LATEST POSTS:
Recent Posts

Menyibak Tabir Misteri Berdirinya Masjid Agung Karawang (Bagian II)

12980362732105516243
Masjid Agung Kabupaten Karawang Jawa Barat
Keberadaan Masjid Agung Karawang yang saat ini kokoh berdiri tidak terlepas dari sosok Syekh Quro atau Syekh Hasanudin Penyebar Agama Islam di Jawa Barat Khususnya di Karawang. Ia menjadikan Masjid Agung Karawang sebagai Mercusuar penyebaran agama Islam, kisah dibawah ini merupakan penuturan dari Imam Masjid Agung Karawang yang pernah saya temui beberpa waktu yang lalu.
Diceritakan Syekh Hasanudin merupakan putera dari Syekh Yusuf Sidik seorang Ulama Besar dari Champa (Kamboja-red). Ia Kemudian melakukan penyebaran agama Islam ke Nusantara, ketika itu ia berlabuh di pelabuhan Cirebon yang kala itu juga dibawah pengawasan Ki Gedeng Tapa.
13130496001462081149
Ilustrasi Bagunan Pertama MAsjid Agung Karawang
Kemudian Syekh Hasanudin meminta izin untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon kepada Ki Gedeng Tapa yang pada akhirnya menyetujui dan mempersilahkan Syekh Hasanudin menyebarkan keyakinannya.
Namun usaha untuk terus melakukan dakwah di cegah oleh kepemimpinan Raja Padjajaran  yang kala itu di pimpin oleh Prabu Angga Larang.
Akhirnya guna menghindari pertumpahan darah  Syekh Hasanudin memutuskan untuk meninggalkan pulau Jawa dengan bertolak ke Malaka. Oleh Ki Gedeng Tapa, Syekh Hasanudin dititipkan putrinya yang baru berusia 12 tahun untuk menimba Ilmu Agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa ini bernama Nyi Subang Larang.
Waktupun berlalu Syekh Hasanudin memutuskan kembali ke PUlau Jawa bersama muridnya Nyi Subang Larang, namun kali ini tidak merapat di Cirebon melainkan memalaui jalur lain yaitu ujung Karawang.
Ia beserta Muridnya menyusuri Sungai Citarum dan menambatkan perahunya di Pelabuhan Karawang yaitu Bunut Kertayasa (Saat ini dikenal sebagai Kampung Bunut-red)
Syekh Hasanudin kemudian meminta izin kepada penguasa setempat untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pendidikan (mengaji), tempat tersebut dikemudian hari dikenal sebagai Pesantren Quro (Saat Ini dikenal sebagai kawasan Masjid Agung Karawang) pada tahun 1418 Masehi.
13130497811270584802
Umpak Batu Pertama Masjid Agung Lama : Dok Pribadi
Mendengar kabar bahwa Syekh Hasanudin telah tiba dan mendirikan kediaman di Bunut Kertayasa membuat geram Raja Padjajaran kala itu Prabu Angga Larang.
Akhirnya ia mengutus puteranya Raden Pamanah Rasa untuk membubarkan pusat pendidikan (Pesantren) Syekh Hasanudin. Singkat cerita Raden Pamanah Rasa datang lengkap dengan pasukan kerajaan menyambangi pesantren Quro, setelah tiba disana ia secara tidak sengaja mendengar alunan merdu ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh Nyi Subang Larang.
Ia kemudian tertarik mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran tersebut yang akhirnya meluluhkan niatnya untuk membubarkan pesantren dan kemabali ke Padjajaran.
Sejak peristiwa tersebut Prabu Pamanah Rasa tidak dapat melaupakan kejadian tersebut, ia selalu terngiang akan lantunan suara Nyi Subang Larang yang  melantunkan ayat Suci Alquran, sehingga ia memutuskan datang ke pesantren kembali untuk melamar Nyi Subang larang.
Raden Pamanah Rasa akhirnya mendatangi Syekh Hasanudin dan mengutarakan keinginannya untuk mempersunting Nyi Subang Larang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya lamaran diterima namaun dengan syarat, yaitu mas kawin harus Bintang Saketi (bintang Kerti) yang dilambangkan simbol Tasbih dengan kata lain Prabu Pamanah Rasa harus masuk Islam dan Syarat kedua adalah salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan harus menjadi Raja Pajajaran.
Akhirnya syaratpun diterima dan pernikahan dilaksanakan di Pesantren Quro, sebagai penghulunya adalah Syekh Hasanudin atau Syekh Quro dan menurut informasi yang di dapat kala itu Nyi Subang Larang berusia 14 tahun dan Raden Pamanah Rasa kemudian menjadi Raja Pajajaran Bergelar Prabu Siliwangi.
Dari hasil perkawianan ini dikaruniai tiga orang Anak, yaitu : raden Walangsungsang, Nyi Mas Rarar Santang dan Raden Kean Santang.
Kemudian Raden Walangsungsang diberi kekuasan untuk menguasai Cirebon dengan gelar Cakra Ningrat.
Menurut cerita sewaktu Raden Walngsungsang dan Nyi Mas Rara Santang Menuntut ilmu di Makkah, Nyi Mas Rara Santang dipersuntung oleh bangsawan Makkah yaitu Syekh Syarif Abdillah, kemudian Nyi Rara Santang mengganti namanya dengan Syarifah Muadaim dan dikaruniai dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah.
Pada Tahun 1475 M, Syarifah Muadaim beserta puteranya Syarif Hidayatullah kembali kepulau Jawa, dari situ dikarenakan Pangeran Cakra Buana Telah Sepuh pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gung Jati, Wallahualam Bisahawab
Saumber : http://sejarah.kompasiana.com/
{[['']]}

Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh s/d Pajajaran

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
  1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
  2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
  3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
  4. Rakeyan Banga (739 - 766)
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
  6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
  7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
  8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
  9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
  10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
  11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
  12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
  13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
  14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
  15. Munding Ganawirya (964 - 973)
  16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
  17. Brajawisésa (989 - 1012)
  18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
  19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
  20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
  21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
  22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
  23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
  24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
  25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
  26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
  27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
  28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
  29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
  30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
  31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
  32. Prabu Bunisora (1357-1371)
  33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
  34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
  35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
  36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
  37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
  38. Prabu Sakti (1543-1551)
  39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
  40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)


Rujukan

  • Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
  • Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
  • Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
  • Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandun
{[['']]}

Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi.

Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi.
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!
Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang
Semoga Bermanfaat.....
{[['']]}

Prabu Siliwangi Masih Dianggap Legenda dan Mitos

13130537471131790337
Ilustrasi Prabu Siliwangi Sumber Gambar Google
BANDUNG, (PRLM).- Eksistensi dan keberadaan Sri Baduga Maharaja Ratu Aji sebagai Raja Sunda tidak perlu disangsikan lagi dan bahkan harus diakui. Sri Baduga merupakan sosok primus inter pares raja terbesar sepanjang sejarah kerajaan Sunda hingga saat ini sangat melegenda dan banyak dimitoskan dengan nama Prabu Siliwangi.

Sebagaimana diungkapkan DR. Mumuh Muhsin Z. M.Hum., dalam paparan makalahnya “Sri Baduga Maharaja; Tokoh Sejarah yang Memitos dan Melegenda”, bahwa Kerajaan Sunda pernah diperintah oleh Prabu Jayadewata atau Ratudewata dan dikenal juga dengan nama Prebu Guru Dewataprana dengan gelar Sri Baduga.
”Ada banyak sumber yang dapat dijadikan rujukan, diantaranya Batu Tulis di Bogor dan prasasti lempengan tembanga maupun daun lontar Carita Parahiyangan,” ujar Mumuh pada acara Seminar Bedah Naskah “Sri Baduga dalam Kajian Sejarah, Filologi dan Sastra Lisan", bertempat di Flamboyan Room Hotel Baltika Jalan Gatot Subroto Bandung, Rabu (31/10/12) yang diselenggarakan Balai Pengelolaan Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga.
Dikatakan Mumuh, Prebu Guru Dewataprana memerintah di kerajaan Sindangkasih (Majalengka) dan menikah dengan Ambetkasih, kemudian memerintah di kerajaan Singapura (Subang) menikah dengan Subanglarang dan dikaruniai tiga orang anak (Walangsungsang, Larasantang dan Rajasangara). Saat memerintah kerajaan Pakuan (sekitar tahun 1427) Prebu Guru Dewataprana mendapat gelar Sri Baduga Maharaja dan menikahi Kentring Manik putri Uwanya Susuktunggal.
Karena memerintah sangat lama, antara 1482 hingga 1521, Prebu Guru Dewataprana mendapat gelar Siliwangi, karena ditangan kepemimpinannya Kerajaan Sunda pindah dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan Pajajaran. Selain memerintah kerajaan Sunda terlama, gelar Prabu Siliwangi disematkan kepada Prebu Guru Dewataprana karena sebagai sosok panutan dan sangat disegani (asilih wewangi, silihwangi, siliwangi).
Selain Prebu Guru Dewataprana atau Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, menurut DR. Undang Ahmad Darsa, M.Hum., berdasarkan Carita Parahyangan (Kropak 406) dan Nagarakretabhumi, antara abad 14 hingga akhir abad 16 Masehi Kerajaan Sunda diperintah tidak kurang dari 14 raja. Diawali dengan masa pemerintahan Prabu Linggadewata (1311-1333), Prabu Ajibuna Linggawisesa (1333-1340), Prabu Ragamulya (1340-1350), Prabu Maharaja Linggabhuwanawisesa (1350-1357), Patih Mangkubumi Suradipati (1357-1371), Niskala Wastu Kancana (1371-1475), Rahiyang Dewa Niskala (1475-1482), Sang Susuktunggal (1475-1482), Prebu Guru Dewataprana atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Prabu Surawisesa (1521-1533), Prabu Ratu Dewata (1533-1543), Sang Ratusaksi Sang Mangabatan (1543-1551), Tohaan di Majalaya atau Prebu Nilakendra (1551-1567) dan Nusiya Mulya atau Prabu Ranggamulya (1567-1579) ditutup Panembahan Yusuf di Banten sebagai pewaris terakhir Kerajaan Sunda.
“Namun sangat disayangkan, keberadaan raja-raja di Sunda tersebut kurang begitu dikenal. Sangat berbeda dengan nama-nama raja di Jawa yang sangat masyur,” ujar Undang Darsa.
Tidak terekposnya nama-nama raja di Sunda tersebut, menurut Undang Darsa, selain akibat pelajaran sejarah yang tidak menarik dan membosankan karena berisikan hafalan nama orang dan tempat serta waktu. Selain itu, nama-nama raja Sunda hingga kini masih menjadi legenda dan dimitoskan akibat tidak ada bukti nyata berupa bangunan kerajaan.
“Semisal letak kerajaan Sunda Galuh, Pakuan Pajajaran dan lainnya tidak diketahui secara pasti dimana. Hal tidak kalah mengundang tanda tanya hingga sekarang ini adalah keberadaan Prabu Siliwangi yang diyakini sejumlah daerah terdapat makamnya,” ujar Undang Darsa, yang berharap guru-guru maupun pihak akademisi dituntut untuk memiliki tanggungjawab moral menyampaikan sejarah dengan benar dan menarik. (A-87/A-108)**
{[['']]}

Nama Kerajaan serta lokasi Situs dan juga PerkiraanTahun Berdirinya dan Nomor Urutnyaa


Nama Kerajaan serta lokasi Situs dan juga PerkiraanTahun Berdirinya dan Nomor Urutnyaa
mulai dari
KANDIS - REPUBLIK INDONESIA
  • 1.Kerajaan Kandis* Lubuk Jambi, Riau Sebelum Masehi
  • 2.Kerajaan Melayu Jambi Jambi Abad ke-2 M
  • 3.Kerajaan Salakanegara Pandeglang, Banten 150 M
  • 4.Kepaksian Skala Brak Kuno Gunung Pesagi, Lampung Abad ke-3 M
  • 5.Kerajaan Kutai Muara Kaman, Kaltim Abad ke-4 M
  • 6.Kerajaan Tarumanegara Banten Abad ke-4 M
  • 7.Kerajaan Koto Alang Lubuk Jambi, Riau Abad ke-4 M
  • 8.Kerajaan Barus Barus, Sumatra Utara Abad ke-6 M
  • 9.Kerajaan Kalingga Jepara, Jawa Tengah Abad ke-6 M
  • 10.Kerajaan Kanjuruhan Malang, Jawa Timur Abad ke-6 M
  • 11.Kerajaan Sunda Banten-Jawa Barat 669 M
  • 12.Kerajaan Sriwijaya Palembang, Sumsel Abad ke-7 M
  • 13.Kerajaan Sabak Muara Btg. Hari, Jambi 730 M
  • 14.Kerajaan Sunda Galuh Banten-Jawa Barat 735 M
  • 15.Kerajaan Tulang Bawang Lampung 771 M
  • 16.Kerajaan Medang Jawa Tengah 820 M
  • 17.Kerajaan Perlak Peureulak, Aceh Timur 840 M
  • 18.Kerajaan Bedahulu Bali 882 M
  • 19.Kerajaan Pajajaran Bogor, Jawa Barat 923 M
  • 20.Kerajaan Kahuripan Jawa Timur 1009 M
  • 21.Kerajaan Janggala Sidoarjo, Jawa Timur 1042 M
  • 22.Kerajaan Kadiri/Panjalu Kediri, Jawa Timur 1042 M
  • 23.Kerajaan Tidung Tarakan, Kalimantan Timur 1076 M
  • 24.Kerajaan Singasari Jawa Timur 1222 M
  • 25.Kesultanan Ternate Ternate, Maluku 1257 M
  • 26.Kesultanan Samudra Pasai Aceh Utara 1267 M
  • 27.Kerajaan Aru/Haru Pantai Timur, Sumatra Utara 1282 M
  • 28.Kerajaan Majapahit Jawa Timur 1293 M
  • 29.Kerajaan Indragiri Indragiri, Riau 1298 M
  • 30.Kerajaan Panjalu Ciamis Gunung Sawal, Jawa Barat Abad ke-13 M
  • 31.Kesultanan Kutai Kutai, Kalimantan Timur Abad ke-13 M
  • 32.Kerajaan Dharmasraya Jambi 1341 M
  • 33.Kerajaan Pagaruyung Batu Sangkar, Sumbar 1347 M
  • 34.Kesultanan Aceh Banda Aceh 1360 M
  • 35.Kesultanan Pajang Jawa Tengah 1365 M
  • 36.Kesultanan Bone Bone, Sulawesi Selatan 1392 M
  • 37.Kesultanan Buton Buton Abad ke-13 M
  • 38.Kesultanan Malaka Malaka 1402 M
  • 39.Kerajaan Tanjung Pura Kalimantan Barat 1425 M
  • 40.Kesultanan Berau Berau 1432 M
  • 41.Kerajaan Wajo Wajo, Sulawesi Selatan 1450 M
  • 42.Kerajaan Tanah Hitu Ambon, Maluku 1470 M
  • 43.Kesultanan Demak Demak, Jawa Tengah 1478 M
  • 44.Kerajaan Inderapura Pesisir Selatan, Sumbar 1500-an M
  • 45.Kesultanan Pasir/Sadurangas Pasir, Kalimantan Selatan 1516 M
  • 46.Kerajaan Blambangan Banyuwangi, Jawa Timur 1520-an M
  • 47.Kesultanan Tidore Tidore, Maluku Utara 1521 M
  • 48.Kerajaan Sumedang Larang Jawa Barat 1521 M
  • 49.Kesultanan Bacan Bacan, Maluku 1521 M
  • 50.Kesultanan Banten Banten 1524 M
  • 51.Kesultanan Banjar Kalimantan Selatan 1526 M
  • 52.Kesultanan Cirebon Jawa Barat 1527 M
  • 53.Kesultan Sambas Sambas, Kalimantan Barat 1590-an M
  • 54.Kesultanan Asahan Asahan 1630 M
  • 55.Kesultanan Bima Bima 1640 M
  • 56.Kerajaan Adonara Adonara, Jawa Barat 1650 M
  • 57.Kesultanan Gowa Goa, Makasar 1666 M
  • 58.Kesultanan Deli Deli, Sumatra Utara 1669 M
  • 59.Kesultanan Palembang Palembang 1675 M
  • 60.Kerajaan Kota Waringin Kalimantan Tengah 1679 M
  • 61.Kesultanan Serdang Serdang, Sumatra Utara 1723 M
  • 62.Kesultanan Siak Sri Indrapura Siak, Riau 1723 M
  • 63.Kasunanan Surakarta Solo, Jawa Tengah 1745 M
  • 64.Kesltn. Ngayogyakarto Hadiningrat Yogyakarta 1755 M
  • 65.Praja Mangkunegaran Jawa Tengah-Yogyakarta 1757 M
  • 66.Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat 1771 M
  • 67.Kerajaan Pagatan Tanah Bumbu, Kalsel 1775 M
  • 68.Kesultanan Pelalawan Pelalawan, Riau 1811 M
  • 69.Kadipaten Pakualaman Yogyakarta 1813 M
  • 70.Kesultanan Sambaliung Gunung Tabur 1810 M
  • 71.Kesultanan Gunung Tabur Gunung Tabur 1820 M
  • 72.Kesultanan Riau Lingga Lingga, Riau 1824 M
  • 73.Kesultanan Trumon Sumatra Utara 1831 M
  • 74.Kerajaan Amanatum NTT 1832 M
  • 75.Kesultanan Langkat Sumatra Utara 1877 M
  • 76.Republik Indonesia Kepulauan Nusantara 17-8-1945

Dalam catatan sejarah terdapat informasi yang terputus antara zaman pra sejarah dengan zaman Hindu/Budha.

Namun
dari Tabel 1 diatas dapat diperoleh gambaran bahwa peradaban Nusantara kuno bermula di Sumatra bagian tengah dan ujung barat pulau Jawa.

Dari abad ke-1 sampai abad ke-4 daerah yang dihuni meliputi :

  • Jambi (kerajaan Melayu Tua),
  • Lampung (Kepaksian Skala Brak Kuno), dan
  • Banten (kerajaan Salakanegara).

Untuk mengetahui peradaban awal Nusantara kemungkinan besar dapat diketahui melalui analisa keterkaitan tiga kerajaan tersebut.
{[['']]}

Buku Putih Islam Jawa

Buku Putih Islam Jawa
Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Prof. Hasanu Simon dan telah mendapat izin dari beliau untuk disebarluaskan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang mungkin masih ada di dalam makalah tersebut, tentunya ini merupakan usaha yang patut didukung oleh da’i-da’i Islam yang lurus dan benar manhajnya.
Penyelenggara mengundang tiga orang pembicara yangmemang cukup berkompeten pada bidang tersebut bahkan merupakan ahlinya, yaitu Dr. Damarjati Supajar, Dr. Abdul Munir Mulkhan (pengarang buku tersebut) dan Prof. Hasanu Simon (guru besar sosiologi kehutanan dan lingkungan UGM).
Singkat cerita, pada diskusi tersebut dua pembicara pertama, yaitu Dr. Damarjati Supajar dan Dr. Abdul Munir Mulkhan berusaha untuk mendukung ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Hal tersebut dibuktikan dengan pembelaaan tanpa cela terhadap syekh tersebut dan juga pengajuan alternatif wacana terhadap para peserta bahwa ajaran tersebut silahkan bila mau diikuti, toh dalam dunia Islam tokoh seperti itu sudah pernah ada, seperti misalnya Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lain. Mereka juga memberi pilihan tersebut dengan alasan ajaran-ajaran Islam sendiri pada hakikatnya dipraktekkan sebagai rutinitas dan sebagai tafsir dari para pengikutnya, sehingga sholat dan syariat-syariat lainnya bisa saja diganti dengan bentuk-bentuk lainnya (jelas ini pendapat yang salah). Menurut mereka lagi, syariat dalam ajaran Syekh Siti Jenar itu dipraktekkan oleh orang yang hidup, sedangkan hidup yang sebenarnya bagi manusia itu adalah nanti di akherat. Sedangkan di dunia pada hakekatnya adalah mati. Sehingga sholat,puasa, zakat haji itu tidak perlu.
Ajaran tersebut nampak semakin subur diikuti oleh umat Islam dewasa ini, apalagi dengan pemimpin Indonesia pada saat itu (mantan Presiden Gus dur) termasuk yang menyetujui dan mendukung ajaran tersebut (sufi/kebatinan/kejawen). Pendukung yang lain yang cukup dikenal adalah Anand Khrisna. Bila terus dibiarkan, ajaran tersebut akan semakin mengaburkan Islam sebagai agama yang murni dari kesyirikan dan bid’ah , menjunjung tinggi akal manusia, dan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai andil dalam pemberantasan penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat), kami tampilkan sebuah tanggapan dalam acara tersebut.
Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VII di Jakarta tahun 1978, orientasi system pengelolaan hutan mengalami perubahansecara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat sejak zaman kuno dulu. Disitu saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik. Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejaranh yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (socialforestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan.
Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama Het Book van Mbonang, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi. Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia.
Jadi, seandainya tidak ada Het Book van MBonang, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi data obyektif. Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu, yang berkembang adalah kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syek Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan.
Walisongo Dalam Dunia Mitos
Kisah walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan. Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW. Yang lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di tho’if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bolpoin ke pasukan majapahit. Begitu dilemparkan bolpoin tersebut, segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberinama keris kolomunyeng, yang oleh kyai Langitan diberikan kepada presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sudah digelar dan ternyata tidak ampuh.
Kisah sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal (serpihan potongan kayu) dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi dan heboh ; salah seorang pembantunya dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat cerita ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk elips sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi Ibrahim as, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo yang lahir dari keluarga penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwa untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan zaman dibandingkan kisah orang-orang yang menjadi panutannya, padahal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
Het Book van Mbonang yang telah melahirkan dua orang Doktor dan belasan Master bangsa Belanda itu memberikan petunjuk pada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. Het Book van Mbonang tidak menghasilkan kisah keris Kolomunyeng, kisah Cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya. Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tetapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.
Itulah sebabnya, saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku tentang Syekh Siti Jenar karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu. Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan aqidah Islamiyah, tetapi sudah ketinggalan zaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum, dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang ? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
Siapa Syekh Siti Jenar Itu
Kalau seorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu, isi buku dapat dijadikan tolak ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit sekali seorang yang berpaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal tersebut sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi karena bidang pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi, tidak mustahil kalau isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang berternak Kambing Ettawa menerangkan tentang seluk beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa. Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini adalah : “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai 6 pada bab 1 tidak relevan. Bab 1 diberi judul : “Melongok jalan sufi : Humanisme Islam Bagi Semua”. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya ; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan mesti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di dalam paragraf tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja pendeta dari Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :
1) Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi, beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2) Dihalaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama. Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian-pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3) Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal sekali.
4) Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing ? Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk mengubah seorang menjadi cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketentraman batinnya ? Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang adalah cerita kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5) Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menambal perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada sunan Kalijogo. Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Mbonang mengajar sunan Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang membawa cacing.
6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah diterangkan bagaimana hubungan Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu Ghaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung ?
Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu, banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Dimana letak Siti Jenar atau Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ; padahal tokoh terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu ? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti.
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada., mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh kedepan jangkauannya, tinggi muatan IPTEKnya., sakral dan di hormati oleh masyrakat dunia. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu, sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad SAW, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak aqidah Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SD, di desa kelahiran ibu saya Palempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo sendiri menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melainkan sholat Da’im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa ilaaha illallah kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas (tersita) untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali lagi, kisah walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam kisah mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan aqidah islamiyyah. Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua orang temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaya dengan tarian oleh penari putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan, pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan kecelek kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinal yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al-Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli tata negara).2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara).6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina. Maulana Aliyudin, dari Palestina.9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat (ahli ruqyah).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau siapa saja, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi Jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul “Ajaran Syekh Siti Jenar” karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar.
Ki Panji Notoroto memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal dimasyarakat tidak berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo, agama yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.
Disamping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh. Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan dari Budha dan Ja mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang ditiru oleh politikus besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu, yaitu Nasakom.
Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan (sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal adalah Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di domplengkan kepada salah satu anggota wali songo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan tanpa tela’ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu logika dan aqidah.
Pernyataan-Pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini (Dr. Abdul Munir Mulkhan) telah saya singgung dimuka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah salah seorang tokoh organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah). Misalnya pernyataan yang menyebutkan “ngurusi Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya”. Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya gusti Allah) di daerah Magelang pada tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek, yaitu Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah dan hubungan mahluk dengan sesamanya)
Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan mempelajari Fiqih atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara Fiqih, Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleknya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar tauhid merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur’an : “Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh mempelajari Al-Qur’an”. Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan lupa bahwa untuk belajar Al-Qur’an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al-Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur’an yang memenuhi kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur’an kepada pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah Gerakan untuk Melawan Islam.
Catatan Kecil
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :
1) Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.2) Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab 1 hampir sama dengan yang tercantum dalam sumber pustaka.4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman 2 yang menyebut : ……….. sejarah Islam (Madjid, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis : …….. Menurut Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984, hlm 33).5) Pada bab 4, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup disitir saja.
Beberapa catatan lain memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor !.
Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima’afkan. Semoga yang saya lakukan berguna berwasiat-wasiatan (saling menasehati) didalam kebenaran sesuai dengan perintah Allah Subhanahuwata’ala dalam Surat Al-‘Ashar. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi wabarookaatuh.
{[['']]}

Peninggalan-Peninggalan Sejarah Yang Bercorak Hindu-Budha

Peninggalan-Peninggalan Sejarah Yang Bercorak Hindu-Budha

Pada masa kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, banyak meninggalkan sumber sejarah, baik berupa bangunan kuno (seni bangun), prasasti, hasil kesusastraan. Berikut beberapa peninggalan sejarah yang bercorak Hindu- Budha.
a. Seni bangun

Peninggalan-peninggalan sejarah ada beberapa jenisnya, seperti komplek percandian, pemandian, keraton, makam. Candi adalah peninggalan berupa komplek bangunan yang bersifat Hindu, sedangkan yang bersifat Budhis disebut Stupa, Stupika. Diantara candi-candi Hindu, di Jawa Tengah terdapat


Disamping candi Hindu, juga terdapat banyak peninggalan yang bersifat Budhis. Pada masa kerajaan Sriwijaya ditemukan candi Muara takus di daerah Jambi. Di Jawa Tengah ada Stupa Borobudur, candi Mendut dan candi Pawon. Bangunanbangunan ini berfungsi sebagai tempat ibadah. Sampai sekarang peninggalan-peninggalan tersebut masih dipergunakan oleh umat Budha untuk pelaksanaan upacara memperingati hari Waisak.

Peninggalan-peninggalan sejarah ada beberapa jenisnya, seperti komplek percandian, pemandian, keraton, makam.

Candi adalah peninggalan berupa komplek bangunan yang bersifat Hindu, sedangkan yang bersifat Budhis disebut Stupa, Stupika. Candi Prambanan merupakan peninggalan yang bersifat Hindu sedangkan Stupa Borobudur bersifat Budha. Kedua monumen tersebut terletak di Jawa Tengah.

b. Seni Rupa dan Seni Ukir.

Pengaruh India membawa perkembangan dalam bidang seni rupa dan seni ukir atau pahat. Hal ini disebabkan adanya akulturasi. Misalnya relief yang dipahatkan pada dinding candi Borobudur yang merupakan relief tentang riwayat Sang Budha. Relief ini dikenal dengan Karma Wibangga yang dipahatkan dalam salah satu dinding Studa Borobudur.

c. Seni Sastra dan Aksara

Hasil sastra berbentuk prosa atau puisi : isinya antara lain tentang tutur (pitutur : kitab keagamaan), wiracarita (kepahlawanan), kitab Hukum (Undang-Undang).

Wiracarita yang terkenal di Indonesia yaitu Kitab Ramayana dan Mahabarata. Timbul wiracarita gubahan pujangga Indonesia. Misalnya, Kitab Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Perkembangan aksara, perkembangan huruf Pallawa dari India ke Indonesia, mengakibatkan berkembangnya karya-karya sastra. Misal, karya-karya sastra Jawa kuno. Huruf Nagari (dari India) disertai huruf Bali kuno (dari Indonesia).

d. Sistem Kemasyarakatan.

Sistem kasta merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan tingkat atau derajad orang yang bersangkutan. Setiap orang sudah ditentukan kastanya. Sistem kasta ini muncul dalam masyarakat Indonesia setelah ada hubungan dengan India. Terdapat empat kasta yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra. Sistem kasta ini bukan asli Indonesia.

e. Filsafat dan Sistem Kepercayaan.

Kepercayaan asli bangsa Indonesia adalah animisme dan dinamisme. percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Kehidupan roh halus memiliki kekuatan maka roh nenek moyang dipuja. Masuknya pengaruh India tidak menyebabkan

pemujaan terhadap roh nenek moyang hilang. Hal ini dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi di India sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, selain sebagai tempat pemujaan, candi juga berfungsi sebagai makam raja dan untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah wafat.

Dapat terlihat adanya pripih tempat untuk menyimpan abu jenazah, dan diatasnya didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa. Hal tersebut merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.

f. Sistem Pemerintahan

Pengaruh India di Indonesia dalam sistem pemerintahan, adalah adanya sistem pemerintahan secara sederhana.
Setelah pengaruh India masuk, kedudukan pemimpin tersebut diubah menjadi raja serta wilayahnya disebut kerajaan. Rajanya dinobatkan dengan melalui upacara Abhiseka, biasanya namanya ditambah “warman”. Contoh: di Kerajaan Kutai, Taruma dan sebagainya.

Bukti akulturasi di bidang pemerintahan, misalnya : raja harus berwibawa dan dipandang punya kesaktian (kekuatan gaib), seperti para Raja disembah menunjukkan adanya pemujaan Dewa Raja.

Wisata: Prambanan Candi Hindu Tercantik di Dunia

Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.

Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.

Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti ‘terbit’ atau ‘bersinar’, biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.

Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan.

Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.
Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.

Nah, masih banyak lagi yang bisa digali di Prambanan. Anda tak boleh jemu tentunya. Kalau pun akhirnya lelah, anda bisa beristirahat di taman sekitar candi. Tertarik? Datanglah segera. Sejak tanggal 18 September 2006, anda sudah bisa memasuki zona 1 Candi Prambanan meski belum bisa masuk ke dalam candi. Beberapa kerusakan akibat gempa 27 Mei 2006 lalu kini sedang diperbaiki.

Obyek Wisata Candi Ijo

Candi Ijo, Candi yang Letaknya Tertinggi di Yogyakarta
Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak, bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.

Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.

Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.

Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.

Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan.

Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah “Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa.” Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.

Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.

Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.

Obyek Wisata Candi Borobudur

Candi Borobudur, Candi Budha Terbesar di Abad ke- 9
Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.

Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.

Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.

Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).

Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.

Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.

Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi.

Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya, anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya sama sekali.

Borobudur adalah salah satu monumen kuno yang terbaik yang dilestarikan dari seluruh dunia bahkan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Monumen ini adalah kuil budha yang terbesar di seluruh dunia dan telah diklaim sebagai hasil budaya manusia yang paling sering dikunjungi lebih dari sejuta wisatawan baik domestik maupun luar negeri sampai saat ini.

Gaya arsitek dari candi inipun tidak ada yang menyerupai di seluruh dunia. Struktur yang terisnpirasi menggambarkan mikro kosmos yang seringkali timbul menjadi suatu pertanyaan, misalnya kapan, dengan cara apa, berapa lama dan oleh siapa cagar alam ini telah dibangun.
Jawaban yang tepat sampai saat ini masih meninggalkan misteri karena tidak ada dokumen tertulis sampai saat ini. Berdasarkan prasasti yang ditemukan oleh peneliti, dicatat bahwa Candi Borobudur dibangun antara abad ke delapan ketika Samaratungga – raja dari dinasti Syailendra memerintah di Jawa Tengah. Arti dari Borobudur masih tidak jelas. Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur.

Bara dari bahasa Sansekerta berarti kompleks candi atau biara. Sedangakan Budur mengingatkan kita dengan kata yang berasal dari Bali Beduhur yang berarti di atas. Dengan kata lain, Borobudur berarti Biara di atas bukit.
Borobudur penuh dengan ornamen filosofis dimana menyimbolkan secara gamblang tentang kesatuan dari perbedaan jalur yang dapat diikuti untuk mencapai tujuan hidup yang paling pokok.Relif yang terukir di dinding candi memberitahukan keindahan dalam mempelajari hidup. Dengan kata lain, Borobudur memiliki jiwa seni, filosofis dan budaya.

Arti dan Makna Lambang Garuda Pancasila

Burung garuda berwarna kuning emas mengepakkan sayapnya dengan gagah menoleh ke kanan. Dalam tubuhnya mengemas kelima dasar dari Pancasila.  Di tengah tameng yang bermakna benteng ketahanan filosofis, terbentang garis tebal yang bermakna garis khatulistiwa, yang merupakan lambang geografis lokasi Indonesia.  Kedua kakinya yang kokoh kekar mencengkeram kuat semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda, Namun Tetap Satu“.

Secara tegas bangsa Indonesia telah memilih burung garuda sebagai lambang kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh percaya diri, energik dan dinamis.  Ia terbang menguasai angkasa dan memantau keadaan sendiri, tak suka bergantung pada yang lain.  Garuda yang merupakan lambang pemberani dalam mempertahankan wilayah, tetapi dia pun akan menghormati wilayah milik yang lain sekalipun wilayah itu milik burung yang lebih kecil.  Warna kuning emas melambangkan bangsa yang besar dan berjiwa priyagung sejati.

Burung garuda yang juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai dengan budaya bangsa yang dihayati secara turun temurun.  Burung garuda pun pantang mundur dan pantang menyerah.  Legenda semacam ini juga diabadikan sangat indah oleh nenek moyang bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai prasasti sejak abad ke-15.

Keberhasilan bangsa Indonesia dalam meraih cita-citanya menjadi negara yang merdeka bersatu dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, tertera lengkap dalam lambang garuda.  17 helai bulu pada sayapnya yang membentang gagah melambangkan tanggal 17 hari kemerdekaan Indonesia, 8 helai bulu pada ekornya melambangkan bulan Agustus, dan ke-45 helai bulu pada lehernya melambangkan tahun 1945 adalah tahun kemerdekaan Indonesia.

Semua itu memuat kemasan historis bangsa Indonesia sebagai titik puncak dari segala perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaannya yang panjang.  Dengan demikian lambang burung garuda itu semakin gagah mengemas lengkap empat arti visual sekaligus, yaitu makna filosofis, geografis, sosiologis, dan historis.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.g-excess.com/id/peninggalan-peninggalan-sejarah-yang-bercorak-hindu-budha.html, 18 November 2010, 02.03 WIB
Tagged as:
{[['']]}

Cuplikan Buku DARMAGANDHUL (Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia)

Cuplikan Buku DARMAGANDHUL 
 (Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia)
Tiga hari kemudian, Sultan Dêmak berangkat ke Ngampel. Yang dipercaya untuk tinggal di istana Majapahit adalah Patih Mangkurat dan Adipati Têrung, untuk menjaga keamanan istana dari serangan-serangan pasukan Majapahit yang mungkin masih tersisa. Sunan Kudus juga ikut menjaga istana sebagai wakil Sang Prabu. Wilayah Têrung dijaga ulama sebanyak tiga ratus, yang setiap malam menunaikan shalat hajat serta membaca Alquran. Separuh pasukan dan beberapa sunan mengiringi Sultan Dêmak menuju Ngampeldênta.

Sunan Ngampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya yang berada di sana. Sang istri berasal dari Tuban, putri Adipati Arya Teja. Sepeninggal Sunan Ngampel, Nyai Agêng Ngampel (istri Sunan Ampel) sangat dituakan oleh masyarakat Ngampel. Prabu Jimbuningrat (Raden Patah), sesampainya di Ngampel, segera memberikan sembah bakti kepada Nyai Agêng. Bergiliran, para sunan juga menghaturkan sembah baktinya. Prabu Jimbuningrat lantas memberikan kabar tentang pasukan Dêmak yang telah berhasil menjebol Majapahit, tentang lolosnya ayahandanya dan Raden Gugur, tentang tewasnya Patih Majapahit, dan tentang dirinya yang sudah mengukuhkan diri sebagai raja yang menguasai tanah Jawa dan berjuluk Senopati Jimbun atau Panembahan Palembang. Maksud kedatangannya ke Ngampel adalah hendak meminta restu agar dia lestari menjadi raja hingga keturunannya kelak.

Usai mendengar laporan Prabu Jimbun, Nyai Agêng seketika menangis dan merangkul Sang Prabu (Jimbuningrat). Hatinya bagai diiris-iris. Beginilah ucapan yang keluar dari bibirnya:

“Anakku, kamu telah melakukan tiga dosa. Kamu telah berani melawan raja sekaligus orangtuamu serta orang yang telah memberimu kemuliaan duniawi, yang kemudian kamu hancurkan tanpa ada dosa. Jika mengingat kebaikan Paman Prabu Brawijaya, yaitu ketika beliau memberi para ulama tempat tinggal sehingga mereka bisa mencari makan di tempatnya masing-masing, serta memberi mereka kebebasan untuk menyebarkan agama, seharusnya mereka sebagai manusia patut mengucapkan terima kasih. Tetapi mengapa balasannya adalah kejahatan? Sekarang, apakah beliau sudah wafat atau masih hidup, tidak ada yang mengetahui nasibnya!”

Nyai Agêng berkata lagi kepada Sang Prabu:

Ngger, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah sejujurnya, siapakah ayahmu yang sesungguhnya? Siapakah yang mengukuhkan kamu menjadi raja tanah Jawa dan siapa yang merestui? Apa sebabnya kamu membunuhi orang Majapahit sedangkan mereka tidak punya kesalahan kepadamu sama sekali?”

Sang Prabu menjawab, konon Prabu Brawijaya memang ayahnya yang sesungguhnya. Yang mengangkat dirinya menjadi raja tanah Jawa tak lain adalah para bupati pesisir utara. Yang merestuinya adalah para sunan. Majapahit diserang sebab Prabu Brawijaya tidak mau masuk Islam, tetap bersikukuh memeluk agama kafir kufur, agama Buda totok yang buruk bagai kuwuk (kucing hutan).

Mendengar penuturan Prabu Jimbun, Nyai Agêng menjerit seketika dan merangkul sambil berkata:

Ngger, ketahuilah! Kamu telah berbuat dosa tiga macam. Pasti kamu akan mendapatkan hukuman Gusti Allah. Kamu telah berani melawan raja dan orangtuamu sendiri, yang telah memberikan kemuliaan duniawi kepadamu, kamu tega telah melakukan kekerasan kepada orang yang tanpa salah. Adanya manusia Islam dan kafir siapa yang menciptakan selain Gusti Allah sendiri? Manusia berganti agama itu tidak bisa dipaksa jika bukan kehendak pribadinya sendiri. Ketahuilah, manusia yang gugur karena memegang teguh keyakinannya termasuk manusia utama! Jika Gusti Allah menghendaki, tak usah disuruh pun dia akan memeluk agama Islam sendiri. Gusti Allah yang bersifat Rahman (Kasih) tidak memerintah untuk memaksa orang masuk agama tertentu, semua harus sesuai kehendak manusia sendiri-sendiri. Gusti Allah tidak akan menyiksa manusia kafir yang tak bersalah dan tidak akan memberikan pahala kepada orang Islam yang perbuatannya tidak benar. Hanya perbuatannya yang akan diadili secara adil, bukan karena agamanya apa! Ibumu Cina dan menyembah Pek Kong, yang diwujudkan dalam kertas bergambar atau arca dari batu. Tidaklah benar membenci orang Buda. Itu tandanya matamu masih terlapisi, sehingga tidak terang penglihatanmu, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

“Konon kamu putra Sang Prabu, tetapi mana ada putra yang tega menghancurkan ayahandanya sendiri, menghancurkannya tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya? Beda dengan mata orang Jawa asli, Jawa atau Jawi, penglihatannya satu, paham mana yang benar dan mana yang salah, sadar mana yang baik dan mana yang buruk. Orang Jawa mesti hormat dan segan kepada orangtua, lalu berbakti kepada raja yang telah memberikan anugerah kemuliaan duniawi. Orangtua maupun raja wajib disuguhi darma bakti. Niatnya adalah berbakti kepada orangtua, jangan melihat dia kafir atau tidak! Kamu aku beri tahu, Agung Kuparman beragama Islam, mertuanya kafir. Mertuanya benci kepadanya karena agamanya beda, senantiasa mencari jalan agar menantunya mati. Akan tetapi Agung Kuparman senantiasa berbakti dan menghormatinya karena mengetahui bahwa dia adalah mertua yang bagaikan orangtua sendiri. Dia tidak melihat kafirnya! Itulah contoh manusia utama, tidak seperti perbuatanmu yang menganiaya orangtua hanya karena beliau beragama Buda dan tidak mau berganti agama Islam. Perbuatanmu tidaklah patut. Dan lagi aku hendak bertanya, apakah kamu pernah meminta secara pribadi kepada ayahandamu agar bersedia berganti agama? Lantas apa yang menyebabkan kamu nekat merusak Negara Majapahit?”

Prabu Jimbun menjawab bahwa dia belum pernah meminta kesediaan ayahandanya agar berganti agama. Dia datang ke Majapahit dan langsung menyerang.

Nyai Agêng Ngampel tertawa dan berkata:

“Perbuatanmu semakin terlihat salah! Para nabi pada zaman dahulu berani menentang orangtuanya sebab sudah setiap hari mereka meminta kesediaan mereka untuk berganti agama, akan tetapi tidak mau juga, bahkan hingga diberi bukti mukjizat yang menandakan bahwa mereka sudah saatnya berganti agama Islam. Akan tetapi permintaan itu tidak digubris, orangtua mereka masih tetap memegang teguh agama lama, lantas mereka dimusuhi oleh orangtua mereka. Jika begitu kejadiannya, kalaupun harus bermusuhan dengan orangtua, mereka tidak salah. Sedangkan dirimu, apa mukjizatmu? Jika memang kamu nyata-nyata khalifatullah (wakil Allah) yang berhak mengganti agama lama, sekarang perlihatkan mukjizatmu! Aku ingin menyaksikannya!”

Prabu Jimbun menjawab bahwa dirinya tidak memiliki mukjizat apa pun, hanya menuruti bunyi kitab, yang katanya jika mengislamkan orang kafir kelak balasannya adalah surga.

Nyai Agêng Ngampel tertawa dan semakin marah:

“Hanya katanya kok dituruti? Bahkan itu bukan ujaran leluhur! Kata-kata pengembara kok dituruti? Akhirnya yang rusak nanti dirimu sendiri. Itu tanda pengetahuan agamamu masih mentah! Kamu berani kepada orangtua hanya karena ingin menjadi raja. Kesengsaraan rakyat banyak tidak kamu pikirkan. Kamu bukan santri ahli budi (kesadaran), hanya manusia yang berikat kepala putih, bagaikan putihnya burung bangau. Yang putih hanya kulitnya saja, di dalamnya masih merah menyala! Saat mertuamu (Sunan Ampel) masih hidup, kamu pernah meminta izin untuk menyerang Majapahit, tetapi mertuamu tidak memberikan izin, bahkan mewanti-wanti kamu agar jangan sampai bermusuhan dengan orangtua. Sekarang mertuamu sudah tiada dan larangannya kamu langgar. Kamu tidak takut melanggar wasiatnya! Jikalau kamu sekarang meminta restu kepadaku untuk menjadi raja di tanah Jawa, diriku tidak berwenang memberikan izin. Diriku ini orang kecil, seorang wanita lagi. Nanti terbalik akhirnya. Sebab seharusnya dirimu yang berwenang memberikan restu kepadaku, sebab dirimu adalah khalifatullah di tanah Jawa. Kamu adalah orangtua, apa yang kamu ucapkan bagaikan ludah berisi api. Diriku hanya tua tanpa arti, dirimulah yang tua karena kamu sekarang raja!”

Lantas Nyai Agêng Ngampel berkata lagi:

“Anakku, dengarkanlah! Aku akan menceritakan empat kisah lama yang bisa dijadikan suri teladan. Dalam sebuah kitab hikayat telah diceritakan, di tanah Mesir pernah suatu ketika putra Kangjêng Nabi Daud merebut takhta ayahnya. Nabi Daud sampai harus meloloskan diri dari kerajaan dan sang putra mengukuhkan diri sebagai raja. Tak lama kemudian, Nabi Daud berhasil merebut kerajaannya. Sang putra lari dengan menunggang kuda ke hutan. Kudanya berlari tak bisa dikendalikan, sehingga dia tersangkut pohon dan batu. Dia mati dengan tubuh tersangkut sebatang pohon. Itulah yang disebut hukum Allah.

“Ada lagi cerita tentang Prabu Dewatacêngkar. Dia juga merebut takhta ayahandanya, lalu dikutuk oleh sang ayah agar menjadi raksasa. Setiap hari dia harus makan daging manusia. Tak lama kemudian, datanglah seorang brahmana dari tanah seberang (India) ke Jawa, namanya Aji Saka. Dia membawa kesaktian di tanah Jawa. Seluruh rakyat Jawa mengasihi Aji Saka dan membenci Dewatacêngkar. Aji Saka diangkat menjadi raja, Dewatacêngkar dilawan hingga lari menceburkan diri ke samudra dan berubah menjadi buaya. Tak lama kemudian, dia meninggal. Ada lagi cerita dari Negara Lokapala. Prabu Danaraja berani melawan ayahandanya. Hukuman yang diterimanya juga tak jauh beda dengan cerita sebelumnya. Semua menemui kesengsaraan. Sedangkan kamu melawan ayah yang tanpa dosa. Pastilah kamu akan menemui kesengsaraan. Jika kelak meninggal, kamu pasti akan masuk neraka. Itulah hukum Allah bagimu!”

Mendengar tuturan sang nenek, Prabu Jimbun dalam hati merasa menyesal, akan tetapi semua sudah terlanjur.

Nyai Agêng Ngampel masih meneruskan penuturannya:

“Ketahuilah, dirimu ini diperalat oleh para ulama dan bupati. Mengapa kamu menurut saja? Yang akan menerima kesengsaraan pastilah hanya kamu seorang. Kamu sudah kehilangan ayah, seumur hidup namamu akan tercemar. Kebanggaan apa yang kamu dapatkan jika sudah unggul berperang melawan ayah sendiri yang patut dihormati? Walau kamu bertobat kepada Yang Mahakuasa, menurutku tobatmu tidak akan diterima. Kesalahan pertama, kamu berani melawan ayahanda sendiri; kesalahan kedua, kamu berani menentang raja; kesalahan ketiga, kamu membalas kebaikan dengan kejahatan serta melakukan pengrusakan dan pembunuhan tanpa alasan. Ingat, Adipati Pranaraga (Bathara Katong) dan Adipati Pêngging (Andayaningrat) tidak akan mungkin bisa menerima kehancuran Majapahit. Pasti mereka akan membela ayah mereka. Menghadapi hal itu saja sudah sangat berat buatmu.”

Banyak lagi penuturan Nyai Agêng kepada Prabu Jimbun. Sesudah Sang Prabu selesai dinasihati, dia lantas disuruh pulang ke Dêmak dan mencari tahu ke mana perginya ayahnya. Jika ayahnya sudah ditemukan, beliau diminta pulang kembali ke Majapahit, dengan terlebih dulu diminta mampir ke Ngampelgadhing. Akan tetapi, jika beliau tidak berkenan, tidak boleh ada paksaan kepadanya. Sebab, jika sampai beliau marah lagi dan mengeluarkan kutuk, pasti kutukannya akan terjadi.
{[['']]}
Lihat PETA WISATA ZI'ARAH CIKUNDUL di peta yang lebih besar
Lisensi Creative Commons
WISATACIKUNDUL oleh BUDAKSHARETM disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.
Berdasarkan ciptaan pada http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/.
Izin di luar dari ruang lingkup lisensi ini dapat tersedia pada @WISATACIKUNDUL.

 
Support : MOVIE LIVE | LIVE DOWNLOAD
Profile Google + : PUTRA SUNDA | BUDAKSHARE-TM
Copyright © 2014. WISATA CIKUNDUL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Follow on FACEBOOK : (1) Wisata Cikundul
Follow on TWITER : (2) Wisata Cikundul
Loading the player...