Sunan Ngampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya yang berada di sana. Sang istri berasal dari Tuban, putri Adipati Arya Teja. Sepeninggal Sunan Ngampel, Nyai Agêng Ngampel (istri Sunan Ampel) sangat dituakan oleh masyarakat Ngampel. Prabu Jimbuningrat (Raden Patah), sesampainya di Ngampel, segera memberikan sembah bakti kepada Nyai Agêng. Bergiliran, para sunan juga menghaturkan sembah baktinya. Prabu Jimbuningrat lantas memberikan kabar tentang pasukan Dêmak yang telah berhasil menjebol Majapahit, tentang lolosnya ayahandanya dan Raden Gugur, tentang tewasnya Patih Majapahit, dan tentang dirinya yang sudah mengukuhkan diri sebagai raja yang menguasai tanah Jawa dan berjuluk Senopati Jimbun atau Panembahan Palembang. Maksud kedatangannya ke Ngampel adalah hendak meminta restu agar dia lestari menjadi raja hingga keturunannya kelak.
Usai mendengar laporan Prabu Jimbun, Nyai Agêng seketika menangis dan merangkul Sang Prabu (Jimbuningrat). Hatinya bagai diiris-iris. Beginilah ucapan yang keluar dari bibirnya:
“Anakku, kamu telah melakukan tiga dosa. Kamu telah berani melawan raja sekaligus orangtuamu serta orang yang telah memberimu kemuliaan duniawi, yang kemudian kamu hancurkan tanpa ada dosa. Jika mengingat kebaikan Paman Prabu Brawijaya, yaitu ketika beliau memberi para ulama tempat tinggal sehingga mereka bisa mencari makan di tempatnya masing-masing, serta memberi mereka kebebasan untuk menyebarkan agama, seharusnya mereka sebagai manusia patut mengucapkan terima kasih. Tetapi mengapa balasannya adalah kejahatan? Sekarang, apakah beliau sudah wafat atau masih hidup, tidak ada yang mengetahui nasibnya!”
Nyai Agêng berkata lagi kepada Sang Prabu:
“Ngger, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah sejujurnya, siapakah ayahmu yang sesungguhnya? Siapakah yang mengukuhkan kamu menjadi raja tanah Jawa dan siapa yang merestui? Apa sebabnya kamu membunuhi orang Majapahit sedangkan mereka tidak punya kesalahan kepadamu sama sekali?”
Sang Prabu menjawab, konon Prabu Brawijaya memang ayahnya yang sesungguhnya. Yang mengangkat dirinya menjadi raja tanah Jawa tak lain adalah para bupati pesisir utara. Yang merestuinya adalah para sunan. Majapahit diserang sebab Prabu Brawijaya tidak mau masuk Islam, tetap bersikukuh memeluk agama kafir kufur, agama Buda totok yang buruk bagai kuwuk (kucing hutan).
Mendengar penuturan Prabu Jimbun, Nyai Agêng menjerit seketika dan merangkul sambil berkata:
“Ngger, ketahuilah! Kamu telah berbuat dosa tiga macam. Pasti kamu akan mendapatkan hukuman Gusti Allah. Kamu telah berani melawan raja dan orangtuamu sendiri, yang telah memberikan kemuliaan duniawi kepadamu, kamu tega telah melakukan kekerasan kepada orang yang tanpa salah. Adanya manusia Islam dan kafir siapa yang menciptakan selain Gusti Allah sendiri? Manusia berganti agama itu tidak bisa dipaksa jika bukan kehendak pribadinya sendiri. Ketahuilah, manusia yang gugur karena memegang teguh keyakinannya termasuk manusia utama! Jika Gusti Allah menghendaki, tak usah disuruh pun dia akan memeluk agama Islam sendiri. Gusti Allah yang bersifat Rahman (Kasih) tidak memerintah untuk memaksa orang masuk agama tertentu, semua harus sesuai kehendak manusia sendiri-sendiri. Gusti Allah tidak akan menyiksa manusia kafir yang tak bersalah dan tidak akan memberikan pahala kepada orang Islam yang perbuatannya tidak benar. Hanya perbuatannya yang akan diadili secara adil, bukan karena agamanya apa! Ibumu Cina dan menyembah Pek Kong, yang diwujudkan dalam kertas bergambar atau arca dari batu. Tidaklah benar membenci orang Buda. Itu tandanya matamu masih terlapisi, sehingga tidak terang penglihatanmu, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
“Konon kamu putra Sang Prabu, tetapi mana ada putra yang tega menghancurkan ayahandanya sendiri, menghancurkannya tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya? Beda dengan mata orang Jawa asli, Jawa atau Jawi, penglihatannya satu, paham mana yang benar dan mana yang salah, sadar mana yang baik dan mana yang buruk. Orang Jawa mesti hormat dan segan kepada orangtua, lalu berbakti kepada raja yang telah memberikan anugerah kemuliaan duniawi. Orangtua maupun raja wajib disuguhi darma bakti. Niatnya adalah berbakti kepada orangtua, jangan melihat dia kafir atau tidak! Kamu aku beri tahu, Agung Kuparman beragama Islam, mertuanya kafir. Mertuanya benci kepadanya karena agamanya beda, senantiasa mencari jalan agar menantunya mati. Akan tetapi Agung Kuparman senantiasa berbakti dan menghormatinya karena mengetahui bahwa dia adalah mertua yang bagaikan orangtua sendiri. Dia tidak melihat kafirnya! Itulah contoh manusia utama, tidak seperti perbuatanmu yang menganiaya orangtua hanya karena beliau beragama Buda dan tidak mau berganti agama Islam. Perbuatanmu tidaklah patut. Dan lagi aku hendak bertanya, apakah kamu pernah meminta secara pribadi kepada ayahandamu agar bersedia berganti agama? Lantas apa yang menyebabkan kamu nekat merusak Negara Majapahit?”
Prabu Jimbun menjawab bahwa dia belum pernah meminta kesediaan ayahandanya agar berganti agama. Dia datang ke Majapahit dan langsung menyerang.
Nyai Agêng Ngampel tertawa dan berkata:
“Perbuatanmu semakin terlihat salah! Para nabi pada zaman dahulu berani menentang orangtuanya sebab sudah setiap hari mereka meminta kesediaan mereka untuk berganti agama, akan tetapi tidak mau juga, bahkan hingga diberi bukti mukjizat yang menandakan bahwa mereka sudah saatnya berganti agama Islam. Akan tetapi permintaan itu tidak digubris, orangtua mereka masih tetap memegang teguh agama lama, lantas mereka dimusuhi oleh orangtua mereka. Jika begitu kejadiannya, kalaupun harus bermusuhan dengan orangtua, mereka tidak salah. Sedangkan dirimu, apa mukjizatmu? Jika memang kamu nyata-nyata khalifatullah (wakil Allah) yang berhak mengganti agama lama, sekarang perlihatkan mukjizatmu! Aku ingin menyaksikannya!”
Prabu Jimbun menjawab bahwa dirinya tidak memiliki mukjizat apa pun, hanya menuruti bunyi kitab, yang katanya jika mengislamkan orang kafir kelak balasannya adalah surga.
Nyai Agêng Ngampel tertawa dan semakin marah:
“Hanya katanya kok dituruti? Bahkan itu bukan ujaran leluhur! Kata-kata pengembara kok dituruti? Akhirnya yang rusak nanti dirimu sendiri. Itu tanda pengetahuan agamamu masih mentah! Kamu berani kepada orangtua hanya karena ingin menjadi raja. Kesengsaraan rakyat banyak tidak kamu pikirkan. Kamu bukan santri ahli budi (kesadaran), hanya manusia yang berikat kepala putih, bagaikan putihnya burung bangau. Yang putih hanya kulitnya saja, di dalamnya masih merah menyala! Saat mertuamu (Sunan Ampel) masih hidup, kamu pernah meminta izin untuk menyerang Majapahit, tetapi mertuamu tidak memberikan izin, bahkan mewanti-wanti kamu agar jangan sampai bermusuhan dengan orangtua. Sekarang mertuamu sudah tiada dan larangannya kamu langgar. Kamu tidak takut melanggar wasiatnya! Jikalau kamu sekarang meminta restu kepadaku untuk menjadi raja di tanah Jawa, diriku tidak berwenang memberikan izin. Diriku ini orang kecil, seorang wanita lagi. Nanti terbalik akhirnya. Sebab seharusnya dirimu yang berwenang memberikan restu kepadaku, sebab dirimu adalah khalifatullah di tanah Jawa. Kamu adalah orangtua, apa yang kamu ucapkan bagaikan ludah berisi api. Diriku hanya tua tanpa arti, dirimulah yang tua karena kamu sekarang raja!”
Lantas Nyai Agêng Ngampel berkata lagi:
“Anakku, dengarkanlah! Aku akan menceritakan empat kisah lama yang bisa dijadikan suri teladan. Dalam sebuah kitab hikayat telah diceritakan, di tanah Mesir pernah suatu ketika putra Kangjêng Nabi Daud merebut takhta ayahnya. Nabi Daud sampai harus meloloskan diri dari kerajaan dan sang putra mengukuhkan diri sebagai raja. Tak lama kemudian, Nabi Daud berhasil merebut kerajaannya. Sang putra lari dengan menunggang kuda ke hutan. Kudanya berlari tak bisa dikendalikan, sehingga dia tersangkut pohon dan batu. Dia mati dengan tubuh tersangkut sebatang pohon. Itulah yang disebut hukum Allah.
“Ada lagi cerita tentang Prabu Dewatacêngkar. Dia juga merebut takhta ayahandanya, lalu dikutuk oleh sang ayah agar menjadi raksasa. Setiap hari dia harus makan daging manusia. Tak lama kemudian, datanglah seorang brahmana dari tanah seberang (India) ke Jawa, namanya Aji Saka. Dia membawa kesaktian di tanah Jawa. Seluruh rakyat Jawa mengasihi Aji Saka dan membenci Dewatacêngkar. Aji Saka diangkat menjadi raja, Dewatacêngkar dilawan hingga lari menceburkan diri ke samudra dan berubah menjadi buaya. Tak lama kemudian, dia meninggal. Ada lagi cerita dari Negara Lokapala. Prabu Danaraja berani melawan ayahandanya. Hukuman yang diterimanya juga tak jauh beda dengan cerita sebelumnya. Semua menemui kesengsaraan. Sedangkan kamu melawan ayah yang tanpa dosa. Pastilah kamu akan menemui kesengsaraan. Jika kelak meninggal, kamu pasti akan masuk neraka. Itulah hukum Allah bagimu!”
Mendengar tuturan sang nenek, Prabu Jimbun dalam hati merasa menyesal, akan tetapi semua sudah terlanjur.
Nyai Agêng Ngampel masih meneruskan penuturannya:
“Ketahuilah, dirimu ini diperalat oleh para ulama dan bupati. Mengapa kamu menurut saja? Yang akan menerima kesengsaraan pastilah hanya kamu seorang. Kamu sudah kehilangan ayah, seumur hidup namamu akan tercemar. Kebanggaan apa yang kamu dapatkan jika sudah unggul berperang melawan ayah sendiri yang patut dihormati? Walau kamu bertobat kepada Yang Mahakuasa, menurutku tobatmu tidak akan diterima. Kesalahan pertama, kamu berani melawan ayahanda sendiri; kesalahan kedua, kamu berani menentang raja; kesalahan ketiga, kamu membalas kebaikan dengan kejahatan serta melakukan pengrusakan dan pembunuhan tanpa alasan. Ingat, Adipati Pranaraga (Bathara Katong) dan Adipati Pêngging (Andayaningrat) tidak akan mungkin bisa menerima kehancuran Majapahit. Pasti mereka akan membela ayah mereka. Menghadapi hal itu saja sudah sangat berat buatmu.”
Banyak lagi penuturan Nyai Agêng kepada Prabu Jimbun. Sesudah Sang Prabu selesai dinasihati, dia lantas disuruh pulang ke Dêmak dan mencari tahu ke mana perginya ayahnya. Jika ayahnya sudah ditemukan, beliau diminta pulang kembali ke Majapahit, dengan terlebih dulu diminta mampir ke Ngampelgadhing. Akan tetapi, jika beliau tidak berkenan, tidak boleh ada paksaan kepadanya. Sebab, jika sampai beliau marah lagi dan mengeluarkan kutuk, pasti kutukannya akan terjadi.