Sebagai daerah sekaligus sebuah bangsa, Banten telah lama dikenal dalam
peta masyarakat dunia. Berbagai sumber asing menyebutkan Banten (saat
itu dikenal dengan
Bantam) sebagai satu dari beberapa daerah yang menjadi rute pelayaran mereka, mulai dari sumber Cina yang berjudul
Shung Peng Hsiang Sung (1430), hingga berita
Tome Pires (1512). Pun dalam berbagai sumber pustaka nusantara, Banten dikenal dengan berbagai nama misalnya:
Wahanten Girang dalam naskah
Carita Parahiyangan (1580),
Medanggili dalam
Tambo Tulangbawang,
Primbon Bayah, serta berita Cina (abad ke-13) dan lain-lain.
Berbagai
sumber tersebut setidaknya mampu menggambarkan betapa Banten pada masa
lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai,
serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di
jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak
awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi
pelabuhan internasional. Dan berbagai konsekuensi logisnya, Islam
diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat
sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.
Proses Islamisasi Banten, yang diawali oleh
Sunan Ampel, kemudian diteruskan oleh
Syarif Hidayatullah (
Sunan Gunung Jati) yang seluruh kisahnya terekam dalam naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari. Fase sejarah penting menguatnya pengaruh Islam terjadi ketika Bupati Banten menikahkan adiknya, yang bernama
Nyai Kawunganten, dengan Syarif Hidayatullah yang kemudian melahirkan dua anak yang diberi nama
Ratu Wulung Ayu dan
Hasanuddin sebagai cikal bakal dimulainya fase sejarah Banten sebagai
Kesultanan Banten
(Djajadiningrat, 1983:161). Bersama putranya inilah Sunan Gunung Jati
melebarkan pengaruh dalam menyebarluaskan agama Islam ke seluruh tatar
Sunda hingga saatnya Sang Wali kembali ke Cirebon.
Takluknya
Prabu Pucuk Umun di
Wahanten Girang (sekarang di kenal dengan daerah
Banten Girang
di Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang - Wahanten Girang merupakan
bagian wilayah dari Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan -
sekarang di kenal dengan wilayah Pakuan Bogor) pada tahun 1525
selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai Kesultanan
Banten dengan dipindahkannya Pusat Pemerintahan Banten dari daerah
Pedalaman ke daerah Pesisir pada tanggal 1 Muharam 933 Hijriah yang
bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Microb dan Chudari, 1993:61).
Atas
pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi
Keraton, Benteng, Pasar, dan Alun-Alun yang harus dibangun di dekat
kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama
Keraton Surosowan.
Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar dan maju, dan
pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten
diubah menjadi negara bagian
Kesultanan Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan gelar
Maulanan Hasanuddin Panembahan Surosowan (Pudjiastuti, 2006:61).
Ketika sudah menjadi Pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh
J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk (
Teluk Banten),
yang lebarnya sampai tiga mil. Kota ini panjangnya 850 depa. Di tepi
laut kota itu panjangnya 400 depa, masuk ke dalam ia lebih panjang.
Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, dimana kapal
jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada
sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya
perahu-perahu kecil saja yang berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota
itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya
tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu,
terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik.
Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan
kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari.
Keraton Sultan terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya
terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut
Srimanganti,
yang digunakan sebagai tempat Sultan bertatap muka dengan rakyatnya. Di
sebelah barat alaun-alun didirikan sebuah Masjid Agung (Djajadiningrat,
1983:84).
Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah
satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di
Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat
menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Ketika orang Belanda
tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke
Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul
oleh orang Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark
pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini,
Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari
Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di
perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan
Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda (Ekadjati (ed.), 1984:97).
Wujud
dari interaksi budaya dan keterbukaan masyarakat Banten tempo dulu
dapat dilihat dari berkembangnya perkampungan penduduk yang berasal dari
berbagai daerah di Nusantara seperti Melayu, Ternate, Banjar, Banda,
Bugis, Makassar, dan dari Jawa sendiri serta berbagai bangsa dari luar
Nusantara seperti Pegu (Birma), Siam, Parsi, Arab, Turki, Bengali, dan
Cina (Leur, 1960:133-134; Tjiptoatmodjo, 1983:64). Setidaknya inilah
fakta sejarah yang turut memberikan kontribusi bagi kebesaran dan
kejayaan Banten.
Dalam usahanya membangun Banten, Maulana
Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama (1552-1570), menitikberatkan
pada pengembangan sektor perdagangan dengan lada sebagai komoditas utama
yang diambil dari daerah Banten sendiri serta daerah lain di wilayah
kekuasaan Banten, yaitu Jayakarta, Lampung, dan terjauh yaitu dari
Bengkulu (Tjandrasasmita, 1975:323).
Perluasan pengaruh juga
menjadi perhatian Sultan Hasanuddin melalui pengiriman ekspedisi ke
pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan lain. Sunda Kelapa sebagai salah satu
pelabuhan terbesar berhasil ditaklukkan pada tahun 1527 dan takluknya
Sunda Kelapa menjadi "
Jayakarta" (setelah jatuh ketangan
VOC-Belanda berubah menjadi
Batavia kemudian berubah lagi menjadi
Jakarta).
Dengan takluknya Sunda Kelapa, Banten memegang peranan strategis dalam
perdagangan lada yang sekaligus menggagalkan usaha Portugis di bawah
pimpinan Henrique de Leme dalam usahanya menjalin kerjasama dengan Raja
Sunda/Padjadjaran (Kartodirdjo, 1992:33-34). Sunda Kelapa merupakan
Pelabuhan Utama Kerajaan Padjadjaran, dengan jatuhnya Sunda Kelapa ke
Kesultanan Banten praktis Kerajaaan Padjadjaran kehilangan wilayah
pesisir utamanya yang sebelumnya
Pelabuhan Caruban oleh
Kesultanan Demak dan kemudian berdirinya
Kesultanan Cirebon.
Sebelumnya Kerajaan Padjadjaran hendak menjalin kerjasama dengan
orang-orang Portugis untuk menghadapi pengaruh Kesultanan Cirebon dan
Kesultanan Banten di wilayah pesisir utara.
Paska wafatnya Maulana Hasanuddin, pemerintahan dilanjutkan oleh
Maulana Yusuf (1570-1580), putra pertamanya dari
Ratu Ayu Kirana, putri
Sultan Demak.
Kemasyuran Banten makin meluas ketika politik ekspansinya berhasil pula
menaklukkan Kerajaan Padjadjaran di Pakuan yang dibantu oleh Kesultanan
Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Padjadjaran akhirnya
benar-benar runtuh (Atja, 1986: 151-152, 189).
Pada masa
pemerintahan Maulana Yusuf, sektor pertanian berkembang pesat dan meluas
hingga melewati daerah Serang sekarang, sedangkan untuk memenuhi
kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan
bendungan.
Danau (buatan) Tasikardi merupakan
sumber pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk kota, sekaligus
sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di sekitar kota. Sistem
filtrasi air dengan metode pengendapan di pengindelan abang dan
pengindelan putih merupakan bukti majunya teknologi air pada masa
tersebut.
Pada masa Maulana Yusuf memerintah, perdagangan Banten
sudah sangat maju dan Banten bisa dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan
emperium, tempat barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia
digudangkan dan kemudian didistribusikan (Michrob dan Chudari,
1993:82-83). Tumbuh dan berkembangnya pemukiman-pemukiman pendatang dari
mancanegara terjadi pada masa ini. Kampung Pekojan umpamanya untuk para
pedagang Arab, Gujarat, Mesir, dan Turki, yang terletak di sebelah
barat
Pasar Karangantu. Kampung Pecinan untuk para pedagang Cina, yang terletak di sebelah barat Masjid Agung Banten.
Masa kejayaan Banten selanjutnya diteruskan oleh
Maulana Muhammad
paska mangkatnya Maulana Yusuf pada tahun 1580. Maulana Muhammad
dikenal sebagai sultan yang amat saleh. Untuk kepentingan penyebaran
agama Islam ia banyak menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian
dibagikan kepada yang membutuhkannya. Kesejahteraan masjid dan kualitas
kehidupan keberagamaan sangat mewarnai masa pemerintahannya walaupun tak
berlangsung lama karena kematiannya yang tragis dalam perang di
Palembang pada tahun 1596 dalam usia sangat muda, sekitar 25 tahun.
Paska
mangkatnya Maulana Muhammad Banten mengalami masa deklinasi ketika
konflik dan perang saudara mewarnai keluarga kesultanan khususnya selama
masa perwalian
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan ketika ayahandanya wafat. Puncak perang saudara bermuara pada peristiwa
Pailir, dan setelahnya Banten mulai kembali menata diri.
Dengan berakhirnya masa perwalian
Sultan Muda pada bulan Januari 1624, maka
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
diangkat sebagai Sultan Banten (1596-1651). Sultan yang baru ini
dikenal sebagai orang yang arif bijaksana dan banyak memperhatikan
kepentingan rakyatnya. Bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat
mendapat perhatian utama dari Sultan Banten ini. Ia berhasil menjalin
hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan
negara-negara Islam. Dialah penguasa Banten pertama yang mendapat gelar
Sultan dari penguasa Arab di Mekkah (1636). Sultan Abdulmufakhir
bersikap tegas terhadap siapa pun yang mau memaksakan kehendaknya kepada
Banten. Misalnya menolak kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli
perdagangan di Banten (Ekadjati (ed.), 1984:97-98). Dan akibatnya
kebijakannya ini praktis masa pemerintahannya diwarnai oleh ketegangan
hingga blokade oleh VOC terhadap Banten.
bersambung:
Sejarah Singkat Kesultanan Banten (Fase Konflik hingga Fase Keruntuhan)
Sumber : Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Iman Taqwa (Memori
Pengabdian DPRD Banten Masa Bhakti 2001-2004), diterbitkan oleh
Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2004.