Sufi Twitter @candramalik
Setiap tahun, ribuan sufi dari seluruh 
dunia berkumpul di Indonesia. Mereka tidak bicara soal kesesatan, mereka
 lebih memilih bercakap-cakap soal cinta kasih sembari mencari 
titik-titik temu antar beragam keyakinan.
Januari 2013, para sufi dunia berkumpul 
di Pekalongan, pulau Jawa. Mereka akan bicara tentang banyak hal 
terutama konflik di Timur Tengah.
Indonesia menjadi surga bagi para sufi. 
Jutaan orang menjadi pengikut aliran yang sering disebut sarjana barat 
sebagai mistikus Islam: mereka yang lebih mengedepankan batin dalam 
mendekati Tuhan.
Sufisme vs. Ekstrimisme
Mistikus Islam, kelompok tarekat atau tasawuf adalah nama-nama lain bagi mereka yang mempraktekkan sufisme.
“Sufisme fokusnya pada yang batin, 
sementara kelompok fundamentalis fokusnya adalah kewajiban melaksanakan 
hukum agama. Itulah yang membuat sufisme dalam sejarah Islam selalu 
berkonflik dengan kelompok fundamentalis,” kata Media Zainul Bahri, 
pakar sufisme yang sedang mengikuti program riset Post Doktoral Yayasan 
Humbolt di Universitas Köln Jerman kepada Deutsche Welle.
“Ketika seseorang mendalami dimensi batin
 agama, maka dia akan ‘bertemu’ dengan agama-agama lain. Karena itulah 
sufisme sangat toleran terhadap perbedaan keyakinan, karena dia lebih 
melihat pada dimensi batin agama.“
Meski dikenal dunia sebagai negara 
berpenduduk muslim moderat, namun belakangan Indonesia mengalami 
gelombang pasang intoleransi: pemboman oleh kelompok teroris maupun 
penyerangan atas kelompok minoritas oleh kelompok Islam radikal.
Kelompok sufisme sangat tidak suka dengan
 kelompok radikal, kata Zainul Bahri. Tapi pandangan mereka sayangnya 
jarang diekspos oleh media massa. Dia meyakini bahwa sufisme sangat 
efektif untuk melawan doktrin-doktrin di dalam Islam yang bersifat 
ekstrim.
“Pengikut sufisme itu bagian dari silent majority di dalam Islam”
“Sufi sangat toleran dengan perbedaan” Pakar Sufisme Media Zainul Bahri
Surga Sufisme
Islam masuk ke Indonesia abad ke-15 
melalui sufisme. Menurut Zainul Bahri, para Wali Songo ketika pertama 
kali memperkenalkan Islam lebih banyak bicara soal nilai-nilai budi 
pekerti atau akhlak, dan itu dekat dengan ajaran Hindu dan Buddha yang saat itu menjadi agama mayoritas.
Sifat sufisme yang lebih banyak bicara soal nilai-nilai kebaikan itu membuat Islam menjadi lebih gampang diterima di Indonesia.
Zainul Bahri memperkirakan, kini ada 
lebih dari tujuh juta orang di Indonesia yang mengikuti ajaran sufisme. 
Organisasi Islam terbesar Nahdatul Ulama, bahkan mempunyai sayap 
organisasi tasawuf. Sebagian besar pengikut sufi, ada di pedesaan.
Namun beberapa tahun terakhir muncul 
gejala sufisme perkotaan. Di sejumlah perumahan paling elit Jakarta: 
kawasan Pondok Indah, Kuningan atau bahkan di hotel-hotel mewah digelar 
pengajian Tasawuf.
Zainul Bahri yang sempat mengajar di 
salah satu pengajian tasawuf elit Jakarta bercerita bahwa sebagian besar
 yang bergabung adalah kalangan pengusaha atau bekas pejabat.
Cendekiawan Islam paling terkemuka 
seperti almarhum Nurcholish Madjid, Haidar Bagir dan Jalaluddin Rakhmat 
termasuk diantara mereka yang “menularkan” sufisme di kalangan elit 
perkotaan.
Orang kaya lebih senang belajar tasawuf 
karena mereka ingin mencari ketenangan batin. Mereka menemukan kedamaian
 hati dan pencerahan: wajah Islam yang damai, toleran dan bersahabat.
Sufi Twitter
Jangan bayangkan jubah putih, sufi yang 
satu ini berbeda. Berambut gondrong, suka bercelana jeans, dan menenteng
 Ipad ke manapun dia pergi.
Namanya @candramalik, usianya 34 tahun. Dia mendeklarasikan diri sebagai sufi Twitter. Follower-nya
 di jejaring sosial lebih dari 30 ribu. Serial Tweet-nya, terutama di 
malam hari lewat #FatwaRindu dan #Seucap disukai para pengikut.
Indonesia adalah negara yang menggilai Twitter. Akhir 2012, lembaga riset Semiocast asal
 Prancis mengungkapkan bahwa Jakarta adalah kota dengan lalu lintas 
percakapan Twitter paling tinggi di dunia, mengalahkan di urutan 
berikutnya New York, Tokyo, London, Sao Paolo. Nomor enam tertinggi di 
dunia adalah: Bandung, yang mengalahkan Paris dan Los Angeles.
“Lewat Twitter, saya bisa menyampaikan 
pesan sufisme secara lebih terbuka, egaliter, dan bisa diperdebatkan 
siapa saja tanpa penghalang, itu sangat cocok dengan jiwa sufisme yang 
selalu membuka ruang bagi dialog“ kata Candra Malik kepada Deutsche Welle.
“Ketika mendeklarasikan diri sebagai sufi
 Twitter, sebetulnya saya sedang mendekonstruksi sufisme untuk 
menunjukkan bahwa sesungguhnya sufisme sangat dekat dan berada di tengah
 masyarakat.“
Sufi masa kini, menurut Candra Malik tidak perlu selalu berjubah, pakai surban, dan menyembunyikan diri dari publik.
Candra Malik mempunyai pesantren tasawuf 
di Solo. Dia juga mengajar kelas sufi di kota-kota besar: Jakarta, 
Bandung, Yogya, Surabaya hingga Bali. Dia mengaku punya 3.500 murid dan 
sepuluh persen diantaranya mempunyai latar keyakinan Hindu, Buddha, 
Katolik, Kristen hingga Kejawen.
“Sufisme mengajarkan tentang cinta damai,
 kasih sayang, tentang bagaimana menghargai kemanusiaan. Seorang sufi 
selalu berusaha mengerti keberadaan manusia berasal dari keyakinan 
masing-masing tanpa memaksakan kehendak mana yang lebih benar.“
Saat bulan puasa 2012, Candra Malik 
merilis album kidung sufi “Samudera Cinta“, dia juga mengisi acara 
Ramadhan di salah satu stasiun televisi. Dalam beberapa konser, Candra 
Malik melibatkan paduan suara gereja.
“Twitter atau musik lebih efektif untuk 
menyebarkan sufisme di dalam masyarakat modern. Kalau hanya berhenti di 
pengajian atau mesjid, maka gagasan yang cinta damai itu tidak akan bisa
 merangkul kalangan yang lebih luas,“ pungkas Candra Malik.