oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Keenam
PERBANDINGAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH
Sebagaimana diuraikan dalam bab-bab
terdahulu, paham Mahdi atau Mahdiisme Syi'ah dan Ahmadiyah tampak jelas
perbedaannya, baik dilihat dari aspek teologi, cara-cara merealisasikan
ide-ide kemahdiannya masing-masing aliran, maupun dari aspek ajarannya.
Seperti diketahui, ide kemahdian ini
bermula dari kekecewaan dan penderitaan kaum Syi'ah yang berkepanjangan.
Mereka selalu dalam tekanan-tekanan politik musuh-musuhnya, sesudah
mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh kembali kekuasaan politik.
Oleh karena itu, mereka selalu mendambakan sosok pimpinan yang
berwibawa, dihormati olehlawan atau kawan dan menjadi penguasa tunggal
di dunia Islam, itulah al-Mahdi.
Dalam masalah ini kaum Syi'ah sepakat,
bahwa al-Mahdi itu harus lahir dari keturunan 'Ali ibn Abi Talib. Namun
mereka berbeda pendapat, apakah ia harus dan keturunan Hasan dan Husain
(dan garis Rasulullah) atau tidak? Tampaknya masing-masing golongan
telah mengangkat tokoh-tokohnya sendiri sebagai al-Mahdi, seperti Syi'ah
Kaisaniyyah. Barangkali cukup menarik, perbedaan antara Mahdiisme
Isma'iliyyah dengan Mahdiisme Isna 'Asyariyyah, yang keduanya mengaku
dari keturunan Husain. Paham kemahdian Isma'iliyyah tampak lebih
realistis daripada paham kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah yang
fantastis, karenanya al-Mahdi belum pernah muncul, bahkan ia tidak
pernah akan muncul untuk selama-lamanya.
Adapun paham kemahdian Ahmadiyah, yang
dimotivasi oleh keinginan untuk mengadakan pembaharuan pemikiran dalam
memahami ajaran Islam, bukan untuk merebut kekuasaan politik. Akan
tetapi, kemunculan al-Mahdi pada aliran ini dipadukan dengan kedatangan
kembali 'Isa al-Masih dan Krishna yang terjelma pada diri Mirza Ghulam
Ahmad. Kemunculan al-Mahdi yang inkarnatif ini, menandakan adanya
pengaruh kehinduan, oleh karena itu, aliran baru tersebut banyak
memunculkan akidah baru yang inovatif, dan tidak ada hubungannya sama
sekali dengan paham kemahdian Syi'ah ataupun lainnya. Oleh karena itu,
mereka menolak paham Mahdi yang person kemahdiannya bukan berasal dari
India, tentunya kaum Syi'ah pun menganggap asing dan menolak munculnya
al-Mahdi di luar keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
A. ASAL MULA LAHIRNYA PAHAM MAHDI
'Akidah Mahdiyyah dalam tradisi Syi'ah
maupun Ahmadiyah merupakan prinsip keyakinan yang mesti dipertahankan.
Menurut aliran-aliran Syi'ah, di akhir zaman nanti pasti akan muncul
seorang tokoh keturunan Ahlul-Bait yang akan menegakkan kejayaan Islam,
memberantas segala bentuk kecurangan, dan mengadakan pemerataan
keadilan. Ia akan memegang kekuasaan tertinggi di dunia Islam dan
menjadi ikutan ummat manusia.
Adapun orang yang pertama kali
meneriakkan sebutan al-Mahdi adalah Sulaiman ibn Surad, yang ditujukan
kepada Husain sewaktu ia terbunuh, dengan mengatakan: "Husain sebagai
al-Mahdi putera al-Mahdi"1 Selanjutnya dijelaskan, bahwa kata 'al-Mahdi'
semula dipahami dalam pengertian bahasa yang artinya, "orang yang
mendapat petunjuk Tuhan." Kemudian kata tersebut diartikan sebagai orang
yang ditunggu-tunggu kemunculannya dengan membawa kesejahteraan dan
kedamaian. Orang yang mula-mula memberi pengertian demikian adalah
Kaisan, bekas budak 'Ali ibn Abi Talib dan sebagai tokoh pendiri aliran
Kaisaniyyah, yang dialamatkan kepada diri Muhammad ibn Hanafiyyah yang
diyakininya sebagai al-Mahdi yang tinggal di bukit Radwa.2 Julukan
al-Mahdl ini mulai tersebar, sejak tahun 66 H, yaitu sesudah
pemerintahan Bani Umayyah gagal mempertahankan sendi-sendi keadilan dan
persamaan. Menurut aliran ini (Syi'ah Kaisaniyyah), Muhammad ibn
al-Hanafiyyah itu adalah al-Mahdi al-Muntazar yang dikenal pula dengan
al-Mahdi ibn al-Wasi. Selanjutnya Donaldson menjelaskan, penggunaan
istilah al-Mahdi itu, lebih 200 tahun sebelum masa pengumpulan
hadis-hadis Nabi, yaitu masa yang cukup untuk kristalisasi pemikiran
tentang al-Mahdi dalam bentuknya yang pasti.3
Sehubungan dengan uraian di atas,
hadis-hadis Mahdiyyah memang melahirkan berbagai pendapat yang
kontroversial di kalangan ummat Islam. Hadis-hadis Mahdiyyah tidak
dimuat dalam Sahih al-Bukhari maupun Sahih al-Muslim, mungkin sekali
karena sanad-sanadnya tidak siqah atau dapat dipercaya, sehingga banyak
para cendekiawan Muslim yang belakangan seperti: Syaikh Muhammad
Darwisy, Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Farid Wajdi, Syaikh Tahir
Jalaluddin, dan A. Hasan dari PERSIS, tidak mau menerimanya sebagai yang
otentik. Akan tetapi sementara ahli-ahli hadis seperti: al-Qurtubi, Ibn
Hajar al'Asqalani, Abul-Husain al-Abiri, Syamsuddin as-Sakhawi,
Jalaluddin as-Suyuti, Ibn Hajar al-Haitami, az-Zarqani, al-Qadi Muhammad
as-Syaukani, al-Qanuji, Abul-Hasan Muhammad as-Sahari, Muhammad
Habibullah as-Syanqiti, dan as-Safarini memandang hadis-hadis Mahdiyyah
sebagai muttawatir. Hanya saja al-Muhaddis Sayyid Ahmad menegaskan,
bahwa tiap-tiap bagian dari hadis-hadis Mahdiyyah itu dengan memandang
sanad-nya, tidak dapat dianggap mutawatir.4)
Terjadinya perbedaan pendapat yang
bertolak belakang, mengenai hadis-hadis Mahdiyyah disebabkan adanya
perbedaan cara menilai keabsahan hadis-hadis tersebut. Pihak yang
menolak keotentikannya, disamping mereka mengadakan analisis obyektif
dengan menggunakan ilmu-ilmu hadls, juga mengadakan analisis sejarah
ummat Islam tentang asal mula terbentuknya paham Mahdi atau Mahdiisme di
kalangan kaum Syi'ah. Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun pun menolak
keotentikan hadis-hadis tersebut, tidak dapat dipercaya riwayatnya.
Seperti 'Asim dan Muhammad ibn Khalid adalah perawi-perawi yang
kontroversial dalam penilaian kaum Muhaddisin.5 Dan masalah Mahdiisme
ini, Ibn Khaldun tampak lebih menonjolkan teori al-'Asabiyyah-nya . Ia
berpendapat, bahwa dakwah Mahdiyyah tidak dapat ditegakkan tanpa
disertai semangat fanatisme yang kuat (al-'Asabiyyah) sehingga Allah
memberikan pertolongan-Nya, sebab tanpa kekuatan dan fanatisme
(idealisme perjuangan) tidak banyak terwujud.6)
Adapun bagi pihak-pihak yang memandang
hadis-hadis Mahdiyyah sebagai otentik, pada umumnya analisis mereka
hanya didasarkan pada satu aspek saja, yaitu ilmu hadis, seperti ilmu
Mustalah Hadis; ilmu Rijalul-Hadis, dan yang semisalnya. Akan tetapi
keotentikannya tidak didukung oleh keobyektifan sejarah, terutama
sejarah kaum Syi'ah. Mereka tidak menyadari siasat kaum Syi'ah yang
selalu mengisukan paham Mahdi dalam perjuangan politiknya, sehingga
dapat membentuk opini masyarakat dengan menyebarluaskan atau mengekspos
hadis-hadis Mahdiyyah. Dengan demikian pengamhnya sangat luas dan
diserap oleh pelbagai sekte dalam Islam. Dan bahkan sementara ahli-ahli
hadis sendiri ada yang menilai keotentikannya, hanya dengan mengukur
banyaknya orang yang meriwayatkan hadis-hadis Mahdiyyah tersebut.
Sebagaimana diketahui, kaum Syi'ah yang berpusat di Irak banyak membuat
hadis-hadis palsu (maudu'), sehingga tidak mustahil di antara
hadis-hadis Mahdiyyah itu adalah ciptaan mereka, mengingat banyak materi
hadisnya yang kontroversial.
Memang tepatlah apa yang dinyatakan oleh
al-Maududi bahwa apabila hadis-hadis Mahdiyyah ini dilihat lebih
cermat, maka akan terdapat dalam sanad-sanad (urut-urutan orang yang
meriwayatkannya), banyak segi yang melemahkan. Diantaranya terdapat
berbagai ikhtilaf (pertentangan) yang jelas tentang materi hadis itu
sendiri. Kedua, partai-partai politik yang terlibat dalam perselisihan
di awal sejarah Islam, mereka berusaha menebarkan hadis-hadis Mahdiyyah
untuk kepentingan dan tujuan politik masing-masing golongan. Sebab,
banyak perawi hadis yang terlibat dalam kegiatan politik praktis saat
itu.7 Selanjutnya pendapat Syaikh Muhammad Darwisy yang dikutip oleh H.
M. Arsyad Talib Lubis, menyatakan bahwa hadis-hadis Mahdiyyah adalah
lemah (da'if) seluruhnya, tak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan
janganlah terperdaya oleh orang yang mengumpulkannya dalam berbagai
tulisan.8
Adapun faktor-faktor yang
melatarbelakangi terbentuknya paham Mahdi, dapat dilihat dari dua aspek
yaitu: Pertama aspek politis dan kedua aspek teologis. Pada aspek
politik bermula dari kegagalan-kegagalan kaum Syi'ah secara beruntun
untuk memperoleh kekuasaan politik. Kekecewaan mereka yang paling dalam,
berawal dari tidak terpilihnya 'Ali ibn Abi Talib sebagas Khalifah
pertama. Kemudian disusul oleh kegagalan politik 'Ali dalam menghadapi
pembelotan Mu'awiyah yang melahirkan tahkim atau arbitrase, sehingga
Khalifah 'Ali menjadi korban kekerasan politik kaum Khawarij, sekalipun
saat itu secara doktrinal Syi'ah belum lahir.
Pemikiran tentang al-Mahdi, semula
bersumber dari aliran Syi'ah, dan terbentuknya pemikiran ini, semenjak
mereka kehilangan kekuasaan politik yang berpindah ke tangan Mu'awiyah,
sesudah terbunuhnya Khalifah 'Ali. Penyerahan kekuasaan oleh Hasan ibn
'Ali kepada Mu'awiyah, kemudian disusul oleh kematian Husain di padang
Karbela, merupakan saat-saat yang mempercepat proses terbentuknya
pemikiran tersebut.
Apabila kematian 'Ali merupakan awal
lahirnya paham Syi'ah yang secara doktrinal ditandai oleh tuntutan
mereka akan hak legitimasi kekhalifahan pada keturunan Ahlul-Bait, maka
kematian Husain, bagi kaum Syi'ah merupakan awal lahirnya istilah
al-Mahdi, sekalipun masih dalam pengertian bahasa. Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah tersebut berubah menjadi paham Mahdi al-Muntazar,
setelah term al-Mahdi tadi, dihubungkan dengan 'aqidah ar-raj'ah, dan
paham Mahdi tersebut dipelopori oleh golongan Syi'ah Kaisaniyyah,
sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah wafat. Rupanya paham Mahdi ini
semula, oleh sementara pemimpin Syi'ah Isna 'Asyariyyah, terutama
sesudah Muhammad ibn Hasan al-'Askari dinyatakan hilang secara
misterius, dijadikan cara untuk mengalihkan perhatian para pengikutnya
yang mulai kehilangan semangat dan daya juang mereka, disamping
eksistensi sekte ini mulai terancam perpecahan yang serius. Kemudian
dimitoskanlah seorang tokoh yang akan membawa kemenangan dan
kesejahteraan dengan sebutan al-Mahdi yang ditunggu-tunggu, guna
menghimpun kembali potensi mereka. Dalam hubungan ini Ahmad Amin
menjelaskan, bahwa para pemimpin gerakan Syi'ah yang berpandangan jauh,
menganggap kekecewaan politik tersebut merupakan faktor penyebab
keputusasaan, dan faktor ini dikhawatirkan akan menjadi penyakit yang
meracuni jiwa kaum Syi'ah. Mereka berusaha membesarkan hati kaumnya
dengan ide akan kembalinya kepemimpinan mereka, yang akan menghancurkan
kekuasaan Bani Umayyah. Untuk meyakinkan kaumnya, ide tersebut harus
bercorak keagamaan. Sebelum terbentuknya paham al-Mahdi al-Muntazar,
demikian Ahmad Amin, mula-mula mereka gunakan istilah al-Hukumah
al-Muntazirah (pemerintahan Syi'ah yang ditunggu-tunggu), kemudian isu
ini berubah menjadi al-Hakim al-Muntazar atau penguasa (Syi'ah) yang
ditunggu-tunggu. Akhirnya, isu kedua ini berkembang dan berubah menjadi
al-Mahdi al-Muntazar.9)
Dalam merealisasikan ide Mahdiisme, kaum
Syi'ah menempuh dua cara yang berbeda. Di satu pihak, kaum Syi'ah ingin
merealisasikannya dalam bentuk perjuangan politik nyata, seperti
'Abdullah yang mengaku sebagai Mahdi dari Syi'ah Isma'iliyyah. Akan
tetapi, di lain pihak ada beberapa sekte Syi'ah, sengaja tidak ingin
mewujudkan tokoh Mahdi sebagai realita, tapi hanya sebagai mitos seperti
yang diyakini oleh golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dan sekte-sekte
Syi'ah lainnya. Oleh karena itu sekte ini tetap mempertahankan konsep
al-Mahdi al-Muntazar. Tampaknya konsep keimanan Syi'ah itu memberi
kesan, semakin imam itu gaib, semakin ma'sum-lah imam itu. Dan
kema'suman itulah yang mendorong pengikut Syi'ah memberi kedudukan
istimewa atau otoritas yang tinggi kepada seorang imam.
Tampaknya konsep akidah Mahdiyyah bagi
pengikut Syi'ah Dua belas, bermula dari kevakuman imam sesudah Imam
ke11, yaitu Hasan al-'Askari. Munculnya sekte baru, yaitu aliran
Ja'fariyyah yang dipimpin oleh Ja'far saudara Imam Hasan al'Askari,
benar-benar dipandang oleh golongan Syi'ah Dua belas sebagai ancaman
yang berbahaya. Sebab sekte baru tersebut, berkeyakinan bahwa keimaman
bagi mereka masih terbuka lebar. Di sisi lain, rupanya Syi'ah Dua belas
ingin menyatukan sub-sub sekte lain dari jalur Musa al-Kazim yang telah
bercerai-berai.
Untuk mencapai maksud tersebut, kemudian
oleh pakar-pakar sekte ini, diciptalah teori tentang "imam yang gaib"
dengan al-Mahdi sebagai tokohnya, putera Hasan al-'Askari sebagai Imam
ke-12, atau yang terakhir belum ada keterangan yang jelas. Dalam masalah
ini, sebagai yang dikutip oleh Montgomery Watt dari pendapat
an-Nubukhtiy, tentang ada atau tidaknya putera Hasan al-'Askari, memang
ada tiga pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa Imam
ke-11 ini, tidak mempunyai anak laki-laki. Pendapat kedua menyatakan,
bahwa ia mempunyai anak laki-laki tetapi, ia wafat sewaktu berusia dua
tahun, sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa ia wafat sewaktu
dilahirkan.10)
Ketidakjelasan pengikut Syi'ah Isna
'Asyariyyah tentang keberadaan imam mereka yang kedua belas, mungkin
sekali dimanfaatkan oleh kaum politisinya yang lihai untuk mencipta
mitos al-Mahdi al-Muntazar. Dengan mitos tersebut kaum politisi aliran
ini, dapat mempertahankan loyalitas pengikut Hasan al'Askari kepada imam
penggantinya yang selalu gaib itu.
Dalam kaitan ini, Montgomery Watt
menjelaskan bahwa teori keimaman (imam duabelas) merupakan sebuah
interpretasi dari berbagai peristiwa yang telah diseleksi dan dengan
sengaja dicipta oleh kaum politisi Syi'ah untuk mencapai tujuan akhir
mereka. Seorang yang paling bertanggung jawab terhadap formulasi teori
ini dan yang mempertahankannya secara intelektual serta menentang
pikiran-pikiran lainnya adalah Abu Sahl an-Naubakhti yang meninggal
tahun 913.11) Dengan demikian, munculnya teori keimaman yang gaib
terakhir ini, dengan tokohnya yang menghilang secara misterius, yang
dikenal dengan sebutan al-Mahdi al-Muntazar adalah akibat krisis
keimaman di kalangan Syi'ah Dua belas. Untuk menjaga keutuhan eksistensi
dan loyalitas para pengikutnya, maka diciptalah teori tersebut, sebagai
suatu idealisme perjuangan politik mereka.
Selanjutnya, faktor-faktor penyebab
terbentuknya paham al-Mahdi atau Mahdiisme ini, pada dasarnya ada dua
faktor penyebabnya yang sangat erat hubungannya satu sama lain, Pertama
adalah faktor intern. Sebagaimana uraian di atas, kaum Syi'ah mengalami
kekecewaan dan penderitaan yang bertubi-tubi, dan banyak imam mereka
yang menjadi korban kekerasan lawan-lawan politiknya. Keadaan ini
mendorong kaum Syi'ah lebih terbuka terhadap masuknya pikiran-pikiran
non-Islam, karena mereka ingin mendapat dukungan politik di masyarakat
luas, yang sebagian besar anggotanya belum dapat meninggalkan keyakinan
lama mereka. Dan sebagai akibatnya lahir keyakinan baru yang inovatif
yang dicipta oleh orang yang berpura-pura mencintai Ahlul-Bait.
Keputusasaan kaum Syi'ah yang
diakibatkan oleh kekalahan politik dan penganiayaan yang berulang-ulang
mendorong mereka menjadi gerakan bawah tanah dan siap menerima berbagai
macam ide.12 Sikap keterbukaan aliran ini hampir dapat dipastikan
merupakan faktor utama timbulnya berbagai doktrin isoteris, dan salah
satunya adalah ajaran Mahdiisme.
Selain itu, kisah-kisah dalam al-Quran
seperti kisah 'Uzair dan Ashab al-Kahfi, demikian pula dalam kitab-kitab
hadis tentang akan turunnya kembali 'Isa ibn Maryarn ke dunia di akhir
zaman, sering dijadikan sebagai landasan 'aqidah ar-raj'ah yang kemudian
diformulasikan sebagai doktrin Mahdiisme. Disamping itu, usaha-usaha
penyebaran hadis-hadis Mahdiyyah oleh orang yang tidak bertanggung
jawab, dibiarkan saja oleh tokoh-tokoh Syi'ah, Umayyah dan 'Abbasiyyah
yang mengetahuinya. Karena masing-masing pihak merasa mendapat
keuntungan darinya Sikap masa bodoh terhadap orang-orang yang membuat
hadis Mahdiyyah ini, oleh Ahmad Amin diistilahkan sebagai persekongkolan
yang keji yang dapat merusak pikiran orang banyak.13) Kelompok Islam
tertentu yang tidak berkepentingan dengan hadis-hadis Mahdiyyah,
ternyata mengingkari paham Mahdi dan 'aqidah ar-raj'ah seperti: Golongan
Muktazilah, Khawarij, dan Syi'ah Zaidiyyah.
Tidak kalah hebatnya pengaruh dan
peranan sementara kaum Sufi14) yang telah menyerap paham Mahdi dan
memasukkannya ke dalam doktrin esoteris serta mereka gubah dalam bentuk
syair, dan pada golongan awam yang telah mereka tenggelamkan kedalam
kehidupan penuh khayalan sehingga dapat merusak akidah dan menjadikan
mereka statis dalam menghadapi kenyataan hidup, apa lagi dalam
menegakkan hukum dan kebenaran. Oleh sebab itu, Fazlur Rahman menegaskan
bahwa sebenarnya paham Mahdi di kalangan Islam Sunni, pada dasarnya
adalah bersumber pada doktrin Imamah Syi'ah yang didesakkan oleh kaum
Sufisme.15 Dengan demikian, tidaklah mustahil paham kemahdian Islam
Sunni ini bermula lewat hadis-hadis Mahdiyyah yang diriwayatkan oleh
golongan Sunni sendiri yang kurang selektif terhadap perkembangan
sejarah perjuangan politik kaum Syi'ah di satu pihak, dan kegiatan kaum
Sufi di pihak lain, dalam memasyarakatkan paham Mahdiyyah tersebut.
Kedua, adalah faktor ekstern. Sikap
keterbukaan kaum Syi'ah menerima ide-ide dan keyakinan non-Islam, sangat
memudahkan penetrasi akidah atau kepercayaan mesianistis dan
millenaristis yang bersumber dari pengikut-pengikut ajaran Yahudi dan
Nasrani, lewat tokoh-tokohnya yang berpura-pura mencintai Ahlul-Bait.
Sebagaimana diketahui, keyakinan seperti
disebut terakhir ini, sudah muncul dan berkembang sejak ribuan tahun
sebelum Masehi, terutama di kalangan masyarakat Yahudi, sesudah kerajaan
mereka dihancurkan oleh bangsa lain. Kemudian mereka menginginkan
kembalinya kejayaan mereka, melalui seorang Juru Selamat atau Mesiah.16)
Tokoh ini, menurutkepercayaan mereka ada pula yang berkeyakinan, bahwa
dia akan muncul secara supernatural dari seorang wanita. Akan tetapi,
sesudah Nabi 'Isa dilahirkan dan terutama sesudah dia diangkat menjadi
nabi, banyak kaumnya mengharap agar dia bisa memainkan peranan sebagai
al-Masih untuk membebaskan mereka dari penindasan bangsa lain, kalau
perlu dengan kekerasan. Akan tetapi, Nabi 'Isa menolak, sebab tugasnya
adalah menyelamatkan domba-domba Israil dari kemerosotan rohaniah.17)
Keyakinan tentang akan kembalinya orang
yang telah mati ('aqidah ar-raj'ah), dalam kaitan ini Ahmad Amin
menyebutkan bahwa keyakinan tersebut, mula-mula dihembuskan oleh Ibn
Saba' di tengah-tengah ummat Islam, sewaktu Khalifah 'Ali terbunuh,
dengan kelihaiannya ia dapat menarik simpati ummat Islam yang masih
awam, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali
seribu kali kepada kami, kami tidak akan membenarkan kematiannya. Dia
tidak akan mati sehingga ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana
dipenuhinya bumi ini oleh kecurangan."18)
Bagian akhir dari pernyataan tersebut,
kalimatnya sama dengan sebagian besar teks hadis-hadis Mahdiyyah.
Kalimat di atas, mengisyaratkan kepada kita, perlu diragukannya
keotentikan hadis-hadis Mahdiyyah yang senada dengan pernyataan Ibn
Saba' di atas. Akan tetapi, justru hadis-hadis Mahdiyyah semacam itu,
sering dijadikan dalil oleh sementara ummat Islam untuk membenarkan
mitos al-Mahdi sang Juru Selamat.
Berbeda dengan terbentuknya paham
kemahdian Ahmadiyah, Mahdiisme Ahmadiyah ini, bermula dari penemuan
Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di sebuah desa bernama Mohalla
Khan Yar, di kota Srinagar, Kashmir. Makam itu diyakininya sebagai
makam Nabi 'Isa, oleh karenanya Abu Zahrah menyatakan:
"Dan sungguh Ghulam Ahmad ini, sesudah
ia menemukan sebuah kuburan di Srinagar dekat Kashmir ... Dan sungguh ia
telah mengarahkan (kegiatannya) mengajak kepada agama baru ..."
Selanjutnya dinyatakan: "... sungguh
dengan ditemukannya kuburan al-Masih ini, ruh dan kekuatan al-Masih
melebur kedalam dirinya, dan mengaku bahwa dirinya adalah al-Mahdi
al-Muntazar..."19)
Reinkarnasi yang bersumber dari ajaran Hindu
yang diambil alih oleh beberapa sekte Syi'ah ekstrem, tampaknya juga
mewarnai akidah Mahdiyyah di kalangan Ahmadiyah. Selain itu,
interpretasi kaum Sufi tentang keberadaan al-Mahdi, mengisyaratkan akan
lahirnya seorang tokoh pembaharu untuk menegakkan hukum-hukum agama dan
kebenaran demikian Ibn Khaldun,20 juga mewarnai paham Mahdi Ahmadiyah.
Kiranya memang agak sulit untuk dikatakan, bahwa paham Ahmadiyah itu,
dipengaruhi oleh aliran tertentu dalam Islam atau yang non-Islam, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, jika dilihat dari
unsurnya yang beragam, tampaknya paham kemahdian aliran ini, lebih
menunjukkan paham kemahdian yang sinkretis.
Dari uraian di atas, kiranya dapat
disimpulkan bahwa kepercayaan yang bersifat Mesianistis atau
Millenaristis, tampaknya sudah muncul sejak lama dan pemunculannya
kembali ditengah-tengah masyarakat yang tertindas akibat kezaliman
penguasa, mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Gejala umum yang tampak,
yaitu diawali dengan munculnya protes-protes sosial yang dibarengi
dengan harapan-harapan akan datangnya seorang tokoh legendaris yang akan
membawa kesejahteraan dan ketenteraman dalam Islam, tokoh tersebut
dikenal dengan Imam Mahdi, Messiah dalam agama Nasrani danYahudi, Ratu
Adil dalam budaya Jawa, dan Uri di kalangan orang primitif di Irian.
Atas dasar kenyataan sejarah seperti di atas, rupanya para cendekiawan
Muslim yang berwawasan luas sulit menerima paham Mahdi yang bersifat
eskatologis ini.
Sebagaimana telah diuraikan dalam
bab-bab terdahulu, kiranya dapat dibedakan secara jelas antara gerakan
Mahdi Syi'ah dengan gerakan Mahdi Ahmadiyah. Apabila gerakan Mahdi
Syi'ah berangkat dari keinginan untuk mengangkat derajat rakyat
tertindas dan membawanya pada kondisi yang lebih baik, sebagai akibat
kezaliman dan kecurangan penguasa, maka jalan yang ingin ditempuhnya
adalah dengan merebut kekuasaan politik, atau dengan jalan kekerasan.
Dengan kekuatan dan kekuasaanlah al-Mahdi akan memberantas segala macam
kecurangan dan ketidakadilan. Dengan demikian, jalan yang ditempuhnya
dalam merealisasikan ide kemahdiannya adalah dengan jalan melalui dari
atas, dan di sini al-Mahdi dilambangkan dengan al-Qa'im (yang bangkit
untuk menumpas pemerintahan yang zalim).
Adapun gerakan Ma'ndi Ahmadiyah yang
bertolak dari keinginan untuk membangun ummat yang telah rusak dan
terbelakang, dan ingin mengembalikan Islam dan ummat pemeluknya pada
kejayaaannya, maka dalam hal ini, al-Mahdi berkeyakinan, bahwa ummat
Islam harus dapat memahami Islam secara aktual. Untuk itu, mereka harus
menerima pembaharuan yang dimajukan oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai
tokoh al-Mahdi dan sekaligus sebagai al-Masih. Menurut pendapatnya,
Islam dan ummat Islam akan maju, apabila mereka mau melaksanakan ajaran
yang diterimanya dari Tuhan yang berupa ilham atau yang dikenal dengan
wahyu walayah guna melaksanakan ajaran al-Quran sesuai dengan tuntutan
zamannya. Oleh karena itu, al-Mahdi al-Ma'hud yang mengaku juga sebagai
al-Masih dan Krishna, ingin menghimpun pemeluk-pemeluk agama Nasrani dan
Hindu ke dalam Islam tanpa menggunakan kekerasan. Dengan demikian,
jalan yang ditempuh oleh gerakan Mahdi Ahmadiyah ini adalah dengan
menempuh jalan dari bawah, yaitu dengan mengefektifkan dakwah Islam,
terutama lewat tulisan-tulisan, untuk menunjukkan kebenaran Islam
terhadap pandangan mereka non-Muslim yang keliru. Oleh karena itu,
al-Mahdi berusaha sebagai pendamai di antara ummat yang berselisih, di
sinilah ia dilambangkan sebagai Hakim Pengislah (Juru pendamai di antara
pihak-pihak yang sedang berselisih).
B. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN PAHAM MAHDI AHMADIYAH
Pada umumnya keyakinanterhadap al-Mahdi
mulai terbentuk sesudah pemimpin Syi'ah yang dicintai oleh pengikutnya
itu wafat, sejak dari Mahdiisme Kaisaniyyah sampai Mahdiisme Syi'ah Isna
'Asyariyyah. Krisis kepemimpinan Syi'ah selalu dibarengi dengan
usaha-usaha untuk mempertahankan kebenaran kelompoknya dengan memasukkan
doktrin 'aqidah ar-raj'ah, masalah gaibah dan Mahdiyyah kepada para
pengikutnya, kemudian diikuti dengan membuat hadis-hadis tentang
al-Mahdi.
Demikian juga keadaan ummat Islam India
yang sedang dalam penderitaan, dibawah tekanan pernerintah kolonial
Inggris, tentunya mereka juga mengharapkan munculnya seorang tokoh
pimpinan yang dapat melepaskan mereka dari berbagai penderitaan.
Terutama sekali sesudah pemerintah Inggris di India mengucilkan ummat
Islam di satu pihak, dan menganak-emaskan ummat Hindu di pihak lain,
seperti sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap golongan Muslim di
Indonesia,dengan menganak-emaskan golongan Cina dan kaum Nasrani, pada
masa sebelum kemerdekaan.
Apabila di tengah-tengah memuncaknya
penderitaan masyarakat Muslim India yang tertindas seperti yang dialami
oleh ummat Islam di Indonesia, kemudian timbul pemberontakan melawan
pemerintah kolonial, namun akhirnya dapat ditumpas, maka dalam situasi
yang demikian itu, lalu muncul seorang tokoh baru yang mengaku sebagai
al-Masih al-Mau'ud dan al-Mahdi al-Ma'hud adalah merupakan gejala umum
munculnya ide Mahdiisme di kalangan masyarakat Muslim. Akan tetapi perlu
diketahui, munculnya gerakan Mahdiisme di India ini, berbeda dengan
gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial, baik
yang muncul di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun di Jawa Timur yang
dipelopori oleh ummat Islam, dikenal pula dengan sebuah gerakan Mahdi,
namun gerakan Mahdi di Jawa lebih mirip dengan gerakan Mahdi Syi'ah.
Sekalipun demikian, gejala-gejala yang muncul di permukaan, seperti
adanya kepercayaan terhadap tokoh karismatis yang dijanjikan,
kekeramatan atau keajaiban, pengakuan sebagai Wali Allah, pengakuan
(seorang tokohnya) telah menerima wahyu atau wangsit (pesan) dari tokoh
yang supematural dan masih gaib, kemudian disusul dengan munculnya
seorang yang mengaku atau ditokohkan sebagai al-Mahdi atau Ratu Adil,
untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
gerakan Mahdi dan seumpamanya, adalah melupakan modus suatu masyarakat
tertindas dan belum maju serta mengalami perubahan sosial yang drastis,
guna menuntut perbaikan nasib mereka, atau sebagai protes sosial tehadap
penguasa yang zalim, dan keadaan seperti ini, selalu terjadi dalam
siklus sejarah ummat manusia. Biasanya gerakan Mahdiisme ini, selalu
ditandai dengan protes-protes sosial yang bersifat keagamaan dan sering
menjurus ke arah radikalisme. Kadang-kadang gerakannya bersifat
nativistis, dan di saat yang lain, ia lebih bersifat millenaristis,
bahkan kadangkadang lebih bersifat messianistis.
Adapun persamaan dan perbedaan antara
paham Mahdi Syi'ah dengan paham Mahdi Ahmadiyah ialah bahwa kedua aliran
ini telah menjadikan paham Mahdi sebagai keyakinan prinsip mereka.
Hanya saja bagi golongan Ahmadiyah dan Syi'ah Isma'iliyyah, kemunculan
tokoh al-Mahdi telah menjadi kenyataan sejarah Bedanya kalau idealisme
kemahdian Syi'ah Isma'iliyah telah berakhir dengan wafatnya 'Abdullah
al-Mahdi, maka lain halnya dengan idealisme kemahdian golongan Ahmadiyah
yang terus hidup dan berkembang, karena ide pembaharuan yang
dicanangkan oleh Mirza Ghul-am Ahmad belum tercapai. Idealisme
Ahmadiyah, tampak lebih realistis bila dibandingkan dengan idealisme
kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dimana keinginan untuk mewujudkan
cita-cita golongan terakhir ini menunggu al-Mahdi al-Muntazar, adalah
merupakan idealisme yang fantastis. Sekalipun demikian, semangat
Mahdiisme di kalangan pengikut Syi'ah Dua belas ini, lebih lama bertahan
daripada semangat Mahdiisme Syi'ah yang lain.
Adapun persamaan landasan tersebut,
tampaknya kedua aliran ini, sama-sama menggunakan al-Quran dan hadis
sebagai dasar aqidah Mahdiyyah masing-masing, sekalipun al-Quran sendiri
secara eksplisit tidak pernah menyinggung masalah kemahdian. Akan
tetapi, bagi kaum Syi'ah, menunggu kehadiran al-Mahdi merupakan
keyakinan pokok, dan untuk menguatkan keyakinannya, mereka mencipta nama
julukan untuk al-Mahdi, seperti kata al-qa'im, yang terdapat di dalam
al-Quran. Oleh karena itu, al-Kulaini menafsirkan kata al-qa'im dalam
Surah ar-Ra'd: 33,) sebagai al-Mahdi.
"Apakah Tuhan yangmenjaga setiap diri (al-Qa'im) terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?"
Kata al-qa'im di atas, diinterpretasikan
sebagai al-Mahdi, demikian menurut paham Syi'ah.21 Tentunya penafsiran
tersebut, dikuatkan pula oleh hadis-hadis Mahdiyyah versi Syi'ah yang
berupa fatwa-fatwa para Imam Syi'ah.
Bagi kaum Syi'ah, sekalipun mereka
mensejajarkan kehebatan Imam Mahdi dengan kehebatan nabi, namun umumnya
mereka secara tegas tidak memandang al-Mahdi sebagai nabi, berbeda
dengan golongan Ahmadiyah, khususnya sekte Qadiani, mereka berkeyakinan
bahwa al-Mahdi adalah nabi yang tidak mandiri (gair mustaqil). Oleh
karena al-Mahdi adalah al-Masih, dan
al-Masih adalah nabi yang
mengejawantah pada diri Mirza Ghulam Ahmad, maka untuk menguatkan
keyakinan ini, mereka menafsirkan kata [kata-kata Arab] dalam surah
as-Saf: 6, sebagai al-Mahdi.
"Dan (ingatlah) ketika'Isa ibn Maryam
berkata, "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu, membenarkan kitab (yang diturunkan) sebelumku, yaitu Taurat
dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan
datang sesudahku namanya Ahmad."
Sekte Qadiani berpendapat bahwa dalam
ayat ini, nama Ahmad diperuntukkan kepada Mirza Ghulam Ahmad, karena dia
sama dengan Nabi Isa a.s., dalam sifat-sifatnya, sedangkan Nabi
Muhammad SAW., sifat dan pola perjuangannya sama dengan Nabi Musa a.s.22
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sekte Lahore, bahwa nama Ahmad
dalam ayat tersebut, adalah untuk diri Nabi Muhammad, sesuai dengan
tafsiran para sahabat dan tafsiran Mirza Ghulam Ahrnad sendiri.23
Selanjutnya tentang hadis-hadis yang mereka pergunakan sebagai dalil
untuk menguatkan pendirian mereka, umumnya adalah hadis-hadis yang
terdapat pada kitab-kitab Sunan sebagaimana yang digunakan oleh kaum
Sunni. Sekalipun demikian, mereka tidak memakai hadis-hadis Mahdiyyah
Ahmadiyah, tidak bisa menerima al-Mahdi keturunan Arab. Akan tetapi,
yang mereka yakini adalah Mahdi keturunan Persia dan tidak ada
hubungannya dengan Ahlul-Bait.
Barangkali perlu ditambahkan bahwa
kedudukan al-Mahdi dalam pandangan Syi'ah, lebih tinggi daripada
kedudukan 'Isa al-Masih yang diturunkan kembali ke dunia, dimana
al-Mahdi tampil sebagai imam salat, sedangkan al-Masih sebagai
ma'mumnya, mengakui semua imam-imam Syi'ah, dan mengingkari al-Mahdi,
demikian menurut keyakinan mereka, ibarat orang yang mengakui semua nabi
dan mengingkari Nabi Muhammad.24)
C. CORAK KEMAHDIAN SYI'AH DAN AHMADIYAH
Adapun corak kemahdian Syi'ah atau
Ahmadiyah, kiranya dapat dilihat dari aspek, bagaimana kedua aliran
tersebut merealisasikan ide kemahdian masing-masing. Sebagaimana
diketahui bahwa ide kemahdian Syi'ah lebih bersifat politis. Ini memang
dapat dimaklumi, karena kaum Syi'ah sejak awal pertumbuhan dan
perkembangannya selalu mendapat tekanan dan intimidasi dari lawan-lawan
politiknya. Sehingga keinginan balas dendam tampak lebih mewamai ide
kemahdiannya, dan mendorong aliran ini menjadi gerakan bawah tanah yang
agresif untuk merebut pemerintahan. Karena itu, figur al-Mahdi yang
mereka dambakan dijulukinya dengan sebutan al-Qa'im. Selanjutnya
al-Mahdi dilambangkan sebagai penguasa tunggal di dunia Islam.
Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah yang
masih berkembang di Iran sampai saat ini, lebih banyak dipengaruhi oleh
unsur kedengkian dan dendam bangsa Iran terhadap bangsa Arab, sehingga
kehadiran al-Mahdi al-Muntazar melambangkan kekuasaan otoriter. Dan
sebagai penguasa, al-Mahdi akan membantai semua orang Arab Quraisy,
demikian menurut riwayat ahli-ahli hadis Syi'ah.25 Gambaran kepemimpinan
Mahdiisme Syi'ah Dua belas, barangkali dapat dikatakan sebagai yang
tercermin pada kepemimpinan Ayatullah Khumaini dalam menghadapi
lawan-lawan politiknya.
Selanjutnya kaum Syi'ah berkeyakinan
bahwa al-Mahdi akan membangkitkan mereka (musuh-musuh) yang telah mati
demikian pula dengan sahabat-sahabat Nabi untuk diadili dan dibunuhnya.
Ditambahkan pula bahwa al-Mahdi membawa kitab baru dan mengajak manusia
kepada perkara baru, sebagaimana riwayat al-Majlisi yang menjelaskan
bahwa al-Mahdi akan menempuh cara baru sebagai yang ditempuh oleh
Rasulullah. Yaitu dia akan menghancurkan apa (tatanan) yang telah ada
sebelumnya (yang telah rusak) dan digantikan dengan ajaran baru yang
dibawanya.
Berbeda dengan corak kemahdian
Ahmadiyah, yang di dalamnya, al-Mahdi tidak dipandang sebagai al-Qa'im
tetapi sebagai Hakim Pengislah atau sebagai "Juru Damai." Menurut
keyakinan aliran ini, al-Mahdi mempunyai tugas untuk mempersatukan
kembali perpecahan ummat Islam, baik di bidang akidah maupun syariah.
Sehingga mereka bersatu kembali sebagaimana di zaman Nabi SAW. Selain
itu, al-Mahdi ingin menyatukan semua agama, terutama agama Nasrani dan
Hindu, melebur ke dalam agama Islam. Gerakan Mahdiisme yang bermotif
tajdid atau pembaharuan ini, beranggapan bahwa kehadiran al-Masih yang
Islami, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, pada saat yang tepat. Yakni kondisi
ummat Islam saat itu terpecah belah, bersikap taqlid buta pada pendapat
ulama, suka menjelek-jelekkan golongan lain, dan para ulamanya
mementingkan keduniaan.
Kondisi ummat yang demikian, menurut
paham Mahdi Ahmadiyah ini, diperlukan adanya wahyu muhaddas oleh seorang
Mujaddid guna membersihkan agama dari berbagai bentuk kebid'ahan dan
penyelewengan. Kedua, agar dapat menangkap makna al-Quran dan
menafsirkannya sesuai dengan perkembangan zamannya.
Ketiga, guna memberi contoh cara-cara
hidup Muslim yang sejati, dan cara-cara memperjuangkan Islam yang
relevan dengan tuntutan masanya. Oleh sebab itu, gerakan Mahdiisme
Ahmadiyah dalam merealisasikan ide kemahdiannya, menuju pada tujuan yang
dicita-citakan adalah dengan jalan damai tanpa kekerasan. Cara ini
menurut mereka, adalah cocok dengan sifat dan cara yang ditempuh oleh
'Isa al-Masih dalam menyampaikan dakwahnya kepada Bani Israil. Menurut
paham aliran ini, menyebarkan kebenaran Islam dan paham kemahdiannya
dengan menggunakan argumen-argumen rasional dan fakta-fakta sejarah yang
obyektif, bila dibandingkan dengan cara-cara kekerasan dan berperang
atau jihad asgar, cara terakhir ini, dianggap tidak sesuai dengan sifat
Islam itu sendiri, yang merupakan rahmatan lil-Alamin (rahmat bagi
seluruh alam).
Dengan demikian, corak kemahdian Syi'ah
pada umumnya adalah aktif yang agresif dan bersifat politiko-religious,
sedangkan corak kemahdian Ahmadiyah adalah aktif yang defensif dan
bersifat sosio-religious.
D. PAHAM MAHDI DAN MASALAH AKIDAH
Sebagaimana diketahui dalam uraian di
atas, paham Mahdi atau Mahdiisme bagi golongan Syi'ah maupun Ahmadiyah,
dipandang sebagai keyakinan yang prinsip, sehingga ia merupakan ajaran
yang harus dipertahankan dan diperjuangkan keberadaannya. Akan tetapi,
apabila paham ini dikaitkan dengan akidah Islam, maka ia bukan merupakan
salah satu rukun iman yang wajib diyakini dan diikuti oleh setiap
Muslim. Oleh karena paham ini tidak ada hubungannya serta tidak ada
dasarnya dalam al-Quran atau dasar otentiknya.
Gerakan millenarium atau gerakan messiah
yang diwarnai dengan [kata-kata Arab], yang dikenal oleh masyarakat
Islam sebagai gerakan al-Mahdi, pada dasarnya dipengaruhi oleh
unsur-unsur ajaran Yahudi dan terutama oleh ajaran Nasrani.
Gerakan
yang serupa, yang pernah juga terjadi di luar kelompok Islam seperti:
Gerakan Mwana Leza, di kalangan masyarakat Ila di Rhodesia Utara,
gerakan orang-orang Cina Taiping (1850-1865) yang dimotori oleh Hung
Siu-chuan, gerakan millenarium di kalangan masyarakat Munda dan Oraon
dari Chota Nagpur di India. Demikian pula gerakan Taborite dari Bohemia,
Thomas Munzer dan gerakan Pemerintahan Orang Suci di Munster,
membuktikan betapa besarnya pengaruh ajaran Nasrani pada gerakan-gerakan
tersebut.26)
Sehubungan dengan masuknya pengaruh
ajaran Yahudi maupun Nasrani yang mewarnai gerakan-gerakan yang
milleniaristis dan Mesianistis dalam siklus sejarah ummat manusia, apa
lagi dalam hadis-hadis Mahdiyyah yang dijadikan pegangan oleh kaum
Syi'ah, redaksinya mirip dengan ucapan Ibn Saba' (sewaktu 'Ali ibn Abi
Talib wafat) pada halaman 93 di atas. Sedangkan hadis Mahdiyyah yang
dipegangi oleh kaum Ahmadiyah, seperti pada halaman 50, perawinya
menurut penilaian ahli-ahli hadis sendiri adalah lemah, sehingga Ibn
Khaldun menyimpulkan bahwa hadis tersebut adalah da'if mudtarib27)
(lemah lagi kacau sanad atau matannya). Dengan demikian, hadis-hadis
Mahdiyyah adalah tidak otentik, oleh sebab itu, tidak bisa dijadikan
landasan atau dasar dalam masalah akidah. Sementara kaum Mutakallimin
(para teolog Muslim) membuat suatu komitmen bahwa dasar akidah haruslah
dasar yang qat'i (pasti kebenarannya) seperti ayat alQuran atau hadis
mutawatir.
'Akidah Mahdiyyah yang muncul di
kalangan Syi'ah Kaisaniyah, sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyah wafat,
untuk pertama kalinya sampai dewasa ini, rupanya merupakan salah satu
sumber utama lahirnya bid'ah 'aqidah. Sebagaimana dimaklumi, akidah
Mahdiyyah bagi kaum Syl'ah, tidak bisa lepas hubungannya dengan masalah
kekhalifahan dan keimaman.
Demikian pula bagi golongan Ahmadiyah,
akidah tersebut erat hubungannya dengan masalah kewalian, kemuhaddasan,
atau kemujaddidan. Sekalipun demikian, keduanya terdapat
kemiripan-kemiripan akidah terutama pada masalah kenabian dan kewahyuan.
Dalam keyakinan Syi'ah, menunjukkan
bahwa keberadaan imam sebagai khalifah atau missi kerasulan atau
kenabian Muhammad SAW, adalah mutlak diperlukan oleh ummat manusia
sepanjang zaman. Bagi mereka, seorang imam dipandang sebagai gudang ilmu
Tuhan, sebagai penterjemah wahyu-Nya, sebagai hujjah nyata bagi ummat
manusia, dan ia juga merupakan cahaya Allah yang menerangi hati mereka.
Karena itu, scorang imam juga memperoleh wahyu dari Tuhan. Golongan ini
-khususnya Syi'ah Isna 'Asyariyyah- juga mempunyai paham bahwa kenabian
itu tidak terhenti sampai pada Nabi Muhammad saja, tetapi kenabian itu
tetap berlangsung pada 'Ali dan keturunannya. Hanya saja status
kenabiannya tidak dinyatakan secara eksplisitt dan sebagai ganti istilah
kenabian itu, mereka gunakan term-term al-Wasi, al-Mahdi, atau al-Imam.
Paham seperti ini, demikian Ihsan Ilahi
Zahir menjelaskan, adalah diserap dari pemikiran Yahudi yang memandang
Yusa' ibn Nun sebagai penerima wasiat atau kekhalifahan dari Nabi
Muhammad SAW guna mempertahankan kejayaan Islam dan ummat Islam.28)
Paham Syi'ah ini senada dengan paham
Ahmadiyah terutama sekali dari sekte Qadian yang secara tegas memandang
Mirza sebagai nabi dengan menggunakan istilah Nabi Gair Mustaqil atau
Gair Tasyri'i. Berbeda dengan sekte Lahore yang lebih moderat dan lebih
dekat dengan Ahlu Sunnah, dalam rumusan akidahnya, mereka menunjukkan
bahwa sekte ini berkeyakinan, tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad
dan diakuinya bahwa kepercayaan mereka terhadap Mirza, hanya sebagai
Mujaddid. Dan kepercayaan terhadapnya pun tidak termasuk rukun iman, dan
kepada Muslim lain yang tidak mempercayainya, juga tidak dianggap
kafir. Dia (al-Mahdi al-Ma'hud) adalah Mujaddid, Wali Allah, atau
sebagai Muhaddas. Namun demikian, sekte terakhir ini masih menyebutnya
sebagai Nabi Gair Tasyri'i atau Gair Haqiqi, selain itu, mereka juga
masih menggunakan term wahyu taydid, wahyu walayah, atau wahyu muhaddas.
Apabilia dalam paham Mahdi Syi'ah yang
didasarkan pada 'aqidah ar-raj'ah, melahirkan teori tentang Mandataris
Imam, maka dalam paham Mahdi Ahmadiyah tampaknya bersumber dari teori
al-Bab. Selain itu, jika paham Mahdi Syi'ah menunjukkan rasa permusuhan
dan kedengkian sesama Muslim, maka dalam paham Ahmadiyah, menunjukkan
adanya ide pembaharuan. Oleh sebab itu, aliran ini beralasan bahwa untuk
memperoleh konsep pembaharuan diperlukan wahyu yang baru.
Dalam menjalankan syari'at Islam,
tampaknya kaum Ahmadiyah tidak jauh berbeda dengan kaum Sunni, terutama
dari sekte Lahore, bila dibandingkan dengan kaum Syi'ah. Demikian pula
Kitab Sucinya, hadis-hadis serta pendapat ulama yang terhimpun dalam
berbagai kitab yang mereka jadikan sebagai dalil, adalah sama dengan
cara-cara yang biasa digunakan oleh kaum Sunni. Hanya saja, karena
perbedaan latar belakang akidah yang kecil saja, yaitu tentang pemahaman
term kenabian dan kewahyuan semata, mengapa mereka harus dipandang
sebagai non-Muslim? Sedangkan golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan
terutama dari sekte Isma'iliyyah, seperti kelompok Druz yang masih ada
sampai sekarang tetap diakui sebagai kelompok Muslim, padahal tradisi
mereka jauh berbeda dengan tradisi kaum Sunni.
Dari keterangan di atas, apabila kita
kaitkan dengan Amandemen Konstitusi Pakistan 1973 nomor 2, demikian pula
jika dikaitkan dengan Keputusan Muktamar Alam Islami yang tidak
mengakuinya aliran Almadiyah -sebagai kelompok Muslim seperti yang lain,
maka penulis berkesimpulan bahwa keputusan yang demikian itu lebih
bersifat politis dan emosional. Tidak mustahil vonis yang dijatuhkan
kepada golongan Ahmadiyah ini, berlatar belakang pada peristiwa yang
pernah terjadi di awal kemunculan aliran ini, yang diwarnai oleh
kekerasan antara golongan Sunni dengan golongan Ahmadiyah. Dan diantara
tokoh Sunni yang paling keras menentang keberadaan aliran tersebut
adalah Syaikh Abul-A'la al-Maududi, namun yang ditentangnya adalah
golongan Ahmadiyah Qadiani, seperti dalam bukunya [kata-kata Arab].
Catatan kaki:
1 Duhal-Islam III, op. Cit., hlm. 236.
2 Ibid.
3 Donaldson, op. Cit., hlm. 231.
4 H.M. Arsyad Thalib Lubis, Imam Mahdi, (Medan: Firma Islamiyah, 1967), hlm. 36, et. Seq.
5 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 312-3, 322.
6 Al-Maududi, op. cit., hlm. 159-60.
7 bid., hlm. 159-160.
8 H.M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 36.
9 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 241-2.
10
W. Montgomery Watt, The Majesty That was Islam, (London: Sidgwick &
Jackson, 1974), hlm. 170; Syah 'Abdul-'Aziz Gulam Hakim ad-Dihlawi,
Mukhtasarut-Tuhfah al-Isna Asyariyyah, ed .
Muhammad Syukri al-Alusi (Istanbul: Isik Kitabevi, 1980), hlm. 199.
11 Ibid., hlm. 170-1.
12 Fazlur Rahrnan, op. cit., hlm. 172.
13 Duhal-Isram III, op. cit., hlm. 243.
14
Kaum Sufi yang dimaksud disini ialah mereka yang pernah bergabung
dengan Syi'ah Isma'iliyyah yang terkemudian mengajarkan tentang al-qatb
dan abdal.
15 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 179.
16 Kata
"Mesiah" berasal dari bahasa Ibrani "Mashiat," dalam bahasa Arab disebut
al-Masih, yang berarti seorang yang diusap dengan minyak kesturi.
Demikian pula kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi
"Christos," yang selanjutnya dikenal dengan Juru Selamat sebagai yang
dikenal sekarang.
17 H.M. Rasyidi, "Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan," Prisma VI, (Januari, 1977), hlm. 45.
18 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 250-1.
19 Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 250-1.
20 Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 327.
21 Donaldson, op. cit., hlm. 232.
22
Departemen Agama, "Potensi Organisasi Keagamaan Ahmadiyah Qadian," vol.
II, (Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Kanwil
Departemen Agama Semarang,
1984/1985), hlm. 33.
23 Tim Dakwah PB. GAI, op. cit., hlm. 23.
24 Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 362.
25 Ibid., hlm. 376 et.seq.
26 Peter Worsley,The Trumpet Shall Sound, (New York: Schocken Book 1974), hlm. 22-224.
27 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322.
28 Ihsan Ilahi Zahir, op. Cit., hlm. 396-397.
Sumber : http://www.akhirzaman.info