LATEST POSTS:
Recent Posts
Showing posts with label Jawabarat. Show all posts
Showing posts with label Jawabarat. Show all posts

Sejarah Berdirinya Bandung


Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.


Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut.

    Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Silsilah Prabu Siliwangi - Dipati Ukur
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Samudera Indonesia
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede.
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanah medang.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.Sistem pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.

Bupati Bandung Dari Masa ke Masa Tahun 1846-2010

  1. R. WIRANATAKUSUMAH IV Periode 1846-1874
  2. R.A. KUSUMAHDILAGA Periode 1874-1893
  3. R.A.A MARTANEGARA Periode 1893-1918
  4. R.H.A.A. WIRANATAKUSUMAH V Periode 1920-1931, 1935-1945
  5. R.T. HASAN SUMADIPRADJA Periode 1931-1935
  6. R.T. E. SURIAPUTRA Periode 1945-1947
  7. R.T.M. WIRANATAKUSUMAH VI Periode 1947-1956
  8. R. APANDI WIRADIPUTRA Periode 1956-1957
  9. R. MEMED ARDIWILAGA, BA. Periode 1960-1967
  10. ANUMERTA MASTURI Periode 1967-1969
  11. R.H. LILY SUMANTRI Periode 1969-1975
  12. SANI LUPIAS ABDURACHMAN Periode 1980-1985
  13. H.D. CHERMAN E. Periode 1985-1990
  14. H.U. HATTA JATIPERMANA Periode  1990-2000
  15. H. OBAR SOBARNA, S.Ip. Periode 2000-2010

{[['']]}

Nama Tokoh Wayang Golek


Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan. Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari ceritaRamayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang, dan rebab. selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an. Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukkan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukkan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll. Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya. Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diiringi dengan pertunjukan wayang golek. (Ganjar Kurnia, 2003, Deskripsi Kesenian Jawa Barat.) Berikut ini nama-nama tokoh dalam wayang golek:6. Batara Bayu Bayu berarti angin. Batara Bayu adalah Dewa yang menguasai angin. Dia tinggal di Kahyangan Pangwalung. Ayahnya bernama Batara Guru. Ibunya bernama Dewi Uma. Istrinya bernama Dewi Sumi. Nama lain dari Batara Bayu adalah Batara Pawana Guru, Batara Prabancana, Batara Maruta. Batara Bayu memiliki beberapa ajian. Salah satunya adalah Aji Bayubajra. Yakni bisa mengeluarkan angin puting beliung untuk menyerang lawannya. Dia memiliki beberapa murid. Anoman (monyet putih) dan Bima (Pandawa yang ke-2). Mereka memiliki Kuku Pancanaka, yakni senjata pada kuku ibu jarinya. Coba perhatikan pada kuku jempolnya (Batara bayu, Anoman, Bima).7. Batara Guru9. Batara Rama Bima adalah putra Pandu yang kedua dari ibu Dewi Kunti. Menikah dengan Arimbi. Bima adalah ayahanda Gatotkaca. Memiliki kuku pancanaka. Ada seekor ular di lehernya. Jika Bima berbohong maka ular tersebut akan menggigit lehernya. Sehingga Bima dikenal dengan karakter yang tidak pernah berbohong.Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok (di Tanah Sunda dikenal juga ada salah satu jenis bedog: bedog cepot). Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya.12. Dawala

Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri. Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya.


Denawa calangap maksudnya wayang ini mulutnya bisa menganga. Biasanya oleh para dalang digunakan sebagai sebuah karakter yang hanya bisa mengucap vokal "A" saja. Contoh: "saya akan ka jakarta jalan pajajaran lantas tabrakan sama randa."



15. Denawa Huntu

Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta dalam bahasa Indonesia itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri. Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya. Denawa huntu maksudnya wayang dengan karakter giginya besar. Huntuartinya gigi. Buta dalam masyarakat Sunda sendiri sering disamakan dengan raksasa.



16. Dewi Drupadi

Dewi Drupadi adalah istri Prabu Yudistira atau Darmakusuma, raja Amarta. Memiliki satu putra bernama Pancawala. Pada masa Pandawa dihukum selama 12 tahun ditambah satu tahun oleh kurawa diperintahkan untuk menyamar, Dewi Drupadi menyamar menjadi pelayan di kerajaan Wirata bernama Malini. Patih kerajaan Wirata bernama Kicaka menyukai Malini / Dewi Drupadi dan ingin dijadikan istrinya. Tapi Malini mengaku sudah punya suami dari bangsa jin dan meminta Kicaka untuk membunuh jin itu. Kicaka menyanggupi. Durpadi minta tolong kepada Bima untuk membereskan masalahnya. Kicaka mati di tangan Bima yang mengaku suami Malini dari bangsa jin. Dewi Drupadi dikisahkan dalam cerita "Pandawa Tutas Nyamur".



17. Gareng


Gareng adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Gareng biasanya selalu di rumah saja membantu ibu Sutiragen melakukan berbagai pejkerjaan rumah.



18. Gatot Gaca/Gatot Kaca

Gatotkaca, salah seorang tokoh dari epos Mahabharata. Putra Arya Bima & Arimbi. Bima memberi nama anaknya itu Jabang Tutuka. Gatotkaca sakti mandraguna dengan segala ilmu dan aji-aji pamungkasnya seperti Brajamusti, Krincing Wesi, Bajingiring, Garuda Ngapak dan sebagainya. Dia dipercaya menjadi panglima perang negara Pringgadani. Dikenal dengan julukan otot kawat, tulang baja, daging besi. Lebih dari itu dia pun memiliki jiwa seni yang tinggi. Dikenal pula sebagai pembuat arca, patung-patung dari batu.


Gatot kaca sendiri memiliki banyak nama pemberian dewa. Namun yang dipakai adalah nama Gatotkaca, nama pemberian dari Batara Guru saat di sawarga maniloka. Saat umur 3 tahun, Jabang Tutuka diutus Batara Guru untuk melawan Naga Percona. Tapi sayang, Tutuka mati di tangan Naga Percona setelah ia menendang mata Naga Percona hingga buta sebelah matanya. Untuk itu Batara Guru memerintahkan Batara Narada dan Batara Bayu untuk memasukan jasad Tutuka ke kawah Candradimuka. Tutuka dicetak ulang berganti wujud menjadi Gatotkaca.


19. Nakula

Nakula adalah putra Pandu yang keempat. Disebut juga Pandawa yang ke-empat. Memiliki saudara kembar yaitu Sadewa.


20. Sadewa

Sadewa ada di sebelah kanan


Sadewa adalah putra Pandu yang kelima. Disebut juga Pandawa yang kelima. Memiliki saudara kembar yaitu Nakula.


21. Yudhistira

Yudistira adalah putra Pandu yang pertama dari ibu Dewi Kunti. Ia adalah raja Amarta. Dialah yang memegang pusaka sakti Layang Jamus Kalimusada.


22. Semar Badranaya


Semar Badranaya adalah penjelmaan dewa, yakni Batara Ismaya. Istrinya bernama Sutiragen putra Raja dari kerajaan Sekarnumbe. Anaknya bernama Cepot, Dewala dan Gareng. Di Sawarga Maniloka dia mempunyai anak yaitu Batara Surya (dewa matahari). Ia adalah tokoh wayang yang paling sakti dari semua tokoh wayang.


Semar berkulit hitam, (seperti buah manggis / manggu yang telah hitam berarti telah matang) melambangkan telah dewasa atau matang baik dalam mental dan pemikiran. Berwajah putih. Wajah adalah cerminan dari hati. Semar berhati putih, suci, bersih. Berkantong kosong. Semar kosong atau bersih dari sifat sirik pidik jail kaniaya iren panastren dudumpak rurumpak ngupat sumuat ujug riya takabur nyaci maki siksik belik teu kaopan teu payaan bedegong buntangul buraong kedul dan lain sebagainya. Intinya kosong dari sifat-sifat buruk manusia.


Mempunyai bentuk unik. Disebut pria tapi berbuah dada dan berbokong besar. Disebut wanita tapi berjakun. Disebut masih anak-anak atau muda tetapi berkulit keriput. Disebut berdiri tapi duduk disebut duduk tetapi terlihat berdiri. Disebut sudah tua tetapi berkuncung di kepalanya. Bermakna setiap manusia baik pria, wanita, orang tua atau anak-anak muda seharusnya berhati bersih, suci seperti putihnya wajah semar.

Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com/

{[['']]}

Pusaka, Senjata dan Aji-Ajian dalam Pewayangan

Pusaka, Senjata dan Aji-Ajian dalam Pewayangan

Kasekten kang ngedab-edabi para ratu lan satriya mau jalaran saka gentur tapane nggennya ngupadi kasekten iku mau. Sawantaha pancen ana kang saka lorotan bapa utawa eyange, ana maneh kang pancen saka ngapusi kayata Dasamuka kang apuskrama marang Resi Subali. Akeh2e saka asihing dewa jalaran gede lelabuhane marang dewa utawa sasama.

Anoman: kuku pancanakaaji-aji pancasona, bayu bajra, bayu ronta, sima bobot
Antareja: upas anta ambles bumi, sekali jilat gosong (saka eyange Anantaboga)
Arjuna: panah pasopati, sarotama, ardhadhedhali, ardhasengkali, keris pulanggeni, kalanadhah, aji-aji sepiangin, malayabumi, brahmasirah (membuat alam menjadi terang), parjanya astra (menggelapkan cuaca), agni sastra (kobaran api)
Aswatama: senjata cundhamanik
Baladewa: gada nanggala lan alugara
Batara Kala: keris kalanadah, keris kaladeteh
Batara Kamajaya: kemayan cakrakembang
Batara Surya: kereta Jatisurya
Bhisma: tameng wesi

Dasamuka: senjata candrasa, pedhang sokayana, aji-aji pancasona, rawarontek, gunturgeni
Destarata: aji kumbalageni
Durna: cundo manik
Gathutkaca: caping basunandha, kotang antakusuma. aji-aji brajamusti, panca bajra, krincing wesi, bajingiring, garuda ngapak, narantaka (saka Gandamana), trumpah madukacermo
Indrajit: senjata nagapasa lan wimohanastra, aji sirep Megananda
Jayadrata: gada rujakbeling
Karna: keris kaladite, panah kunta wijayandanu, aji-aji kalalupa, balasrewu
Kresna: senjata cakrabaswara, kembang wijayakusuma, cangkok wijayamulya
Kumbakarna: aji-aji gedhongmenga, pelakgelak sakethi
Puntadewa: jamus kalimasada, songsong tunggulnaga namanya tombak korowelang tp ad yang bilang klo pusaka itu pusaka indraprasta/ amarta (dalam lakon semar mbangun kayangan ke 3 pusaka tersebut terbang menuju ke karang kabolotan bersama senjata cakrabaswara nya sri bathara kresna
Ramawijaya: panah gunawijaya
Rama Bergawa: kapak duwung
Salya: aji-aji candhabirawa
Setyaki/ sencaki = Gada wesi kuning
Sosrowindu = kemlandingan putih
Subali: aji-aji pancasona, rawarontek
Werkudara: gada rujakpolo, lukitasari, kuku pancanaka, bandung bandawasa, gada lambitamuka, ungkal bener, blabag pengantol-antol, bayu braja, jalasengara, cincin manikam druindra, air suci tirta parwita

Keterangan:
Ada juga aji2 yang umum:
Aji halimunan: Pemiliknya bisa menjadi kasat mata
Aji sirep: Membikin orang tertidur
Pusaka Wijayakusumah: Jika diusapkan kepada tubuh orang yang sudah meninggal maka orang itu akan hidup kembali
Aji Kilat Tatit: Pemilik ajian dapat bergerak cepat. Ini salah satu andalannya Gatotkaca tapi kalau ngga salah banyak juga yang punya
Panah2 pusaka yang sekali dilepas bisa berubah2: Ada yang jadi beribu2 panah, ada yang jadi hujan, api, rantai, dll.
Ajian2 dan senjata2 khusus:
Aji Kemayan: Ajian andalan betara Guru, orang yang terkena ajian ini akan menjadi lemas
Aji Danuweda: Ajian panah Resi Dorna, diturunkan kepada Arjuna, Karna dan Bambang Ekalaya
Aji Candhabirawa: Setiap darah Salya menetes ke tanah akan berubah menjadi raksasa yang jadi beribu ribu
Cincin Ampal: Cincin pusaka Bambang Ekalaya, jika ditamparkan kepada musuhnya sambil mengeluarkan ajian ampal bisa dipastikan bahwa musuhnya akan perlaya.

Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com
{[['']]}

Kujang, Pusaka Sunda

Kujang, Pusaka Sunda yang Terlupakan

Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis Sunda memiliki lambang daerah berupa gambar yang di tengahnya menampilkan senjata tradisional yang disebut kujang. Kujang adalah senjata tradisional berupa senjata tajam yang bentuknya menyerupai keris, parang, dengan bentuk unik berupa tonjolan pada bagian pangkalnya, bergerigi pada salah satu sisi di bagian tengahnya dan bentuk lengkungan pada bagian ujungnya. Bagi masyarakat Sunda, kujang lebih umum dibandingkan dengan keris.
Kujang tidak hanya dipakai untuk lambang daerah tapi juga dipakai untuk nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semen Kujang), nama kampung (Parungkujang, Cikujang, Kujangsari, Parakankujang), nama batalion (Batalyon Kujang pada Kodam III/Siliwangi), nama tugu peringatan (Tugu Kujang di Bogor, Tugu Kujang Bale Endah), dan lain-lain.
Popularitas kujang bagi masyarakat etnis Sunda sudah tidak disangsikan lagi. Akan tetapi, ironisnya, eksistensi kujang baik sebagai perkakas maupun sebagai pusaka mulai sirna. Kujang kini hanya berada di museum-museum dengan jumlah yang relatif sedikit dan dimiliki oleh para sesepuh atau budayawan yang masih mencintai kujang sebagai pusaka leluhurnya.
Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak.
Kujang (Kujang Pamangkas) dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya jika bintang kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.
Bukti keberadaan kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).
Kujang adalah pusaka tradisi Sunda, sejarah yang menceritakan awal keberadaannya masih belum terungkap. Kalau saja Kerajaan Salakanagara yang merupakan kerajaan tertua di Jawa sebagai cikal bakal lahirnya kujang, diyakini keberadaan kujang sudah sangat tua. Alasan tersebut diperkuat bahwa apabila kujang yang diperkirakan sebagai alat perladangan atau pertanian maka Kerajaan Tarumanegara pada abad IV sudah mampu menata sistem pertanian secara baik dengan dibangunnya sistem irigasi untuk perladangan dan pertanian, mungkin kujang sudah hadir dalam konteks perkakas perladangan atau perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarakat pada saat itu. Kujang diakui keberadaannya sebagai senjata khas masyarakat etnis Sunda. Kujang merupakan warisan budaya Sunda pramodern.
Kujang merupakan senjata, ajimat, perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki berbagai ragam bentuk yang menarik secara visual. Kujang dengan keragaman bentuk gaya dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor, dan sebagainya sangat artistik dan menarik untuk dicermati karena struktur bentuk tersebut belum tentu ada dalam senjata lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam struktur estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.
Kujang koleksi Sumedang
Sejarah kerajaan yang tumbuh di Sumedang pada masa lalu erat kaitannya dengan Kerajaan Pajajaran. Koleksi kujang Pajajaran yang dimiliki Museum Prabu Geusan Ulun relatif banyak bahkan mungkin paling banyak jika dibandingkan dengan museum-museum yang ada di Jawa Barat atau Indonesia sekalipun. Kujang-kujang tersebut beragam varian Kujang Ciung, beragam varian Kujang Naga, Kujang Kuntul, Kujang Pamangkas, Kujang Wayang, dan sebagainya.
Kujang-kujang yang tersimpan cukup terpelihara dengan baik di mana fisik waruga, pamor, siih, dan mata kujang masih banyak yang utuh. Bahkan, persepsi dari kebanyakan masyarakat bahwa semua kujang berlubang terbantahkan dengan masih adanya beberapa koleksi kujang di museum ini yang masih memiliki penutup lobang atau penutup mata. Mungkin hilangnya penutup lobang karena penutup lobang terbuat dari bahan-bahan yang bernilai seperti logam-logam mulia, permata, dan sejenisnya. Hilangnya pun mungkin diambil atau jatuh akibat dari ceruk lubangnya yang korosif.
Kujang merupakan produk budaya masyarakat peladang. Penamaannya cenderung pada makhluk-makhluk yang banyak hidup di daerah ladang seperti Kujang Ciung dari burung Ciung, Kujang Naga dari ular, Kujang Bangkong dari kodok, Kujang Kuntul dari burung kuntul. Bahkan, Kujang Wayang diperkirakan sebagai simbol untuk kesuburan.
Tokoh wanita pada kujang wayang mengingatkan pada simbol-simbol kesuburan, misalnya patung purba Venus Willendorf di Eropa yang berbentuk manusia berperawakan subur sebagai simbolisasi kesuburan. Tokoh Dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan. Mencermati secara fisik Kujang Wayang ini pun yang tidak memiliki sisi tajam di bagian tonggong dan beuteung yang mungkin sangat berbeda dengan kujang lainnya (kujang dua pangadekna/kujang memiliki dua sisi yang tajam) diperkirakan untuk kepentingan upacara yang erat kaitannya dengan kepentingan kesuburan.
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya adalah Kujang Ciung. Pada lambang daerah, pada lambang perusahaan pupuk dan semen, pada lambang batalion, pada tugu-tugu dan lain-lain tampak jelas mengindikasi pada bentuk Kujang Ciung. Padahal, kujang memiliki beragam bentuk dan nama yang menyesuaikan bentuk tersebut. Beragam bentuk dan nama diperkirakan memiliki simbol yang dipakai dalam tatanan masa keemasan kujang yaitu masa kerajaan Sunda Pajajaran.
Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madura.
[pikiran-rakyat]
{[['']]}

Sesebatan Basa Sunda

Sebatan ka jalma

Sesebatan/predikat, ka jalma, di Sunda kawilang seueur. Nu didamel patokan, aya opat, nya eta:
a) Ngabantun tina benten yuswa,
b) Ngabantun tina rupa/wanda,sareng kaayananana,
c) Ngabantun tina tingkah-laku, sareng
d) Ngabantun tina pangkat/kalungguhan/padamelan.

A. Sesebatan ka jalma, ngabantun tina benten yuswa

Baleg tampele = Beger(pameget), binarung rasa isin/sieun.
Baraya = Anu sami sarundayan dina pancakaki.
Baris wali = Pameget turunan ti rama.
Batur sakasur  = Iistri-pameget/salaki-pamajikan.
Bebene  = Kabogoh (istr)/piistrieun.
Beger = Mangkat birahi, pameget ngawitan resep ka istri, ngawitan istri resep ka pameget.
Beger mindo = Beger ka dua (yuswa 30 taunan).
Beubeureuh = Kabogoh (pameget) /pisalakieun.
Beubeureuh maneuh  = Caroge/salaki.
Bilatung dulang = Budak sesedengna resep barangtuang.
Budak/murangkalih = Ti ngawitan tiasa calik, dugi ka bade rumaja.
Bujang jenglengan = Pameget sesedengna rumaja.
Bujang kolot = Pameget nu tos yuswa 40 taun, tacan nikah.
Bujang tarangna = Pameget, nu tos kawin, tapi tacan nikah.
Cueut ka hareup = Yuswa langkung ti 50 taun.
Deungeun-deungeun  = Batur, taya patula-patalina sareng pancakaki.
Duda maesan = Pameget nu dikantun maot, ku istrina.
Dulur mindo  = Putra dulur misan.
Dulur pateterean  = Istri/pameget, nikah, pada gaduh/nyandak putra ti nu tipayun.
Dulur sabapa = Ramana sami,ibuna benten.
Dulur sabrayna/Dulur misan  = Putra rayi, atanapi putra raka.
Dulur saindung  = Ibuna sami, ramana benten.
Dulur sasusu  = Nu nyusuna ka ibu nu sami.
Dulur/Dulu pet ku hinis = Adi/lanceuk saibu-sarama.
Galak Sinongnong = Beger(istri), ti katebihan wanton, tos caket, isin.
Gulangkep  = Nikah ka wargi/pamili.
Jabang bayi = Orok nu masih keneh dina lebet kandungan.
Jajaka, bujangan = Pameget, nincak rumaja (tacan nikah).
Kembang buruan = Budak nuju sesedengna pikayungyuneun.
Kulawarga = Ibu,rama,putra.
Lelengkah halu = Budak nuju diajar leumpang.
Ngemboan = Rumaja/pameget, nu soantenna ngawitan ngaageungan, salira sembada, ngawitan bijil kumis lemes.
Orok = Ti ngawitan dilahirkeun, dugi ka tiasa calik.
Pamili  = Anu saturunan atanapi sakocoran ti ibu/rama.
Pancakaki = Rundayan turunan. Conto: Nini/aki- indung/bapa - anak - incu - buyut - bao - janggawareng - udeg-udeg - kait/gantung siwur - laer. ancakaki sanesna: Lanceuk - adi - paman - bibi - ua/toa - alo - suan - lanceuk misan - lanceuk sabrayna - adi misan - adi sabrayna. Panganten = Istri/pameget nu ditikahkeun.
Parawan jekekan = Parawan sesedengna rumaja.
Parawan kolot  = Istri nu yuswana tos langkung ti 28 taun, tacan nikah.
Parawan,cawene,mojang = Istri nu nincak rumaja (tacan nikah).
Patih goah  = Istri/pamajikan.
Pikun  = Tos sepuh pisan, emutanana tos mulih deui sapertos murangkalih.
Randa  = Istri nu tos dipirak/ditalaq.
Randa bengsrat  = Istri nu tos, dipirak, tapi tacan kulem sagebrug( parawan keneh).
Randa maesan = Istri nu dikantun maot ku pamegetna.
Sengserang padung = Jalmi nu parantos sepuh, nu tereh maot
Sengserang panon = Parawan/rumaja sesedengna resep ka pameget.
Tawehwoh = Tos sepuh pisan, waosna tos arompong.
Tengah tuwuh  = Yuswa 50 taun.
Tokroh-tokroh = Tos sepuh pisan, mapahna nganggo teteken/iteuk.
Tunggang gunung = Yuswa langkung ti 60 taun.
Turun Amis Cau = Rumaja putri, nu nembe kaluar rambut lemes/bulu, tina luhureun taar. Cirina, soanten halimpu, resep dangdos/ngageulis.
Turun karanjang = Pameget nu dikantun maot ku istrina, nikah ka adi-beuteung.
Umuran/Meunang umur  = Yuswa 40 taun.
B. Sesebatan ka jalma, ngbantun tina Rupa / Wanda / Kaayanana

Bahenol = Istri geulis taya cawadeun, pikabitaeun pameget.
Bayuhyuh = Pameget nu lintuh.
Bedegul  = Salirana besekel.
Beke  = Salirana pendek.
Belekesenteng = Buta-tulang,buta-daging,meujeuhna gede wawanen, rosa tanaga.
Bengo = Baham/sungutna menyon ka kiwa/tengen. Biasana akibat struk, incok, atanapi nyabut waos lalawora.
Beuteung-anjingeun  = Patuanganana neros ageung ka luhur, sapertos beuteung anjing.
Beuteung-bangkongeun = Patuanganana rubak ka gigir.
Bewosan  = Pipi sareng gado pinuh ku bulu.
Bolotot  = Siki socana ageung.
Bongkok  = Tonggongna bengkung.
Bongkok meongeun  = Bengkung palebah punduk.
Bongsor/Haloghog = Enggal ngaageungan.
Bopeng  = Dina damis (pipi) seueur ceda tilas cacar.
Bucitreuk  = Patuangan ageung/nonjol, salira alit.
Budayut = Bureuteu, patuangan nyemplu.
Bule  = Kulit sareng rambutna sapertos Walanda.
Buntet  = Salirana pondok.
Butak  = Rambutna teu janten/murudul/dugul semu herang.
Cadel = Nyariosna teu bentes, lebah nyebat huruf R.
Cameuh = Gadona nyueut ka payun.
Candael  = Nyariosna anca.
Ceking  = Salirana alit/begang.
Cenggehan = Remana aya nu dempet.
Ciriwis = Rambutna carang.
Deleng  = Panempona/panenjona = menceng.
Denggol = Tarangna nongnong.
Deog-pengkor = Ngagepor teu tiasa mapah.
Egang = Mapahna ngageang, sapertos murangkalih nu nembe disepitan.
Galing  = Rambutna merengkel.
Galing muntang = Galing tungtungna wungkul.
Gehgeran = Sok nurutan cariosan atanapi gerak batur/latah.
Gembil = Pipina lintuh.
Gembru = Budak lintuh.
Geulis = Istri nu gaduh rupa sae.
Gondok = Panyawat dina tenggek (beuheung), ngagayot.
Gondok-laki = Bagian tulang genggerong/tikoro nu nonjol(dina tenggek pameget).
Harigu-manukkeun = Dadana rada nonjol ka payun.
Hideung santen = Semu hideung, mulus sareng beresih.
Hulu-peutieun = Sirahna alit, teu saimbang sareng salirana.
Jebleh = Lambey handap ngampleh.
Jebrag = Dampal sampeanana meber ka gigir.
Jeding = Lambey luhur nyudik.
Kampeng = Sirahna penjol.
Karehol = Waosna teu beres.
Kasep = Pameget nu gaduh rupa sae.
Kempot  = Damis/Pipina ngalewo upami imut, sapertos liang undur-undur. bIasana istri. Sok nambihan geulis.
Kempreng = Pananganana paeh teu tiasa diobahkeun.
Keueuseun = Waos murangkalih aya teu janten sapalih, dugi ka siga ompong.
Kiting  = Rema/Ramona merengkel.
Kutet = Salirana alit wae.
Lenggik = Istri nu cangkengna alit.
Lolong  = Socana teu ningal, duanana.
Mikung = Cepilna alit, daun cepilna kewung(semu murungkut).
Montok = Awakna seseg tur sehat.
Ngohngor = Waosna nonjol ka payun.
Ompong = Waosna parunglak.
Pacer = Bitisna alit.
Peang = Salirana kuru, teu saimbang sareng jangkungna.
Pecak = Socana teu ningal sapalih (sabeulah).
Pengkeh = Sampeanana leter 0.
Pincang = Sampeanana alit sapalih.
Pinced = Tetepokanana(Sakedik luhureun pingping/caket birit), luhur sapalih.
Pireu  = Teu tiasa nyarios.
Ponges = Pangambungna cacad.
Rebing = Daun cepil (ceuli)na rubak.
Rejeh = Biwir socana beureum tur caian wae.
Rijep = Socana sering ngerejep/keukeureuceuman.
Saliwang/liwar = Sering lepat nguping/sapertos nu kirang dangu.
Sengkek = Tenggekna/beuheungna pondok.
Sipit = Siki socana ali (sapertos soca Cina/Jepang).
Songgeng = Bujurna nonjol ka pengker, cangkengna dengkeng.
Sumbiar = Upami ningal, teu anteb, kamana karep.
Suwing = Lambey luhurna mung sapalih/cacad. T
aktak-korangeun = Taktakna mudun (teu simetris), sapertos korang.
Teklok = Sampeanana leter x .
Telebeng = Bebeng/rada lintuh, teu aya cangkengan.
Tonggar = Waos luhur nonjol ka payun.
Torek = Teu tiasa ngadangu/nguping.


C. Sesebatan ka jalma, ngabantun tina patokan tingkah laku

Alus kukulinciranana = Gede milik.
Anak - emas = Kakasih, anu leuwih dipikanyaah.
Anak bulu taneuh  = Turunan bapa tani.
Batur - sakasur = Pamajikan atawa salaki.
Belang - bayah = Hade diluarna dijero na mah goreng.
Buntut - kasiran = Medit
Ceplak-pahang = Ngomongna matak pinyerieun batur.
Ceuli – lentaheun  = Teu kaop ngadenge sora tuluy hudang.
Dulang - tinande  = Pasrah ka salaki.
Geledug – ces = Jangjina mulek tapi teu tulus.
Gereges -gedebug = Gurunggusuh,
Lesang - kuras = teu bisa nyekel/nyimpen rejeki.
Getas - harupateun  = Mutuskeun hiji perkara tara dipikir heula.
Goong nabeh karia = Ngagulkeun sorangan.
Goreng - sungut = Resep ngagorengkeun batur.
Hampang - birit  = Daekan.
Hampang - leungeun = Sok resep tunggal-teunggeul.
Handap asor, handap lanyap = Sopan santun.
Hejo - tihang = Anu resep pundah-pindah imah/digawe.
Heuras - genggerong/beuheung = Embung eleh.
Kokolot - begog = Nyanyahoanan/budak anu pipilueun kana urusan kolot.
Kokoro -nyoso = Malarat
Kurang- saeundan = Kurang ingetan.
Leutik - hate  = Kurang wawanen/kawani.
Maliding sanak = Pilih kasih.
Murag bulu bitis = Tu beutah cicing di imah.
Neneh - bonteng = Ngan nyaah kana dahareunana wungkul.
Paeh - baseuh = Paeh ditandasa.
Panjang - leungeun = Resep ceceremed,
Pareumeun - obor = Teu apal jujutan turunan.
Peujit - koreseun = Teu kuat nahan lapar.
Siksik - melik  = Belikan.
Tiis - pikir = Tenang hate.
*)Kat. Kawilang = kaitung;
Yuswa = umur;
Kokolot begog = nyanyahoanan;
guminter = asa pangpinter.

Sumber : http://sundakuring.weebly.com
{[['']]}

Wayang Golek Di Nusantara

Arti kata
Golek memiliki sifat pejal. Penikmatan bentuknya sama seperti menikmati arca, boneka, atau benda-benda trimatra lainnya. Kesempurnaan bentuknya bisa dicerap baik dari arah depan, samping, maupun belakang. Ia merupakan boneka tiruan rupa manusia (ikonografi), dibuat dari bahan kayu bulat-torak untuk mempertunjukkan sebuah lakon. Dalam pementasan cerita, ia “dihidupkan” oleh seorang dalang yang sekaligus berperan sebagai sutradara dan pemberi watak atau ekspresi tokoh golek melalui sabetan (gerak) dan antawacana (dialog). 
Asal Mula
Disebutkan oleh sejumlah penulis bahwa menjelang akhir sebuah pertunjukan wayang kulit, dalang selalu menampilkan tarian dengan menggunakan boneka golek. Kata golek dalam bahasa Jawa berarti mencari (nggoleki). Penampilan golek ini mengandung maksud agar setelah penonton usai mengikuti lakon dari awal hingga akhir, mereka bisa nggoleki atau mencari inti pelajaran yang bermanfaat, yang tersirat dalam pertunjukan (Amir, 1991; Wibisono, 1974). Bentuk boneka golek yang digunakan adalah golek wanita, tetapi tidak diambil dari salah satu tokoh yang ada dalam cerita wayang golek (Yudoseputro, 1994).
Menurut pendapat Elan (1994) dan Yudoseputro (1994), pada pertumbuhan awal, bagian lengan wayang kulit masih menempel pada tubuhnya. Model wayang kulit tersebut masih bisa dilihat pada jenis wayang yang menggambarkan tokoh dewa. Hingga masa kerajaan Demak, keadaan itu masih terus dipertahankan.
Beberapa catatan, khususnya tentang wayang golek, yang bisa dikemukakan di sini, antara lain yang ditulis oleh Salmun (1986).


“Pada tahun 1583 M Sunan Kudus mendapat akal sehingga wayang dapat dimainkan pada siang hari yaitu dengan cara membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek. Dengan adanya wayang golek itulah, maka wayang dapat dimainkan pada siang hari.”
Sejalan dengan penjelasan Salmun, Ismunandar (1988) mengemukakan:
“Pada awal abad ke-16, Kudus membuat bangun „wayang purwo‟ baru, mengambil cerita-cerita Menak (berjumlah tujuh puluh buah), diiringi gamelan Salendro, pertunjukkan diadakan di waktu siang, tidak memakai kelir, hanya memakai „plangkan‟ (tempat meletakkan wayang golek yang terbuat dari kayu). Bentuk wayang seperti „boneka atau golek‟ tetapi menyerupai „wayang‟, hidungnya tajam, tangannya kecil-kecil panjang. Jadi merupakan campuran atau kombinasi wayang kulit dan arca. Wayang ini disebut “wayang golek” 
Kesimpulan
Kedua penjelasan tersebut menunjukkan bahwa golek yang pertama dipertunjukkan secara utuh, lengkap dengan tokoh-tokoh dan ceritanya, tidak sebagai golek pelengkap pertunjukkan wayang kulit, adalah golek dengan cerita Raja Menak. Awal abad ke-19, di pusat kerajaan di Jawa Tengah, bangkit gairah mengembangkan bidang sastra. Di samping muncul karya-karya sastra yang baru, seni pedalangan menjadi bidang garapan dalang-dalang istana. Pada masa ini, lahir pula pembakuan susunan pergelaran, bahasa pedalangan, lakon-lakon, gending pengiring, serta aspek-aspek wayang lainnya (Wibisono, 1974).


Wayang Golek Purwa Sunda baru dikenal di Priangan pada awal abad ke XIX dengan dibukanya Jalan Raya Daendels yang membuka isolasi daerah Priangan yang bergunung-gunung dengan daerah pantai Jawa-Barat. Jalan Raya Daendels menghubungkan kota Batavia (Jakarta) dengan Bogor-Sukabumi-Cianjur dan Bandung, selain juga kota Cirebon-Majalengka-Sumedang dan Bandung. Kesultanan Cirebon dengan Kraton Kasepuhan dan Kanoman, banyak pengaruhnya dalam pengembangan kebudayaan di Priangan dengan adanya hubungan jalan raya Daendels tersebut.
Kota Bandung yang dikenal kemudian menjadi pusat pemerintahan Propinsi Jawa Barat, menjadi salah satu pusat seni budaya Sunda, khususnya dibawah pimpinan para bupati keluarga Wiranata Kusumah yang terkenal. Menurut tokoh pedalangan Sunda yang buku karangannya menjadi buku Babon para dalang di Pasundan, yaitu Mas Adung Salmun, menyatakan bahwa penciptaan Wayang Golek Purwa Sunda diprakarsai oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah ke IV pada tahun 1940 dengan juru ukir wayang. golek bernama Darman berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Koleksi Museum Wayang karya Bpk. Prawiradilaga.



Golek, sebutan khusus untuk menyebut wayang golek purwa sesuai dengan yang biasa disebut oleh kebanyakan masyarakat Sunda, adalah wayang dengan latar belakang cerita Mahabharata dan Ramayana. Jenis wayang ini merupakan hasil perkembangan atau paduan antara gagasan Dalem Karang Anyar, pada akhir masa jabatannya sebagai Bupati Kabupaten Bandung tahun 1840-an, dengan Ki Darman seorang juru wayang kulit asal Tegal yang tinggal di Cibiru, Kabupaten Bandung. Dalem Karang Anyar ( Wiranata Koesoemah III ) berperan menyempurnakan raut golek awal itu hingga bulat-torak bentuk agak besar dengan bahan kayu lame atau jinjing yang di tatah lebih rumit dan lebih halus.
Keturunan Ki Darman sampai kini masih terus menghidupkan kegiatan pembuatan golek. Tersebarnya pusat kegiatan pembuatan golek di kawasan Jawa Barat, seperti di Jelekong, Ciparay, Salacau, Cimareme, Sukabumi, Bogor, Karawang, Indramayu, Cirebon, Garut, Ciamis, dan di tempat lainnya, ditunjang oleh keturunan dan murid-murid Ki Darman yang mengembangkan kegiatannya di luar Cibiru.

Wayang Golek Lenong Betawi ini hasil pemikiran dan karya Tizar Purbaya pada tahun 2001. hal ini di ciptakan untuk menambah hasil karya seni khususnya kesenian Betawi, diharapkan mendapat perhatian masyarakat luas dan menjadi tuan rumah di tempatnya sendiri (Provinsi DKI Jakarta). Wayang Golek Lenong Betawi merupakan gambaran masyarakat Betawi pada masa tempo dulu dan pernah di pentaskan di beberapa tempat. Tizar Purbaya selain Dalang Wayang Golek Sunda juga berprofesi sebagai pengrajin wayang. 


Di awal abad ke 16 pada zaman Panembahan Ratu (1540-1650) (cicit Sunan Gunung Jati) telah muncul sebuah bentuk wayang yaitu WAYANG GOLEK PAPAK (Cepak) yang membawakan lakon Wong Agung Menak (Amir Hamzah). Sedangkan pada zaman PANGERAN GIRILAYA (1650-1662) yaitu seorang canggah Sunan Gunung Jati, pagelaran wayang papak dilengkapi dengan kisah-kisah yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Mula-mula bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Namun lambat laun di daerah yang penduduknya berbahasa Sunda, maka para dalang menyesuaikan diri dengan keadaan setempat (menggunakan bahasa Sunda), kecuali dalam beberapa hal seperti, buka panggung/murwa, kakawen dll, sehingga pagelaran wayang dapat dipahami oleh masyarakat setempat.

Wayang ini diawali oleh dalang Parta Suwanda dari Bandung pada tahun 1960 menciptakan ”Wayang Golek Modern” Perubahan teknik pementasan dengan pemakaian effek tata cahaya dan bunyi suara untuk adegan-adegan yang memikat perhatian penonton. Dalam Pembukaan Seminar Perdalangan Jawa Barat I, tanggal 26 s.d 29.Pebruari.1964 di Bandung telah diwujudkan bentuk ”Wayang Golek Baru” yang disesuaikan dengan perkembangan Jaman. Pada saat itu pula R.A. Darya mengajukan naskah ceritera ” Sulanjana” dan dipentaskan untuk mencari bentuk baru pemanggungan wayang di Jawa Barat. Atas keputusan para Pengurus Yayasan Pedalangan Jawa Barat pergelaran wayang baru mendapatkan sebutan ” Wayang Pakuan ”. Wayang Pakuan dipentaskan pertama kali oleh dalang Elan Surawisastra pada bulan Nopember 1964 di Bandung. Wayang Golek Pakuan mementaskan ceritera-ceritera Babat Pajajaran, Penyebaran agama Islam di Jawa Barat, dan ceritera datangnya Bangsa Asing di Indonesia. 
Wayang Golek Mini Bandung
Wayang Golek Purwa Sunda baru dikenal di Priangan pada awal abad ke XIX dengan dibukanya Jalan Raya Daendels yang membuka isolasi daerah Priangan yang bergunung-gunung dengan daerah pantai Jawa-Barat. Jalan Raya Daendels menghubungkan kota Batavia (Jakarta) dengan Bogor-Sukabumi-Cianjur dan Bandung, selain juga kota Cirebonn-Majalengka-Sumedang dan Bandung. Kesultanan Cirebon dengan Kraton Kasepuhan dan Kanoman, banyak pengaruhnya dalam pengembangan kebudayaan di Priangan dengan adanya hubungan jalan raya Daendels tersebut. Kota Bandung yang dikenal kemudian menjadi pusat pemerintahan Propinsi Jawa Barat, menjadi salah satu pusat seni budaya Sunda, khususnya dibawah pimpinan para bupati keluarga Wiranata Kusumah yang terkenal. Menurut tokoh pedalangan Sunda yang buku karangannya mennjadi buku Babon para dalang di Pasundan, yaitu Mas Adung Salmun, menyatakan bahwa penciptaan Wayang Golek Purwa Sunda diprakarsai oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah ke IV pada tahun 1940 dengan juru ukir wayang. golek bernama Darman berasal dari Tegal, Jawa Tengah. 
Wayang Dangkluk dari Bali
bentuknya seperti wayang golek pada umumnya namun tidak menggunakan penyangga pada tangannya... cara memainkannya pun berbeda..

Cara pementasannya sangat khusus. Wayang ini digantungkan pada empat utas kawat yang direntangkan melintasi panggung. Yang mempertunjukkannya adalah dua orang dalang yang masing-masing berada di sisi panggung

Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com/
{[['']]}

Sejarah - Pemerintah Kabupaten Subang

Bukti adanya kelompok masyarakat pada masa prasejarah di wilayah Kabupaten Subang adalah ditemukannya kapak batu di daerah Bojongkeding (Binong), Pagaden, Kalijati dan Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan benda-benda prasejarah bercorak neolitikum ini menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sekarang sudah ada kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian dengan pola sangat sederhana.
Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung Engkel, Sagalaherang.

Hindu

Pada saat berkembangnya corak kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak-kontek dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda.
Islam

Masa datangnya pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang tokoh ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Subang.

Kolonialisme

Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.

Nasionalisme

Tidak banyak catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun demikian, Setelah Kongres Sarekat Islam di bandung tahun 1916 di Subang berdiri cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi (Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.

Jepang

Pendaratan tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.

Merdeka

Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan di Subang, antara lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain, banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota TNI. Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang di Subang menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat (Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di Subang. Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan : 1.Wakil Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta. 2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma. 3.Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.
kumpulan bupati subang

Sumber : http://www.subang.go.id/sejarah.php


{[['']]}
Lihat PETA WISATA ZI'ARAH CIKUNDUL di peta yang lebih besar
Lisensi Creative Commons
WISATACIKUNDUL oleh BUDAKSHARETM disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.
Berdasarkan ciptaan pada http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/.
Izin di luar dari ruang lingkup lisensi ini dapat tersedia pada @WISATACIKUNDUL.

 
Support : MOVIE LIVE | LIVE DOWNLOAD
Profile Google + : PUTRA SUNDA | BUDAKSHARE-TM
Copyright © 2014. WISATA CIKUNDUL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Follow on FACEBOOK : (1) Wisata Cikundul
Follow on TWITER : (2) Wisata Cikundul
Loading the player...