PIDATO PRESIDEN SUKARNO “NAWAKSARA”
Di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada tanggal 22 Juni 1966
Saudara-saudara sekalian,
I. 
RETROSPEKSI 
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya  berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS  No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin  Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan  Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin  mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya  di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul “Ambeg  Parama-Arta” tentang hal ini:
1. 
Pengertian Pemimpin Besar Revolusi. 
Dalam pidato saya “Ambeg Parama-Arta” itu, saya berkata: “MPRS telah  memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam  memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja  Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi  mengangkat saya juga menjadi: “PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA”.
Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena  MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik  Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah “Pemimpin  Besar Revolusi Indonesia”, yaitu: “PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT  INDONESIA”!
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa  konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga  mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang amat berat  sekali!!
“Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar “Melaksanakan”.  “Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan”!
Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat  saya menjadi “Pemimpin Besar Revolusi”, bahwa kewajiban saya adalah amat  berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya terima
pengangkatan sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat  Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang  pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa,  Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya  secukup-cukupnya!
Sebaliknya, kepada 
MPRS dan kepada 
Rakyat Indonesia sendiri,  hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya berkata: “Jikalau benar  dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi  Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya  mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk  selalu mengikuti, melaksanakan, menfi’ilkan segala apa yang saya berikan  dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga  Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu  pertanggungan-jawab yang berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T.  dan dengan bantuan seluruh Rak yat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga  Saudara-saudara para Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya  Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan  terlaksana!
Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat “Ambeg Parama-Arta”.
Saudara-saudara sekalian,
Dari Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut, dapatlah Saudara ketahui,  bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar  Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada saya.
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi  saya pun – dan dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif  revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam  kancahnya Revolusi kita – saya pun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap  Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi  Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang  berhari depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta’ mungkin tanpa  adanya pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya  Re-So-Pim, yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.
2. 
Pengertian Mandataris MPRS. 
Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di  segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap  MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut garis-garis besarnya. Ini pun  adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa  Undang-Undang Dasar ‘45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan  garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja  dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara  kemurnian Undang-Undang Dasar ‘45, apabila MPRS jatuh terpelanting  kembali ke dalam alam Liberale democratie, dengan beradu
debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil, di mana  masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-kepentingan  golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat  banyak, kepentingan Revolusi kita!
Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah  kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar  haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah  mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: “Kamu sekalian  adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya  tentang kepemimpinan itu di hari kemudian.”
Saudara-saudara sekalian,
Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan  dalam Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah  membenarkan amanat itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS 
No.IV/1963,  yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai  pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai  landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti  terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.
3. 
Pengertian Presiden seumur hidup 
Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu  Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden  se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab keputusan  Saudara-saudara itu dengan kata-kata: “Alangkah baiknya jikalau nanti  MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali.”  Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat demikian!
II. 
LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN. 
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut  tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya “Berdikari”  pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11 April 1965, di  mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:
1. 
Trisakti. 
Pertama :
bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan  Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh  rakyat sebulat-bulatnya.
Kedua :
bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan
hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan  sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongann-ya  sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!
Ketiga :
bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan  tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu  berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan  berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!
Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik  “Ambeg Parama-Arta”, maupun “Berdikari” telaK Saudara-saudara tetapkan  sebagai landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional  Semesta Berencana untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa  jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan  “Berdikari di atas Kaki Sendiri” dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa  Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi  kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya  UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan  Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga  menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-semua, ya  bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya  bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan  ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang  sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.
Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka  Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian  dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang  paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajuritprajurit  Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha  dahsyat sekarang ini.
2. 
Rencana Ekonomi Perjoangan. 
Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan  perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa  “self-reliance” ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa  self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan  Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu, saya telah  meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas, untuk  menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoar gan  seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang  lalu.
Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut telah selesai, dan saya  lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan  MPRS 
No.II/MPRS/1960. Di  dalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum  Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola  Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.
3. 
Pengertian Berdikari. 
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang” telah  saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato  Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas  kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka.
Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis,  bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling me nguntungkan.
Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama  ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: “Berdikari bukan saja  tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari  cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan  dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain.  Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita  tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan.”
Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus  menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini,  baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran  hutang-hutang luar negeri kita.
III. 
HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI 
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.
Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang ekonomi, atau dengan lain  perkataan “political-economy”-nya pembangunan kita. Dekon merupakan  strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan  kita, yaitu tahun 1966–1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang  tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas  ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan  kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan  sebagainya.
IV. 
DETAIL KE-DPR 
Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana  dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garisgaris  besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah  bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan  Undang-Undang Dasar 1945.
V. 
TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN 
Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang  Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam  keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi kita.
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat  dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau mengharuskan semua  Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa  menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.
VI. 
MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945 
Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan  Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei  1966 kepada Pimpinan DPRGR memajukan:
a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.
b. RUU Pemilihan Umum.
c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3  tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat  ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
VII. 
WEWENANG MPR DAN MPRS 
Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian  pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan  fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan MPR  hasil pemilihan-umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan  Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3  UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita  tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan  Manipol/Usdek.
VIII. 
KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan  Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas,  yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan-pandangan,  kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak antara Presiden  dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan  kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14,  15, 16, 17, ayat 2).
Jiwa kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas  dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945  hendaknya kita sadari sepenuhnya.
IX. 
PENUTUP 
Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS  menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang,  dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar supaya  benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita  rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan  Revolusi Panca-Sila kita.
Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS.  lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada  Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.
Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.
Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan  golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul  kepada amanat saya tadi itu. Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada  pidato-pidato saya, ada yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri  dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan  perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat ini.  Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini  “Pidato Sembilan Pokok”. Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa  memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan  kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan  Sanskrit. Catur Pra Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat,  Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini saya namakan apa?
Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah “Nawa”. Eka, Dwi, Tri,  Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa,  sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan “Nawa”. “Nawa”  apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama “NAWA AKSARA”, dus “NAWA  iAKSARA” atau kalau mau disingkatkan “NAWAKSARA”. Tadinya ada orang yang  mengusulkan diberi nama “Sembilan Ucapan Presiden”. “NAWA SABDA”. Nanti  kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata:  “Uh, uh, Presiden bersabda”. Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak,  saya tidak mau memakai perkataan “sabda” itu, saya mau memakai perkataan  “Aksara”; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara  Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya  berikan kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal  ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA . ,
Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya  sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih  muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya  miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: “Saya tinggalkan this  material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan,  karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya,  oleh karena saya miskin.” Maka
saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam  pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the  mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam  world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan  telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di  situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan  segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan  nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli  falsafah, ahli falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya  berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world  of the mind itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang  berkaliber besar.
Saya berjumpa denganorang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari  membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa  yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut:  “The cause of freedom is a deathless cause. The cause of freedom is a  deathless cause. Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan  yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.
Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja  saya tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan  bukan saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat  manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada cause of  freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini,  deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this.  Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a  deathless cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless  service. Pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada  kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian  yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang hanya lip-service,  tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang  betul-betul pengabdian, service yang demikian itu adalah satu deathless  service.
Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin  besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata “the cause  of freedom is deathless cause”. Saya berkata “not only the cause of  freedom is deathless cause, but also the service of freedom is a  deatheless service”.
Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau  menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini,  kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang: the service  of freedom is deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak  mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur,  badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa  dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan  manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat  kelahirannya, tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak  mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan,  tidak bisa ditembak mati.
Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri,  saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun,  hampir empat tahun dedicate myself to this service of freedom. Yang saya  menghendaki supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia  masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini,  oleh karena memang service of freedom ini is a deathless service. Tetapi  akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.
Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah  S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya  service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God  beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan.  Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma  saya juga di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya  kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this  great cause of freedom and to this great service.
Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya  pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu  memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian.  Sekianlah.
Ket: Foto merupakan tambahan dari penuli
Sumber : http://penasoekarno.wordpress.com/2009/11/20/nawaksara/