mereka kepada penduduk yang belum menganut agama islam.Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa, bahwa masuk dan menyebarnya agama islam di daerah Cirebon
terjadi pula melalui kontak niaga.
Salah
satu bukti yang menunjukkan ramainya kegiatan pelayaran di daerah pelabuhan
Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar di bukit Amparan Jati, suatu tempat
tertinggi di dekat pelabuhan itu. Mercusuar ini dibangun pada tahun 1415M oleh
panglima Cina Wai Ping, dan Laksamana Te Ho beserta pengikut mereka. Pendiri
mercusuar itu adalah rombongan untusan Cina dari dinasti Ming pimpinan
Laksamana Cheng Ho yang sedang mengadakan muhibah ke negara-negara Asia
Tenggara. Orang-orang Cina yang datang ke negara-negara Asia Tenggara pada abad
ke-15 dan abad ke-16M banyak yang sudah menganut agama islam, Orang-orang Cina
Islam yang turut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho antara lain Ma Huan dan Feh
Tsin.
Selama pembangunan mercusuar di
bukit Amparan Jati mungkin terjadi kontak antara orang-orang Cina dengan
penduduk di daerah setempat, termasuk kontak dalam masalah agama islam. Terjadinya
kontak antara penduduk Cirebon dengan orang-orang islam di berbagai negara,
menyebabkan dalam perkembangannya masyarakat islam Cirebon menyerap unsur-unsur
budaya bangsa lain, baik yang bercorak islam maupun budaya asing. Dengan kata
lain, sifat heterogen masyarakat Cirebon bukan hanya hal suku bangsa, tetapi
juga dalam hal budaya termasuk budaya Islam. Pada tahap selanjutnya, penyebaran
dan pembentukan kekuatan islam di daerah Cirebon semakin meningkat. Faktor
utama yang menyebabkannya adalah munculnya penguasa di daerah itu, yang
sekaligus berperan dalam penyebaran agama Islam.
Kahane menyatakan bahwa Islam
menyebar secara bertahap melalui guru-guru agama dan institusi sehingga menjadi
agama mayoritas di Jawa. Difusi atau konversi Islam di Indonesia dapat berjalan
dengan lancar karena sejumlah factor. Pertama, Islam datang di Jawa lebih
dahulu dibanding Kristen dan para pedagang muslim menancapkan kekuasaan ekonomi
dan politiknya di sana. Kedua, Islam dianggap sebagai agama yang mudah untuk
dilaksanakan. Ketiga, Terdapat kemiripan ajaran Islam dengan agama tradisional
Jawa; sufi dan magis yang ada di Islam pada saat itu sama dengan kepercayaan
animis dan Hindu. Keempat, ada kemungkinan hidup bersama (koeksistensi) anatara
agama Jawa dan Islam. Kelima, adanya kegunaan instrumental yaitu hubungan
dagang, pembangunan, dan pertukaran adalah alasan para pedagang untuk masuk
islam. Kenam, Taktik penetrasi Islam diantaranya alah para pedagang Arab
menikah dengan wanita setempat dan mengislamkan para pembantunya. Selanjutnya,
para ulama datang untuk mendirikan institusi islam yaitu mesjid dan pesantren.
Ketujuh, Islam dijadikan alat untuk melawan Kolonial Barat. Kedelapan,
penyebaran Islam akibat kevakuman religi dan budaya serta institusi karena
kehancuran sentralisasi kerajaan, yaitu kehancuran Sriwijaya pada abad ke-11
dan kehancuran Majapahit ada bad ke-16.
Islam mengkompromikan kepentingan para
pedagang dan para pengusaha lokal. Oleh karena itu, ada motivasi politik dan
ekonomi di sana. Islam dengan sufinya mengisi kevakuman kultural dan struktural
sehingga diterima oleh koalisi pedagang dan penguasa lokal yang ingin
meningkatkan kekuatan ekonomi dan politik mereka.
Penyebaran agama Islam di Cirebon
Hilir lebih pesat daripada di Cirebon Girang yang dipelopori oleh Haji Purwa,
karena Islamisasi di Cirebon Hilir tidak hanya dilakukan oleh Pangeran
Cakrabuana, tetapi dilaksanakan pula oleh saudagar-saudagar muslim yang singgah
di pelabuhan Muhara Jati.[4]
Sunan Gunung Jati
Islamisasi
di daerah Galuh semakin meningkat setelah Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon
pada tahun 1470M. Selain singggah di Pasai setelah tiba di Indonesia, Sunan
Gunung Jati datang ke Banten. Di sini dilihatnya agama Islam telah bekembang
sebagai hasil dari dakwah Sunan Ampel Surabaya. Sebelum datang ke Cirebon, dia
terlebih dahulu menemui Sunan Ampel di Ampeldenta (Gresik). Sunan Ampel selaku
guru besar agama Islam di Jawa dan pimpinan para wali, menugaskan Syarif
Hidayat untuk menyebarkan agama islam diseluruh wilayah Jawa bagian barat dan
berkedudukan di bukit Amparan Jati, Cirebon. Di sana dia mendirikan pesantren.
Sebagai guru agama, dia bergelah Syekh Maulana Jati (Syekh Jati), dan sebagai
wali yang kesembilan dia bergelar Sunan Gunung Jati.
.
Adapun gelar Susuhunan Jati diperoleh setelah 9 tahun kemudian ketika diangkat
sebagai Tumenggung di Cirebon. Selain itu Sunan Gunung Jati juga disebut
sebagai raja pendeta yang pengertiannya sama dengan khalifah. Jabatan ini
dipegangnya selama 47 tahun, dan kemudian diserahkan kepada putranya yakni
Pangeran Pasarean (1526).
Setelah
penyerahan kekuasaan kepada putranya, Sunan Gunung Jati mengadakan aktivitas
dakwah di Jawa Barat. Hasil dakwah dapat kita lihat dari hasil penyerangan
pendudukan sunda kelapa yang gemilang, sehingga memudakan untuk mematahkan
usaha penjajahan Portugis adan penyebaran agamanya. Tugas penyebaran Islam di
Jawa barat ini masih dapat diteruskan hingga akhir hayatnya pada 1568, dan
dimakamkan di Pasir Jati Bukit Sembung, Cirebon. Makam ini sampai sekarang
dapat kita lihat sebagai makam Sunan
Gunung Jati.
Setelah
selesai menuntut ilmu pada tahun 1470M. Dia berangkat ke tanah Jawa untuk
mengamalkan ilmunya. Di sana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh
Pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di
Pasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan
usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif
Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dikawinkan dengan putri Cakra
Buana pada tahun 1479M dengan diangkatnya dia sebagai pangeran dakwah Islam
dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.[5]
Sunan Gunung Jati berhasil
melaksanakan tugas dan kewajibannya mengislamkan masyarakat Galuh dan Jawa
bagian barat dengan gemilang. Keberhasilan Sunan Gunung Jati tidak terlepas
dari sifat dan sikap serta tindakannya yang syarat dengan kepemimpinan
tradisional, khususnya kepemimpinan dalam keagamaan. Dia adalah figure manusia
ideal dalam ukuran zamannya.
Kurang lebih dua tahun setelah
memegang pemerintahan daerah Cirebon (1481/1482), Syarif Hidayatullah (Susuhunan
Jati) mengislamkan daerah Luragung dan Kuningan.
Penyebaran agama islam di Kuningan
menunjukkan perkembangan yang meningkat. Upaya penyebaran agama islam
dilanjutkan oleh para pengusa dan para ulama lokal Kuningan. Hal ini seperti
ditunjukkan oleh keberadaan tokoh ulama yang bernama Haji Hasan Maulani dan
desa Lengkong Kuningan. Beliau dikenal pula dengan sebutan Eyang Hasan Maulani
atau Eyang Hasan Menado karena meninggla di Menado. Beliau dianggap sebagai
salah satu tokoh ulama yang menurunkan ulama-ulama lainnya di Kuningan.
Dari
Cirebon, Sunan Gunung Jati, mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa
Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten.
Setelah Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan
gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650, dan digantikan oleh putranya yang
bergelar Panembahan Gerilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya
sampai masa kekuasaan pangeran Gerilaya ini. Sepeninggal Gerilaya, sesuai
dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh kedua putranya, Martawijaya
atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh
memimpin Kesultanan Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama dengan gelar
Syamsuddin sementara Panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar
Badruddin.[6]
2.2 PENYEBARAN ISLAM
DI SUMEDANG
2.2.1 KERAJAAN SUMEDANG
SEBELUM ISLAM
Masyarakat
Sumedang, sebelum Islam, mempercayai Agama Hindu-Budha. Disekitar Gunung
Tampomas, daerah Cilangkap dua buah ditemukan sebuah area Ganesha. Ganesha
ialah putra dewa Siwa. Dewa Siwa banyak dipuja sebagai dewa tertinggi dan
dipuja dalam berbagai fungsi. Masa Hindu dan Budha berakhir setelah Pangeran
Santri menikah dengan Nyi Mas Ratu Pucuk Umun Sumedang dan mengislamkan para
pemangku kerajaan sumedanglarang. Islam masuk ke Sumedang secara kenegaraan dan
secara politik kurang lebih pada abad ke-15.
2.2.2 KERAJAAN
SUMEDANG ISLAM
Dalam
tradisi Sumedang menyatakan bahwa pelopor penyebaran agama Islam di
Sumedanglarang adalah Maulana Muhammad
atau Pangeran Palakaran. Pada tahun 1504, Pangeran Pakalaran menikah dengan
seorang puteri Sindangkasih. Dari perkawinan tersebut lahir Ki Gedeng Sumedan
atau dikenal dengan nama Pangeran Santri pada tahun 1505. Pangeran Santri
menukah dengan Ratu Satyasih, putrid Sunan Corenda yang meneruskan ayahnya
menjadi penguasa Sumedanglarang karena Styasih menyerahkan tampuk kekuasaan
kepadanya. Pangeran Santri kemudian dinobatkan sebagai penguasa Sumedanglarang
pada tanggal 21 Oktober 1530. Dia adalah penguasa Sumedanglarang pertama yang
menganut agama Islam, dengan status bawahan Cirebon. Pangeran Santri wafat pada
tanggal 2 Oktober 1579 dan dimakamkan di Dayeuh Luhur.
Pangeran Santri dan
Ratu Pucuk Umun
Daerah pesisir Cirebon merupakan
pusat dari kegiatan-kegiatan ekonomi perdagangan yang berlangsung di Pelabuhan
juga merupakan pusat penyebaran agama dan kekuasaan Islam. Pada abad ke-16, di
Kerajaan Sumedanglarang sudah mulai memasuki sistem pemerintahan yang bercorak
Islam. Pemerintahan Islam dimulai sejak Pangeran Santri menikah dengan Satyasih
yang bergelar Ratu Pucuk Umun.
Dari Cirebon Islam tersebar ke
daerah pedalaman, termasuk Sumedang yang menjadi jalur lalu lintas antara
Cirebon-Bandung. Pada pertengahan abad abad ke-16, agam Islam sudah mewarnai
perkembangan Sumedanglarang. Salah satu keturunan Raja Sumedanglarang yang
telah masuk Islam pada waktu itu adalah Ratu Pucuk Umun. Dia menikah dengan
Pangeran Santri yang bergelar Ki Gedeng Sumedang (1505-1579M). Disamping
menjadi penguasa Sumedanglarang, dia bersama istrinya Ratu Pucuk Umun
menyebarkan ajaran Islam. Pengganti Pangeran Santri adalah Pangeran
Angkawijaya, anak Pangeran Santri dari Ratu Satyasih yang dilahirkan pada tahun
1558. Setelah berusia 23 tahun, dia dinobatkan menjadi raja pada tanggal 18
November 1580, dengan gelar Ulun Sumedanglarang.
2.3 PENYEBARAN ISLAM DI TASIKMALAYA
Penyebaran Islam ke daerah pedalaman
dilakukan oleh para mubalig yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi tersyiarnya
Islam dan mereka bermukim di wilayah ini. Ternyata agama islam dapat diterima
dengan relative mudah, cepat, dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut,
agama islam itu tidak dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga sekarang
ini. Setelah agama islam telah banyak dan lama diterima dan dianut oleh
penduduk satu tempat, maka untuk
memenuhi keperluan pengetahuan ajaran agama, etika kehidupan Islami, dan
praktik peribadatan kaum Muslimin setempat, terutama kaum anak-anak dan orang
mudanya, maka di tempat itu dibukalah lembaga pendidikan agama dalam bentuk
pesantren. Pesantren awal yang didirikan di Tatar Sunda adalah pesantren Quro
di Karawang dan pesantren Amparan, terletak sekitar 5km sebelah utara kota
Cirebon.
Walaupun bentuk dan isinya tidak
diketahui dengan jelas, sumber tradisional lokal mengungkapkannya dalam konteks
Islami di Tatar Sunda sebelum kota pelabuhan Cirebon terwujud. Adapun di daerah
pedalaman pesantren yang pertama didirikan adalah pesantren Pamijahan di
Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh Syekh
Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah itulah muncul
pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa sekarang baik
yang berusia lama maupun yang umurnya sebentar.
Ada dua hal yang menarik dari profil
pesantren di Tatar Galuh pada masa awal Islamisasi sampai abad ke-19. Pertama,
terdapat kemiripan pola dan karakter antara pesantren dengan mandala/kebuyuran,
Keduanya menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat yang
luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan
naskah sebagai sarana bahan ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di
Pamijahan yang didirikan dan dikelola Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya
terpencil di daerah pedalaman, pesantren ini juga dilengkapi dengan gua (Gua
Saparwadi) sebagai prasarana ibadah ibadah dan pendidikan layaknya sebuah
pertapaan.
Sebelum masyarakat Pamijahan
menganal Islam dan sebelum datangnya Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan,
kepercayaan masyarakat Pamijahan terhadap roh-roh gaib nenek moyang, penyembah
pohon, batu-batu besar dan benda-benda lainnya atau yang disebut dengan animism
dan dinamisme. Menurut sumber sejarah setempat, bahwa kedatangan Syekh Abdul
Muhyi ke Pamijahan juga mendesak penduduk setempat yang memiliki ilmu Batara
Karang yang bermarkas di dalam gua Safarwadi.
Proses Islamisasi di Pamijahan
berlangsung bertahun-tahun. Karena ketabahan Syekh Abdul Muhyi, sedikit demi
sedikit Islam dipeluk oleh berbagai kalangan. Karena akhlak yang baik seperti
dalam sikap yang santun, berbicara dengan ramah dan dakwah dengan pendekatan
persuasive, masyarakat menaruh simpatik kepadanya dan selanjutnya dengan
sukarela mengikuti ajaran Islam dan menjadi murid Syekh Abdul Muhyi. Dalam
menyebarkan ajaran agama Islam dia tidak memaksakan kehendaknya terhadap
masyarakat. Hal ini terlihat, bahwa tidak semua masyarakat memeluk agama Islam
secara spontan, walaupun pada akhirnya mereka harus pindah dari daerah tersebut
karena terdesak oleh tradisi dan tata cara kehidupan Islam.
Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama
dengan yang dilakukan Wali Sanga. Oleh karena itu Syekh Abdul Muhyi dianggap
sebagai seorang wali oleh masyarakat Jawa Barat. Bahkan tradisi setempat
menyebutnya wali kesepuluh yang meneruskan tradisi Wali Sanga.
Dalam berdakwah, Syekh Abdul Muhyi
menghadapi kendala geografis dan cultural. Untuk menghadapi kendala geografis,
dia harus turun-naik gunung dalam menyebarkan agama Islam dari satu kampong ke
kampong yang lain mengingat letak perkampungan daerah pegunungan. Priangan
merupakan wilayah pegunungan dan mempunyai hutan yang sangat lebat. Untuk
menghadapi kendala cultural, dia harus memodifikasi Islam sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat Pamijahan yang sebelumnya sudah memeluk agama Hindu dan
agama nenek moyang. Dalam menghadapi kendala cultural ini, Syekh Haji Abdul
Muhyi tidak hanya mendapat reaksi positif dari masyarakat yang didatanginya,
tetapi juga sekelompok masyarakat yang menghalangi misinya.
2.4 PENYEBARAN ISLAM DI CIAMIS
2.4.1
PANJALU
Menurut tradisi setempat, Prabu Sanghyang Borosngora adalah
penyebar Islam pertama di Panjalu. Dialah yang telah meletakkan dasar untuk pengembangan agama Islam disana.
Selanjutnya diteruskan oleh anak dan keturunannya. Penyebaran Islam di Panjalu
tergolong cepat karena didukung oleh para mubaligh-mubaligh dari luar Panjalu.
Menurut R.H Atong Tjakradinata, sesepuh adat Panjalu, ajaran Islam dengan mudah
diterima oleh masyarakat Panjalu karena ajaran Islam mencakup persoalan
ketuhanan, kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame
manusia, dan dengan alam.
Proses pengembangan Islam di desa
Panjalu menurut bapak R.H Atong melalui empat tahap. Pertama, tahap perkenalan agama Islam kepada penduduk setempat.
Tahap pertama ini tentu dimulai oleh Prabu Sanghyang Borosngora setelah berguru
ke Mekkah. Sejak itu, dia memperkenalkan ajaran Islam dengan mengajak orang
satu persatu. Kedua, tahap penyiaran
Islam secara masal dan terbuka kepada masyarakat. Setelah Prabu Borosngora
mempunyai beberapa pengikut, beliau mengadakan tabligh dan pertemuan-pertemuan
untuk memperdalam dan memperluas jangkauan dakwahnya. Ketiga, memperbesar pengaruh Islam kedalam berbagai aspek kehidupan
dan berupaya mengurangi pengaruh ajaran agama sebelumnya. Di samping itu Prabu
Borosngora memperlihatkan ilmu-ilmu yang bersumber dari Islam yang dapat
mempertunjukkan kesaktiannya. Keempat,
membina dan memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Islam.
2.4.2 KAWALI
Untuk
memerintah Kawali, Sunan Gunung Jati menempatkan Dalem Dungkut , anak raja
Kuningan (Langlang buana). Pengangkata Dalem Dungkut di Kawali menjadi
permulaan masuknya Islam di daerah Galuh-Kawali, Ciamis.
Pangeran Dungkut (1528-1575) diberi
tugas oleh Kesultanan Cirebon untuk menjadi penguasa di Galuh Kawali
menggantikan Prabu Jayadiningrat . Pangeran Bangsit (1575-1592) adalah putra
pangeran Dungkut yang melanjutkan pemerintahan menggantikan ayahnya serta
meluaskan ajaran agama Islam di daerah Kawali. Pangeran Mahadikusuma
(1592-1643) adalah putera Pangeran Bangsit. Dia juga salah satu ulama yang
dipercaya Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di Kawali. Dari Kawali Islam
kemudian menyebar ke daerah Ciamis lainnya.
2.4.3 KAWASEN
Penguasa
Kawasen yang pertama kali membangun Kawasen berasal dari Galuh Salawe (sekitar
Cimaragas sekarang), menantu dari Prabu Galuh Cipta Permana yang datang untuk
menyebarkan Islam.
Tumenggung
Sutapura adalah penguasa di kadaleman Kawasen yang terkenal setelah ayahnya,
Dalem Kawasen. Kedaleman Kawasen pada awalnya merupakan wilayah yang berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Garatengah. Raja Galuh Garatengah yang pertama
memeluk agama Islam adalah Prabu Cipta Permana yang menikah dengan Tanduran di
Anjung, yaitu puteri dari raja Kawali yang beragama Islam.
Pada
masa pemerintahan dipegang oleh Sutapura, kedaleman Kawasen semakin berkembang,
terutama dalam penyebaran agama islam. Selain itu, Sutapura juga terkenal gagah
berani, hal ini dapart dibuktikan degan keberhasilannya dalam mengalahkan
Dipati Ukur yang memberontak kepada Mataram. Dengan keberhasilan ini kemudian
Sutapura memperoleh gelar Tumenggung Sutanangga I. Penyebaran Islam yang
dilakukan oleh Tumenggung Sutanangga cukup berhasil, banyak penduduk yang
semula menganut agama Hindu kemudian memeluk Islam. Begitu pula dalam hal
perekonomian, penduduk Kawasen sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani, keberhasilan pertanian di wilayah Kawasen karena ditunjang oleh
daerahnya yang subur, serta cukup mendapatkan air sebagai penunjang utama
pertanian, sebab daerah ini berada di daerah dekat gunung dengan aliran sungai
yang tidak pernah kering. Penduduk Kawasen hidup rukun dan makmur, mereka
sangat menghormai pimpinannya yan arif dan bijaksana.
2.5 PERKEMBANGAN ISLAM DI GARUT
Kean Santang
Kean
Santang adalah putra Prabu Siliwangi. Dia terkenal gagah berani dan tidak ada
seorang pun di Pulau Jawa yang dapat menandinginya. Pada suatu hari, Kean
Santang menghadap ayahnya, yaitu Prabu Siliwangi untuk menyampaikan bahwa dia
ingin melihat darahnya sendiri. Ayahnya tertegun mendengar keinginan anaknya
itu. Diceritakan ada seorang kakek datang menghadap baginda dan mengatakan
bahwa ada orang yang dapat memperlihatkan darah anaknya yaitu Baginda Ali yang
berada di Mekkah. Kean Santang ingin mencari Baginda Ali ke mekkah dan setelah
meminta izin ayahnya, Kean Santang berangkat menuju Mekkah.
Diceritakan paginya, Baginda Ali
beangkat ke Masjidilharam dengan membawa tongkat. Diperjalanan dia bertemu
dengan Kean Santang yang sedang mencari rumah Ali. Kean Santang menjelaskan
bahwa dia berasal dari Jawa dan maksud
kedatangannya adalah untuk mengajak Ali bertarung adu kekuatan. Baginda Ali
berjanji akan mempertemukannya di hadapan Rsulullah, lalu dia mengaja Kean
Santang untuk menemuinya. Dalam perjalanan, Baginda Ali teringat pada tongkat
yang tertancap di tanah tempat tadi itu. Lalu dia menyuruh Kean Santang
mengambilnya. Kean Santang mencoba mencabut tongkat yang ditancapkan tetapi
tidak berhasil. Baginda Ali mencabut tongkat sambil mengucapkankalimah sahadat
dan membaca salawat. Setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Baginda Ali, Kean
Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam serta
berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah. Nabi tetap member tugas
kepada Kean Santang agar mengislamkan penduduk pulau Jawa.
\Kean Santang atau Sunan Rahmat
mengislamkan rakyat yang ada di Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug
Dogdog, Curug Sempur dan Padusunan. Adik Sunan Rahmat diserahi daerah Curug
Dogdog. Selanjutnya dia menyebarkan agama Islam di Malasari, Timbangantenan,
Dayeuh Pangadegan, Dayeuh Tambaja, Cilageni, Cikupa, Sangkanluhur, Ciparay,
Talaga, Cikaso, pagedeng, Dayeuh Manggung, Panggung, Lebak jaya dan
Karangtenang, Sukapunten, Kedunghalang, Malere, Singaparna, Batununggal,
Tawanggantungan, Cipatenggang, Cicarulang, Galuh, Parakan, Pageragung, Cikidang,
Tegallaja, Panjalu, dan Cihaurbeuti.
2.5.1 LIMBANGAN
Menurut
kepercayaan orang Limbangan sebelum Islam, Nyi Pohaci adalah Dewa pelndung
padi. Menurut cerita rakyat, Nyi Pohaci berasal dari airmata Dewa Anta yang
kemudian menjadi telur yang dipersembahkan kepada gurudan kemudian menetas
menjadi anak perempuan yang cantik jelita. Sampai sekarang, pada sebagian
masyarakat, masih ada yang percaya kepada Nyi Pohaci sehingga masih mengadakan
ritual penghormatan dari mulai menanam
sampai menuai padi.
Selain itu, masyarakat Limbangan
sebelum mengenal Islam mempercayai makhluk halus, mempercayai bahwa benda-benda
tertentu memiliki kekuatan. Untuk menghormati makhluk halus dan benda yang
memiliki kekuatan sering diadakan upacara khusus. Upacara itu dilakukan agar
makhluk ataupun benda-benda yang memilki kekuatan mendatangkan berkah dan tidak
menatangkan malapetaka. Sampai sekarang, tradisi tersebut masih dilakukan oleh
sebagian kecil masyarakat Limbangan. Untuk menangkal malapetaka dan untuk
melindungi kampung diadakan penanaman kepala kambing ditengan perkampungan.
Dari uraian diatas, diketahui
ajaran-ajaran Hindu dan kepercayaan kepada roh-roh pernah menjadi pegangan
masyarakat Limbanagn. Setelah Islam diperkenalkan, ajaran Hindu dan kepercayaan
yang diwariskan dari nenek oyang sedikit demi sedikit dapat dihilangkan. Meskipun
mayoritas masyarakat Limbanann sudah memeluk agama Islam tetapi tidak semua
unsur atau pengaruh ajaran-ajaran nenek moyang lenyap. Sampai sekarang masih
ada sebagian kecil masyarakat melakukan tradisi upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat Limbangan sebelum
Islam.
Adipati Liman Senjaya
Kusumah
Adipati Liman Senjaya Kusumah adalah
ulama dan penyebar ajaran islam periode awal di Limbangan. Dia mengajarkan
ajaran Islam di keraton dan menyunat orang yang masuk Islam. Karena keluwesan
dalam memimpin pemerintahan maupun sebagi tokoh agama yang mumpuni, akhirnya
banyak rakyat bahkan para pejabat kerajaan yang tertarik dan akhirnya memeluk
agama Islam.
Adipati Liman Senjaya Kusumah diperkirakan
lahir pada tahun 1510. Angka tahun itu diperkirakan berdasarkan perhitungan
berikut.Pertama, Adipati Liman Senjaya Kusumah pernah membantu Kean Santang
(1425-1550) dan pernah menghadap Sunan Gunun Jati (1448-1568) untuk mendapat
penghormatana atas jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam. Kedua, tahun lahir seseorang diperkirakan
secara umum dengan selisih dua puluh tahun antara satu generasi yang satu
dengan yang lainnya demikian juga tahun kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah
dapat diperkitakan dari tahun kelahiran Sunan Rumenggong (1450), lalu dari
kelahiran Nyai Putri Buniwangi (1470), kemudian kelahiran Prabu Hande
Limansanjaya (1490), maka kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat
diperkirakan tahun1510. Jika angka tahun kelahiran ini dipegang maka ketika
Sunan Cipancar menerima keris dari Kian Santang, dia sudah berusia 30 tahun
sedangkan Kean Santang berusia 110 tahun. Peristiwa penyerahan keris dengan
lafad Laa Iqrohaa fiddiin dari Kean Santang kepada Adipati Liman Senjaya kusumah
pada tahun 1540. Pada usia 30 tahun, dia pantas menjadi pembela agama Islam.
Demikian pula dia menghadap Sunan Gunung Jati, terjadi pada tahun sebelum Sunan
Gunung Jati wafat (1568), katakanlah tahun 1560. Pada tahun 1560 Sunan Cipancar
berusia 50 tahun. Kiraya wajar pula pada
usia 50 tahun Sunan Cipancar sudah menjadi ulama cukup besar sehingga
tergolong salah seorang pemimpin Islam yang di undang pada peremuan terbatas
yang penting yang diadakan oleh Sunan Gunung Jati.
Dakwah Adipati Liman
Senjaya Kusumah
Untuk mengajak orang memeluk agama
Islam dan untuk mengambil simpatik masyarakat, Adipati Liman Senjaya Kususmah
juga selalu menunjukkan akhlak yang baik dan selalu melakukan silaturrahmi. Dia
selalu berupaya bertindak adil dan bijaksana meskipun sebagai penguasa dapat
berbuat apa saja. Dalam mengatasi satu
persoalan negara pun, dia selalu mengundang tokoh-tokoh agama Islam, para
pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainya untuk diajak musyawarah dan diminai
pendapatnya. Dengan kebijaksanaan ini pula secara tidak langsung telah menarik
masyarakat yang belum memeluk Islam tertarik pada agama Islam.
Strategi yang dilakukan oleh Adipati
Liman Senjaya Kusumah untuk menarik simpatik masyarakat supaya memeluk agama
Islam adalah mendatangi rumah dari pintu ke pintu. Dia senantiasa bersikap
ramah dan lemah lembut tapi bukan berarti dia tidak bisa tegas bila diperlukan.
Oleh karena itu dia menjadi pemmpin yang dihormati dan disegani.
2.5.2 CANGKUANG
Penyebaran Islam di Cangkuang, Leles
Garut dilakukan oleh Arif Muhammad dan temen-temannya. Arif Muhammad berdakwah
dengan arif dan bijaksana sehingga secara berangsur-angsur masyarakat setempat
berpindah keyakinan dari Hindu ke Islam meskipun sebagian tradisi Hindu masih
terus dilaksanakan seperti hari Rabu menjadi hari besar dan tradisi ini
berlanjut sampai sekarang.
2.6 PERKEMBANGAN ISLAM DI
MAJALENGKA
Sekitar abad ke-14 pada masa
pemerintahan Ratu Simbarkencana, agama Islam mulai menyebar ke Majalengka yang
dibawa oleh santri Cirebon. Ranggi Mantri atau Suan Parung Gangsa/Pucuk Umun
Talaga ditaklukan oleh Cirebon pada tahun 1530, dan dia pun menjadi pemeluk
Islam dan menjadi bawahan Cirebon.
Proses Penyebaran Islam
Daerah-daerah
yang masuk daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk agama Islam
ialah Pemerintah Talaga, Maja, dan Majalengka. Penyebaran agama Islam di
Majalengka terutama didahului dengan masuknya para bupati kepada agama itu.
Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain diantaranya Dalem Sukahurang atau
Syekh Abdul Jalil dan Dalem Panungtung menyebarkan agama Islam di Maja;
Pangeran Suwarga di Talaga; Pangeran Muhammad dan Siti Armilah di Sindangkasih
dan Sunan Rachmat di Bantarujeg.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan
melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon.
2. Penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah
terjadi agresi militer ataupun agama.
3. Pada perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan Muhara Jati dan pasar
Pasambangan sering disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri atau
daerah seperti Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain.
4. Penyebaran agama Islam pada tahap awal dilakukan pula oleh dua
orang guru agama islam yang datang di daerah Jawa Barat yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah
Gunung Jati sekarang)
5. Salah satu bukti yang menunjukkan ramainya kegiatan pelayaran di
daerah pelabuhan Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar di bukit Amparan
Jati, suatu tempat tertinggi di dekat pelabuhan itu.
6. Daerah penyebaran Islam yaitu : Cirebon, Sumedang, Tasikmalaya,
Panjalu, Kawasen, Ciamis, Garut,
Majalengka, Kawali, Limbangan, Cangkuang.
DAFTAR
PUSTAKA
Apipudin. Penyebaran Islam di Daerah Galuh. 2010.
Bandung: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
Mansur,Ahmad.Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia.1995.
Bandung: Mizan
Khalil, Ahmad. Islam Jawa. 2008. Yogyakarta: UIN Malang
Press
Syukur, Fatah. Sejarah
Peradaban Islam. 2009. Jakarta: Pustaka Rizki Putra
Sumber : http://sejarahislamdijawabarat.blogspot.com
Label:
Jejak Sejarah