Konflik antara Banten dengan VOC semakin tajam ketika VOC memperoleh tempat kedudukan di Jayakarta yang kemudian dirubah menjadi Batavia. Persaingan dagang dengan Banten tak pernah berkesudahan. VOC mengadakan siasat blokade terhadap pelabuhan niaga Banten, melarang dan mencegah jung-jung (kapal dagang) dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten yang membuat pelabuhan Banten hampir lumpuh. Perlawanan sengit orang Banten terhadap VOC pecah pada bulan November 1633 dengan mengadakan "gerilya" di laut sebagai "perompak" dan di daratan sebagai "perampok" sehingga memprovokasi VOC untuk melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, dan Lampung. Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi perang terus berlangsung selama enam tahun, dan ketegangan masih terus terjadi hingga wafatnya Sultan Abulmufakhir pada tahun 1651 dan digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Mu'ali Ahmad atau Pangeran Ratu Ing Banten atau Sultan Abulfath Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).
Sultan Ageng Tirtayasa yang ahli strategi perang berhasil membina mental para prajurit Banten dengan cara mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, Makassar, dan daerah lainnya. Perhatiannya yang besar pada perkembangan pendidikan agama Islam juga mendorong pesatnya kemajuan agama Islam selama pemerintahannya.
Pelabuhan Banten yang semula diblokade VOC perlahan namun pasti mulai pulih ketika Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis yang notabene merupakan pesaing berat VOC. Strategi ini bukan hanya berhasil memulihkan perdagangan Banten namun sekaligus memecah konflik politik menjadi persaingan perdagangan antar bangsa-bangsa Eropa.
Selain mengembangkan perdagangan, Sulta Ageng Tirtayasa gigih berupaya juga untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah perluasan wilayah Mataram yang telah masuk sejak awal abad ke-17. Selain itu, selain itu juga mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC yang tujuan akhirnya adalah penguasaan secara politik terhadap Banten (Kartodirdjo, 1988:113-115, 150-154, 204-209). VOC yang mulai terancam oleh pengaruh Sultan Ageng Tirtayasa yang makin luas pada tahun 1655 mengusulkan kepada Sultan Banten agar melakukan pembaruan perjanjian yang sudah hampir 10 tahun dibuat oleh kakeknya pada tahun 1945. Akan tetapi, Sultan dengan tegas bersikap tidak merasa perlu memperbaruinya selama pihak VOC ingin menang sendiri.
Meskipun disibukkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat saluran air untuk kepentingan irigasi sekaligus memudahkan transportasi dalam peperangan. Upaya itu berarti pula meningkatkan produksi pertanian yang erat hubungannya dengan kesejahteraan rakyat serta untuk kepentingan logistik jika menghadapi peperangan. Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa (Tjandrasasmita, 1995:116)
Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik siplokasi maupun bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi pada pedagang asing dari Persia, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Melayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Prancis, Denmark, dan Turki.
Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kejayaannya, di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatanperangnya yang sangat disegani, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia (Ekadjati, 1984:98).
Puncak konflik antara Banten dan VOC terjadi setelah Perjanjian Amangkurat II (Kesuhunan Mataram) dengan VOC membawa pengaruh politik yang besar terhadap Kesultanan Banten, dan setelah pemberontakan Trunojoyo (Madura) dapat dipadamkan, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan dengan VOC (Wangania, 1995:44). Pada saat yang bersamaan Kesultanan Banten mengalami perpecahan dari dalam. Putra Mahkota, Sultan Abu Nasr Abdul Kahar, yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh puteranya sendiri, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini dimanfaatkan VOC untuk mendekati dan menghasut Sultan Haji guna melawan ayahnya. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai Keraton Surosowan yang kemudian berada di bawah kekuasaan VOC. Pada tanggal 27 Pebruari 1682, pecah perang antara ayah dan anak setahun lamanya hingga Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap akibat penghianatan anaknya sendiri, Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692 dan kemudian dimakamkan di kompleks Masjid Agung Banten (Ekadjati, 1995:101-102; Ensiklopedia Sunda, 200:661; Wangania, 1995:45).
Dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684 antara Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, dengan VOC yang diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuer, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus, maka lenyaplah kejayaan dan kemajuan Kesultanan Banten, karena ditelan monopoli dan penjajahan Belanda (VOC). Akibat perjanjian ini Kesultanan Banten diambang keruntuhan. Selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten. Benteng VOC mulai didirikan pada tahun 1684-1685 di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan, dan benteng ini dirancang oleh arsitekur yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel. Benteng yang didirikan itu diberi nama Speelwijk, untuk memperingati Gubernur Jenderal Spleelma. Dengan demikian, praktis Banten sebagai pusat kekuasaan dan kesultanan telah pudar. Demikian pula peranan Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa telah tertutup. Tidak ada lagi kebebasan melaksanakan perdagangan (Tjandrasasmita, 1995:118).
Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi, selain karena Sultan harus membayar biaya perang, juga karena monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya, terutama lada dan cengkeh, kepada VOC melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk, dengan harga yang sangat rendah. Sultan seolah-olah hanya sebagai pegawai VOC dalam hal pengumpulan lada dari rakyat. Pedagang-pedagang Inggris, Prancis dan Denmark karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu, diusir dari Banten.
Kerusuhan demi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang bergejolak selama pemerintahan Sultan Haji. Perampokan dan pembunuhan terhadap para pedagang dan patroli VOC, baik di luar kota maupun di dalam kota. Pernah terjadi pembakaran yang menghabiskan 2/3 bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal VOC dibajak oleh "bajak negara" yang bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara sekarang (salah satu kecamatan di Kabupaten Serang). Sebagian besar rakyat tidak mengakui Sultan Haji sebagai sultan. Oleh karena itu, kehidupan Sultan Haji selalu berada dalam kegelisahan dan ketakutan. Penyesalan perlakuan buruknya terhadap ayahnya sendiri, saudara, sahabat, dan prajurit-prajurit yang setia. VOC yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya, akhirnya menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Sedakingkin sebelah utara Masjid Agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya (Ismail, 1983:7; Tjandrasasmita, 1967:46; Microbdan Chudari, 1993:164).
Paska peristiwa tersebut, Banten memasuki fase sejarah sebagai bagian dari daerah koloni Hindia Belanda. Dan perlawanan-perlawanan sporadis menjadi warna yang kental pada masa pemerintahan berikutnya yang praktis tak berdaulat sebagai sebuah negara/kesultanan.
Sekian.
Sumber: Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Iman Taqwa (Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004), diterbitkan oleh Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.