oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Kedua
A. Pengertian Al-Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah
Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud
 dalam kajian ini, bermula dari sekte Syi'ah Kaisaniyyah yang banyak 
terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'.1) Kata al-Mahdi adalah ism 
maf'ul dari [kata-kata Arab] seperti: [kata-kata Arab].
Kata ini bisa berarti, Allah telah 
memberitahukan, menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya. Dengan 
demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut al-Mahdi. Dalam
 hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa sigat kata al-Mahdi itu 
adalah maf'ul (dalam bentuk mabni lil-majhul dari [kata-kata Arab] dan 
kata al-Mahdi berarti orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata 
tersebut, dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa'il, yakni orang yang 
terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang sigat [kata-kata 
Arab] tidak terdapat dalam al-Quran, yang ada adalah sigat al-fa'il, 
sebagaimana dalam firman Allah:
Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (Q.S. al-Hajj: 54)
Juga dalam firman-Nya:
... Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (Q.S. al-Furqan: 31).
Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya
 sama sekali dengan masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara
 ummat Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema pembahasan 
tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta menghubungkannya dengan
 hadis-hadis Mahdiyyah.2)
Dalam hubungan ini, Ahmad Amin 
menjelaskan, bahwa dalam al-Quran hanya ada kata [kata-kata Arab] dan 
kata [kata-kata Arab] sedangkan kata yang terdapat dalam sebagian 
kitab-kitab hadis adalah untuk menyipati pribadi 'Ali ibn Abi Talib. 
Seperti sabda Nabi yang dikutip dari kitab Usdul-Gabah:
" ... Dan jika kalian mengangkat 'Ali 
sebagai pemimpin, namun aku melihat kalian tidak melakukan itu, kalian 
akan mendapatinya sebagai seorang pemberi petunjuk yang membawa kalian 
ke jalan yang lurus."
Kemudian pengertian bahasa agama ini 
berubah menjadi pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang 
ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan keadilan 
sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan. Selanjutnya ia 
berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama menggunakan pengertian yang
 terakhir ini adalah Syi'ah Kaisaniyyah.3 ) Selanjutnya perlu 
ditambahkan disini bahwa kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang
 telah diberi petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu 
berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang yang telah 
diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided one, dengan cara yang 
menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan demikian, orang yang disebut 
Mahdi atau al-Mahdi, benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa
 lalu, nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan 
dimasa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara eskatologis.4) 
Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh laki-laki dari keturunan 
Ahlul-Bait yang akan muncul di akhir zaman. Dia akan menegakkan agama 
dan keadilan dan diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih 
yang turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam sewaktu
 salat bersama-sama Nabi Isa a.s. Demikianlah pengertian al-Mahdi yang 
dikenal secara umum di kalangan ummat Islam.
Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut 
paham Syi'ah ialah seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan 
datang memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi oleh
 kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut aliran ini 
al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang merupakan penjelmaan 
atau pengejawantahan dari al-Mahdi dan al-Masih a.s., dan diangkat oleh 
Tuhan sebagai mujaddid atau pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham 
Ahmadiyah Lahore. Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam
 Ahmad disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.
Uraian diatas menunjukkan bahwa 
kepercayaan kaum Ahmadiyah terhadap al-Mahdi ini bermula dari pengakuan 
Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam yang
 ditemukannya di Srinagar, Punjab, India. Menurut penyelidikan mereka, 
makam tersebut adalah makam Yus Asaf yang diyakini sebagai Isa al-Masih,
 sesudah pengembaraannya yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India. 
Dan sesudah penemuan makam tersebut, barulah dicari hadis-hadis 
Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan aliran ini. Paham 
kemahdian Ahmadiyah diatas, berbeda dengan paham kemahdian Syi'ah yang 
timbul dari 'Aqidah ar-Raj'ah dan masalah al-Gaibah. Oleh karena kaum 
Syi'ah tidak mau mengakui kematian imam-imam mereka, dan karena pengaruh
 ajaran ibn Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan mereka 
tentang imam yang bersembunyi (gaib). Dalam kaitan ini, Ahmad Amin 
menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu bermula dari ucapan Ibn 
Saba', yang menyatakan bahwa Muhammad SAW akan kembali lagi ke dunia, 
adalah mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya Isa a.s., tetapi
 ia mendustakan kembalinya Muhammad.5)
Dalam salah satu pernyataannya yang 
lain, ia tidak mengakui kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu bukan 
'Ali tetapi, setan yang menjelma sebagai 'Ali, dia naik ke langit 
sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang bersembunyi tersebut akan muncul 
lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian, akhirnya, 
muncul pula pemikiran tentang al-Mahdi, dan kemudian dibuatlah 
hadis-hadis Mahdiyyah.
Adapun arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut, atau berarti golongan. Seperti firman Allah:
... Dan benar-benar Ibrahim adalah termasuk golongannya... (Q.S. as-Saffat: 83).
Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:
Syi'ah adalah golongan yang membantu 
'Ali dalam menumpas pemberontakan yang dimotori oleh Talhah, Zubair, 
bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum Khawarij. 
Para pendukung 'Ali tersebut, sebagian besar mengakui kekhilafahan Abu 
Bakr, 'Umar, dan 'Usman sampai terjadinya penyimpangan yang menimbulkan 
huru-hara. Sebagian lagi, mereka yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin 
mereka. Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang 
mengunggulkan 'Ali sebagai khalifah sesudah Rasul wafat, daripada tokoh 
sahabat lainnya.6)
Istilah Syi'ah sebagai yang dikembangkan
 oleh al-Mahdi Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an 
pada umumnya, dan tampaknya istilah tersebut lebih cocok untuk golongan 
Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah Syi 'ah sebagai yang 
dikemukakan oleh Dr. Ahmad Amin dalam Duhal-Islam III, tampak lebih 
luas. Syi'ah menurut pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa
 'Ali dan keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat khalifah
 daripada Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Dan bahwasanya Nabi telah 
menjanjikan kekhilafahan sesudahnya kepada 'Ali, dan setiap imam 
menjanjikan kekhilafahan tersebut kepada penerusnya.
Selanjutnya tentang arti kata 
'Ahmadiyah' berasal dari kata 'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism'alam yang 
searti dengan kata 'mahmud,' artinya orang yang terpuji. Namun menurut 
Mirza Ghulam Ahmad, bahwa kata 'Muhammad' artinya, berkaitan dengan 
sifat jalal atau kebesaran, karena itu, Rasulullah dalam menghadapi 
musuh-musuhnya dengan cara berperang. Sedang kata 'Ahmad' lebih 
berkonotasi dengan sifat jamal atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi saw.
 itu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh 
jalan kekerasan), sifat ini menurut pendapatnya, lebih dimanifestasikan 
sewaktu Nabi tinggal di Madinah.7)
Apabila kata "Ahmad" ditambah dengan 
"ya" nisbah, maka jadilah kata [kata-kata Arab]. Kata inilah yang oleh 
Mirza dijadikan sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir abad 
ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah 
al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi. Nama Ahmadiyah dipakai 
secara resmi sebagai nama aliran tersebut, sejak 4 November 1900, 
sewaktu pendirinya membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte 
baru dalam Islam. Nama 'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu 
nama Rasulullah, bukan diambil dari nama pendiri aliran tersebut.
B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH
1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA
Masalah khalifah sesudah Rasul wafat, 
merupakan fokus perselisihan diantara tiga golongan besar, ya?tu: 
Golongan Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya masih
 ada kelompok terselubung yang cukup potensial dalam mewujudkan 
ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah golongan Bani Umayyah. Sikap 
golongan terakhir ini, tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu Abu 
Sufyan yang enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari 
Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam lain, 
sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.
Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah 
yang dimotori oleh Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah 
kembali bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar suku
 yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat dipahami bahwa 
pemilihan khalifah tersebut, tanpa keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani
 Hasyim, tampaknya membawa kekecewaan mereka yang menginginkan hak 
legitimasi kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus 
jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih berhak dan lebih 
utama menggantikannya, karena dia adalah menantunya, dan selain itu ia 
juga seorang yang mula-mula masuk Islam sesudah Khadijah, istri 
Rasulullah. Selanjutnya tak seorang pun yang mengingkari perjuangan, 
keutamaan, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang 
berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan Ansar yaitu 
Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam suatu pertemuan di Saqifah: " ... 
Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr, 
Umar, dan'Ali), sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang yang 
seandainya ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan 
menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8)
Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada 
tahun 12 H (634 M), tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan 
berbagai pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara tokoh-tokoh 
sahabat itu yang lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Selain itu, 
juga merupakan awal terbentuknya pemikiran golongan ketiga yakni Bani 
Hasyim, disamping golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh karenanya tidak 
mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at 'Ali ibn Abi 
Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak 'Ali dan sebagai 
akibatnya, para pendukung 'Ali menunda-nunda pembai'atan mereka pada 
Khalifah Abu Bakr.
Memang benar, bahwa sesudah 'Ali 
membai'at Khalifah pertama ini, isu politik tentang hak legitimasi 
Ahlul-Bait, sebagai pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur 
mereda sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab. 
Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan oleh keberhasilan 
kedua khalifah tersebut dalam mempersatukan potensi ummat Islam untuk 
menghadapi musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.
Munculnya Bani Umayyah dalam 
pemerintahan 'Usman, sebagai kekuatan politik baru, telah mengundang 
reaksi keras ummat Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama 
sesudah enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah 
ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi kaum 
kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah yang selama 20 
tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu politik tentang hak 
legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, 
tindakan politik Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang 
diangkat oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari
 keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan keresahan ummat
 secara luas. Seperti: Pengangkatan Marwan ibn Hisyam sebagai sekretaris
 Khalifah, Mu'awiyah sebagai Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn 
Surrah sebagai wali di Mesir, dan ia masih saudara seibu dengan 
Khalifah, dan Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai 
penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan 
kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan aspirasi rakyat.
 Sikap politik seperti ini tampaknya merupakan faktor penyebab timbulnya
 protes-protes sosial yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada 
pemerintahannya sendiri.
Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon 
utama untuk menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini, 
segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang berambisi 
menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh itu adalah Talhah dan 
Zubair yang mendapat dukungan dari 'A'isyah, untuk mengadakan aksi 
militer yang dikenal dengan perang Jamal. Akhirnya kedua tokoh tersebut 
terbunuh, sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke 
Madinah.
Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai
 akibat kegagalan kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping 
itu, keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan Basrah
 untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang terhunus. Alasan terakhir 
ini rupanya dijadikan alasan baru untuk menuntut Khalifah, mereka 
berjanji akan taat dan patuh, jika Khalifah menghukum semua orang yang 
terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn 'Affan. Tuntutan tersebut 
senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar Khalifah 'Ali mengadili 
Muhammad ibn Abu Bakr, anak angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang
 keladi peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali 
dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal pemerintahannya.
Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair 
tersebut, dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang 
dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan semangat 
antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali, Mu'awiyah menggantungkan
 baju 'Usman yang berlumuran darah beserta potongan jari istrinya, yang 
dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9) Posisi 'Ali 
yang sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya terhadap 
Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah sebagai faktor yang 
mempercepat berkobamya perang Siffin. Perang ini mengakibatkan munculnya
 golongan Khawarij, musuh 'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya 
upaya perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada al-Qur-an, 
setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali dibawah panglima Malik 
al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini, 
sebenarnya telah diketahui oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi 
siasat licik ini terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang 
memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak 
sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus diwakili oleh seorang 
juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan 
pihak 'Ali diwakili Abu Musa al-Asy'ari.
Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di 
Daumatul-Jandal, sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan 
oleh sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya kepada siasat 
'Amr. Bahkan menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu- Musa ini secara 
diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As tampaknya dengan mudah meyakinkan 
Abu Musa, bahwa untuk kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus 
disingkirkan. Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang 
lebih tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna mengumumkan hasil 
perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu Musa menyatakan 
pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik mimbar kemudian, menyatakan 
kegembiraannya atas pemecatan 'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat 
Mu'awiyah sebagai penggantinya.10) Sekalipun pihak 'Ali kalah total, 
namun 'Ali tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid 
Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41 H/661 M.
Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan
 oleh peristiwa tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah, 
semakin mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama sekali
 sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum separatis ini di 
Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan dendam mereka semakin memuncak
 terhadap Khalifah. Dalam hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum
 Khawarij membentuk pasukan berani mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman ibn 
Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah as-Sarimi untuk 
membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk membunuh 'Amr ibn 'As. Akan 
tetapi, dua petugas yang disebut belakangan ini gagal mencapai 
maksudnya.11) Dengan demikian, posisi Mu'awiyah semakin kuat.
Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali 
lebih tampak sebagai seorang panglima perang daripada sebagai seorang 
politikus. Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus 
banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang pernah 
ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte oleh pihak lawan. Tipe 
perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.
Para pendukung dan pengikut setia 
Khalifah 'Ali apabila dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh 
berbeda dengan akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang 
tentu, mereka belum mengenal sama sekali apalagi memiliki 
doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah sebagaimana yang 
kita kenal dalam sejarah, selain pendirian mereka bahwa 'Ali lebih utama
 memangku jabatan Khalifah sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif lebih 
kecil. Dengan demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita 
perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin tertentu, 
maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum lahir. Ini berbeda 
dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada hukum yang wajib dipatuhi 
selain hukum Allah," sejak keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai
 doktrin dan pengikutnya selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh 
karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?
Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat 
beberapa pendapat yang kontroversial. Pendapat al-Jawad yang dikutip 
oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah, 
menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan lahirnya nash 
(hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi Talib oleh Nabi sebagai 
khalifah sesudahnya nash yang dimaksud antara lain, mengenai kisah 
perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah 
pamannya, Abu Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. 
Dalam perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku, 
penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian, oleh karena itu, dengar 
dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi 
sesudah 'Ali menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.
Nash seperti ini, jelas tidak terdapat 
dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni
 menolak nash tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim kekhilafahan
 bagi 'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum Syi'ah. Sebaliknya, 
tidak dimuatnya nas-nas semacam itu, demikian Syarafuddin al-Musawi, 
oleh kedua imam hadis tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi
 golongan Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan 
kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi senjata 
kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka.12) Abu Zahrah berpendapat 
bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini
 merupakan tanah subur untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian 
menyebar ke Irak dan di sinilah mereka menetap.13)
Selain itu, adalah wajar apabila ada 
yang berpendapat, bahwa lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras, 
pamannya, 'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap Nabi
 untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan menggantikan 
kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut ditolak 'Ali dengan tegas, 
dan ia pun bersumpah tidak akan memintanya.14) Selanjutnya masih ada 
pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan 
terjadinya perang Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena 
pada saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah kecuali 
orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada 'Usman ibn 'Affan, 
sebagai yang telah disinggung diatas.
Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa 
pendapat diatas, maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak 
realistis, sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih 
menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan nyata sebagai 
pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa hidupnya. Akan tetapi, apabila 
kelahiran Syi'ah dilihat sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat 
politis secara utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau 
doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi kekhilafahan pada 
keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri Rasulullah, sebab dari segi 
doktrin inilah identitas Syi'ah tampak lebih jelas, berbeda dengan 
identitas sekte-sekte Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah 
seperti ini adalah bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah - 
pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan kepada keluarga 
Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan orang-orang yang dianggap telah 
merampasnya. Dari penerapan doktrin ini, penulis berpendapat bahwa 
lahirnya Syi'ah itu bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan ibn 
'Ali ibn Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para 
pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya, hanyalah 
merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi'ah 
yang sudah siap tumbuh dan berkembang.
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH
Dalam kajian ini, penulis lebih 
menitikberatkan pada bahasan yang berkaitan dengan perkembangan 
sekte-sekte Syi'ah secara garis besar, serta hubungannya dengan paham 
Mahdiyyah.
Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum 
Syiah semakin goyah karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan
 di kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan Saba'iyyah, 
pengikut Ibn Saba'.15) Lemahnya daya juang dan kurang wibawanya Hasan 
adalah menjadi faktor yang mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha 
Hasan dalam memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya
 menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya sangat mengecewakan. Pada 
saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh kaumnya, demikian Ihsan Ilahi 
Zahir, sehingga sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan 
Saba'iyyah, sebagian lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan 
Khawarij.16) Oleh karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai 
dengan pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah 
secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara de jure, ia 
menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi secara de facto, ia berkuasa 
hanya enam bulan tiga hari.
Sesudah Hasan wafat, diangkatlah 
saudaranya, Husain ibn 'Ali sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak 
memiliki semangat dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun 
sayang, ia harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang Karbela 
secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.
Kematian Husain ini merupakan bencana 
bagi kaum Syi'ah, sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang 
keramat serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran 
kecintaan mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu, mereka 
mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan Muharam.
Kematian Husain tersebut bermula dari 
banyaknya surat penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada 
putera 'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia 
lebih mempercayai janji orang Kufah daripada ia mempertimbangkan 
saran-saran para penasihatnya yang cukup berpengalaman dan mengetahui 
benar tabiat orang Kufah yang telah mengkhianati keluarganya. Dan 
karenanya, kematian Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam 
moral agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat berdosa
 atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk menebus dosa mereka 
dengan mengangkat senjata menuntut bela atas kematiannya pada penguasa 
Umayyah. Golongan tersebut menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang 
bertobat).
Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa
 mati berperang karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati 
syahid. Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali dan 
keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi atau agama.
Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia 
terhadap penguasa Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama 
sekali baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah, 
demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin sekali ia 
orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari bangsa Arab ke bangsa 
Persia.17) Sejak itulah kaum Syi'ah mengalami perubahan besar dan mulai 
mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata kepada gerakan 
keagamaan yang bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir 
menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur asing yang 
melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan bangsa Arab yang terdidik 
secara Islami, dan sekalipun mereka kaum Syi'ah masih berada dalam 
lingkaran Islam, namun bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam 
dalam bentuknya yang baru.18)
Pada saat yang sama, Syi'ah mulai 
membawa pikiran-pikiran asing secara terselubung, aliran ini juga 
merupakan wadah dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya 
musuh-musuh Islam yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah 
terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak sekali.
Diantara kelompok-kelompok yang 
memasukkan ajaran-ajaran nenek moyang mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah
 golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu berkeinginan
 melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam dengan menyembunyikan niat 
jahat mereka dan menunjukkan sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait 
sebagai kedok.19)
Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah 
ar-Raj'ah, ucapan sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan 
membakar mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka ada 
yang mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan, sifat ketuhanan 
yang menyatu dengan sifat kemanusiaan seperti pada diri seorang imam, 
juga ada yang mengatakan bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan 
terhenti untuk selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka yang 
menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau Reinkarnasi dan Hulul
 dan lain sebagainya.
Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah
 mempunyai keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal itu
 mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu pihak, sedangkan
 istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III, mantan raja Persia di pihak 
lain. Sebelum Islam, di Persia telah berkembang suatu tradisi yang 
bertolak dan pandangan tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang 
berarti bahwa dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan. 
Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus dipatuhi 
oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi untuk menegakkan 
kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan seperti ini, demikian Ahmad 
Syalabi, masih tetap ada sesudah orang Persia itu memeluk Islam, 
sehingga karenanya mereka memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak
 memerintah dan harus ditaati oleh manusia.20) Rupanya pandangan seperti
 inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 
faktor sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti sekarang ini
 adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah 
berakar pada suatu masyarakat di suatu negeri, dan pernah memiliki 
peradaban yang lebih maju daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum 
Syi'ah membentuk pola kehidupan keagamaan yang berbeda dan bahkan sering
 bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya. Kepercayaan 
hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu Islam 
dan non-Islam, yang melahirkan praktek keagamaan baru dalam Islam 
merupakan bid'ah yang sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
"... Maka sesungguhnya sebaik-baik 
ajaran adalah kitab Allah (al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah 
petunjuk Muhammad saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru 
yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah sesat". 
(Hadis riwayat Muslim).
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, 
agama Nasrani setelah memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi 
yang jauh lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s. 
Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran Nasrani dengan 
kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat munculnya praktek-praktek 
keagamaan baru yang diikuti oleh lahirnya berbagai sekte keagamaan. 
Demikian pula dengan sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain 
wafat.
Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah, 
bermula dari masalah imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang 
berhak menjadi imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat 
itu belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia dewasa. 
Rupanya kaum Syi'ah sulit menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga 
kelompok yang berbeda paham.
Golongan pertama, memandang bahwa 
keimaman harus berada di tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas 
dari mereka, dan keimaman harus melalui nas dari imam baik yang dikenal 
maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat putera Husain 
yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini kemudian disebut golongan 
Imamiyyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa
 mengangkat imam yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin 
bahwa Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang 
puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap 
menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera keturunan Husain atau 
Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan, keberanian, kesalehan, 
keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap penguasa yang zalim. 
Oleh karenanya golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka 
menghentikan aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain 
sampai bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang memberontak 
kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. Kemudian golongan 
ini dikenal dengan nama Syi'ah Zaidiyyah.
Golongan ketiga berpendapat bahwa 
jabatan imam sesudah Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu
 saudara seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi. 
Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa
 'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad, saat menjelang wafat dan
 saat berwasiat kepada putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad 
agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat 
baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu, 
kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya 
menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa dia juga memperoleh hak
 untuk diangkat sebagai imam.21) Golongan ketiga ini dikenal dengan nama
 Syi'ah Kaisaniyyah. Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula
 yang mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga 
golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.
Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat 
langsung terhadap lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang 
berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman lebih 
menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan al-Waqifah yang 
kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah, lebih memfokuskan perhatiannya
 pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang imam. 
Mereka tidak perduli, apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain 
asalkan dia masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi 
golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan itu dari 
Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
A. SYI'AH KAISANIYYAH
Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, 
golongan ini dapat dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka 
mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan dalih 
membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini tampaknya didukung oleh kaum 
Mawali Irak dan Persia, yang diperlakukan oleh pemerintah Umayyah 
sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk kedua kota 
tersebut tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.
Sekte ini mengangkat Muhammad ibn 
Hanafiyyah sebagai imam, sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn 
Saba' dan golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah, 
'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam yang telah 
wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan, bahwa sesudah Muhammad 
ibn al-Hanafiyyah yang dikenal sebagai orang yang berpengetahuan luas 
dan berpikiran cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran 
bohong dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan 
kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut aliran ini 
terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia memiliki berbagai 
keluarbiasaan atau al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang 
mereka buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.22)
Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih 
kepada puteranya, Abu Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang 
dikenal dengan al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah 
siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini tampaknya menjadi 
rebutan diantara kelompok-kelompok yang berambisi, sehingga timbul 
pendapat yang kontroversial.
Dalam hubungan ini asy-Syahrastani 
menjelaskan bahwa kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan, 
sebenarnya Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad ibn
 'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat dalam perjalanan 
pulang dari Syria. Selanjutnya penerima wasiat ini terus mewasiatkan 
keimaman ini kepada anak keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu
 jatuh ke tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan 
imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn Muhammad 
al-Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan, keimaman itu 
dilimpahkan kepada saudara Abu Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian,
 'Ali mewasiatkan pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir 
mengatakan, bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia 
telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,23) oleh karenanya 
menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah berpindah ke dalam diri 
'Abdull-ah al-Kindi, sehingga berkembanglah paham Reinkarnasi di 
kalangan pengikutnya.
B. SYI'AH ZAIDIYYAH
Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 
tahun setelah Husain wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte 
tersebut memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu 
seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia), 
pemberani, pemurah, dan mau berjihad di jalan Allah guna menegakkan 
keimaman taat pada agama baik dia dari putera Hasan atau Husain.
Dalam masalah kekhilafahan atau 
keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam 
Mafdul yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam al-Afdal 
atau imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri
 sekte Zaidiyyah, pernah berguru kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri 
Mu'tazilah. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau membenci 
khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang 
[kata-kata Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya 
seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi keras dari 
Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah sebabnya mereka 
disebut golongan Syi'ah Rafidah.
Sebagaimana diketahui, umumnya kaum 
Syi'ah berprinsip bahwa 'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang 
yang lebih berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda 
paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat. 
Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor yang mewarnai 
identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte Zaidiyyah, karena
 doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih 
suka menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang 
mengalami nasib sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi 
korban kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikan saran-saran
 dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan saran dari saudaranya 
sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada saat dia 
berada di ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun 
ditinggalkan oleh orang-orang Kufah.24) Sesudah ia wafat pada 122H, 
jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke 
Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan 
Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya. Sesudah 
itu keimaman dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal
 dengan an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya 
terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di Madinah. Seandainya 
sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan dalam mengembangkan ide-ide 
doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya ijtihad para imam 
mereka, tentu keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam 
masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah 
terbunuhnya Ibrahim di Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak 
terorganisasikan lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan 
mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang kemudian 
menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.25) Sebagaimana sekte-sekte yang lain, 
golongan Zaidiyyah pun mengalami perpecahan menjadi beberapa subsekte. 
Diantara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah 
al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai
 al-Mahdi.
C. SYI'AH IMAMIYYAH
Aliran ini menjadikan semua urusan agama
 harus berpangkal pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan
 seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran Nabi. 
Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak boleh sunyi dari 
imam, karena masalah keagamaan dan keduniaan selalu membutuhkan 
bimbingan para imam. Bahkan mereka mengatakan, tidak ada yang lebih 
penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam. Kebangkitannya 
adalah untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan. Oleh 
karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri dan 
menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang mengakibatkan 
perpecahan.
Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman 
'Ali ibn Abi Talib sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas dan 
benar. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak hanya 
merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan kepada ummat untuk 
menentukannya, bahkan imam merupakan tiang agama dan tatanan Islam yang 
tidak mungkin dilupakan oleh Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus 
seorang yang ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu sendiri menurut 
mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang samar-samar.26)
Konsep keimaman mereka, bagi sekte 
Zaidiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, 
pengangkatan seorang imam bukan ditetapkan oleh nas, tetapi dengan 
pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang diberi 
wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika Syi'ah Imamiyyah 
menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar, maka berarti mereka harus 
menerima paham Sunni, dan secara tidak langsung mereka harus mengakui 
pula kekhilafahan Bani Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok 
Sunni. Oleh karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka 
tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan Ahlul-Bait 
yang menjurus ke arah kultus individu di satu pihak, dan kebencian 
mereka terhadap Bani Umayyah karena penindasannya pada Ahlul-Bait di 
pihak lain, bermula dari dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim 
dengan Bani Umayyah sebelum Islam.
Di sisi lain, rupanya hubungan kaum 
Mawali Persia dengan keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara 
menunjukkan kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak 
Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya keluarga Bani 
Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan lahirnya kelompok pendukung 
keturunan 'Ali ibn Abu Talib di satu pihak, yang dikenal dengan golongan
 Syi'ah, dan munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali 
selalu gagal merebut kekuasaan politik pada masa pemerintahan dinasti 
Umayyah, maka keturunan 'Abbas, lewat Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil 
merebutnya dan mendirikan dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui 
dalam sejarah, untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya kelompok
 terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan politiknya 
sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga penguasa baru tersebut 
tidak bisa terlepas dari sikap dan tindak kekerasan terhadap saudara 
sesukunya (Bani Hasyim) seperti yang pernah dilakukan oleh dinasti 
Umayyah terhadap lawan-lawan politiknya.
Sebagai yang telah disinggung diatas, 
perpecahan Syi'ah Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak 
menjadi imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu 
dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang sah 
pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan Zainal-'Abidin,27) 
sekalipun ia belum dewasa. Imam ini selamanya tinggal di Madinah sampai 
wafatnya di tahun 94 H, dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi 
kekerasan terhadap penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn 
Husain wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi 
mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia menduduki 
jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan al-Walid, namun ia 
tetap tinggal di Madinah sebagaimana ayahnya.28) Sepeninggal al-Baqir, 
jabatan imam dipegang oleh puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam 
ini, dari jalur ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya,
 Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya sebagai 
guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh semua pihak yang 
mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang ilmu fiqh dan hadis.
Sejumlah muridnya telah memberikan andil
 besar dalam memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, seperti: Abu Hanifah 
dan Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama seperti
 Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan pendiri Mu'tazilah, dan 
Jabir ibn Hayyan sebagai ahli kimia yang masyhur. Karena kemasyhurannya 
itu, beberapa tokoh Syi'ah abad modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi, 
'Ali Syariati dan lain sebagainya , menunjukkan klaim terhadap ummat 
Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan menerima pikiran-pikiran 
hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai mazhab ke-5 dalam Islam, 
namun demikian, karya-karya besar Imam ini, di perguruan tinggi Timur 
Tengah, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang 
studi sendiri dalam Ilmu Fiqh.
'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait 
ini menyatakan berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan 
ucapan serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada dirinya,
 seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah, ar-Raj'ah, al-Bada', 
Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau penyerupaan Tuhan dengan manusia. 
Penolakannya terhadap kebid'ahan-kebid'ahan kaum Syi'ah dinyatakan 
dengan tegas sebagai berikut:
"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum 
Syi'ah), sesungguhnya kami tidak membiarkan para pendusta yang 
senantiasa membuat kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami, 
Allah sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah 
menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."29)
Dari uraian diatas, nyatalah bahwa 
tokoh-tokoh Ahlul-Bait yang diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada
 umumnya tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya yang 
bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang pun di antara 
para Imam itu yang menyimpang dari ajaran Islam, dan bahkan mereka tidak
 suka menyerang pribadi Abu Bakr atau 'Umar, malahan mereka 
menghormatinya. Oleh karena itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas 
terhadap segala penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai 
salah satu faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai 
reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama baik imam-imam 
mereka untuk menguatkan pendirian atau paham masing-masing. Tidak 
mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian mendirikan sub-sub sekte yang 
ekstrem dengan menyerap ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka 
membuat cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan keluarbiasaan 
imam-imam mereka.
Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah 
Ja'far as-Sadiq wafat, semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya 
berpangkal, siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak 
menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru seperti: 
An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq sebagai al-Qa'im atau 
al-Mahdi demikian pula halnya dengan al-Musawiyah, pengikut Musa 
al-Kazim yang berkeyakinan bahwa Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan
 akan kembali lagi ke dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam 
sesudahnya. Oleh karena itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan
 al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua subsekte yang 
terpenting, dan keduanya mempunyai corak kemahdian yang berbeda satu 
sama lain
1. SYI'AH ISMAILLIYYAH
Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah 
Sab'iyyah atau Syi'ah Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut 
sekte berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il 
atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa setiap yang lahir, 
pasti ada yang batin dan setiap ayat yang turun pasfi ada Ta'wil 
atauTafsir Batiniyyah-nya.
Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah 
tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip 
pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang 
yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan 
sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.30) Mereka dihimpun oleh suatu 
perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang yang ahli tentang Islam
 dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu
 daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya kedalam 
masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan 
Islam.31) Untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak, kemudian ia 
mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan. Di 
daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan 
versi lama dan pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman 
menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda di sekitar 
abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di 
dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India dengan mengobarkan 
revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide 
platonisme dan gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem 
filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong 
struktur keagamaan ortodoks.32)
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, 
diyakini keimamannya melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut
 sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im 
(yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia. 
Sesudah Isma'il, jabti Fatimiyyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya,
 berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib 
yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara subatan imam 
diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan 
tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh 
penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi. Dalam propagandanya ia mendapat sukses
 karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat 
penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan 
Magrib (Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi
 ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan mendirikan dinassektenya yang 
paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn
 Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang 
politik, membantu berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di 
bidang sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas 
kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir menyerupai 
sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap 
al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. 
Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il 
sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati serta
 akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut 
keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam 
pendahulunya.33)
Selain aliran Qaramitah, muncul pula 
golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya
 aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di 
masa al-Hakim bin Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386 
H. Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan.
Dalam hubungan ini, menurut salah satu 
riwayat, dia adalah Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, 
kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk 
mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan, sehingga 
manusia mau menyembahnya.34) Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan
 Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj 
(858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan 
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia 
pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut). Kemudian ajaran ini oleh 
ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai 
tuhan.
Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah 
Batiniyyah yang inovatif, terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat 
al-Quran, adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita 
pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa Aga Khan, 
sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad Syalabi menjelaskan, 
dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dan menguasai ummat 
Islam dengan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah 
pihak.35) Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya 
terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu kepentingan Inggris di
 India. Dalam kerjasamanya dengan Inggris, aliran Batiniyyah atau 
Isma'iliyyah ini, mendapat kebebasan menyebarkan pahamnya di 
koloni-koloni Inggris, dan sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh 
pada Inggris.
2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH
Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan 
lebih kuat posisinya sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh 
dan posisi aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini 
tinggal di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad ke-3 H, akan
 tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa ia lahir sesudah hilangnya 
Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara misterius pada tahun 260 H.
Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far 
as-Sadiq, adalah Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh 
puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari Ahlul-Bait 
yang diangkat sebagai putera mahkota oleh Khalifah al-Ma'mun dari 
dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian keimaman sesudahnya beralih kepada 
puteranya Muhammad at-Taqi, dan selanjutnya ia pun digantikan oleh 
puteranya 'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi 
pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam terhadap Khalifah
 al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra sampai wafatnya tahun 254 H/ 
868 M dalam usia 40 tahun. Selanjutnya keimaman beralih kepada 
puteranya, Hasan al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan 
menguasai beberapa bahasa.
Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah
 Isna 'Asyariyyah ini semakin meluas, dan banyak diantara para 
pengikutnya, terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib) 
mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani, Hasan 
al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di Samarra.36) 
Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn Hasan al'Askari sebagai 
imam yang ke-12, yang dimitoskan sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia 
dianggap hilang secara mimana para penguasanya mengklaim bahwa diri 
mereka adalah masih keturunan Musa al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran 
sekte ini sebagai mazhab resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa 
Syah Isma'il, ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah 
formula khutbah dan azisterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia 
akan kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan, sebagaimana 
bumi ini dipenuhi oleh kecurangan. Demikian menurut keyakinan pengikut 
Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran ini sejak berdirinya sampai hilangnya 
Imam ke- 12, tampaknya kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian 
Gibb dan Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, 
aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah berdirinya 
dinasti Safawiyah dannya, yaitu dengan menyebutkan nama-nama kedua belas
 Imam mereka dalam khutbah dan menambahkan kalimat [kata-kata Arab] 
dalam azannya, formula semacam ini tentunya dimaksudkan untuk 
menunjukkan ciri khas kesyi'ahan.37)