Oleh : Yuspar Lubis
Bandung, 22 Juni 1992
Perumahan Cijambe Indah
Jl. Vijayakusuma III Blok C No 31
Ujungberung – Bandung 40619
Telp ( 022 ) 7816074
Penampilan
Syekh Musthafa Husein yang mnamanya diabadikan di gedung utama Institut
Agama Islam Negeri ( IAIN ) Sumatera Utara Medan adalah salah seorang
ulama dan pendiri Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Syekh Musthafa
Husein yang lebih dikenal dengan sebutan TUAN SYEKH PURBA atau TUAN NA
TOBANG ( na tobang adalah bahasa daerah yang artinya tua ) itu mempunyai
tubuh yang biasa-biasa saja sebagaimana kebanyakan penduduk daerah
setempat. Orangnya berkulit sedikit hitam, bermuka oval, tanpa
memelihara kumis maupun jenggot, dan berkacamata. Dalam penampilannya
sehari-hari selalu memakai kain sarung ( palekat ) dengah baju yang
berwarna putih berlengan panjang yang pemakaiannnya selalu dimasukkan ke
dala kain sarung dengan ikat pinggang besar yang dipakai banyak
orang-orang tua jaman dahulu, berbaju jas berwarna gelap, berkopiah
putih yang selalu diikat dengan kain serban berwarna-warni serta
berselop ( namun dalam bepergian selalu memakai sepatu ).
Syekh Musthafa Husein orangnya pendiam. Kalau berbicara bahasanya
satu-satu dan ungkapan-ungkapannya pelan. Dalam berbicara beliau selalu
memandang lawan bicaranya dengan penuh perhatian sehingga sering lawan
bicaranya itu tidak mampu memandang wajahnya. Sikapnya tenang dan tidak
mudah marah. Kalaupun marah beliau hanya diam, sebaliknya kalau senang
beliau hanya senyum. Selanjutnya dalam berjalanlangkahnya teratur dengan
muka yang selalu menunduk ke bawah. ( Belakangan sesudah masa tuanya
beliau selalu memakai tongkat yang terbuat dari rotan yang sedikit lebih
besar dari rotan biasa yang dibengkokkan pada bagian atasnya sebagai
tempat pegangan. Tongkat semacam ini banyak dijumpai dan digunakan oleh
orang-orang tua setempat )
Keluarga
Syekh Musthafa Husein lahir dari keluarga yang berada ( kaya ) .
Bapaknya adalah seorang pedagang hasil bumi di Pasar Tanobato serta
sudah pula melakukan ibadah haji. Bapaknya berasal dari Huta ( sekarang
desa ) Purbabaru, namun kakek-kakeknya berasal dari Panyabungan Julu dan
ibunya berasal dari Ampung Siala, Batang Natal.
Syekh Musthafa Husein yang pada masa kecilnya bernama Muhammad Yatim
ini, adalah anak ke 3 dari 8 orang bersaudara, anak dari H. Husein dan
Hj Halimah.
1, Anak tertua ( pertama ) adalah Nuruddin menetap dan wafat di Malaya ( Malaysia
2. Hamidah wanita kawin dan wafat di Panyabungan
3. Muhammad Yatim riwayat hdupnya yang sedang dibahas
4. Siddik gelar Mangkuto Saleh menetap dan wafat di Kayulaut Mandailing
5. Saleh menetap dan waqfat di Medan
6. Mardin ( H. Umnaruddin ) menetap dan wafat di Mekkah Saudi Arabia
7. Harun menetap dan wafat di Pekalongan, Jawa Tengah
8. Abdul Gani meninggal hanyut sewaktu Pasar Tanobato mendapat serangan banjir besar pada malam Ahad, tanggal 28 Nopember 1915.
Adapun Muhammad Yatim sendiri yang sesudah nikah dengan nama Musthafa
Husein menikah dengan Habibah dari desa Hutapungkut, Kotanopan beliau
mempunyaqi 9 orang anak yaitu :
1`. Siti Aisyah
2. Hj Ramlah
3. H. Abdullah
4. Sa’diyah
5. Asmah
6. Azizah
7. Fatimah
8. Abdul Kholik
9. Faridah
Kelahiran dan masyarakat sekitar
Musthafa Husein lahir pada tahun 1886 dari keluarga kaya masyarakat
biasa ( orang kebanyakan ). Keadaan masyarakat pada masa kelahirannya
kebanyakan berada dalam keadaan menyedihkan dan tertekan. Pemerintah
kolonial Belanda pada masa sebelumnya membawa sistem paksa dalam
penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai. ( Pada
masa itu pemerintah kolonial membangun pergudangan kopi di Pekantan di
daerah pedalaman Sumatera di dekat perbatasan dengan daerah PASAMAN,
Sumatera Barat, Muarasipongi, Kotanopan, Maga, Pasar tanobato,Tapus dan
Natal.Hasil……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. ( hilang satu halaman )
selesaikannya dalam waktu 5 tahun sesuai dengan lama pengajaran sekolah
rakyat tersebut. Sesudah selesai sekolah ini ada permintaan dari salah
seorang gurunya ( alm. Sutan Guru ) anak ini diminta supaya disekolahkan
ke sekolah raja di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, namun oleh orangtanya
disuruh mengaji kepada Syekh Abdul Hamid ke Hutapungkut, Kotanopan. Desa
ini berjarak sekitar 35 KM dari Pasar Tanobato ke arah selatan. Desa
ini sedikit masuk ke dalam, sekitar 3 KM dari jalan raya. Namun desa ini
dilewati juga oleh jalan umum menuju desa Hutagodang ke Pasaman,
Sumatera Barat tapi masih jalan setapak.
Muhammad Yatim mengaji di Hutapungkut sekitar 2 tahun ( 1898 – 1900 ).
Dalam pengajian 2 tahun itu pengajiannya hanya sekali seminggu yaitu
pada setiap hari Ahad. Di luar hari mengaji Muhammad Yatim mengikuti
Syekh Abdul Hamid ke kebun kopi yang jaraknya 3 KM dari desa
Hutapungkut. Tidak jarang mereka bermalam di kebun dan baru kembali ke
desa menjelang pengajian berlangsung.
Sesudah pengajian di Hutapungkut Muhammad Yatim dianjurkan oleh gurunya
Syekh Abdul Hamid untuk memperdalam ilmu agama Islam ke Mekkah, Saudi
Arabia. Dan ini pula sejalan dengan harapan orang tuanya. Pada sekitar
bulan Rajab tahun 1900 beliau berangkat ke Mekkah, Saudi Arabia
bersamaan dengan keberangkatan orang-orang yang akan melaksanakan ibadah
haji. Keberangkatan ini dibiayai separuhnya oleh orang tuanya.
Pada 5 tahun pertama sesudah belajar di Masjidil Harom Mekkah Saudi
Arabia Muhammad Yatim merasa bahwa dia tidak memperoleh ilmu. Lalu dia
pernah memutuskan akan pindah belajar ke Mesir, walau belum
dikonsultasikan dengan orang tuanya. Semua barang-barang sudah dikemasi
dan tinggal menunggu keberangkatan. Pada saat menunggu keberangkatan (
menunggu keberangkatan kapal ) dia berjumpa dengan salah seorang pelajar
yang berasal dari Palembang yang juga sedang menuntut ilmu agama Islam
di Masjidil Harom Mekkah. Kepada pelajar ini Muhammad Yatim menuturkan
bahwa dia mau pindah belajar dari Masjidil Harom, Mekkah ke Mesir karena
sesudah 5 tahun belajar dia belum merasa mendapatkan ilmu. Pelajar yang
berasal dari Palembang itu mengajak Muhammad Yatim berdiskusi serta
membantu menjelaskan pelajaran yang ada selama ini di Masjidil Harom,
Mekkah. Sejak itu Muhammad Yatim mulai memahami perlajaran-pelajaran
yang ada selama ini. Dan akhirnya dia mencabut kembali keputusannya
untuk tidak jadi pindah ke Mesir. Seterusnya dia kembali belajar di
Masjidil Harom sebagaimana sediakala. Semenjak itu para gurunya mulai
mengenalnya lebih baik. Pada saat yang demikian guru-gurunya mengubah
namanya dari Muhammad Yatim menjadi Musthafa berati orang pilihan.
Dalam belajar di Masjidil Harom Mekkah yang cara belajarnya secara
halaqoh ( belajar dengan duduk bersila mengelilingi guru dan mengambil
tempat di serambi mesjid ) dia belajar kepada ulama-ulama yang terkenal
pada masa itu seperti :
1. Syekh Abdul Kadir al Mandily
2. Ahmad Sumbawa
3. Saleh Bafadhil
4. Ali Maliki
5. Umar Bajuned
6. Ahmad Khatib
7. Abdul Rahman
8. Umar sato
9. M. Amin Mardin.
Dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya melulu agama Islam seperti :
1. Al Quran
2. Bahasa Arab beserta tata bahasanya
3. Tafsir
4. Fiqh
5. Hadits
6. Tauhid
7. Ilmu Falak
8. Balaghah
9. ‘Arudl
10. Qosidah Barzanji
Pelajaran-pelajaran ini diikutinya secara berurutan
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1912 ( dipanggil pulang karena
orang tuanya meninggal dunia ) beliau sambil mengajar ( selanjutnya
lihat karier sebagai pendidik ) dia juga terus menambah ilmu dengan
mengadakan hubungan-hubungan ( kunjungan ) kepada guru-guru / pemuka
masyarakat di Mandailing. Bersamaan dengan itu dia juga membaca
buku-buku sejarah Indonesia dan dunia, politik, perdagangan dan
perekonomian, pertanian dan kesehatan. Di samping itu dia juga bergaul
dengan pejabat-pejabat pemerintah kolonial yang membidangi pertanian,
kesehatan dan pamong desa ( pada jaman pemerintah kolonial disebut kuria
dan raja-raja ). Dengan pejabat-pejabat yang digaulinya itu dimintanya
pula untuk mengajar di madrasah yang telah dididrikannya ( selanjutnya
lihat juga karier sebagai pendidik ). Dan dalam bergaul dengan pejabat
itu dia tidak memandang agama, walau pada waktu itu ada anggapan bahwa
agama di luar Islam tidak sah. Malahan pendapat ini masih berkembang
sampai sekarang di madrasah setempat. Pemuka dan salah seorang yang
digaulinya itu adalah Dr F.L. Tobing seorang yang beragama Kristen.
Disamping beliau ini juga pernah dimintanya untuk mengajar di madrasah
yang didirikannya. ( Dr F.L Tobing jauh sebelum menjadi residen Tapanuli
yang berkedudukan di Sibolga pernah memimpin Rumah Sakit Zending di
Panyabungan sekitar 11 KM dari Purbabaru ke arah utara ).
Selanjutnya pengetahuannya di bidang pertanian dan perdagangan ini
diperaktekkannya pula dengan membuka perkebunan karet , nenas dan
rambutan di sekitar desa Purbabaru.
Kemudian di luar dari pada itu dia juga pergi ke pasar secara teratur (
kepergiannya ke pasar yang secara teratur ini dimanfaatkannya untuk
menjadi pedagang pengumpul dimana pada waktu harga barang murah dia
membeli sejumlah barang dan kalau harga-harga barang tersebut naik,
dijualnya kembali ).
Pendidikan lainnya adalah membiasakan diri mencatat kejadian-kejadian
penting di daerah lokal, nasional dan internasional seperti letusan
gunung berapi, datangnya Tuanku Rao dan Islam ke Mandailing, masuknya
Belanda ke daerah setempat, penyerahan Belanda kepada Jepang di
Indonesia, kelahiran dan kematian anak / anggota keluarga dan
masalah-masalah yang dihadapinya secara pribadi.
Kemudian dia juga memperluas wawasan dengan bepergian ke kota-kota
semacam Bukit Tinggi, Padang, Medan, Banda Aceh, Jakarta, Pekalongan dan
Bogor di dalam negeri serta Kualalumpur dan Pahang di luar negeri.
Kota-kota di dalam negeri terutama di pulau Sumatera dikunjunginya
dengan maksud untuk melihat-lihat perkembangan pendidikan agama,
perkembangan kota dan membeli buku-buku agama untuk madrasahnya.
Sedangkan ke kota-kota di pulau Jawa beliau membuat catatan-catatan
berupa pengalamannya sewaktu naik pesawat terbang, gedung-gedung
pemerintah dan pusat-pusat perdagangan yang dilihatnya, kesan naik
kereta api, pemandangan alam serta keadaan mesjid dan jamaahnya, dan
kota-kota di Malaysia dan ditemani oleh sekretarisnya. Dia melihat-lihat
pengolahan karet ( proses pembuatan karet latex ), penambangan bauxit
dan proses pengolahannya.
Di luar dari pada pendidikan, pengalaman dan wawasan yang luas ini dia
juga mempersiapkan kader-kader penerus baik itu dalam bidang pendidikan
maupun dalam bidang perkebunan. Dalam bidang pendidikan dia menyuruh dan
mengirim beberapa orang muridnya untuk memperdalam ilmu agama Islam ke
Mekkah maupun negeri-negeri lainnya seperti Mesir dan Lucknow, India.
Sedangkan dalam bidang perkebunan dia mengutus sekretaris untuk
mempelajari pengawetan buah-buahan seperti nenas dan rambutan serta
proses pengalengannya ke Jakarta.
Karier sebagai Pendidik
Sesudah Musthafa Husein kembali ke Pasar Tanobato pada tahun 1912 beliau
langsung mengajarkan ilmu agama yang diperolehnya dari Mekkah di mesjid
setempat ( di mesjid setempat sebelumnya memang sudah ada pengajian
yang dipimpin oleh Syekh Muhammad yang juga pernah belajar agama di
Mekkah, Saudi Arabia ). Pengajian itu telah berlangsung kurang lebih 13
tahun dengan pesertanya yang berdatangan dari desa-desa sekitar seperti :
Pagaran Tonga, Hutanamale, Maga, Roburan, Lumban Dolok dan Purba Julu.
Pengajian itu sendiri walau sudah berlangsung lama namun bahan kajiannya
belum teratur. Bahan kajiannya sering berulang-ulang dan banyak terarah
kepada peribadatan. Pengajian belum banyak menyingggung masalah-masalah
hukum yang pada waktu itu sudah sangat diharapkan oleh masyarakat ( di
samping itu pengajian itu sendiri belum menggunakan kitab, walau
kitab-kitab Melayu sudah banyak dikenal oleh masyarakat ).
Pada saat pengajian berlangsung Syekh Muhammad selalu memperkenalkan
Musthafa Husein kepada peserta pengajian yang pada masa itu sering
disebut wirid-wirid. Syekh Muhammad selalu mengatakan bahwa kita
kedatangan seorang guru yang alim dan cakap. Dan sejalan dengan
perkenalan ini Syekh Muhammad juga selalu memberi kesempatan kepada
Musthafa Husein untuk memberi pengajian. Dalam pengajian ini Musthafa
Husein memulainya dengan terlebih dahulu mengaji Al Quran ( tulis
bacanya ) kemudian bahasa Arab ( nahwu shorf ) dengan buku pegangan
terdiri dari Al Jurumiyah, Mukhtashor dan Kawakib. Kemudian menyusul
fiqh dengan kitabnya Fathul Qorib dan kitab Melayu, terus Tauhid dengan
kitabnya Kifayatul Awam, dan akhirnya Tasawuf dengan kitabnya Minhajul
Abidin.
Pengajian yang teratur ini membuat para pesertanya makin meluas dan
Musthafa Husein sendiri makin masyhur serta makin banyak dikenal
masyarakat. Dalam pada itu pengajian ini beliau juga banyak menjelaskan
masalah-masalah masyarakat terutama yang berhubungan dengan kehidupan
suami isteri dan keluarga.
Pengajian ini membuat masyarakat bukan hanya mengikuti secara teratur (
pengajian hanya sekali seminggu yaitu pada setiap malam Selasa ) akan
tetapi masyarakat juga meminta supaya waktu dan peserta pengajiaannya
ditambah untuk anak-anak / pemuda dan ibu-ibu. Belakangan dengan bantuan
masyarakat diadakanlah pengajian khusus kaum ibu yang waktunya pada
setiap malam Selasa sesudah sembahyang magrib sampai waktu sembahyang
isya dan sesudah sembahyang isya sampai sekitar jam 21.00 WIB untuk kaum
bapak. Sedangkan untuk anak-anak dan pemuda diadakan pada pagi hari di
mesjid Pasar Tanobato ( tempatya pengajian ibu-ibu, rumah orangtua
beliau sendiri ).
Sealanjutnya di luar dari pengajian yang teratur itu beliau juga pergi
ke desa-desa sekitar untuk membuka pengajian sambil mencari obat. (
menurut H. Sulaiman salah seorang muridnya , beliau pada waktu permulaan
perkawinannya beliau pernah lemah syahwat. Kunjungan ke desa-dsesa ini
pernah sampai ke Sibuhuan di sebelah timur pulau Sumatera. ( Pasar
Tanbato sebagai tempat tinggalnya berada di bagian barat pedalaman pulau
Sumatera ). Karena itu beliau bukan hanya dikenal masyarakat Tanobato
dan sekitarnya akan tetapi juga dikenal oleh masyarakat daerah lainnya.
Bersamaan dengan berkembangnya pengajian yang dipimpin oleh Musthafa
Husein, dimana beliau sudah pula mulai mendapat sebutan Tuan Syekh
Musthafa Husein, Syekh Muhammad berangsur-angsur pula mengundurkan diri
dan mempercayakan sepenuhnya pengajian yang ada kepada Syekh Musthafa
Husein ini. ( dalam memimpin pengajian ini Syekh Musthafa Husein
melakukannya secara halaqoh, semacam waktu beliau belajar di masjidil
harom Mekkah. Namun sedikit berbeda dengan yang di Mekkah, pengajian di
masjid Pasar Tanobato ini setiap pesertanya diharuskan memiliki buku
seperti belajar di sekolah dewasa ini.
Pengajian di mesjid Pasar Tanobato itu tidak berlangsung lama hanya
sekitar 3 tahun saja. Hal ini disebebkan Pasar Tanobato karam ( rusak
berat ) akibat serangan banjir besar. ( menurut penuturtan H. Sulaiman
salah seorang murid tertua Syekh Musthafa Husein akibat serangan banjir
ini penduduk yang hanyut dan hilang cukup banyak. Beruntung murid-murid
Syekh Musthafa Husein semuanya selamat karena beberapa hari menjelang
banjir pemilik rumah penampungan murid-murid itu berkeberatan rumahnya
terus menerus ditumpangi oleh anak mengaji. Karenya murid-murid itu
pindah ke tempat yang sedikit lebih jauh dari rumah tumpangan mereka
itu. Dan sewaktu datang serangan banjir tempat mereka itu terhindar dari
banjir dan mereka semua selamat ).
Selanjutnya Syekh Musthafa Husein yang selamat dari banjir pindah ke
desa Purnbabaru, tempat asal keluarganya bersama dengan beberapa orang
murid isterinya. Perpindahan itu sejalan pula dengan permintaan keluarga
dan Kepala Desa ( dulu disebut Ketua Kampung ). Permintaan ini disertai
dengan harapan kelak sesudah Syekh Musthafa Husein bertempat tinggal di
desa Purbabaru penduduknya akan bertambah baik. ( pada masa dahulu
beberapa orang penduduk desa Purbabaru dikenal sebagai pencuri, tukang
garong dan penjudi ).
Sampai di Purbabaru pengajian dilanjutkan kembali sebagaimana sediakala
seperti di Pasar Tanobato. Pengajian juga mengambil tempat di mesjid
sebagaimana halnya di Pasar Tanobato. ( sewaktu perpindahan Syekh
Musthafa Husein ini ke desa Purbabaru, penduduk mengharapkan pengajian
yang sudah ada dilanjutkan kembali ). Lama kelamaan peserta pengajian
terus bertambah banyak dan mesjid yang ada dirasakan tidak memadai lagi
sebagai tempat pengajian. Maka atas inisiatif Syeklh Musthafa Husein dan
dengan bantuan penduduk setempat dibangunlah gedung tempat belajar
secara tersendiri di dekat rumahnya di pinggir jalan raya trans Sumatera
di tengah-tengah desa Purbabaru. ( semula rumah Syekh Musthafa Husein
juga berada di dekat masjid, sedikit jauh dari jalan raya. Belakangan
Syekh Musthafa Husein merasa rumahnya terlalu sempit di samping terlalu
jauh dari tempat mengaji, lalu beliau meminta kepada penduduk supaya
dicarikan tanah perumahan di pinggir jalan raya. Tujuan perpindahan juga
untuk memudahkan komunikasi. Pada pembangunan rumah, pada waktu
permulaannya, penduduk juga membantu ). Peserta pengajian bukan hanya
berdatangan dari desa sekitar akan tetapi juga dari desa-desa yang jauh.
Dan karena kebanyakan dari murid-murid ini berasal dari keluarga yang
tidak mampu, dimana mereka tidak mampu menyewa tempat tinggal maka atas
perkenan penduduk, peserta pengajian membangun gubuk-gubuk sementara
untuk tempat tinggalnya. ( gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu dan atap
ilalang serta berukuran 2 x 3 meter ini kelak dipertahankan sebagai
salah satu ciri Madrasah Musthafawiyah ).
Gedung tempat belajar mendapat bantuan dari penduduk setempat maupun
orang-orang yang mengirimkan anaknya mengikuti pengajian dari desa-desa
sekitar. Selanjutnya sesudah tempat belajar pindah ke gedung sendiri
sistem pengajian juga berubah dari halaqoh kepada klasikal sebagaimana
sekolah dewasa ini. Kemudian pengajian itu sendiri diberi nama dengan
sebutan madrasah. Dalam perkembangan selanjutnya madrasah ini diberi
nama dengan Madrasah Musthafawiyah yang artinya madrasah pilihan.
Namun walau tempat pengajian sudah pindah ke gedung tersendiri yang pada
tahap permulaan selesai pada tahun 1931, pengajian di mesjid tetap
dilaksanakan sebagaimana sebelumnya. Namun waktunya hanya pada pagi dan
malam hari, masing-masing sesudah sembahyang subuh sampai menjelang
waktu sembahyang dluha sekitar jam 07.00 WIB, dan sesudah sembahyang
magrib sampai isya serta sesudah sembahyang isya sampai sekitar jam
21.00 WIB. Peserta pengajian ini adalah juga anak-anak mengaji bersama
penduduk sekitar desa Purbabaru. Di samping itu Syekh Musthafa Husein
selalu memelihara sembahyang berjamaah di mesjid mulai dari sembahyang
subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya pada setiap harinya. ( dalam
pelaksanaan sembahyang wajib ini Syekh Musthafa Husein amat tertib.
Menurut penuturan beliau sendiri kepada sekretarisnya, semenjak baligh
tidak pernah meninggalkan sembahyang wajib satu waktu-pun ).
Dalam kegiatan sehari-hari Syekh Musthafa Husein sesudah sembahyang
subuh berjamaah, mengajar sampai waktu sembahyang dluha. Kemudian
kembali ke rumah untuk makan pagi bersama keluarga. Setelah makan pagi
pergi ke madrasah sampai menjelang waktu dhuhur. Sesudah sembahyang
dhuhur berjamaah di mesjid kembali ke rumah untuk makan siang bersama
dengan keluarga. Kemudian pergi ke kebun bersama murid-muridnya sampai
menjelang waktu sembahyang ashar. Sesudah sembahyang ashar berjamaah di
mesjid kembali ke rumah dan makan sore, juga bersama keluarga. Kemudian
duduk-duduk bersama keluarga di beranda rumah sampai menjelang waktu
sembahyang magrib. Di saat menjelang magrib beliau berangkat ke mesjid
bersama beberapa orang muridnya yang sekaligus juga menjadi pembantunya.
Dalam berangkat ke mesjid itu ada yang membawa lampu codok, dan ada
pula yang membawa buku yang akan dikaji. Setelah sembahyang magrib
secara berjamaah dilanjutkan dengan pengajian yang berakhir menjelang
waktu sembahyang isya. Buku yang dikaji di mesjid adalah fiqh dengan
kitab Idhotun nasyi’iin. Setelah sembahyang isya berjamaah beliau pulang
ke rumah bersama-sama dengan beberapa orang muridnya. Dan sampai di
rumah beliau sering membaca Al Quran sampai larut malam. Kemudian pada
tengah malam juga sering bangun untuk mngerjakan sembahyang tahajjud
secara sendirian. Seterusnya bangun pagi dan langsung ke mesjid,
demikian selanjutnya berlangsung secara amat teratur setiap tahunnya.
Adapun kunjungannya ke sekolah, beliau lakukan juga secara teratur.
Beliau ke sekolah mengajar pada kelas terakhir. Dalam mengajar ini
beliau amat memperhatikan murid-muridnya satu persatu mulai dari
perkembangan pengetahuan murid, penampilannya, kesehatannya serta
kemampuannya dalam mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu.
Sesudah tahun 1934 ( sesudah mengajarsekitar 19 tahun ) beliau mulai
beralih dari mengajar ke bidang usaha. Beliau hanya sesekali pergi ke
madrasah untuk melihat-lihat serta memberi pengarahan dan pengawasan.
Untuk selanjutnya madrasah banyak dipercayakan kepada kemenakannya yang
sekaligus juga kader dan penerusnya yaitu Syekh Abdul Halim Khatib. Dan
menantunya Syekh Ja’far Abdul Wahhab T anjung. Dalam bidang usaha ini
beliau memperluas kebun karet, nenas dan rambutan. Termasuk dalam hal
ini pengolahan karet menjadi latex, usaha pengawetan buah dan rencana
pengalengannya. ( Khusus usaha buah ini belum sempat terlaksana karena
datangnya serangan Jepang ke daerah Mandailing / Indonesia ). Di samping
itu beliau juga meneruskan usahanya dalam bidang perdagangan serta
tetap mengembangkan pengajian di mesjid seperti disebut diatas.
Di dalam pendidikan formal ini beliau selalu menekankan kepada
murid-muridnya untuk hidup mandiri. Ungkapannya yang selalu dikenang
ialah “ tuan kecil “ lebih baik dari pada jongos besar. Kemudian dalam
hidup ini beliau selalu menekankan jangan mengharap-harapkan bantuan dan
belas kasihan orang lain, apalagi mengharapkan sedekah. Dengan tegas
beliau mengatakan “ baen na tuho, borkatan dei “ ( usaha sendiri lebih
baik dan lebih berkat ). “ Hasil usaha sendiri walaupun kecil lebih baik
dari bantuan atau pemberian orang lain, walau bantuan atau pemberian
orang lain itu lebih besar “. Kata beliau.
Lebih dari pada itu beliau juga selalu berpetuah ( semacam nasehat )
kepada murid-muridnya agar setiap ilmu yang diperoleh bagaimanapun
sedikitnya supaya diajarkan kepada orang lain. Kemudian dalam menempuh
hidup ini juga supaya bekerjasama dengan pemerintah maupun pengusaha.
Dan kepada setiap tamu supaya dihormati walaupun tamu itu bukan orang
Islam. ( Hal ini dibuktikannya sendiri dengan menerima kunjungan orang
Belanda ke rumahnya dengan penyambutan yang semarak, diantarnya dengan
penyambutan lagu-lagu pujian yang ungkapan-ungkapannya berbahasa Arab.
Di samping itu beliau juga memuliakan raja-raja daerah yang pada masa
itu banyak yang korup dan tindakan-tindakannya banyak yang bertentangan
dengan ajaran Islam ). Kemudian dalam hidup, beliau juga tidak
mencampuri perkara adat istiadat daerah, beliau hanya menerangkan
hukum-hukumnya terserah kepada yang bersangkutan tetap melaksanakannya
atau menghentikannya. Beliau memberi kebebasan kepada setiap orang.
Selanjutnya diluar dari pada itu beliau juga selalu memperhatikan
kesukaran orang lain, baik itu yang datang meminta bantuan secara
langsung maupun melalui orang lain. Setiap orang yang datang meminta
bantuan akan dibantunya sekuat tenaga atau kalau tidak dapat dibantunya,
dimintakannya bantuan orang lain ( orang ketiga ) yang memungkinkan
untuk membantunya. ( dalam bantuan melalui orang ketiga ini sering yang
bersangkutan tidak mengetahui bahwa dia mendapat bantuan dari Syekh
Musthafa Husein ).
Beliau juga sering menghadiri setiap keramaian yang diadakan oleh
masyarakat, baik itu perayaan-perayaan keagamaan berupa Maulid Nabi
Muhammad maupun Isra’ Mi’rajnya , perkawinan ataupun kemalangan.
Disamping itu beliau juga menghadiri acara-acara keluarga semacam
memasuki rumah baru, syukuran maupun tahlilan ( dalam bahasa daerah
sering disebut mangontang dongan atau marpio malim atau marontang malim
). Kemudian di luar dari pada itu juga beliau mengunjungi ulama-ulama
yang lebih kecil sekalipun ke desa-desa tempat tinggalnya dan menghadiri
acara-acara peresmian mesjid atau perayaan-oerayaan keagamaan yang
diselenggarakan oleh anak-anak muridnya. ( dalam menghadiri setiap
upacara ini beliau selalu membawa serta beberapa orang muridnya).
Selanjutnya di luar dari pada itu semua beliau juga mempersiapkan
kader-kader penerus dengan mendorongnya untuk memperdalam ilmu
pengetahuan agama Islam ke sumber aslinya ke Mekkah, saudi Arabia atau
negara-negara Islam lainnya. Beliau juga mengangkat kader-kader itu
menjadi anggota keluarganya dengan mengawinkan putri-putrinya atau putri
saudaranya kepada kader-kader yang telah dibinanya itu. Hal itu semua
dilakukannya untuk mengembangkan ajaran dan syi’ar Islam kepada seluruh
masyarakat, terutama masyarakat Mandailing Natal, Sumatera Utara,
Indonesia.
Kegiatan dan perjuangannya
Syekh Musthafa Husein mempunyai kegiatan utama mengembangkan dan
menyiarkan Islam. Dalam mengembangkan ajaran Islam itu beliau mendirikan
lembaga pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah Musthafawiyah
Purbabaru. Dalam mengelola madrasah ini beliau bekerjasama dengan
masyarakat dan pemerintah. Masyarakat memberikan tenaga dan dana serta
anak, dan pemerintah memberikan penghargaan ( pemerintah kolonial
Belanda pernah memberikan bintang tanda jasa atas usahanya dalam bidang
lembaga pendidikan ini pada tahun 1936 ). Pemberiannya diberikan dalam
suatu acara besar di gedung kantor Konteler Belanda di Kotanopan yang
dihadiri oleh segenap huria di daerah Mandailing dan Natal.
Selanjutnya dalam bidang pendidikan juga, beliau mengusahakan
kitab-kitabnya dari penerbitan-penerbitan di dalam dan di luar negari.
Dari penerbitan dalam negeri beliau langsung mendatangi atau menyurati
penerbitan tersebut, sedangkan dari penerbitan luar negeri semacam
Mekkah, Saudi Arabia beliau memesannya melalui murid-muridnya yang
sedang belajar di negara tersebut. Juga dalam bidang pendidikan ini
beliau mengangkat pembantu-pembantu yang pintar, berani, berinisiatif,
serta komunukatif dengan pemerintah maupun masyarakat. Seterusnya dalam
upaya menyiarkan Islam beliau membentuk organisasi persatuan
pelajar-pelajar dan lulusan madrasah dengan nama Al Ittihadiyah
Islamiyah Indonesia ( AII ). Organisasi ini berpusat di Purbabaru dan
dengan cepat cabang-cabangnya berdiri di daerah Mandailing, Angkola,
Padangsidempuan, Sipirok dan Sibuhuan. Di samping itu dengan AII ini
beliau berusaha menyeragamkan kitab-kitab agama di seluruh madrasah
terutama madrasah-madrasah yang ada di daerah setempat.
Bersamaan dengan itu beliau juga mensponsori pendirian koperasi di
Madrasah Musthafawiyah dengan maksud untuk membantu murid-muirid yang
mengalami kesukaran dalam perbelanjaan selama menuntut ilmu. ( koperasi
didirikan dengan badan hukum yang tertanggal 25 Januari 1936 )
Selanjutnya jauh sebelum pengembangan pendidikan ini beliau juga
memasuki organisasi Syarekat Isam yang tujuannya untuk mencerdaskan
bangsa dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa salah satu tugas
Islam untuk membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan
kemiskinan. Dalam organisasi ini beliau pernah terpilih menjadi Presiden
( Ketua ) Cabang Pasar Tanobato. Hanya saja sesudah kepemimpinan
beliau, organisasi ini mengalami pasang surut sebagaimana juga yang
dialami oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun bagaimanapun
dengan organisasi Syarekat Islam ini pula beliau banyak berkenalan
dengan pemimpin-pemimpin Islam lainnya.
Di luar dari pada Syarekat Islam ini beliau juga pernah membawa dan
mendirikan organisasi NAHDLATUL ULAMA ( NU ) untuk daerah Sumatera
Utara. Dalam organisasi NU ini disamping pernah menjadi pimpinan untuk
daerah Sumatera Utara, beliau juga pernah dipilih untuk menjadi anggota
syuriyah NU tingkat Pusat di Jakarta. Dan selanjutnya dengan organisasi
ini pula beliau pernah dicalonkan dan dipilih menjadi anggota
konstituante ( DPR Pusat ) untuk daerah pemilihan Sumatera Utara, walau
kedudukan ini belum sempat didudukinya karena sesudah terpilih, beliau
meninggal dunia. ( Sehubungan dengan pemilihannya menjadi anggota
konstituante beliau pernah memberikan seruan kepada masyarakat untuk
memilih tanda gambar NU pada pemilu tahun 1955 )
Kemudian sejalan dengan kedudukan beliau selaku pimpinan / pendiri
Madrasah Musthafawiyah Purbabaru, Presiden Syarekat Islam di daerah dan
Pimpinan Pusat AII (Al Ittihadiyah Islamiyah Indonesia ) serta pimpinan
daerah NU pada masa Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia beliau
pernah dipilih menjadi anggota Tapanuli Syungyung Kai dan Hokokai pada
tahun 1945. Dan menjelang kemerdekaan beliau ditetapkan pula menjadi
pimpinan Majlis Islam Tinggi Sumatera Utara yang kelak menjadi Majlis
Syuro Muslimin Indonesia ( MASYUMI ). Namun belakangan sesudah NU
menarik diri dari Masyumi beliau juga ikut menarik diri, dan oleh NU
beliau diangkat menjadi salah seorang anggota Syuriyah di Tingkat Pusat
sebagaimana disebutkan diatas.
Selanjutnya pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka beliau
bersama ulama-ulama setempat sepert Syekh Ja’far Abdul Kadir Al Mandily
dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan farwa bahwa wajib ( fardu ain
) bagi setiap muslim yang mukallaf untuk mempertahankan kemerdekaan
dari agresi Belanda. ( fatwa ini disebarluaskan oleh Ketua Urusan Agama
Kecamatan Kotanopan dan Batanggadis yang masing-masing berkedudukan di
Kotanopan dan Panyabungan ).
Pribadi yang mandiri
Semula kepulangan Musthafa Husein ke kampung adalah untuk menziarahi
orangtuanya yang telah meninggal dunia ( orang tuanya meninggal semasa
beliau sedang memperdalam ilmu agama Islam di Masjidil Harom Mekkah
Saudi Arabia ). Sesudah berziarah beliau merencanakan akan kembali ke
Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam yang dirasanya belum memadai.
Namun sesampai di kampung beliau diminta untuk mengajar di mesjid Pasar
Tanobato untuk melanjutkan pengajian yang telah ada sebelumnya. Dan
lebih dari pada itu beliau juga dipaksa oleh ibunya untuk berumah
tangga.
Pada saat permulaan mengajar dan berumah tangga perhatiannya hanya
terpusat pada masalah kaji tanpa memikirkan masalah-masalah ekonomi.
Pada mulanya beliau hanya memanfaatkan harta dan rumah peninggalan orang
tuanya serta dari bantuan / sumbangan masyarakat. Baru belakangan
beliau membuka usaha sendiri yaitu perkebunan karet. ( perkebunan karet
ini pada mulanya juga mendapat bantuan dari murid-muridnya terutama
dalam pembukaan lahannya ). Belakangan perkebunan ini dikelola secara
besar-besaran dengan mendatangkan buruh Jawa dari Pematang Siantar. (
Usaha mendatangkan buruh ini mendapat bantuan dari saudaranya yang sudah
lama menetap di daerah setempat ). Selanjutnya hasil perkebunan karet
beliau olah menjadi karet latex yang pada waktu itu mendapat pasaran
yang bagus di dunia internasional. Untuk itu beliau mendirikan beberapa
buah rumah asap serta membeli beberapa buah mesin giling. Di samping itu
karet yang sudah beliau olah ini beliau bawa pula ke kota untuk
mendapatkan harga yang lebih besar. ( Hal semacam ini masih jarang
dilakukan oleh penduduk setempat di kala itu, walau penduduk banyak juga
memiliki perkebunan karet ).
Selanjutnya usaha perkebunan karet itu beliau perluas pula dengan
perkebunan nenas dan rambutan. ( Dalam perkebunan nenas dan rambutan ini
pada mulanya juga bantuan dari murid-muridnya dan para orang tua murid
yang memasukkan anaknya ke Madrasah Musthafawiyah ). Hasil perkebunan
ini menurut rencananya akan diawetkan dan dikalengkan untuk kemudian
diekspor ke luar negeri untuk mendapatkan nilai tambah sebagaimana
sering didengungkan oleh B J Habibi belakangan ini. Untuk ini beliau
sudah mengutus pembantunya ke Jakarta guna mempelajari proses pengawetan
dan pengalengan buah. ( Namun karena kedatangan Jepang ke Indonesia
rencana itu tidak sempat terealisir ). Akhirnya hasil buah-buahan itu
hanya dijual ke pasar-pasar setempat di samping pada setiap panen selalu
diberikan kepada murid-muridnya untuk dimakan mereka sepuasnya.
Bersamaan dengan usaha perkebunan ini beliau juga aktif ke pasar untuk
mengikuti perkembangan harga-harga beberapa komoditi semacaam karet,
kain, mas ataupun lahan persawahan. Beliau selalu pergi ke pasar
Kayulaut pada setiap hari Sealasa dan ke pasar Panyabungan pada setiap
hari Kamis. Di pasar-pasar ini beliau selalu menempati tempat khusus (
tempat itu adalah rumah saudaranya yang lokasinya di dekat pasar )
selama bertahun-tahun. Dari tempat itulah beliau memantau harga-harga
komoditi semacam karet, kain maupun mas sebagaimana disebut diatas. ( Di
daerah setempat beliau membeli dan kalau perlu menahan barang semacam
karet, kain maupun mas. Dan kalau harganya sudah naik barulah dijual
kembali ). Dalam pada itu ( dalam mengembangkan usahanya ) beliau sudah
berani meminjam uang untuk membeli barang atau lahan persawahan yang
ditawarkan orang kepadanya, dimana untuk itu selanjutnya dalam
pengambilan uang tersebut sering dilebihkannya dengan sebutan, ini
sedekah saya.
Dalam kehidupan ini beliau berprinsip bahwa seorang muslim itu harus
kaya dan mampu menghidupi anak isterinya dengan usaha sendiri. Usaha
yang beliau kembangkan itu terutama sesudah tahun 1934, kelihatannya
membawa hasil. Dengan hasil usahanya itu beliau bisa membangun rumah
yang cukup besar ( walau pada permulaan membangun rumah ini juga
mendapat bantuan dari penduduk desa Purbabaru ) di pinggir jalan raya di
tengah-tengah desa Purbabaru ………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. ( satu halaman hilang )
Kemudian beliau juga memasuki dan ikut aktif dalam organisasi untuk
mencapai tujuannya yaitu mengembangkan ajaran dan syiar Islam
sebagaimana disebut diatas. Dalam usahanya mengembangkan ajaran Islam
beliau mendirikan lembaga pendidikan yang pada saat itu dan masih
berdiri dengan megahnya yaitu Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Dalam
usaha mengembangkan ajaran Islam beliau tidak hanya mendirikan lembaga
pendidikn Islam akan tetapi juga mempersiapkan kader-kader penerus dan
kelak kader penerus itu beliau percayai sepenuhnya dan kemudian
kader-kader itu beliau masukkan ke dalam lingkungan keluarga dengan
mengawinkan putrinya atau putri-putri saudaranya kepada kader-kader
tersebut. Kemudian dalam memperjuangkan ide-idenya itu beliau juga
bekerjasama dengan pemerintah kolonial dan raja-raja di daerah setempat.
Akhirnya beliau juga berkecimpung ke dalam politik memasuki
konstituante untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam di bumi persada
tanah air. Dan sebelumnya beliau juga ikut berjuang untuk mempertahankan
kemerdekaan dengan memberi fatwa kepada masyarakat bersama dengan
ulama-ulama lainnya bahwa mempertahankan kemerdekaan itu hukumnya wajib
bagi setiap muslim yang telah dewasa ( mukallaf ).