oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Ketiga
C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN DENGAN PAHAM MAHDI ATAU MAHDIISME
Bahasan ini penulis batasi pada ajaran 
pokok Syi'ah yang berkaitan erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada 
masalah Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.
1. MASALAH KEIMAMAN
Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah
 sangat fundamental, terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah 
Dua belas. Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka guru
 agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai mutawatir. Oleh 
karena ia merupakan anugerah Tuhan yang harus diberikan kepada 
hamba-Nya, maka yang demikian itu merupakan kewajiban Tuhan baik secara 
rasional maupun tekstual.
Secara rasional, seorang Imam harus 
mengayomi ummat atau memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari
 berbagai kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga harus 
menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh 
sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna 
menafsirkan dan mengambil hukum dari ayat-ayat al-Quran.38) Alasan kedua
 ini senada dengan argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam 
Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir al-Quran sesuai
 dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah 
didasarkan pada hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di 
Gadir Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya 
beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji dana di tempat 
ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn Abi Talib sebagai 
penggantinya. Salah satu di antara riwayatnya ialah apa yang 
diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir:
" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman
 padaku dan membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib 
sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya adalah 
kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu 
diberikan secara berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang 
lain, dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan 
Ahlul-Bait.
Tradisi keimaman Syi'ah Isna 
'Asyariyyah, tampaknya masih berjalan terus sampai sekarang, terutama 
dalam melaksanakan tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang 
Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali. Jabatan ini
 dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khumaini. 
Menurut pendapatnya, ajaran para imam adalah sejajar dengan al-Quran 
yang wajib ditaati dan dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul, ia 
diwakili oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi dalam 
pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan 
dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari 
Imam Mahdi, dia seperti mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi 
Muhammad.39)
2. MASALAH KEGAIBAN IMAM
Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan 
Syi'ah berkaitan erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya 
imam-imam Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan 
[kata-kata Arab].Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan bahwa imam 
yang mereka cintai itu tidak mati, tetapi hanya menghilang untuk 
sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Ibn Saba' 
sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali, aku tidak akan membenarkan kematiannya"40)
Imam itu mempunyai masa kegaiban. 
"Apabila telah sampai kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita 
tentang kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka 
janganlah kalian mengingkarinya."41) Demikianlah kepercayaan kaum Syi'ah
 terhadap imam mereka.
Teori tentang kegaiban imam, tampaknya 
dicipta untuk mempertahunkan eksistensi suatu aliran tertentu yang 
terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara sekte-sekte yang 
ada saat itu. Dengan demikian teori tersebut lebih bersifat politis 
daripada bersifat keagamaan, karena aliran ini menghadapi masa kevakuman
 imam yang cukup serius. Semula kaum Syi'ah hanya bersikap menunggu, 
akan tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi dengan
 seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul bersamaan dengan 
timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait yang ingin memainkan peranan
 imam sesudah Imam Muhammad ibn Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua
 macam teori tentang al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.
Teori tentang al-Bab, bermula dari 
aliran Syaikhiyyah yang mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu selalu 
mengejawantah dan muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki 
yang disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali. Teori 
ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad asy-Syirazi bekas murid 
al-Kazim ar-Rasti penganut aliran tersebut. Muhammad Abu Zahrah 
menjelaskan, bahwa asy-Syirazi mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu 
perantara) antara [kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan 
kaum Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.42) Akhimya 
lahirlah aliran baru yang dikenal sebagai aliran al-Babiyyah.
Teori kedua adalah tentang Mandataris 
Imam, tampaknya teori ini adalah pengembangan dari teori yang pertama 
diatas. Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad 
as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang telah 
ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan sewaktu as-Samiri
 akan meninggal, ia memberitahukan kepada Muhammad al-Hasan, bahwa 
al-Mahdi tidak akan muncul kembali sampai datang saat yang telah 
ditentukan oleh Tuhan, yaitu sesudah hati manusia menjadi beku dan 
kecurangan telah merajalela di atas bumi.43) Sehingga dalam kepercayaan 
tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib sementara, dimana
 al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan duta yang terakhir adalah 
as-Samiri. Kedua, al-Gaibah al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. 
Selama al-Mahdi absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai 
Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama dalam 
hirarki Syi'ah Dua belas.
3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH
Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu 
kepercayaan Syi'ah, tentang akan kembalinya seorang imam yang telah 
wafat, adalah bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah
 'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi Harun 
dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena kedengkiannya kepada Nabi 
Harun. Sementara kaum Yahudi mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke
 dunia, sedangkan yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya
 gaib dan akan kembali lagi.44) Adanya kesamaan antara kepercayaan kaum 
Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan sesudah kedua 
belah pihak terjadi kontak langsung secara akrab. Diantara penulis 
Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah, Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, 
berpendapat bahwa 'Aqidah Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn
 Saba' dan ajaran golongan Saba'iyyah.
Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan
 argumen psikologis tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum
 Syi'ah. Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari 
keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah terhadap imam-imam 
mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan yang memuncak, kecintaan 
mereka semakin mendalam, dan mereka amat mendambakan kehadiran imam-imam
 yang mereka cintai itu. Akhimya mereka ragu-ragu akan kematiannya, dia 
hanya absen dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan yang 
kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun kadang-kadang apa 
yang diyakininya itu bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya.
 Selanjutnya dijelaskan bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai
 dengan keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai itu,
 kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan kehadirannya 
kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum 
Syi'ah.45)
Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang 
pemimpin yang dicintai, sering menimbulkan perubahan sikap atau tingkah 
laku seseorang, apabila ketegangan tersebut sulit diatasi. Keadaan 
semacam ini rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn Khattab sewaktu 
mendengar berita Rasulullah wafat. Ia tidak mengakui Nabi telah wafat, 
dengan pedang terhunus ia mengancam siapa saja yang berani mengatakan 
bahwa Nabi telah tiada. Akan tetapi, perubahan sikap demikian itu, 
tampaknya hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami 'Umar
 tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia lainnya. Dan bahkan 
jauh sebelum agama Yahudi lahir, bangsa Chaldea sudah pernah mengalami 
kasus seperti itu, yaitu tidak mau mengakui kematian Qabil sewaktu 
dibunuh oleh saudaranya, Habil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi 
ke dunia. Demikian pula halnya dengan kaum Nasrani, mereka meyakini 
bahwa Yesus yang mati di tiang salib, bangkit kembali dan terus naik ke 
langit dan duduk di sisi Tuhan, dia akan datang kembali ke dunia untuk 
memenuhi bumi dengan kedamaian dan kesucian.
Dari keterangan diatas, dapatlah 
disimpulkan bahwa pendapat al-Bahi tersebut memandang berpengaruhnya 
ajaran Yahudi di kalangan Syi'ah hanyalah sebagai faktor yang 
mempercepat proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan 
seperti itu merupakan gejala umum jiwa manusia dan tidak terbatas pada 
sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya 'Aqidah Raj'ah dalam suatu
 kelompok, terbatas pada para pencinta pimpinan atau imam, mereka 
menderita kesedihan yang hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang 
dicintai tersebut.
Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat 
dengan 'Aqidah ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Syi'ah 
terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah yang 
ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penganut Syi'ah Duabelas. Rupanya 
sekte ini saja yang masih gigih mempertahankan paham Mahdi, sedangkan 
sekte-sekte lainnya yang semula memiliki kepercayaan yang serupa semakin
 lama semakin memudar bersama dengan memudarnya pengaruh sekte-sekte 
tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan sekte Syi'ah Zaidiyyah. 
Sekte ini secara tegas menolak paham Mahdi, kecuali golongan 
al-Jarudiyyah yang merupakan subsekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah 
menyimpang jauh dari doktrin kezaidiyyahannya.
Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam 
perjalanan sejarahnya, banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran non-Islam 
dan hanya Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila 
dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan sikap kaum Syi'ah 
dalam menghadapi penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah 
berakar dalam suatu masyarakat sebelum Islam datang, agaknya merupakan 
salah satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam ortodoks dalam 
kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor terbentuknya 
paham Mahdi dengan berbagai macam versinya.
Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih 
nyata daripada kemahdian Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut 
belakangan ini mencipta teori tentang al-Bab dan teori tentang 
Mandataris Imam, dengan demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan 
daripada yang lain.
Catatan kaki:
1 Keberadaan Ibn 
Saba' dalam sejarah, tampaknya menjadi masalah yang kontroversial, 
sementara penulis-penulis Islam modem ada yang tidak meyakini 
keberadaannya. Pendapat ini senada dengan pendapat Montgomery Watt dalam
 salah satu karyanya, memandang Ibn Saba' sebagai mitos bikinan kaum 
Sunni. Pernyataan ini berbeda dengan pengakuan penulis-penulis Muslim 
terdahulu baik dari kalangan Syi'ah maupun Sunni. Seperti: at-Tabari, 
al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Syahrastani, Ibnul-Asir dan lain-lainnya. 
Sedang dari penulis-penulis Muslim belakangan, antara lain: Ahmad 
Syalabi, Ahmad Amin dan Abu Zahrah, mereka pada dasarnya mengakui 
keberadaan Ibn Saba' seperti halnya Sayyid Amir' Ali dari kalangan 
Syi'ah. Kaum Syi'ah pada umumnya mengakui keberadaannya namun mereka 
tidak mengakuinya sebagai kelompok Syi'ah.Dalam kaitan ini, Ahmad 
Syalabi menandaskan, adanya sebuah buku yang berjudul 'Abdullah ibn 
Saba' yang ditulis oleh Dekan Fakultas Ushuluddin di Irak, Murtada 
al-Askari. Pengarang buku ini mencoba membuktikan kebenaran pendapatnya 
dengan berbagai alasan atau argumen. Menurut pendapatnya bahwa Abdullah 
ibn Saba' yang ada didalam sejarah Islam itu hanya cerita bohong cerita 
itu telah diciptakan oleh seorang yang bernama Saif ibn 'Umar yang 
meninggal 170 tahun sesudah Hijrah. Riwayatnya ini bertentangan dengan 
kebanyakan riwayat yang lain. Tampaknya penulis buku tersebut, juga 
membawa kebohongan, yang penting, demikian Ahmad Syalabi, bukan masalah 
nama, akan tetapi kebenaran tokoh sesat dan menyesatkan itu memang 
benar-benar ada. Demikianlah komentar Syalabi menaggapi pendapat diatas,
 dalam bukunya, Mausu'atut-Tarikh al-Islami wal-Hadaratul-Islamiyyah, 
vol.III, hlm. 145-146. 2 Donaldson op. cit., hlm. 230.
3 Ahmad Amin, 
Duhal-Islam,vol.III, selanjutnya disebut Duhal-Islam III (Kairo: 
Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964), hlm. 235-6.
4 H.A.R. Gibb and Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia Islam, (Leiden E. J. Brill, 1947), hlm. 310.
5 Ahmad Amin, Fajrul-Islam, selanjutnya disebut Fajrul-Islam, (Singapura Sulaiman al-Mar'i 1965), hlm. 270.
6 Al-Mahdi 
Lidinillah Ahmad, al-Munyah wal 'Amal fi Syarhil-Milal wan Nihal, ed. 
Dr. Mahmud Jawad Masykur, Beirut: Darul-Fikr, 1979), hlm. 81.
7 Maulana Muhammad
 'Ali, Mirza Ghulam Ahmah of Qadian, His Life and Mission, (Lahore: 
Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, 1959), hlm. 17.
8 Donaldson, op.cit., hlm. 32.
9 Ibnul-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, vol II, (Darus-Sadir, 1965), hlm. 317.
10 Syed Amir 'Ali, Api Islam, terj. HB. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 471.
11 Donaldson, op. cit., hlm. 55.
12 Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 140.
13 Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah, vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt), hlm. 36.
14 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 266-7.
15 Pada prinsipnya
 kaum Syi'ah tidak: mau mengakui golongan Saba'iyyah sebagai sektenya, 
tetapi kaum Sunni pada umumnya memandang golongan Saba'iyyah sebagai 
Syi'ah.
16 Ihsan Ilahi 
Zahir, asy-Syi'ah wat-Tasyayyu selanjutnya disebut asy-Syi'ah (Lahore: 
Iradah Tarjumann as-Sunnah, 1984), hlm. 163.
17 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1977), hlm. 171.
18 Asy-Syiah, op.cit., hlm. 186.
19 Ibid., hlm. 187.
20 Ahmad Syalabi, 
Mausu'atut-Tarikhul-Islami wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol. II, (Qahirah: 
Maktabah an-Nahdatul-M?sriyyah, 1978), hlm. 147-8.
21 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm. 82.
22 Abul-Fath 
'Abdul-Karim asy-Syahrastani, selanjutnya disebut asy- Syahrastani, 
al-Milal wan-Nihal, (Beirut: Darul-Fikr, tt.), hlm. 149.
23 Ibid., hlm. 151.
24 Duhal Islam III, op. cit., hlm. 271-2.
25 Abdur Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, selanjutnya disebut Ibn Khaldun, (Darul-Fikr, tt.), hlm. 200.
26 Ibid., hlm. 162.
27 'Ali adalah 
satu-satunya putera Husain yang selamat dari pembantaian tentara Yazid, 
sewaktu Husain terbunuh di padang Karbela. Sikapnya yang pemurung dan 
sesing menangis karena teringat mendiang ayahnya, maka ia memusatkan 
aktivitasnya pada ibadah, oleh karenanya ia dijuluki dengan [kata-kata 
Arab]. Pengikut aliran ini kemudian membuat cerita fiksi bahwa 'Ali 
sewaktu remajanya pernah pergi ke Hajar al-Aswad bersama Muhammad ibn 
al-Hanafiyyah, keduanya untuk meminta petunjuk Tuhan, siapa diantara 
keduanya yang lebih berhak menjadi imam. Saat 'Ali ibn Husain berdoa, 
terguncanglah Hajar al-Aswad itu, sebagai pertanda bahwa dirinyalah yang
 lebih berhak menjadi imam sesudah ayahnya.
28 Donaldson, op. cit., hlm. 123.
29 Asy-Syi'ah, op. cit., hlm. 216.
30 Aliran 
Huramiyah ini membolehkan pengikutnya hidup bergelimang dalam kesenangan
 dan kemewahan serta membebaskan pengikutnya dari segala macam 
kewajiban. Aliran ini juga dikenal dengan al-Babikiyyah, pemimpirmya 
terbunuh dalam pemberontakan melawan pemerintahan al-Mu'tasim dari 
dinasti 'Abbasiyyah.
31 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm.96-7.
32 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 175-6.
33 As-Syi'ah. op. cit., hlm. 235.
34 Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., hlm. 62-3.
35 Ahmad Syalabi, op. Cit., hlm. 190.
36 Asy-Syahrastani. op. cit., hlm. 170.
37 Gibb dan Kramers, eds., op. cit., hlm. 188.
38 Donaldson, op. Cit., hlm. 305-6.
39 As-Syi'ah, op. Cit., hlm. 362.
40 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 270.
41 Duhal-Islam, III, op. cit., hlm. 218.
42 Muhammad Aba Zahrah, op. cit., hlm. 239.
43 Asy Syi'ah, op. cit., hlm. 352.
44 Muhammad 
al-Bahi, al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami, (Qahirah: Daru 
Ihya'il-Kutubil-'Arabiyyah, 'Isa al-Babi al-Halabi, 1948), hlm. 88.
45 Ibid, hlm. 88-9.
Sumber : http://www.akhirzaman.info