LATEST POSTS:
Recent Posts

=Film Full= Rhoma Irama "Cinta Kembar" [1984]



Film Cinta Kembar Roma Irama
Rhoma Irama sukses besar sebagai musikus dangdut. Kedua adiknya, Deddy dan Herrypenuh semangat berlatih karena ingin mengikuti jejak sang kakak. Sebagai remaja, keduanya tak lepas dengan masalah asmara. Kakak-beradik ini mempunyai pacar gadis kembar, Ela dan Eli. Pada saat orangtua Ela dan Eli ingin menjodohkan salah satu anak kembarnya dengan pria lain, mereka menolak, karena cinta kedua pasangan itu sudah begitu mendalam. Cobaan Deddy bukan saja datang dari orangtua Eli, tetapi datang pula dari pemuda lain terhadap Eli. Ketika Deddy melihat Herry menggandeng Eli, Deddy hampir frustasi. Akhirnya, masalah selesai berkat kewibawaan Rhoma Irama
Sumber Videos : http://www.youtube.com/
Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}

http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/
'
{[['']]}

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif - Bagian Kedua

oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Kedua

A. Pengertian Al-Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah
Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud dalam kajian ini, bermula dari sekte Syi'ah Kaisaniyyah yang banyak terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'.1) Kata al-Mahdi adalah ism maf'ul dari [kata-kata Arab] seperti: [kata-kata Arab].
Kata ini bisa berarti, Allah telah memberitahukan, menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya. Dengan demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut al-Mahdi. Dalam hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa sigat kata al-Mahdi itu adalah maf'ul (dalam bentuk mabni lil-majhul dari [kata-kata Arab] dan kata al-Mahdi berarti orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata tersebut, dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa'il, yakni orang yang terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang sigat [kata-kata Arab] tidak terdapat dalam al-Quran, yang ada adalah sigat al-fa'il, sebagaimana dalam firman Allah:
Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (Q.S. al-Hajj: 54)
Juga dalam firman-Nya:
... Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (Q.S. al-Furqan: 31).
Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara ummat Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema pembahasan tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta menghubungkannya dengan hadis-hadis Mahdiyyah.2)
Dalam hubungan ini, Ahmad Amin menjelaskan, bahwa dalam al-Quran hanya ada kata [kata-kata Arab] dan kata [kata-kata Arab] sedangkan kata yang terdapat dalam sebagian kitab-kitab hadis adalah untuk menyipati pribadi 'Ali ibn Abi Talib. Seperti sabda Nabi yang dikutip dari kitab Usdul-Gabah:
" ... Dan jika kalian mengangkat 'Ali sebagai pemimpin, namun aku melihat kalian tidak melakukan itu, kalian akan mendapatinya sebagai seorang pemberi petunjuk yang membawa kalian ke jalan yang lurus."
Kemudian pengertian bahasa agama ini berubah menjadi pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan keadilan sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan. Selanjutnya ia berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama menggunakan pengertian yang terakhir ini adalah Syi'ah Kaisaniyyah.3 ) Selanjutnya perlu ditambahkan disini bahwa kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang telah diberi petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang yang telah diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided one, dengan cara yang menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan demikian, orang yang disebut Mahdi atau al-Mahdi, benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa lalu, nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan dimasa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara eskatologis.4) Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh laki-laki dari keturunan Ahlul-Bait yang akan muncul di akhir zaman. Dia akan menegakkan agama dan keadilan dan diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih yang turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam sewaktu salat bersama-sama Nabi Isa a.s. Demikianlah pengertian al-Mahdi yang dikenal secara umum di kalangan ummat Islam.
Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut paham Syi'ah ialah seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan datang memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi oleh kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut aliran ini al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang merupakan penjelmaan atau pengejawantahan dari al-Mahdi dan al-Masih a.s., dan diangkat oleh Tuhan sebagai mujaddid atau pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham Ahmadiyah Lahore. Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.
Uraian diatas menunjukkan bahwa kepercayaan kaum Ahmadiyah terhadap al-Mahdi ini bermula dari pengakuan Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam yang ditemukannya di Srinagar, Punjab, India. Menurut penyelidikan mereka, makam tersebut adalah makam Yus Asaf yang diyakini sebagai Isa al-Masih, sesudah pengembaraannya yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India. Dan sesudah penemuan makam tersebut, barulah dicari hadis-hadis Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan aliran ini. Paham kemahdian Ahmadiyah diatas, berbeda dengan paham kemahdian Syi'ah yang timbul dari 'Aqidah ar-Raj'ah dan masalah al-Gaibah. Oleh karena kaum Syi'ah tidak mau mengakui kematian imam-imam mereka, dan karena pengaruh ajaran ibn Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan mereka tentang imam yang bersembunyi (gaib). Dalam kaitan ini, Ahmad Amin menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu bermula dari ucapan Ibn Saba', yang menyatakan bahwa Muhammad SAW akan kembali lagi ke dunia, adalah mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya Isa a.s., tetapi ia mendustakan kembalinya Muhammad.5)
Dalam salah satu pernyataannya yang lain, ia tidak mengakui kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu bukan 'Ali tetapi, setan yang menjelma sebagai 'Ali, dia naik ke langit sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang bersembunyi tersebut akan muncul lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian, akhirnya, muncul pula pemikiran tentang al-Mahdi, dan kemudian dibuatlah hadis-hadis Mahdiyyah.
Adapun arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut, atau berarti golongan. Seperti firman Allah:
... Dan benar-benar Ibrahim adalah termasuk golongannya... (Q.S. as-Saffat: 83).
Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:
Syi'ah adalah golongan yang membantu 'Ali dalam menumpas pemberontakan yang dimotori oleh Talhah, Zubair, bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum Khawarij. Para pendukung 'Ali tersebut, sebagian besar mengakui kekhilafahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sampai terjadinya penyimpangan yang menimbulkan huru-hara. Sebagian lagi, mereka yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin mereka. Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang mengunggulkan 'Ali sebagai khalifah sesudah Rasul wafat, daripada tokoh sahabat lainnya.6)
Istilah Syi'ah sebagai yang dikembangkan oleh al-Mahdi Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an pada umumnya, dan tampaknya istilah tersebut lebih cocok untuk golongan Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah Syi 'ah sebagai yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad Amin dalam Duhal-Islam III, tampak lebih luas. Syi'ah menurut pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa 'Ali dan keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat khalifah daripada Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Dan bahwasanya Nabi telah menjanjikan kekhilafahan sesudahnya kepada 'Ali, dan setiap imam menjanjikan kekhilafahan tersebut kepada penerusnya.
Selanjutnya tentang arti kata 'Ahmadiyah' berasal dari kata 'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism'alam yang searti dengan kata 'mahmud,' artinya orang yang terpuji. Namun menurut Mirza Ghulam Ahmad, bahwa kata 'Muhammad' artinya, berkaitan dengan sifat jalal atau kebesaran, karena itu, Rasulullah dalam menghadapi musuh-musuhnya dengan cara berperang. Sedang kata 'Ahmad' lebih berkonotasi dengan sifat jamal atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi saw. itu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh jalan kekerasan), sifat ini menurut pendapatnya, lebih dimanifestasikan sewaktu Nabi tinggal di Madinah.7)
Apabila kata "Ahmad" ditambah dengan "ya" nisbah, maka jadilah kata [kata-kata Arab]. Kata inilah yang oleh Mirza dijadikan sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir abad ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi. Nama Ahmadiyah dipakai secara resmi sebagai nama aliran tersebut, sejak 4 November 1900, sewaktu pendirinya membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte baru dalam Islam. Nama 'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu nama Rasulullah, bukan diambil dari nama pendiri aliran tersebut.
B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH
1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA
Masalah khalifah sesudah Rasul wafat, merupakan fokus perselisihan diantara tiga golongan besar, ya?tu: Golongan Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya masih ada kelompok terselubung yang cukup potensial dalam mewujudkan ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah golongan Bani Umayyah. Sikap golongan terakhir ini, tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu Abu Sufyan yang enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam lain, sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.
Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah yang dimotori oleh Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah kembali bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar suku yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat dipahami bahwa pemilihan khalifah tersebut, tanpa keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani Hasyim, tampaknya membawa kekecewaan mereka yang menginginkan hak legitimasi kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih berhak dan lebih utama menggantikannya, karena dia adalah menantunya, dan selain itu ia juga seorang yang mula-mula masuk Islam sesudah Khadijah, istri Rasulullah. Selanjutnya tak seorang pun yang mengingkari perjuangan, keutamaan, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan Ansar yaitu Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam suatu pertemuan di Saqifah: " ... Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr, Umar, dan'Ali), sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang yang seandainya ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8)
Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada tahun 12 H (634 M), tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan berbagai pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara tokoh-tokoh sahabat itu yang lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Selain itu, juga merupakan awal terbentuknya pemikiran golongan ketiga yakni Bani Hasyim, disamping golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh karenanya tidak mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at 'Ali ibn Abi Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak 'Ali dan sebagai akibatnya, para pendukung 'Ali menunda-nunda pembai'atan mereka pada Khalifah Abu Bakr.
Memang benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama ini, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait, sebagai pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab. Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan oleh keberhasilan kedua khalifah tersebut dalam mempersatukan potensi ummat Islam untuk menghadapi musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.
Munculnya Bani Umayyah dalam pemerintahan 'Usman, sebagai kekuatan politik baru, telah mengundang reaksi keras ummat Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama sesudah enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi kaum kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, tindakan politik Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang diangkat oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan keresahan ummat secara luas. Seperti: Pengangkatan Marwan ibn Hisyam sebagai sekretaris Khalifah, Mu'awiyah sebagai Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali di Mesir, dan ia masih saudara seibu dengan Khalifah, dan Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan aspirasi rakyat. Sikap politik seperti ini tampaknya merupakan faktor penyebab timbulnya protes-protes sosial yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada pemerintahannya sendiri.
Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon utama untuk menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini, segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang berambisi menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh itu adalah Talhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari 'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang dikenal dengan perang Jamal. Akhirnya kedua tokoh tersebut terbunuh, sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke Madinah.
Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai akibat kegagalan kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping itu, keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan Basrah untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang terhunus. Alasan terakhir ini rupanya dijadikan alasan baru untuk menuntut Khalifah, mereka berjanji akan taat dan patuh, jika Khalifah menghukum semua orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn 'Affan. Tuntutan tersebut senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar Khalifah 'Ali mengadili Muhammad ibn Abu Bakr, anak angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang keladi peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal pemerintahannya.
Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair tersebut, dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan semangat antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali, Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang berlumuran darah beserta potongan jari istrinya, yang dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9) Posisi 'Ali yang sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah sebagai faktor yang mempercepat berkobamya perang Siffin. Perang ini mengakibatkan munculnya golongan Khawarij, musuh 'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya upaya perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada al-Qur-an, setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali dibawah panglima Malik al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini, sebenarnya telah diketahui oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat licik ini terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus diwakili oleh seorang juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan pihak 'Ali diwakili Abu Musa al-Asy'ari.
Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di Daumatul-Jandal, sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan oleh sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya kepada siasat 'Amr. Bahkan menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu- Musa ini secara diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As tampaknya dengan mudah meyakinkan Abu Musa, bahwa untuk kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus disingkirkan. Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang lebih tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna mengumumkan hasil perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu Musa menyatakan pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik mimbar kemudian, menyatakan kegembiraannya atas pemecatan 'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat Mu'awiyah sebagai penggantinya.10) Sekalipun pihak 'Ali kalah total, namun 'Ali tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41 H/661 M.
Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan oleh peristiwa tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah, semakin mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama sekali sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum separatis ini di Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan dendam mereka semakin memuncak terhadap Khalifah. Dalam hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum Khawarij membentuk pasukan berani mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman ibn Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah as-Sarimi untuk membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk membunuh 'Amr ibn 'As. Akan tetapi, dua petugas yang disebut belakangan ini gagal mencapai maksudnya.11) Dengan demikian, posisi Mu'awiyah semakin kuat.
Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali lebih tampak sebagai seorang panglima perang daripada sebagai seorang politikus. Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang pernah ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte oleh pihak lawan. Tipe perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.
Para pendukung dan pengikut setia Khalifah 'Ali apabila dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh berbeda dengan akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang tentu, mereka belum mengenal sama sekali apalagi memiliki doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah, selain pendirian mereka bahwa 'Ali lebih utama memangku jabatan Khalifah sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif lebih kecil. Dengan demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin tertentu, maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum lahir. Ini berbeda dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada hukum yang wajib dipatuhi selain hukum Allah," sejak keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai doktrin dan pengikutnya selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?
Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat beberapa pendapat yang kontroversial. Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah, menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan lahirnya nash (hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi Talib oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya nash yang dimaksud antara lain, mengenai kisah perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah pamannya, Abu Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian, oleh karena itu, dengar dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi sesudah 'Ali menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.
Nash seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni menolak nash tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim kekhilafahan bagi 'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum Syi'ah. Sebaliknya, tidak dimuatnya nas-nas semacam itu, demikian Syarafuddin al-Musawi, oleh kedua imam hadis tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi golongan Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi senjata kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka.12) Abu Zahrah berpendapat bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian menyebar ke Irak dan di sinilah mereka menetap.13)
Selain itu, adalah wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras, pamannya, 'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap Nabi untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan menggantikan kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut ditolak 'Ali dengan tegas, dan ia pun bersumpah tidak akan memintanya.14) Selanjutnya masih ada pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan terjadinya perang Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena pada saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah kecuali orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada 'Usman ibn 'Affan, sebagai yang telah disinggung diatas.
Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa pendapat diatas, maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak realistis, sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan nyata sebagai pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa hidupnya. Akan tetapi, apabila kelahiran Syi'ah dilihat sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat politis secara utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi kekhilafahan pada keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri Rasulullah, sebab dari segi doktrin inilah identitas Syi'ah tampak lebih jelas, berbeda dengan identitas sekte-sekte Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah seperti ini adalah bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah - pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan kepada keluarga Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan orang-orang yang dianggap telah merampasnya. Dari penerapan doktrin ini, penulis berpendapat bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan ibn 'Ali ibn Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya, hanyalah merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi'ah yang sudah siap tumbuh dan berkembang.
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH
Dalam kajian ini, penulis lebih menitikberatkan pada bahasan yang berkaitan dengan perkembangan sekte-sekte Syi'ah secara garis besar, serta hubungannya dengan paham Mahdiyyah.
Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum Syiah semakin goyah karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan di kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan Saba'iyyah, pengikut Ibn Saba'.15) Lemahnya daya juang dan kurang wibawanya Hasan adalah menjadi faktor yang mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha Hasan dalam memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya sangat mengecewakan. Pada saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh kaumnya, demikian Ihsan Ilahi Zahir, sehingga sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan Saba'iyyah, sebagian lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan Khawarij.16) Oleh karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai dengan pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara de jure, ia menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi secara de facto, ia berkuasa hanya enam bulan tiga hari.
Sesudah Hasan wafat, diangkatlah saudaranya, Husain ibn 'Ali sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak memiliki semangat dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun sayang, ia harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang Karbela secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.
Kematian Husain ini merupakan bencana bagi kaum Syi'ah, sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang keramat serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran kecintaan mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu, mereka mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan Muharam.
Kematian Husain tersebut bermula dari banyaknya surat penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada putera 'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia lebih mempercayai janji orang Kufah daripada ia mempertimbangkan saran-saran para penasihatnya yang cukup berpengalaman dan mengetahui benar tabiat orang Kufah yang telah mengkhianati keluarganya. Dan karenanya, kematian Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam moral agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat berdosa atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk menebus dosa mereka dengan mengangkat senjata menuntut bela atas kematiannya pada penguasa Umayyah. Golongan tersebut menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang bertobat).
Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa mati berperang karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati syahid. Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali dan keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi atau agama.
Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia terhadap penguasa Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama sekali baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah, demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin sekali ia orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari bangsa Arab ke bangsa Persia.17) Sejak itulah kaum Syi'ah mengalami perubahan besar dan mulai mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata kepada gerakan keagamaan yang bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur asing yang melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan bangsa Arab yang terdidik secara Islami, dan sekalipun mereka kaum Syi'ah masih berada dalam lingkaran Islam, namun bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam dalam bentuknya yang baru.18)
Pada saat yang sama, Syi'ah mulai membawa pikiran-pikiran asing secara terselubung, aliran ini juga merupakan wadah dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya musuh-musuh Islam yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak sekali.
Diantara kelompok-kelompok yang memasukkan ajaran-ajaran nenek moyang mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu berkeinginan melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam dengan menyembunyikan niat jahat mereka dan menunjukkan sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait sebagai kedok.19)
Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah ar-Raj'ah, ucapan sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan membakar mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka ada yang mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan, sifat ketuhanan yang menyatu dengan sifat kemanusiaan seperti pada diri seorang imam, juga ada yang mengatakan bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan terhenti untuk selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka yang menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau Reinkarnasi dan Hulul dan lain sebagainya.
Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah mempunyai keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal itu mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu pihak, sedangkan istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III, mantan raja Persia di pihak lain. Sebelum Islam, di Persia telah berkembang suatu tradisi yang bertolak dan pandangan tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang berarti bahwa dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan. Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus dipatuhi oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi untuk menegakkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan seperti ini, demikian Ahmad Syalabi, masih tetap ada sesudah orang Persia itu memeluk Islam, sehingga karenanya mereka memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak memerintah dan harus ditaati oleh manusia.20) Rupanya pandangan seperti inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti sekarang ini adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah berakar pada suatu masyarakat di suatu negeri, dan pernah memiliki peradaban yang lebih maju daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum Syi'ah membentuk pola kehidupan keagamaan yang berbeda dan bahkan sering bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya. Kepercayaan hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu Islam dan non-Islam, yang melahirkan praktek keagamaan baru dalam Islam merupakan bid'ah yang sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
"... Maka sesungguhnya sebaik-baik ajaran adalah kitab Allah (al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah sesat". (Hadis riwayat Muslim).
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, agama Nasrani setelah memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi yang jauh lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s. Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran Nasrani dengan kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat munculnya praktek-praktek keagamaan baru yang diikuti oleh lahirnya berbagai sekte keagamaan. Demikian pula dengan sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain wafat.
Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah, bermula dari masalah imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang berhak menjadi imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat itu belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia dewasa. Rupanya kaum Syi'ah sulit menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham.
Golongan pertama, memandang bahwa keimaman harus berada di tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas dari mereka, dan keimaman harus melalui nas dari imam baik yang dikenal maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat putera Husain yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini kemudian disebut golongan Imamiyyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa mengangkat imam yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin bahwa Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera keturunan Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan, keberanian, kesalehan, keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap penguasa yang zalim. Oleh karenanya golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka menghentikan aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain sampai bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang memberontak kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. Kemudian golongan ini dikenal dengan nama Syi'ah Zaidiyyah.
Golongan ketiga berpendapat bahwa jabatan imam sesudah Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu saudara seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi. Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa 'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad, saat menjelang wafat dan saat berwasiat kepada putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu, kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa dia juga memperoleh hak untuk diangkat sebagai imam.21) Golongan ketiga ini dikenal dengan nama Syi'ah Kaisaniyyah. Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.
Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat langsung terhadap lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman lebih menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan al-Waqifah yang kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah, lebih memfokuskan perhatiannya pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang imam. Mereka tidak perduli, apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain asalkan dia masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan itu dari Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
A. SYI'AH KAISANIYYAH
Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan ini dapat dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan dalih membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini tampaknya didukung oleh kaum Mawali Irak dan Persia, yang diperlakukan oleh pemerintah Umayyah sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk kedua kota tersebut tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.
Sekte ini mengangkat Muhammad ibn Hanafiyyah sebagai imam, sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn Saba' dan golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah, 'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam yang telah wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan, bahwa sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah yang dikenal sebagai orang yang berpengetahuan luas dan berpikiran cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran bohong dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut aliran ini terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia memiliki berbagai keluarbiasaan atau al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang mereka buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.22)
Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih kepada puteranya, Abu Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang dikenal dengan al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini tampaknya menjadi rebutan diantara kelompok-kelompok yang berambisi, sehingga timbul pendapat yang kontroversial.
Dalam hubungan ini asy-Syahrastani menjelaskan bahwa kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan, sebenarnya Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad ibn 'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat dalam perjalanan pulang dari Syria. Selanjutnya penerima wasiat ini terus mewasiatkan keimaman ini kepada anak keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu jatuh ke tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan, keimaman itu dilimpahkan kepada saudara Abu Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian, 'Ali mewasiatkan pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir mengatakan, bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,23) oleh karenanya menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah berpindah ke dalam diri 'Abdull-ah al-Kindi, sehingga berkembanglah paham Reinkarnasi di kalangan pengikutnya.
B. SYI'AH ZAIDIYYAH
Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah Husain wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad di jalan Allah guna menegakkan keimaman taat pada agama baik dia dari putera Hasan atau Husain.
Dalam masalah kekhilafahan atau keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam al-Afdal atau imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri sekte Zaidiyyah, pernah berguru kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang [kata-kata Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi keras dari Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah.
Sebagaimana diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa 'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang yang lebih berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat. Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor yang mewarnai identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte Zaidiyyah, karena doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi korban kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikan saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun ditinggalkan oleh orang-orang Kufah.24) Sesudah ia wafat pada 122H, jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal dengan an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan dalam mengembangkan ide-ide doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya ijtihad para imam mereka, tentu keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim di Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak terorganisasikan lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang kemudian menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.25) Sebagaimana sekte-sekte yang lain, golongan Zaidiyyah pun mengalami perpecahan menjadi beberapa subsekte. Diantara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai al-Mahdi.
C. SYI'AH IMAMIYYAH
Aliran ini menjadikan semua urusan agama harus berpangkal pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran Nabi. Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak boleh sunyi dari imam, karena masalah keagamaan dan keduniaan selalu membutuhkan bimbingan para imam. Bahkan mereka mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam. Kebangkitannya adalah untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan. Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang mengakibatkan perpecahan.
Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas dan benar. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak hanya merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan kepada ummat untuk menentukannya, bahkan imam merupakan tiang agama dan tatanan Islam yang tidak mungkin dilupakan oleh Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus seorang yang ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu sendiri menurut mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang samar-samar.26)
Konsep keimaman mereka, bagi sekte Zaidiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, pengangkatan seorang imam bukan ditetapkan oleh nas, tetapi dengan pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang diberi wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika Syi'ah Imamiyyah menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar, maka berarti mereka harus menerima paham Sunni, dan secara tidak langsung mereka harus mengakui pula kekhilafahan Bani Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok Sunni. Oleh karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan Ahlul-Bait yang menjurus ke arah kultus individu di satu pihak, dan kebencian mereka terhadap Bani Umayyah karena penindasannya pada Ahlul-Bait di pihak lain, bermula dari dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah sebelum Islam.
Di sisi lain, rupanya hubungan kaum Mawali Persia dengan keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara menunjukkan kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya keluarga Bani Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan lahirnya kelompok pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib di satu pihak, yang dikenal dengan golongan Syi'ah, dan munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali selalu gagal merebut kekuasaan politik pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, maka keturunan 'Abbas, lewat Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil merebutnya dan mendirikan dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya kelompok terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan politiknya sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas dari sikap dan tindak kekerasan terhadap saudara sesukunya (Bani Hasyim) seperti yang pernah dilakukan oleh dinasti Umayyah terhadap lawan-lawan politiknya.
Sebagai yang telah disinggung diatas, perpecahan Syi'ah Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang sah pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan Zainal-'Abidin,27) sekalipun ia belum dewasa. Imam ini selamanya tinggal di Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H, dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi kekerasan terhadap penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn Husain wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia menduduki jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan al-Walid, namun ia tetap tinggal di Madinah sebagaimana ayahnya.28) Sepeninggal al-Baqir, jabatan imam dipegang oleh puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam ini, dari jalur ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya, Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya sebagai guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh semua pihak yang mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang ilmu fiqh dan hadis.
Sejumlah muridnya telah memberikan andil besar dalam memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, seperti: Abu Hanifah dan Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama seperti Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai ahli kimia yang masyhur. Karena kemasyhurannya itu, beberapa tokoh Syi'ah abad modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi, 'Ali Syariati dan lain sebagainya , menunjukkan klaim terhadap ummat Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan menerima pikiran-pikiran hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai mazhab ke-5 dalam Islam, namun demikian, karya-karya besar Imam ini, di perguruan tinggi Timur Tengah, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang studi sendiri dalam Ilmu Fiqh.
'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait ini menyatakan berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan ucapan serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada dirinya, seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah, ar-Raj'ah, al-Bada', Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau penyerupaan Tuhan dengan manusia. Penolakannya terhadap kebid'ahan-kebid'ahan kaum Syi'ah dinyatakan dengan tegas sebagai berikut:
"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum Syi'ah), sesungguhnya kami tidak membiarkan para pendusta yang senantiasa membuat kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami, Allah sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."29)
Dari uraian diatas, nyatalah bahwa tokoh-tokoh Ahlul-Bait yang diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada umumnya tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya yang bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang pun di antara para Imam itu yang menyimpang dari ajaran Islam, dan bahkan mereka tidak suka menyerang pribadi Abu Bakr atau 'Umar, malahan mereka menghormatinya. Oleh karena itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas terhadap segala penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai salah satu faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama baik imam-imam mereka untuk menguatkan pendirian atau paham masing-masing. Tidak mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian mendirikan sub-sub sekte yang ekstrem dengan menyerap ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka membuat cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan keluarbiasaan imam-imam mereka.
Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah Ja'far as-Sadiq wafat, semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya berpangkal, siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru seperti: An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq sebagai al-Qa'im atau al-Mahdi demikian pula halnya dengan al-Musawiyah, pengikut Musa al-Kazim yang berkeyakinan bahwa Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan akan kembali lagi ke dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam sesudahnya. Oleh karena itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua subsekte yang terpenting, dan keduanya mempunyai corak kemahdian yang berbeda satu sama lain
1. SYI'AH ISMAILLIYYAH
Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau Syi'ah Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut sekte berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan setiap ayat yang turun pasfi ada Ta'wil atauTafsir Batiniyyah-nya.
Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.30) Mereka dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya kedalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan Islam.31) Untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak, kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi lama dan pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda di sekitar abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide platonisme dan gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong struktur keagamaan ortodoks.32)
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im (yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia. Sesudah Isma'il, jabti Fatimiyyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara subatan imam diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi. Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan Magrib (Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan mendirikan dinassektenya yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati serta akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.33)
Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di masa al-Hakim bin Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386 H. Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan.
Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan, sehingga manusia mau menyembahnya.34) Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut). Kemudian ajaran ini oleh ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.
Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah Batiniyyah yang inovatif, terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran, adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa Aga Khan, sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad Syalabi menjelaskan, dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dan menguasai ummat Islam dengan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah pihak.35) Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu kepentingan Inggris di India. Dalam kerjasamanya dengan Inggris, aliran Batiniyyah atau Isma'iliyyah ini, mendapat kebebasan menyebarkan pahamnya di koloni-koloni Inggris, dan sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh pada Inggris.
2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH
Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan lebih kuat posisinya sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh dan posisi aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini tinggal di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad ke-3 H, akan tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa ia lahir sesudah hilangnya Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara misterius pada tahun 260 H.
Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far as-Sadiq, adalah Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari Ahlul-Bait yang diangkat sebagai putera mahkota oleh Khalifah al-Ma'mun dari dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian keimaman sesudahnya beralih kepada puteranya Muhammad at-Taqi, dan selanjutnya ia pun digantikan oleh puteranya 'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam terhadap Khalifah al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra sampai wafatnya tahun 254 H/ 868 M dalam usia 40 tahun. Selanjutnya keimaman beralih kepada puteranya, Hasan al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan menguasai beberapa bahasa.
Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah ini semakin meluas, dan banyak diantara para pengikutnya, terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib) mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani, Hasan al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di Samarra.36) Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn Hasan al'Askari sebagai imam yang ke-12, yang dimitoskan sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia dianggap hilang secara mimana para penguasanya mengklaim bahwa diri mereka adalah masih keturunan Musa al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa Syah Isma'il, ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah formula khutbah dan azisterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan, sebagaimana bumi ini dipenuhi oleh kecurangan. Demikian menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran ini sejak berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12, tampaknya kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian Gibb dan Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah berdirinya dinasti Safawiyah dannya, yaitu dengan menyebutkan nama-nama kedua belas Imam mereka dalam khutbah dan menambahkan kalimat [kata-kata Arab] dalam azannya, formula semacam ini tentunya dimaksudkan untuk menunjukkan ciri khas kesyi'ahan.37)
{[['']]}

CloneDVD 7.0.0.3 ( Free Full )

CloneDVD adalah perangkat lunak yang fleksibel dan mudah di gunakan untuk mengkopi / mengkloning file DVD apapun serta mengkonversi file DVD apapun ke dalam bentuk ISO maupun format video populer lainnya seperti: AVI, ASF, MP4 iPod, PSP MP4, 3GP, dll. CloneDVD otomatis menghapus semua perlindungan / proteksi (CSS, RC, RCE, Sony ARccOS UOPs dll) selama proses penyalinan, sehingga memungkinkan anda secara bebas menyalin semua koleksi film DVD Anda. Di samping itu anda juga dapat melakukan beberapa pengeditan video seperti: menyesuaikan contrast, hue, saturation, brightness dan effect.

Screenshot

Features
Copy/Burn/Rip ANY DVD Movie:
  • Remove/decrypt/bypass almost all known DVD copy protections, like CSS, CPPM, RC, RCE, APS, UOPs, ARccOS, RipGuard, etc., to freely copy any DVD
  • Copy all DVD discs to make your DVD clone region-free by decrypting all region protections and RPC-I/RPC-II/RCE region protections automatically during copying
  • Copy DVD by auto removing unnecessary warning screen and watermarks
1:1 DVD Copy to a Blank DVD Disk:
  • DVD-9 to DVD-5: perfectly auto compress/shrink DVD-9 to DVD-5 safely without any data loss
  • 1:1 DVD Copies: fast transfer DVD-9 to DVD-9 and DVD-5 to DVD-5 of high video&audio qualities
  • DVD-9 to 2 DVD-5: easily and logically split or divide your big DVD-9 disc to 2 stable DVD-5 discs
Customize DVD Copying Contents:
  • CloneDVD enables you to copy full DVD movie disc to a blank DVD disc, ISO, or other video formats
  • CloneDVD allows you to keep main movie only of a DVD by deleting any unnecessary and unneeded intros, menus, language and sound tracks
  • CloneDVD makes your DVD copy process customizable to rip/convert/copy/burn any chapter or chapters of a DVD disc
Playable on all Full Range DVD Players and Portable Devices:
  • Convert/rip/burn DVD into ISO image files for easy backup or conveniently and easily playing them on media center
  • Copy DVD to hard drive for playback on your computer or DVD copy in the future
  • Convert DVD to audio for media players, such as, DVD to MP2, DVD to NO3, DVD to AAC, DVD to AC3
  • Transfer DVD to video formats for better view: DVD to AVI, DVD to ASF
  • Convert DVD to MP4 or DVD to 3GP for enjoyment on-the-go: DVD to iPad Mini, DVD to the New iPad, DVD to iPad, DVD to iPhone 5, DVD to iPhone 4S, DVD to iPhone, DVD to iPod, DVD to iPod Touch, DVD to iPhone, DVD to Apple TV, DVD to BlackBerry, DVD to PSP, DVD to 3GP for known mobile phones
Make Your Unique Movie:
  • DVD Ripper function: extract DVD clips or cut out any part from a DVD disc that you dislike for storage or DVD conversion/copy
  • DVD Cropping: eliminate unwanted areas of the frame of DVD to meet your various display screens
  • DVD Edit: add your own watermark on the movie to make it special and unique
  • Merge/join/combine multiple DVD chapters into a single movie
  • Insert subtitle in preferred language
  • Adjust contrast, hue, saturation, brightness for better video effects
Easy & Fast:
  • Support iPhone 5 and the New iPad new feature
  • Easily get the original DVD informations including movie picture, name, user rating, release date, more info etc..
  • Synchronize with PSP, iPod, iPod touch, BlackBerry and iPhone
  • One click solution for DVD backup/conversion fast and easily
  • Multiple languages supported such as English, French, Spanish, German, Italian, Japanese, etc
  • Multiple burn engines selectable, external Nero burn engine supported
  • Automatically turn off computer when finished
  • Free minor version upgrade online
  • Free 24 hour online help documentations for reference
  • Lifetime free technical support

Download

Instalasi
1. Unrar
2. Install CloneDVD
3. Copy dan paste file ConfigM.dll ke direktori instalasi programnya
4. Enjoy
{[['']]}

=Video=2Dunia 24 Feb 2013 Sendang Sarimulyo Imogiri Jogjakarta

Dua Dunia 24 Feb 2013 Sendang Sarimulyo Imogiri Jogjakarta.Copyright C Trans7
Video Hosted By : HyperLink
Sumber Videos : http://www.youtube.com/
Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}

#
{[['']]}

=Video=2Dunia 15 Feb 2013 Pohon Asem Kesugihan Kalianda Lampung Selatan


Dua Dunia 15 Feb 2013 Pohon Asem Kesugihan Kalianda Lampung Selatan [Subtitle]. Copyright C Trans7Video Hosted By : HyperLink
Sumber Videos : http://www.youtube.com/ Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}
#
{[['']]}

Nasionalisme Penyebab Runtuhnya Khilafah Pemersatu Umat Islam

Adityanugroho
About 14 Centuries ago, has stood a superpower that makes the Islamic faith as a foundation for the establishment. A country that is Able to unite the brotherhood of man in the frame on the basis of Aqeedah, the Aqeedah of Islam. That Daulah Islam (Islamic State), which was proclaimed by the Prophet Shallalahu 'alaihi wa sallam in Madinah Al-Munawarah are then forwarded by the successor state relay leadership starts from the first four Caliphs to expire during the Ottoman Caliphate on March 3, 1924 ago.
Since the collapse of the Caliphate in 1924 that resulting totaling 1:57 billion Muslims live in a fragmented state on Behalf of the nation-state or nation state. As a result, each individual Muslims do not belong together either in feeling, thought and system / rules, so gone are the life of the which is based on the Islamic Aqeedah and Shariah Islam in their lives in the community.
Between Aqidah Islam and Nationalism
Islam is a religion that consists of aqidah and syariah. Aqidah as a basis for thought and Islamic sharia as a living system as well as a living system. Mahmud Syalthut stated, "In Islam, the creed is the basic foundation (al-ashl) WHO built the Shari'a. Sharia reflection aqidah. Hence, there is no law without the presence of the creed. Nothing except the application of Islamic law under the auspices of the Islamic creed. Because, without Shari'a-based creed as the building without foundation. "
Sentence Tawheed, Laa ilaha illa Allah, Muhammaddarasulullah is a sentence that binds Muslims to each other. Aqeedah is what causes the melting companions Abu Bakr Arabic & Persian Salman WHO Came with Bilal from the Ethiopian people by Suhaib derived from the Romans. There is no bond other than a bond Aqeedah at the time the bond between friends in the time of the Prophet and afterwards to the people before the Ottoman Caliphate collapsed, nor tribal or ethnic ties, Including ties nor Nationalism.
Nationalism by Hans Kohn is defined as "a state of mind in individuals feel that WHO is the highest devotion to the nation and the homeland". Nationalism indeed absurd idea, does not Contain a definite sense, the which arises from the passions of ignorant selfishness alone.
Nationalism is not a viable idea to awaken mankind. Because in a revival, we need a thorough thought (fikrah kulliyah) about life, the universe, and humans, as well as some thoughts about life to solve the problems of life (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
nationalism-disaster
Nationalism causes destruction of the Khilafah
What is the relationship between nationalism and the destruction of the Khilafah? According to Zain and Ahmad Najah MA, nationalism is Believed to be the main cause of the collapse of the Ottoman Caliphate. Historians citing Mahmud Shakir in the book Tarikh Ottoman Islamic Dawla, Najah mention that the means to destroy the power of the Islamic government in Turkey it is time to turn nationalism.
Perhaps the most important thing is that the group moves to spread nationalism, they do not have the means to undermine the movement Daulah Islamiyah except with "spreading nationalism". Therefore, they work hard to Achieve that goal. It turns out that nationalism is an important element in weakening the power of the Daulah Islamiyah, Because Muslims, nationalism, will be scattered, each at odds; each wants to join the clan and his group, wants to break away from the power Daula. Suffice it to move to the breakaway strength kotaklah be compartmentalized beings. Thus Spake, Daula and disconnected networks will weaken and eventually collapse. So it goes. (Mahmud Shakir, Tarikh Islam, Maktab al-Islami, 1991 M, VIII / 122).
Starting from the emergence of various propaganda towards nationalism pioneered by Unity and Development Party, they started the movement by downloading the Turkish-Daulah Utsmaniah in Turkey. Preaching To sustain this, they made the wolf (god of the Turks before Islam) as symbols of the movement. (Muhammad Muhammad Husain, Ittijâhât Wathaniyah, II.85)
Party led by Ahmad Rida and centered in Paris is also trying to spread hostility toward Arabs, Including by any attempt to remove the Ministry, Interior Ministry, and the Ministry of Foreign Affairs, WHO was held by the Arabs, to replaced with the Turks. They also tried to restrict the privilege granted only to Turkish nation Utsmaniah alone. (Muwafiq Bani Marjah, Sulthan Abdul Hamid and Utsmaniah Caliphate, p. 174)
The movement made the Arabs furious. As a result, in a short time sprung movement "Arab fanaticism" and Quickly spread throughout the region Utsmaniah government, like in Egypt, Sham, Iraq, and Hijaz.
Starting from the court of the earth Sham, fanaticism is growing and enlarged to various countries. Fanaticism is intended to subvert Utsmaniah Caliphate held by the Turks. More ironically, this fanaticism is controlled by Lebanese Christians can people, WHO have been nurtured in Western education. Among the characters are Namir Faris and Ibrahim Yasji. Movement of Arab fanaticism is driven further by Negib Azoury, a Christian employee of Ottoman rule in Palestine. He managed to publish a book Le Revell de la Nation Arabe. In his book, he Expressed his idea to create an Arab empire that has natural limits items, namely: the Valley of the Euphrates and Tigris, the Indian Ocean, the Suez Canal, and the Mediterranean. This idea would obviously faster separatism Encourage creation of the Arab territories of the Ottoman rule. (Azyumardi Azra, Islam and the State: Experiments in Modern Period)
In the years 1914-1918 World War I; opportunity for the Arab nations to secede from the Caliphate Utsmaniah. They want to establish a "Caliphate Arabiyah" as unmatchable. This opportunity is not wasted England to destroy the power of Islam.
Europe understands very well that the divisions between Arab and Turkish Islamic forces resulted in weak, as was revealed by Muhammad Abduh:
Indeed, the Arabs capable of ousting the Turks from the seat of the Caliphate. However, the Turks were not willingly granted. Moreover, at that time the Turks have a military force that is not owned by other parties. With it they will attack and kill the Arabs. So if the two powers Weakened, Europeans are becoming stronger. They have long to wait between the Muslims fight, then trying to master both the nation or the weakest one. And this time the Arabs and the Turks are the strongest nation in the Muslim body. Therefore, as a result of the fight between the nations, will obviously be Weaker strength of Islam as well as a shortcut meunuju demise. (Dr. Muhammad Emirate, Al-Jam'iyah al-Islamiyya wa al-fikrah al-Qawmiyyah, Dar asyu-Syuruq, 1414-1994, p. 53, 54).
Knowing such, diutuslah "Lorence", spionis British Jewish upbringing, WHO were later known as the "Arab Lorence". After preparing everything, finally managed to hit the Arab revolution Utsmaniah power of the Caliphate in Turkey, of course, under the guidance and direction of this Arab Lorence.
Arab armies gather and unite with foreign powers. Long before the conspiracy to destroy the Khilafah Utsmaniah done, the British had promised Sharif Husayn, Makkah magnifying the time, that if the Caliph Utsmaniah fall then Sharif Husain will be the Caliph replacement.
But in reality, after the plan was successful and the war was over, the British reneged on that promise. Two representatives were invited Sharif Husain in the handover ceremony held in Jeddah was not present. Even at that time the British open secret that had been kept, the which turns out three large countries (Britain, France and Russia) have colluded to divide the territory between them Utsmaniah Caliphate. At the same time, Mustafa Kemal had managed to seize the reins of leadership of the family Utsmaniah. It seems it had been planned much Earlier, when he led the movement Kamaliyun, WHO Reviews their conduct underground activities. This movement had the full support of the International Masuniah movement. (Dr. Jamal Abdul Hadi, Al-mujtama 'al-Islami al-Mu'ashir, Al-Wafa', I / 59).
Peak, at the end of Mustafa Kemal Luzone Conference receives 4 English terms proposed to Recognize the new power in Turkey. The four conditions are:
1.Remove the Khilafah system;
2. Alienate family Utsmaniah beyond borders;
3. Proclaimed the establishment of a secular state;
4 Freezing Utsmaniah family property and possessions. (Mahmud Shakir, Tarikh al-Islam, VIII / 233).
After six Centuries led the world, to defend the glory of Islam and Muslims, "The Old Sick-Man" finally collapsed. Not collapsed is because of the attacks from the enemies outside, but in the hands of his own sons. After the fall of the last bastion of the Muslims, the Arabs Realized that they had been fooled seduction England and unconsciously took part in the overthrow of the Ottoman Caliphate. However, they are not Able to do anything else.
back-to-al-Khilafah
Fake Hadith spread
There is one more way that is used by the kuffar at that time to further divide Muslims, but REMAIN tied in bonds of falsehood nationalism, ie, by creating and disseminating hadith roomates until now very familiar in our society. Namely roomates hadith reads:
حب الوطن من الإيمان
That is, "Love the country, Including the faith".

The phrase "terminal Wathon hubbul faith" (love of homeland part of faith) is Often Considered the hadith of the Prophet Shallalahu 'alaihi wa Sallam by nationalist leaders, preachers, and the preachers were less steeped in the science of hadith and hadith. The goal is to plug in nationalism and patriotism with religious arguments to be more firmly Believed Muslims.
Sheikh Albani honor when asked about this hadith he said, "And the meaning is not true. Because of love as well as love of country life and property; someone is not commendable to love her cause Because it is human nature. Did you see that all human beings Participate in this love, both pagan and believer he! "
When asked why this could spread false hadith, then Al-Hafiz al-Shawkani said, "Historians have underestimated the hadiths express falsehood about the primacy of the country, much less Reviews their own country. They are very underestimated once, to the extent Mentioned false Hadith and not warn him, as did Ibn Dabi 'in Tarikhnya Entitled "Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yemen Al-Maimoon" and other books Entitled "Bughyatul Mustafid bi Akhbar Medina Zabid" when he includes hadith scholars. then should one be aware of This belief or narrated, Because The problem lies in the widespread and exceeded the limits. All it is is human nature are to cintah homeland and hometown ".
That is the poison of nationalism kufr idea. An idea that Muslims are Able to pulverise institution called the Islamic Caliphate. The only institution kaffah implementing Islamic law, the which unite into one community.
Rabb (Lord) we are one the which Allaah
Muslims only believe in one God who created the universe ini.Tuhan that must be worshiped, honored and obeyed his orders and prohibitions shunned, and only they hung all her affairs. Almighty God ie Allaah. Allaah says:
Say, "He is Allah, the Almighty". (QS. Al-Ikhlas 112: 1)
God is a god WHO depend on Him all affairs. (QS. Al-Ikhlas 112: 2)
Book us that the Qur'an
Muslims believe the Qur'an as a guide to life, the which govern all of Reviews their affairs. In the which there are laws that resolves all matters. Therefore, in case of disagreement between them, then they return to the newspaper to get a solution to the problem. And they will accept the decision with full readiness. Allaah says:
ويوم نبعث في كل أمة شهيدا عليهم من أنفسهم وجئنا بك شهيدا على هؤلاء ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
(And remember) the day (when) we raise in every nation a witness against them from them- selves, and We bring you (O Muhammad) be a witness over all mankind. And We have sent down to thee the Book (the Qur'an) to explain all things and guidance and mercy and good Tidings for Those who submit. (QS. An-Nahl 16:89)
One roomates our Prophet Muhammad Shallalahu 'Alaihi wa Sallam
What is given to you then accept him Apostles. And what he forbids you then leave; and bertaqwalah to God. Verily Allah is severe in His punishment. (QS. Al-Hashr 59: 7)
Our Qibla ie the Kaaba Baitullah
The make Muslims the Kaaba as the qibla the which unites them carefully. All Muslims face toward Mecca when the prayer as the most important worship in Islam. Wherever they are, they must expose his face towards the holy Kaaba Baitullah. And in every season of Hajj Muslims from all over the world flock to this place to respond to the call of God to them by performing Hajj. And for Those who do not come to this place Because there are no costs can Salaah at their respective work places with the same face as the expression of togetherness. Allaah says the which means:
And (remember) when We Gave to Abraham in the place where the House (saying), "Do not to associate nothing with Me and purify My house is for people WHO tawaf, and Those who worship and Reviews those bowing and prostration. (QS. Al-Hajj 22:26)
And cried out to the man to do the pilgrimage, they will come to you on foot and camel riding skinny coming from every corner of the remote. (QS. Al-Hajj 22:27)
Leadership we are also one the Caliphate
"Islam makes Muslims as a people are one, uniting them in a single state, giving the priests for them to govern the country and the people are one, the which is in charge of enforcing Islamic and control various affairs within the limits set by Islam. " (Dr. Abdul Qadir Ouda, Al Islam wa Audho'unaa As Siyaasiyah, p. 278, Muassasah Ar Risalah, 1981)

Hopefully, people are increasingly aware that the cause of These people torn diffusion is the caused by the understanding of falsehood called nationalism, so that people will increasingly fling the idea and returned to the make the Islamic faith as the basis of forming a bond, the Islamic Aqeedah . And earnestly strive to be upright again Caliphate. Because there is no glory without Islam. Imperfect Islam without shariah. Kaffah would erect Islamic law in the absence of the Khilafah. However, not upright Khilafah without proselytizing. Ideological proselytizing re-Daulah berjuangan to uphold Islamic Caliphate Islamic life that could Happen again. And Allah knows best bi-sowab ash
Source: eramuslim.com
{[['']]}
Lihat PETA WISATA ZI'ARAH CIKUNDUL di peta yang lebih besar
Lisensi Creative Commons
WISATACIKUNDUL oleh BUDAKSHARETM disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.
Berdasarkan ciptaan pada http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/.
Izin di luar dari ruang lingkup lisensi ini dapat tersedia pada @WISATACIKUNDUL.

 
Support : MOVIE LIVE | LIVE DOWNLOAD
Profile Google + : PUTRA SUNDA | BUDAKSHARE-TM
Copyright © 2014. WISATA CIKUNDUL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Follow on FACEBOOK : (1) Wisata Cikundul
Follow on TWITER : (2) Wisata Cikundul
Loading the player...