Arti Pandawa Dipawayangan
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
10:21 PM
with
No comments
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa
Sanskerta (Dewanagari: पाण्डव; Pāṇḍava), yang secara harfiah berarti
anak Pandu (Dewanagari: पाण्डु;
IAST: Pāṇḍu), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita
Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota
kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah
protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera
Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu
(Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan)
dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain
tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut
serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam
sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing)
seorang putera darinya.
Para Pandawa merupakan tokoh penting
dalam
bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di
daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta
sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam
wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu. Para
Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putra kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putra kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.
Yudistira merupakan saudara para Pandawa
yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari
Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak
pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan
suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah.
Memiliki julukan Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak
memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata). Ia menjadi
seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir dan
mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India
Kuno agar berada di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan
perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama dengan saudara-saudaranya
yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan mereka. Setelah menempuh
perjalanan panjang, ia mendapatkan surga.
Bima merupakan putra kedua Kunti dengan
Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan". Ia
merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan
Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan
berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian,
ia memiliki hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada. Senjata
gadanya bernama Rujakpala dan pandai memasak. Bima juga gemar makan
sehingga dijuluki Werkodara. Kemahirannya dalam berperang sangat
dibutuhkan oleh para Pandawa agar mereka mampu memperoleh kemenangan
dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang putera dari
ras rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya berperang,
namun gugur. Akhirnya Bima memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta
kepada kakaknya, Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan
perjalanan suci bersama para Pandawa ke gunung Himalaya. Di sana ia
meninggal dan mendapatkan surga. Dalam pewayangan Jawa, dua putranya
yang lain selain Gatotkaca ialah Antareja dan Antasena.
Arjuna merupakan putra bungsu Kunti dengan
Pandu. Namanya (dalam bahasa Sansekerta) memiliki arti "yang bersinar",
"yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa
perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap
sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan
menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh
kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak
nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena
ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang
diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia
diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha
(putera Kunti – karena ia merupakan putra Perta alias Kunti). Dalam
pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan
Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan
perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan
segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan
mencapai surga.
Nakula merupakan salah satu putera kembar
pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama
Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang
lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah
kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri
Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi
berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan
merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan
senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula
dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun
ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di
Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai
pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke
gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam
perjalanan dan arwahnya mencapai surga.
Sadewa merupakan salah satu putera kembar
pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama
Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang
lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah
kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti,
istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan
bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu
astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang
bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan
senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya
yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi.
Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya
bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan
arwahnya mencapai surga.
Masa kanak-kanak
Pandawa lima yang terdiri atas Yudistira,
Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki saudara yang bernama Duryodana
dan 99 adiknya yang merupakan anak dari Dretarastra yang tak lain
adalah paman mereka, sekaligus Raja Hastinapura. Sewaktu kecil mereka
suka bermain bersama, tetapi Bima suka mengganggu sepupunya. Lambat laun
Duryodana merasa jengkel karena menjadi korban dan gangguan dari ejekan
Bima. Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk
dapat meneruskan tahta dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka
semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai
Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di
Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk
menyingkirkan para Pandawa beserta ibunya.
Dretarastra yang mencintai keponakannya
secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia
langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia
tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri
hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh para Pandawa beserta
ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke
tempat yang bernama Waranawata. Di sana terdapat bangunan yang megah,
yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar
bagunan itu di tengah malam pada saat Pandawa lima sedang terlelap
tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan
oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa. Sebelum itu juga
Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke
dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu
Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk
pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan
diri ke hutan rimba. Di hutan rimba, Pandawa bertemu dengan raksasa
Hidimba, dan adiknya Hidimbi. Hidimba dibunuh oleh Bima, lalu Hidimbi
dinikahi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah beberapa
lama, Hidimbi dan Gatotkaca berpisah dengan para Pandawa sebab para
pangeran tersebut harus melanjutkan perjalanannya.
Pandawa lima yang melarikan diri ke rimba
mengetahui akan diadakan sayembara di Kerajaan Panchala dengan syarat,
barang siapa yang dapat membidik sasaran dengan tepat boleh menikahkan
putri Raja Panchala (Drupada) yang bernama Panchali atau Dropadi. Arjuna
pun mengikuti sayembara itu dan berhasil memenangkannya, tetapi Bima
yang berkata kepada ibunya, "lihat apa yang kami bawa ibu!". Kunti,
menjawab, "Bagi saja secara rata apa yang kalian dapat". Karena
perkataan ibunya. Pancali pun bersuamikan lima orang.
Bima merobek dada Dursasana dan meminum darahnya di medan perang Kurukshetra. Lukisan dari Lahore, th. 1930-an.
Pamannya (Dretarastra) yang mengetahui
bahwa Pandawa lima ternyata belum mati pun mengundang mereka untuk
kembali ke Hastinapura dan memberikan hadiah berupa tanah dari sebagian
kerajaannya, yang akhirnya Pandawa lima membangun kota dari sebagian
tanah yang diberikan pamannya itu hingga menjadi megah dan makmur yang
diberi nama Indraprastha. Duryodana yang pernah datang ke Indraprastha
iri melihat bangunan yang begitu indah, megah dan artistik itu. Setelah
pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek terkemuka untuk
membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di
Indraprastha. Bersamaan dengan pembangunan pendapa di Hastinapura ia pun
merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Yudistira dan adik adiknya. Yang
pada akhirnya Yudistra pun terjebak dalam rencananya Duryodana dan
harus menjalani pengasingan selama 14 Tahun, di dalam pengasingan itu
Yudistira pun menyusun rencana untuk membalas dendam atas penghinaan
yang telah dilakukan Duryodana dan adik adiknya, yang akhirnya memicu
terjadinya perang besar antara Pandawa dan Korawa serta
sekutu-sekutunya.
Pertempuran besar di Kurukshetra (atau
lebih dikenal dengan istilah Bharatayuddha di Indonesia) merupakan
pertempuran sengit yang berlangsung selama delapan belas hari. Pihak
Pandawa maupun pihak Korawa sama-sama memiliki ksatria-ksatria besar dan
angkatan perang yang kuat. Pasukan kedua belah pihak hampir gugur
semuanya, dan kemenangan berada di pihak Pandawa karena mereka berhasil
bertahan hidup dari pertempuran sengit tersebut. Semua Korawa gugur di
tangan mereka, kecuali Yuyutsu, satu-satunya Korawa yang memihak Pandawa
sesaat sebelum pertempuran berlangsung.
Setelah Kresna wafat, Byasa menyarankan
para Pandawa agar meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup sebagai
pertapa. Sebelum meninggalkan kerajaan, Yudistira menyerahkan tahta
kepada Parikesit, cucu Arjuna. Para Pandawa beserta Dropadi melakukan
perjalanan terakhir mereka di Gunung Himalaya. Sebelum sampai di puncak,
satu persatu dari mereka meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira
yang masih bertahan hidup dan didampingi oleh seekor anjing yang setia.
Sesampainya di puncak, Yudistira dijemput oleh Dewa Indra yang menaiki
kereta kencana. Yudistira menolak untuk mencapai surga jika harus
meninggalkan anjingnya. Karena sikap tulus yang ditunjukkan oleh
Yudistira, anjing tersebut menampakkan wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma.
Dewa Dharma berkata bahwa Yudistira telah melewati ujian yang diberikan
kepadanya dengan tenang dan ia berhak berada di surga.
Sesampainya
di surga, Yudistira terkejut karena ia tidak melihat
saudara-saudaranya, sebaliknya ia melihat Duryodana beserta sekutunya di
surga. Dewa Indra berkata bahwa saudara-saudara Yudistira berada di
neraka. Mendengar hal itu, Yudistira lebih memilih tinggal di neraka
bersama saudara-saudaranya daripada tinggal di surga. Pada saat itu,
pemandangan tiba-tiba berubah. Dewa Indra pun berkata bahwa hal tersebut
merupakan salah satu ujian yang diberikan kepadanya, dan sebenarnya
saudara Yudistira telah berada di surga. Yudistira pun mendapatkan
surga.
Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com/
{[['']]}
Label:
Jejak Sejarah
,
Wisata Minat Khusus
Kujang, Pusaka Sunda
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
11:39 PM
with
No comments
Kujang, Pusaka Sunda yang Terlupakan
Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis Sunda memiliki lambang daerah berupa gambar yang di tengahnya menampilkan senjata tradisional yang disebut kujang. Kujang adalah senjata tradisional berupa senjata tajam yang bentuknya menyerupai keris, parang, dengan bentuk unik berupa tonjolan pada bagian pangkalnya, bergerigi pada salah satu sisi di bagian tengahnya dan bentuk lengkungan pada bagian ujungnya. Bagi masyarakat Sunda, kujang lebih umum dibandingkan dengan keris.Kujang tidak hanya dipakai untuk lambang daerah tapi juga dipakai untuk nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semen Kujang), nama kampung (Parungkujang, Cikujang, Kujangsari, Parakankujang), nama batalion (Batalyon Kujang pada Kodam III/Siliwangi), nama tugu peringatan (Tugu Kujang di Bogor, Tugu Kujang Bale Endah), dan lain-lain.
Popularitas kujang bagi masyarakat etnis Sunda sudah tidak disangsikan lagi. Akan tetapi, ironisnya, eksistensi kujang baik sebagai perkakas maupun sebagai pusaka mulai sirna. Kujang kini hanya berada di museum-museum dengan jumlah yang relatif sedikit dan dimiliki oleh para sesepuh atau budayawan yang masih mencintai kujang sebagai pusaka leluhurnya.
Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak.
Kujang (Kujang Pamangkas) dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya jika bintang kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.
Bukti keberadaan kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).
Kujang adalah pusaka tradisi Sunda, sejarah yang menceritakan awal keberadaannya masih belum terungkap. Kalau saja Kerajaan Salakanagara yang merupakan kerajaan tertua di Jawa sebagai cikal bakal lahirnya kujang, diyakini keberadaan kujang sudah sangat tua. Alasan tersebut diperkuat bahwa apabila kujang yang diperkirakan sebagai alat perladangan atau pertanian maka Kerajaan Tarumanegara pada abad IV sudah mampu menata sistem pertanian secara baik dengan dibangunnya sistem irigasi untuk perladangan dan pertanian, mungkin kujang sudah hadir dalam konteks perkakas perladangan atau perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarakat pada saat itu. Kujang diakui keberadaannya sebagai senjata khas masyarakat etnis Sunda. Kujang merupakan warisan budaya Sunda pramodern.
Kujang merupakan senjata, ajimat, perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki berbagai ragam bentuk yang menarik secara visual. Kujang dengan keragaman bentuk gaya dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor, dan sebagainya sangat artistik dan menarik untuk dicermati karena struktur bentuk tersebut belum tentu ada dalam senjata lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam struktur estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.
Kujang koleksi Sumedang
Sejarah kerajaan yang tumbuh di Sumedang pada masa lalu erat kaitannya dengan Kerajaan Pajajaran. Koleksi kujang Pajajaran yang dimiliki Museum Prabu Geusan Ulun relatif banyak bahkan mungkin paling banyak jika dibandingkan dengan museum-museum yang ada di Jawa Barat atau Indonesia sekalipun. Kujang-kujang tersebut beragam varian Kujang Ciung, beragam varian Kujang Naga, Kujang Kuntul, Kujang Pamangkas, Kujang Wayang, dan sebagainya.
Kujang-kujang yang tersimpan cukup terpelihara dengan baik di mana fisik waruga, pamor, siih, dan mata kujang masih banyak yang utuh. Bahkan, persepsi dari kebanyakan masyarakat bahwa semua kujang berlubang terbantahkan dengan masih adanya beberapa koleksi kujang di museum ini yang masih memiliki penutup lobang atau penutup mata. Mungkin hilangnya penutup lobang karena penutup lobang terbuat dari bahan-bahan yang bernilai seperti logam-logam mulia, permata, dan sejenisnya. Hilangnya pun mungkin diambil atau jatuh akibat dari ceruk lubangnya yang korosif.
Kujang merupakan produk budaya masyarakat peladang. Penamaannya cenderung pada makhluk-makhluk yang banyak hidup di daerah ladang seperti Kujang Ciung dari burung Ciung, Kujang Naga dari ular, Kujang Bangkong dari kodok, Kujang Kuntul dari burung kuntul. Bahkan, Kujang Wayang diperkirakan sebagai simbol untuk kesuburan.
Tokoh wanita pada kujang wayang mengingatkan pada simbol-simbol kesuburan, misalnya patung purba Venus Willendorf di Eropa yang berbentuk manusia berperawakan subur sebagai simbolisasi kesuburan. Tokoh Dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan. Mencermati secara fisik Kujang Wayang ini pun yang tidak memiliki sisi tajam di bagian tonggong dan beuteung yang mungkin sangat berbeda dengan kujang lainnya (kujang dua pangadekna/kujang memiliki dua sisi yang tajam) diperkirakan untuk kepentingan upacara yang erat kaitannya dengan kepentingan kesuburan.
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya adalah Kujang Ciung. Pada lambang daerah, pada lambang perusahaan pupuk dan semen, pada lambang batalion, pada tugu-tugu dan lain-lain tampak jelas mengindikasi pada bentuk Kujang Ciung. Padahal, kujang memiliki beragam bentuk dan nama yang menyesuaikan bentuk tersebut. Beragam bentuk dan nama diperkirakan memiliki simbol yang dipakai dalam tatanan masa keemasan kujang yaitu masa kerajaan Sunda Pajajaran.
Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madura.
[pikiran-rakyat]
Jawa
,
Jawabarat
,
Jejak Sejarah
,
Wisata Minat Khusus
,
{[['']]}
Label:
Jawa
,
Jawabarat
,
Jejak Sejarah
,
Wisata Minat Khusus
Papatah Sunda I
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
11:36 PM
with
No comments
Ngeduk cikur kedah mihatur nyokel jahe kedah micarek (Trust ngak boleh korupsi, maling, nilep, dlsb… kalo mo ngambil sesuatu harus seijin yg punya).
Sacangreud pageuh sagolek pangkek (Commitment, menepati janji & consitent).
Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purwadaksina (integrity harus mengikuti etika yang ada)
Nyaur kudu diukur nyabda kudu di unggang (communication skill, berbicara harus tepat, jelas, bermakna.. tidak asbun).
Kudu hade gogod hade tagog (Appearance harus dijaga agar punya performance yg okeh dan harus consitent dengan perilakunya –> John Robert Power melakukan training ini mereka punya Personality Training, dlsb).
Kudu silih asih, silih asah jeung silih asuh (harus saling mencintai, memberi nasihat dan mengayomi).
Pondok jodo panjang baraya (siapapun walopun jodo kita tetap persaudaraan harus tetap dijaga)
Ulah ngaliarkeun taleus ateul (jangan menyebarkan isu hoax, memfitnah, dlsb).
Bengkung ngariung bongok ngaronyok (team works & solidarity dalam hal menghadapi kesulitan/ problems/ masalah harus di solve bersama).
Bobot pangayun timbang taraju (Logic, semua yang dilakukan harus penuh pertimbangan fairness, logic, common sense, dlsb)
Lain palid ku cikiih lain datang ku cileuncang (Vision, Mission, Goal, Directions, dlsb… kudu ada tujuan yg jelas sebelum melangkah).
Kudu nepi memeh indit (Planning & Simulation… harus tiba sebelum berangkat, make sure semuanya di prepare dulu).
Taraje nangeuh dulang pinande (setiap tugas harus dilaksanakan dengan baik dan benar).
Ulah pagiri- giri calik, pagirang- girang tampian (jangan berebut kekuasaan).
Ulah ngukur baju sasereg awak (Objektivitas, jangan melihat dari hanya kaca mata sendiri).
Ulah nyaliksik ku buuk leutik (jangan memperalat yang lemah/ rakyat jelata)
Ulah keok memeh dipacok (Ksatria, jangan mundur sebelum berupaya keras).
Kudu bisa kabulu kabale (Gawul, kemana aja bisa menyesuaikan diri).
Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih (Research & Development, Ngulik, Ngoprek, segalanya harus pakai akal dan harus terus di ulik, di teliti, kalo sudah diteliti dan dijadikan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan).
Cai karacak ninggang batu laun laun jadi dekok (Persistent, keukeuh, semangat pantang mundur).
Neangan luang tipapada urang (Belajar mencari pengetahuan dari pengalaman orang lain).
Nu lain kudu dilainkeun nu enya kudu dienyakeun (speak the truth nothing but the truth).
Kudu paheuyeuk- heuyeuk leungeun paantay-antay tangan (saling bekerjasama membangun kemitraan yang kuat).
Ulah taluk pedah jauh tong hoream pedah anggang jauh kudu dijugjug anggang kudu diteang (maju terus pantang mundur).
Ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salogak (Kompak/ team work).
Hubungan Dengan Tuhan (Yang Maha Kuasa)
Mulih kajati mulang kaasal (semuanya berasal dari Yang Maha Kuasa yang maha murbeng alam, semua orang akan kembali keasalnya).
Dihin pinasti anyar pinanggih (semua kejadian telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa yang selalu menjaga hukum-hukumnya).
Melak cabe jadi cabe melak bonteng jadi bonteng, melak hade jadi hade melak goreng jadi goreng (Hukum Yang Maha Kuasa adalah selalu menjaga hukum-2nya, apa yang ditanam itulah yang dituai, kalau kita menanam kebaikan walaupun sekecil elektron tetep akan dibalas kebaikan pula, kalau kita menanam keburukan maka keburukan pula yg didapat…. kira-2 apa yang sudah kita tanam selama ini sampai-2 Indonesia nyungseb seeeeeb ;) )? )
Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna (Gunakan akal dalam melangkah, buat apa Yang Maha Kuasa menciptakan akal kalau tidak digunakan sebagai mestinya).
Nimu luang tina burang (semua kejadian pasti ada hikmah/ manfaatnya apabila kita bisa menyikapinya dengan cara yang positive).
Omat urang kudu bisa ngaji diri (kita harus bisa mengkaji diri sendiri jangan suka menyalahkan orang lain)
Urang kudu jadi ajug ulah jadi lilin (Jangan sampai kita terbakar oleh ucapan kita, misalnya kita memberikan nasihat yagn baik kepada orang lain tapi dalam kenyataan sehari- hari kita terbakar oleh nasihat-2 yang kita berikan kepada yang lain tsb, seperti layaknya lilin yang memberikan penerangan tapi ikut terbakar abis bersama api yang dihasilkan).
Hubungan Dengan Alam
Gunung teu meunang di lebur, sagara teu meunang di ruksak, buyut teu meunang di rempak (Sustainable Development ~ Gunung tidak boleh dihancurkan, laut tidak boleh dirusak dan sejarah tidak boleh dilupakan… harus serasi dengan alam.).
Tatangkalan dileuweung teh kudu di pupusti (Pepohonan di hutan ituh harus di hormati, harus dibedakan istilah dipupusti (dihormati) dengan dipigusti (di Tuhankan) banyak yang salah arti disini).
Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak (hutan harus dijaga, sumber air harus dimaintain kalo tidak maka manusia akan sengsara).
Ulah Nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu anggang, nu caket geura raketan, nu deukeut geura deheusan, moal jauh tina wujud moal anggang tina awak, aya naon jeung aya saha? tina diri sorangan. cirina satangtung diri. pek geura panggihan diri manehteh, ku maneh weh sorangan, ulah waka nyaksian batur saksian heula diri sorangan.
Sing Daek nulung kanu butuh, nalang kanu susah, ngahudangkeun kanu sare, ngajait kanu titeuleum, mere kanu daek, nyaangan kanu poekeun.
Sing Waspada permana tinggal.
Saban-saban robah mangsa ganti wanci ilang bulan kurunyung taun, sok mineng kabandungan jelema, sanajan ngalamun salaput umur, kahayang patema-tema, karep heunteu reureuh-reureuh. dageuning nu bakal karasa mah anging kadar ti pangeran, manusa kadar rancana, kabul aya tinu Maha Agung, Laksana aya tinu Maha Kawasa.
Sumber: Papatah Kolot (Pepatah Orang Tua) beredar di kampung-2 adat Sunda, dlsb. (http://www.igcomputer.com/
Jejak Sejarah
,
Wisata Minat Khusus
,
Wisata Sejarah
,
{[['']]}
Label:
Jejak Sejarah
,
Wisata Minat Khusus
,
Wisata Sejarah
Asal Mulanya Wayang Golek
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
12:31 AM
with
No comments
Perkataan wayang berasal dari “wad an hyang”. Artinya leluhur. Akan tetapi ada juga yang berpendapatan yaitu dari kata “boyangan", mereka yang berpendapatan bahwa wayang berasal dari India, nampaknya melihat dari asal ceritanya yaitu mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata berasal dari kitab suci Hindu, tetapi selanjutnya cerita-cerita itu diubah dan disesuaikan dengan kebudayaan Jawa.
Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangunan wayang purwa sejumlah 7 buah dengan menarik cerita menarik yang diiringi gamelan salendro. Pertunjukannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyeruai boneka yang terbuat dari kayu, bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit. Jadi seperti wayang golek oleh karena itu disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah cerita panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon wayang golek ini ada sejak masa Panembahan Ratu Cicin Sunan Gunungjati (1540-1640). Disana didaerah Cirebon disebut wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pda jaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lokn yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Sumatri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karangayar (Wiranta Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayangkulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru Ujungberung untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit.
Namun, pada perkembangan selanjutnya atas anjuran Dalam Ki Darman membuat wayang golek yang tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menguhubungan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa namun setelah orang Sunda pandai mendalang bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, sehingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif dikepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini wayang menjadi lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang digunakan dalam wayang ada 4 yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengembangkan kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “sapta sila kehormatan seniman seniwati pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Ferbuari 1964 di Bandung.
Sumber : Tim Citizen Journalist (Cecep Heryadi, Usman S., Adbi Halim, Tepi M/dari berbagai sumber) Pikiran Rakyat
Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com
Jejak Sejarah
,
Wisata Budaya
,
Wisata Minat Khusus
,
Wisata Sejarah
,
{[['']]}
Label:
Jejak Sejarah
,
Wisata Budaya
,
Wisata Minat Khusus
,
Wisata Sejarah
Sesebatan Basa Sunda
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
12:31 AM
with
No comments
Sebatan ka jalma
Sesebatan/predikat, ka jalma, di Sunda kawilang seueur. Nu didamel patokan, aya opat, nya eta:
a) Ngabantun tina benten yuswa,
b) Ngabantun tina rupa/wanda,sareng kaayananana,
c) Ngabantun tina tingkah-laku, sareng
d) Ngabantun tina pangkat/kalungguhan/padamelan.
A. Sesebatan ka jalma, ngabantun tina benten yuswa
Baleg tampele = Beger(pameget), binarung rasa isin/sieun.
Baraya = Anu sami sarundayan dina pancakaki.
Baris wali = Pameget turunan ti rama.
Batur sakasur = Iistri-pameget/salaki-pamajikan.
Bebene = Kabogoh (istr)/piistrieun.
Beger = Mangkat birahi, pameget ngawitan resep ka istri, ngawitan istri resep ka pameget.
Beger mindo = Beger ka dua (yuswa 30 taunan).
Beubeureuh = Kabogoh (pameget) /pisalakieun.
Beubeureuh maneuh = Caroge/salaki.
Bilatung dulang = Budak sesedengna resep barangtuang.
Budak/murangkalih = Ti ngawitan tiasa calik, dugi ka bade rumaja.
Bujang jenglengan = Pameget sesedengna rumaja.
Bujang kolot = Pameget nu tos yuswa 40 taun, tacan nikah.
Bujang tarangna = Pameget, nu tos kawin, tapi tacan nikah.
Cueut ka hareup = Yuswa langkung ti 50 taun.
Deungeun-deungeun = Batur, taya patula-patalina sareng pancakaki.
Duda maesan = Pameget nu dikantun maot, ku istrina.
Dulur mindo = Putra dulur misan.
Dulur pateterean = Istri/pameget, nikah, pada gaduh/nyandak putra ti nu tipayun.
Dulur sabapa = Ramana sami,ibuna benten.
Dulur sabrayna/Dulur misan = Putra rayi, atanapi putra raka.
Dulur saindung = Ibuna sami, ramana benten.
Dulur sasusu = Nu nyusuna ka ibu nu sami.
Dulur/Dulu pet ku hinis = Adi/lanceuk saibu-sarama.
Galak Sinongnong = Beger(istri), ti katebihan wanton, tos caket, isin.
Gulangkep = Nikah ka wargi/pamili.
Jabang bayi = Orok nu masih keneh dina lebet kandungan.
Jajaka, bujangan = Pameget, nincak rumaja (tacan nikah).
Kembang buruan = Budak nuju sesedengna pikayungyuneun.
Kulawarga = Ibu,rama,putra.
Lelengkah halu = Budak nuju diajar leumpang.
Ngemboan = Rumaja/pameget, nu soantenna ngawitan ngaageungan, salira sembada, ngawitan bijil kumis lemes.
Orok = Ti ngawitan dilahirkeun, dugi ka tiasa calik.
Pamili = Anu saturunan atanapi sakocoran ti ibu/rama.
Pancakaki = Rundayan turunan. Conto: Nini/aki- indung/bapa - anak - incu - buyut - bao - janggawareng - udeg-udeg - kait/gantung siwur - laer. ancakaki sanesna: Lanceuk - adi - paman - bibi - ua/toa - alo - suan - lanceuk misan - lanceuk sabrayna - adi misan - adi sabrayna. Panganten = Istri/pameget nu ditikahkeun.
Parawan jekekan = Parawan sesedengna rumaja.
Parawan kolot = Istri nu yuswana tos langkung ti 28 taun, tacan nikah.
Parawan,cawene,mojang = Istri nu nincak rumaja (tacan nikah).
Patih goah = Istri/pamajikan.
Pikun = Tos sepuh pisan, emutanana tos mulih deui sapertos murangkalih.
Randa = Istri nu tos dipirak/ditalaq.
Randa bengsrat = Istri nu tos, dipirak, tapi tacan kulem sagebrug( parawan keneh).
Randa maesan = Istri nu dikantun maot ku pamegetna.
Sengserang padung = Jalmi nu parantos sepuh, nu tereh maot
Sengserang panon = Parawan/rumaja sesedengna resep ka pameget.
Tawehwoh = Tos sepuh pisan, waosna tos arompong.
Tengah tuwuh = Yuswa 50 taun.
Tokroh-tokroh = Tos sepuh pisan, mapahna nganggo teteken/iteuk.
Tunggang gunung = Yuswa langkung ti 60 taun.
Turun Amis Cau = Rumaja putri, nu nembe kaluar rambut lemes/bulu, tina luhureun taar. Cirina, soanten halimpu, resep dangdos/ngageulis.
Turun karanjang = Pameget nu dikantun maot ku istrina, nikah ka adi-beuteung.
Umuran/Meunang umur = Yuswa 40 taun.
B. Sesebatan ka jalma, ngbantun tina Rupa / Wanda / Kaayanana
Bahenol = Istri geulis taya cawadeun, pikabitaeun pameget.
Bayuhyuh = Pameget nu lintuh.
Bedegul = Salirana besekel.
Beke = Salirana pendek.
Belekesenteng = Buta-tulang,buta-daging,meujeuhna gede wawanen, rosa tanaga.
Bengo = Baham/sungutna menyon ka kiwa/tengen. Biasana akibat struk, incok, atanapi nyabut waos lalawora.
Beuteung-anjingeun = Patuanganana neros ageung ka luhur, sapertos beuteung anjing.
Beuteung-bangkongeun = Patuanganana rubak ka gigir.
Bewosan = Pipi sareng gado pinuh ku bulu.
Bolotot = Siki socana ageung.
Bongkok = Tonggongna bengkung.
Bongkok meongeun = Bengkung palebah punduk.
Bongsor/Haloghog = Enggal ngaageungan.
Bopeng = Dina damis (pipi) seueur ceda tilas cacar.
Bucitreuk = Patuangan ageung/nonjol, salira alit.
Budayut = Bureuteu, patuangan nyemplu.
Bule = Kulit sareng rambutna sapertos Walanda.
Buntet = Salirana pondok.
Butak = Rambutna teu janten/murudul/dugul semu herang.
Cadel = Nyariosna teu bentes, lebah nyebat huruf R.
Cameuh = Gadona nyueut ka payun.
Candael = Nyariosna anca.
Ceking = Salirana alit/begang.
Cenggehan = Remana aya nu dempet.
Ciriwis = Rambutna carang.
Deleng = Panempona/panenjona = menceng.
Denggol = Tarangna nongnong.
Deog-pengkor = Ngagepor teu tiasa mapah.
Egang = Mapahna ngageang, sapertos murangkalih nu nembe disepitan.
Galing = Rambutna merengkel.
Galing muntang = Galing tungtungna wungkul.
Gehgeran = Sok nurutan cariosan atanapi gerak batur/latah.
Gembil = Pipina lintuh.
Gembru = Budak lintuh.
Geulis = Istri nu gaduh rupa sae.
Gondok = Panyawat dina tenggek (beuheung), ngagayot.
Gondok-laki = Bagian tulang genggerong/tikoro nu nonjol(dina tenggek pameget).
Harigu-manukkeun = Dadana rada nonjol ka payun.
Hideung santen = Semu hideung, mulus sareng beresih.
Hulu-peutieun = Sirahna alit, teu saimbang sareng salirana.
Jebleh = Lambey handap ngampleh.
Jebrag = Dampal sampeanana meber ka gigir.
Jeding = Lambey luhur nyudik.
Kampeng = Sirahna penjol.
Karehol = Waosna teu beres.
Kasep = Pameget nu gaduh rupa sae.
Kempot = Damis/Pipina ngalewo upami imut, sapertos liang undur-undur. bIasana istri. Sok nambihan geulis.
Kempreng = Pananganana paeh teu tiasa diobahkeun.
Keueuseun = Waos murangkalih aya teu janten sapalih, dugi ka siga ompong.
Kiting = Rema/Ramona merengkel.
Kutet = Salirana alit wae.
Lenggik = Istri nu cangkengna alit.
Lolong = Socana teu ningal, duanana.
Mikung = Cepilna alit, daun cepilna kewung(semu murungkut).
Montok = Awakna seseg tur sehat.
Ngohngor = Waosna nonjol ka payun.
Ompong = Waosna parunglak.
Pacer = Bitisna alit.
Peang = Salirana kuru, teu saimbang sareng jangkungna.
Pecak = Socana teu ningal sapalih (sabeulah).
Pengkeh = Sampeanana leter 0.
Pincang = Sampeanana alit sapalih.
Pinced = Tetepokanana(Sakedik luhureun pingping/caket birit), luhur sapalih.
Pireu = Teu tiasa nyarios.
Ponges = Pangambungna cacad.
Rebing = Daun cepil (ceuli)na rubak.
Rejeh = Biwir socana beureum tur caian wae.
Rijep = Socana sering ngerejep/keukeureuceuman.
Saliwang/liwar = Sering lepat nguping/sapertos nu kirang dangu.
Sengkek = Tenggekna/beuheungna pondok.
Sipit = Siki socana ali (sapertos soca Cina/Jepang).
Songgeng = Bujurna nonjol ka pengker, cangkengna dengkeng.
Sumbiar = Upami ningal, teu anteb, kamana karep.
Suwing = Lambey luhurna mung sapalih/cacad. T
aktak-korangeun = Taktakna mudun (teu simetris), sapertos korang.
Teklok = Sampeanana leter x .
Telebeng = Bebeng/rada lintuh, teu aya cangkengan.
Tonggar = Waos luhur nonjol ka payun.
Torek = Teu tiasa ngadangu/nguping.
C. Sesebatan ka jalma, ngabantun tina patokan tingkah laku
Alus kukulinciranana = Gede milik.
Anak - emas = Kakasih, anu leuwih dipikanyaah.
Anak bulu taneuh = Turunan bapa tani.
Batur - sakasur = Pamajikan atawa salaki.
Belang - bayah = Hade diluarna dijero na mah goreng.
Buntut - kasiran = Medit
Ceplak-pahang = Ngomongna matak pinyerieun batur.
Ceuli – lentaheun = Teu kaop ngadenge sora tuluy hudang.
Dulang - tinande = Pasrah ka salaki.
Geledug – ces = Jangjina mulek tapi teu tulus.
Gereges -gedebug = Gurunggusuh,
Lesang - kuras = teu bisa nyekel/nyimpen rejeki.
Getas - harupateun = Mutuskeun hiji perkara tara dipikir heula.
Goong nabeh karia = Ngagulkeun sorangan.
Goreng - sungut = Resep ngagorengkeun batur.
Hampang - birit = Daekan.
Hampang - leungeun = Sok resep tunggal-teunggeul.
Handap asor, handap lanyap = Sopan santun.
Hejo - tihang = Anu resep pundah-pindah imah/digawe.
Heuras - genggerong/beuheung = Embung eleh.
Kokolot - begog = Nyanyahoanan/budak anu pipilueun kana urusan kolot.
Kokoro -nyoso = Malarat
Kurang- saeundan = Kurang ingetan.
Leutik - hate = Kurang wawanen/kawani.
Maliding sanak = Pilih kasih.
Murag bulu bitis = Tu beutah cicing di imah.
Neneh - bonteng = Ngan nyaah kana dahareunana wungkul.
Paeh - baseuh = Paeh ditandasa.
Panjang - leungeun = Resep ceceremed,
Pareumeun - obor = Teu apal jujutan turunan.
Peujit - koreseun = Teu kuat nahan lapar.
Siksik - melik = Belikan.
Tiis - pikir = Tenang hate.
*)Kat. Kawilang = kaitung;
Yuswa = umur;
Kokolot begog = nyanyahoanan;
guminter = asa pangpinter.
Sumber : http://sundakuring.weebly.com
Sesebatan/predikat, ka jalma, di Sunda kawilang seueur. Nu didamel patokan, aya opat, nya eta:
a) Ngabantun tina benten yuswa,
b) Ngabantun tina rupa/wanda,sareng kaayananana,
c) Ngabantun tina tingkah-laku, sareng
d) Ngabantun tina pangkat/kalungguhan/padamelan.
A. Sesebatan ka jalma, ngabantun tina benten yuswa
Baleg tampele = Beger(pameget), binarung rasa isin/sieun.
Baraya = Anu sami sarundayan dina pancakaki.
Baris wali = Pameget turunan ti rama.
Batur sakasur = Iistri-pameget/salaki-pamajikan.
Bebene = Kabogoh (istr)/piistrieun.
Beger = Mangkat birahi, pameget ngawitan resep ka istri, ngawitan istri resep ka pameget.
Beger mindo = Beger ka dua (yuswa 30 taunan).
Beubeureuh = Kabogoh (pameget) /pisalakieun.
Beubeureuh maneuh = Caroge/salaki.
Bilatung dulang = Budak sesedengna resep barangtuang.
Budak/murangkalih = Ti ngawitan tiasa calik, dugi ka bade rumaja.
Bujang jenglengan = Pameget sesedengna rumaja.
Bujang kolot = Pameget nu tos yuswa 40 taun, tacan nikah.
Bujang tarangna = Pameget, nu tos kawin, tapi tacan nikah.
Cueut ka hareup = Yuswa langkung ti 50 taun.
Deungeun-deungeun = Batur, taya patula-patalina sareng pancakaki.
Duda maesan = Pameget nu dikantun maot, ku istrina.
Dulur mindo = Putra dulur misan.
Dulur pateterean = Istri/pameget, nikah, pada gaduh/nyandak putra ti nu tipayun.
Dulur sabapa = Ramana sami,ibuna benten.
Dulur sabrayna/Dulur misan = Putra rayi, atanapi putra raka.
Dulur saindung = Ibuna sami, ramana benten.
Dulur sasusu = Nu nyusuna ka ibu nu sami.
Dulur/Dulu pet ku hinis = Adi/lanceuk saibu-sarama.
Galak Sinongnong = Beger(istri), ti katebihan wanton, tos caket, isin.
Gulangkep = Nikah ka wargi/pamili.
Jabang bayi = Orok nu masih keneh dina lebet kandungan.
Jajaka, bujangan = Pameget, nincak rumaja (tacan nikah).
Kembang buruan = Budak nuju sesedengna pikayungyuneun.
Kulawarga = Ibu,rama,putra.
Lelengkah halu = Budak nuju diajar leumpang.
Ngemboan = Rumaja/pameget, nu soantenna ngawitan ngaageungan, salira sembada, ngawitan bijil kumis lemes.
Orok = Ti ngawitan dilahirkeun, dugi ka tiasa calik.
Pamili = Anu saturunan atanapi sakocoran ti ibu/rama.
Pancakaki = Rundayan turunan. Conto: Nini/aki- indung/bapa - anak - incu - buyut - bao - janggawareng - udeg-udeg - kait/gantung siwur - laer. ancakaki sanesna: Lanceuk - adi - paman - bibi - ua/toa - alo - suan - lanceuk misan - lanceuk sabrayna - adi misan - adi sabrayna. Panganten = Istri/pameget nu ditikahkeun.
Parawan jekekan = Parawan sesedengna rumaja.
Parawan kolot = Istri nu yuswana tos langkung ti 28 taun, tacan nikah.
Parawan,cawene,mojang = Istri nu nincak rumaja (tacan nikah).
Patih goah = Istri/pamajikan.
Pikun = Tos sepuh pisan, emutanana tos mulih deui sapertos murangkalih.
Randa = Istri nu tos dipirak/ditalaq.
Randa bengsrat = Istri nu tos, dipirak, tapi tacan kulem sagebrug( parawan keneh).
Randa maesan = Istri nu dikantun maot ku pamegetna.
Sengserang padung = Jalmi nu parantos sepuh, nu tereh maot
Sengserang panon = Parawan/rumaja sesedengna resep ka pameget.
Tawehwoh = Tos sepuh pisan, waosna tos arompong.
Tengah tuwuh = Yuswa 50 taun.
Tokroh-tokroh = Tos sepuh pisan, mapahna nganggo teteken/iteuk.
Tunggang gunung = Yuswa langkung ti 60 taun.
Turun Amis Cau = Rumaja putri, nu nembe kaluar rambut lemes/bulu, tina luhureun taar. Cirina, soanten halimpu, resep dangdos/ngageulis.
Turun karanjang = Pameget nu dikantun maot ku istrina, nikah ka adi-beuteung.
Umuran/Meunang umur = Yuswa 40 taun.
B. Sesebatan ka jalma, ngbantun tina Rupa / Wanda / Kaayanana
Bahenol = Istri geulis taya cawadeun, pikabitaeun pameget.
Bayuhyuh = Pameget nu lintuh.
Bedegul = Salirana besekel.
Beke = Salirana pendek.
Belekesenteng = Buta-tulang,buta-daging,meujeuhna gede wawanen, rosa tanaga.
Bengo = Baham/sungutna menyon ka kiwa/tengen. Biasana akibat struk, incok, atanapi nyabut waos lalawora.
Beuteung-anjingeun = Patuanganana neros ageung ka luhur, sapertos beuteung anjing.
Beuteung-bangkongeun = Patuanganana rubak ka gigir.
Bewosan = Pipi sareng gado pinuh ku bulu.
Bolotot = Siki socana ageung.
Bongkok = Tonggongna bengkung.
Bongkok meongeun = Bengkung palebah punduk.
Bongsor/Haloghog = Enggal ngaageungan.
Bopeng = Dina damis (pipi) seueur ceda tilas cacar.
Bucitreuk = Patuangan ageung/nonjol, salira alit.
Budayut = Bureuteu, patuangan nyemplu.
Bule = Kulit sareng rambutna sapertos Walanda.
Buntet = Salirana pondok.
Butak = Rambutna teu janten/murudul/dugul semu herang.
Cadel = Nyariosna teu bentes, lebah nyebat huruf R.
Cameuh = Gadona nyueut ka payun.
Candael = Nyariosna anca.
Ceking = Salirana alit/begang.
Cenggehan = Remana aya nu dempet.
Ciriwis = Rambutna carang.
Deleng = Panempona/panenjona = menceng.
Denggol = Tarangna nongnong.
Deog-pengkor = Ngagepor teu tiasa mapah.
Egang = Mapahna ngageang, sapertos murangkalih nu nembe disepitan.
Galing = Rambutna merengkel.
Galing muntang = Galing tungtungna wungkul.
Gehgeran = Sok nurutan cariosan atanapi gerak batur/latah.
Gembil = Pipina lintuh.
Gembru = Budak lintuh.
Geulis = Istri nu gaduh rupa sae.
Gondok = Panyawat dina tenggek (beuheung), ngagayot.
Gondok-laki = Bagian tulang genggerong/tikoro nu nonjol(dina tenggek pameget).
Harigu-manukkeun = Dadana rada nonjol ka payun.
Hideung santen = Semu hideung, mulus sareng beresih.
Hulu-peutieun = Sirahna alit, teu saimbang sareng salirana.
Jebleh = Lambey handap ngampleh.
Jebrag = Dampal sampeanana meber ka gigir.
Jeding = Lambey luhur nyudik.
Kampeng = Sirahna penjol.
Karehol = Waosna teu beres.
Kasep = Pameget nu gaduh rupa sae.
Kempot = Damis/Pipina ngalewo upami imut, sapertos liang undur-undur. bIasana istri. Sok nambihan geulis.
Kempreng = Pananganana paeh teu tiasa diobahkeun.
Keueuseun = Waos murangkalih aya teu janten sapalih, dugi ka siga ompong.
Kiting = Rema/Ramona merengkel.
Kutet = Salirana alit wae.
Lenggik = Istri nu cangkengna alit.
Lolong = Socana teu ningal, duanana.
Mikung = Cepilna alit, daun cepilna kewung(semu murungkut).
Montok = Awakna seseg tur sehat.
Ngohngor = Waosna nonjol ka payun.
Ompong = Waosna parunglak.
Pacer = Bitisna alit.
Peang = Salirana kuru, teu saimbang sareng jangkungna.
Pecak = Socana teu ningal sapalih (sabeulah).
Pengkeh = Sampeanana leter 0.
Pincang = Sampeanana alit sapalih.
Pinced = Tetepokanana(Sakedik luhureun pingping/caket birit), luhur sapalih.
Pireu = Teu tiasa nyarios.
Ponges = Pangambungna cacad.
Rebing = Daun cepil (ceuli)na rubak.
Rejeh = Biwir socana beureum tur caian wae.
Rijep = Socana sering ngerejep/keukeureuceuman.
Saliwang/liwar = Sering lepat nguping/sapertos nu kirang dangu.
Sengkek = Tenggekna/beuheungna pondok.
Sipit = Siki socana ali (sapertos soca Cina/Jepang).
Songgeng = Bujurna nonjol ka pengker, cangkengna dengkeng.
Sumbiar = Upami ningal, teu anteb, kamana karep.
Suwing = Lambey luhurna mung sapalih/cacad. T
aktak-korangeun = Taktakna mudun (teu simetris), sapertos korang.
Teklok = Sampeanana leter x .
Telebeng = Bebeng/rada lintuh, teu aya cangkengan.
Tonggar = Waos luhur nonjol ka payun.
Torek = Teu tiasa ngadangu/nguping.
C. Sesebatan ka jalma, ngabantun tina patokan tingkah laku
Alus kukulinciranana = Gede milik.
Anak - emas = Kakasih, anu leuwih dipikanyaah.
Anak bulu taneuh = Turunan bapa tani.
Batur - sakasur = Pamajikan atawa salaki.
Belang - bayah = Hade diluarna dijero na mah goreng.
Buntut - kasiran = Medit
Ceplak-pahang = Ngomongna matak pinyerieun batur.
Ceuli – lentaheun = Teu kaop ngadenge sora tuluy hudang.
Dulang - tinande = Pasrah ka salaki.
Geledug – ces = Jangjina mulek tapi teu tulus.
Gereges -gedebug = Gurunggusuh,
Lesang - kuras = teu bisa nyekel/nyimpen rejeki.
Getas - harupateun = Mutuskeun hiji perkara tara dipikir heula.
Goong nabeh karia = Ngagulkeun sorangan.
Goreng - sungut = Resep ngagorengkeun batur.
Hampang - birit = Daekan.
Hampang - leungeun = Sok resep tunggal-teunggeul.
Handap asor, handap lanyap = Sopan santun.
Hejo - tihang = Anu resep pundah-pindah imah/digawe.
Heuras - genggerong/beuheung = Embung eleh.
Kokolot - begog = Nyanyahoanan/budak anu pipilueun kana urusan kolot.
Kokoro -nyoso = Malarat
Kurang- saeundan = Kurang ingetan.
Leutik - hate = Kurang wawanen/kawani.
Maliding sanak = Pilih kasih.
Murag bulu bitis = Tu beutah cicing di imah.
Neneh - bonteng = Ngan nyaah kana dahareunana wungkul.
Paeh - baseuh = Paeh ditandasa.
Panjang - leungeun = Resep ceceremed,
Pareumeun - obor = Teu apal jujutan turunan.
Peujit - koreseun = Teu kuat nahan lapar.
Siksik - melik = Belikan.
Tiis - pikir = Tenang hate.
*)Kat. Kawilang = kaitung;
Yuswa = umur;
Kokolot begog = nyanyahoanan;
guminter = asa pangpinter.
Sumber : http://sundakuring.weebly.com
Foto Sejarah Cianjur
,
Jawabarat
,
Jejak Sejarah
,
{[['']]}
Label:
Foto Sejarah Cianjur
,
Jawabarat
,
Jejak Sejarah
Stellar Phoenix Windows Data Recovery 5.0
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
12:29 AM
with
No comments
Stellar Phoenix Partition Recovery - Professional
Recover your Lost, Formatted or Deleted partitions on Windows host
- Recover complete data from a formatted partition
- Raw recovery from hard drives with severe curruption
- Start up DVD to recover data from unbootable systems
- Cloning & Imaging of media with bad sectors
- Data recovery from all inaccessible optical storage media
File Size:3.20 MB
*
Free Download offers free evaluation of the software & preview all
the lost files and folder that can be recovered by the software.
Download
,
Software
,
Untuk PC
,
{[['']]}
Wayang Golek Di Nusantara
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
12:19 PM
with
No comments
Arti kata
Golek memiliki sifat pejal. Penikmatan bentuknya sama seperti menikmati arca, boneka, atau benda-benda trimatra lainnya. Kesempurnaan bentuknya bisa dicerap baik dari arah depan, samping, maupun belakang. Ia merupakan boneka tiruan rupa manusia (ikonografi), dibuat dari bahan kayu bulat-torak untuk mempertunjukkan sebuah lakon. Dalam pementasan cerita, ia “dihidupkan” oleh seorang dalang yang sekaligus berperan sebagai sutradara dan pemberi watak atau ekspresi tokoh golek melalui sabetan (gerak) dan antawacana (dialog).
Golek memiliki sifat pejal. Penikmatan bentuknya sama seperti menikmati arca, boneka, atau benda-benda trimatra lainnya. Kesempurnaan bentuknya bisa dicerap baik dari arah depan, samping, maupun belakang. Ia merupakan boneka tiruan rupa manusia (ikonografi), dibuat dari bahan kayu bulat-torak untuk mempertunjukkan sebuah lakon. Dalam pementasan cerita, ia “dihidupkan” oleh seorang dalang yang sekaligus berperan sebagai sutradara dan pemberi watak atau ekspresi tokoh golek melalui sabetan (gerak) dan antawacana (dialog).
Asal Mula
Disebutkan oleh sejumlah penulis bahwa menjelang akhir sebuah pertunjukan wayang kulit, dalang selalu menampilkan tarian dengan menggunakan boneka golek. Kata golek dalam bahasa Jawa berarti mencari (nggoleki). Penampilan golek ini mengandung maksud agar setelah penonton usai mengikuti lakon dari awal hingga akhir, mereka bisa nggoleki atau mencari inti pelajaran yang bermanfaat, yang tersirat dalam pertunjukan (Amir, 1991; Wibisono, 1974). Bentuk boneka golek yang digunakan adalah golek wanita, tetapi tidak diambil dari salah satu tokoh yang ada dalam cerita wayang golek (Yudoseputro, 1994).
Menurut pendapat Elan (1994) dan Yudoseputro (1994), pada pertumbuhan awal, bagian lengan wayang kulit masih menempel pada tubuhnya. Model wayang kulit tersebut masih bisa dilihat pada jenis wayang yang menggambarkan tokoh dewa. Hingga masa kerajaan Demak, keadaan itu masih terus dipertahankan.
Beberapa catatan, khususnya tentang wayang golek, yang bisa dikemukakan di sini, antara lain yang ditulis oleh Salmun (1986).
Disebutkan oleh sejumlah penulis bahwa menjelang akhir sebuah pertunjukan wayang kulit, dalang selalu menampilkan tarian dengan menggunakan boneka golek. Kata golek dalam bahasa Jawa berarti mencari (nggoleki). Penampilan golek ini mengandung maksud agar setelah penonton usai mengikuti lakon dari awal hingga akhir, mereka bisa nggoleki atau mencari inti pelajaran yang bermanfaat, yang tersirat dalam pertunjukan (Amir, 1991; Wibisono, 1974). Bentuk boneka golek yang digunakan adalah golek wanita, tetapi tidak diambil dari salah satu tokoh yang ada dalam cerita wayang golek (Yudoseputro, 1994).
Menurut pendapat Elan (1994) dan Yudoseputro (1994), pada pertumbuhan awal, bagian lengan wayang kulit masih menempel pada tubuhnya. Model wayang kulit tersebut masih bisa dilihat pada jenis wayang yang menggambarkan tokoh dewa. Hingga masa kerajaan Demak, keadaan itu masih terus dipertahankan.
Beberapa catatan, khususnya tentang wayang golek, yang bisa dikemukakan di sini, antara lain yang ditulis oleh Salmun (1986).
“Pada tahun 1583 M Sunan Kudus mendapat akal sehingga wayang dapat dimainkan pada siang hari yaitu dengan cara membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek. Dengan adanya wayang golek itulah, maka wayang dapat dimainkan pada siang hari.”
Sejalan dengan penjelasan Salmun, Ismunandar (1988) mengemukakan:
“Pada awal abad ke-16, Kudus membuat bangun „wayang purwo‟ baru, mengambil cerita-cerita Menak (berjumlah tujuh puluh buah), diiringi gamelan Salendro, pertunjukkan diadakan di waktu siang, tidak memakai kelir, hanya memakai „plangkan‟ (tempat meletakkan wayang golek yang terbuat dari kayu). Bentuk wayang seperti „boneka atau golek‟ tetapi menyerupai „wayang‟, hidungnya tajam, tangannya kecil-kecil panjang. Jadi merupakan campuran atau kombinasi wayang kulit dan arca. Wayang ini disebut “wayang golek”
Kesimpulan
Kedua penjelasan tersebut menunjukkan bahwa golek yang pertama dipertunjukkan secara utuh, lengkap dengan tokoh-tokoh dan ceritanya, tidak sebagai golek pelengkap pertunjukkan wayang kulit, adalah golek dengan cerita Raja Menak. Awal abad ke-19, di pusat kerajaan di Jawa Tengah, bangkit gairah mengembangkan bidang sastra. Di samping muncul karya-karya sastra yang baru, seni pedalangan menjadi bidang garapan dalang-dalang istana. Pada masa ini, lahir pula pembakuan susunan pergelaran, bahasa pedalangan, lakon-lakon, gending pengiring, serta aspek-aspek wayang lainnya (Wibisono, 1974).
Kedua penjelasan tersebut menunjukkan bahwa golek yang pertama dipertunjukkan secara utuh, lengkap dengan tokoh-tokoh dan ceritanya, tidak sebagai golek pelengkap pertunjukkan wayang kulit, adalah golek dengan cerita Raja Menak. Awal abad ke-19, di pusat kerajaan di Jawa Tengah, bangkit gairah mengembangkan bidang sastra. Di samping muncul karya-karya sastra yang baru, seni pedalangan menjadi bidang garapan dalang-dalang istana. Pada masa ini, lahir pula pembakuan susunan pergelaran, bahasa pedalangan, lakon-lakon, gending pengiring, serta aspek-aspek wayang lainnya (Wibisono, 1974).
Wayang Golek Purwa Sunda baru dikenal di Priangan pada awal abad ke XIX
dengan dibukanya Jalan Raya Daendels yang membuka isolasi daerah
Priangan yang bergunung-gunung dengan daerah pantai Jawa-Barat. Jalan
Raya Daendels menghubungkan kota Batavia (Jakarta) dengan
Bogor-Sukabumi-Cianjur dan Bandung, selain juga kota
Cirebon-Majalengka-Sumedang dan Bandung. Kesultanan Cirebon dengan
Kraton Kasepuhan dan Kanoman, banyak pengaruhnya dalam pengembangan
kebudayaan di Priangan dengan adanya hubungan jalan raya Daendels
tersebut.
Kota Bandung yang dikenal kemudian menjadi pusat pemerintahan Propinsi Jawa Barat, menjadi salah satu pusat seni budaya Sunda, khususnya dibawah pimpinan para bupati keluarga Wiranata Kusumah yang terkenal. Menurut tokoh pedalangan Sunda yang buku karangannya menjadi buku Babon para dalang di Pasundan, yaitu Mas Adung Salmun, menyatakan bahwa penciptaan Wayang Golek Purwa Sunda diprakarsai oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah ke IV pada tahun 1940 dengan juru ukir wayang. golek bernama Darman berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Koleksi Museum Wayang karya Bpk. Prawiradilaga.
Kota Bandung yang dikenal kemudian menjadi pusat pemerintahan Propinsi Jawa Barat, menjadi salah satu pusat seni budaya Sunda, khususnya dibawah pimpinan para bupati keluarga Wiranata Kusumah yang terkenal. Menurut tokoh pedalangan Sunda yang buku karangannya menjadi buku Babon para dalang di Pasundan, yaitu Mas Adung Salmun, menyatakan bahwa penciptaan Wayang Golek Purwa Sunda diprakarsai oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah ke IV pada tahun 1940 dengan juru ukir wayang. golek bernama Darman berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Koleksi Museum Wayang karya Bpk. Prawiradilaga.
Golek, sebutan khusus untuk menyebut wayang golek purwa sesuai dengan
yang biasa disebut oleh kebanyakan masyarakat Sunda, adalah wayang
dengan latar belakang cerita Mahabharata dan Ramayana. Jenis wayang ini
merupakan hasil perkembangan atau paduan antara gagasan Dalem Karang
Anyar, pada akhir masa jabatannya sebagai Bupati Kabupaten Bandung tahun
1840-an, dengan Ki Darman seorang juru wayang kulit asal Tegal yang
tinggal di Cibiru, Kabupaten Bandung. Dalem Karang Anyar ( Wiranata
Koesoemah III ) berperan menyempurnakan raut golek awal itu hingga
bulat-torak bentuk agak besar dengan bahan kayu lame atau jinjing yang
di tatah lebih rumit dan lebih halus.
Keturunan Ki Darman sampai kini masih terus menghidupkan kegiatan pembuatan golek. Tersebarnya pusat kegiatan pembuatan golek di kawasan Jawa Barat, seperti di Jelekong, Ciparay, Salacau, Cimareme, Sukabumi, Bogor, Karawang, Indramayu, Cirebon, Garut, Ciamis, dan di tempat lainnya, ditunjang oleh keturunan dan murid-murid Ki Darman yang mengembangkan kegiatannya di luar Cibiru.
Keturunan Ki Darman sampai kini masih terus menghidupkan kegiatan pembuatan golek. Tersebarnya pusat kegiatan pembuatan golek di kawasan Jawa Barat, seperti di Jelekong, Ciparay, Salacau, Cimareme, Sukabumi, Bogor, Karawang, Indramayu, Cirebon, Garut, Ciamis, dan di tempat lainnya, ditunjang oleh keturunan dan murid-murid Ki Darman yang mengembangkan kegiatannya di luar Cibiru.
Wayang
Golek Lenong Betawi ini hasil pemikiran dan karya Tizar Purbaya pada
tahun 2001. hal ini di ciptakan untuk menambah hasil karya seni
khususnya kesenian Betawi, diharapkan mendapat perhatian masyarakat luas
dan menjadi tuan rumah di tempatnya sendiri (Provinsi DKI Jakarta).
Wayang Golek Lenong Betawi merupakan gambaran masyarakat Betawi pada
masa tempo dulu dan pernah di pentaskan di beberapa tempat. Tizar
Purbaya selain Dalang Wayang Golek Sunda juga berprofesi sebagai
pengrajin wayang.
Di awal abad ke 16 pada zaman Panembahan Ratu (1540-1650) (cicit Sunan Gunung Jati) telah muncul sebuah bentuk wayang yaitu WAYANG GOLEK PAPAK (Cepak) yang membawakan lakon Wong Agung Menak (Amir Hamzah). Sedangkan pada zaman PANGERAN GIRILAYA (1650-1662) yaitu seorang canggah Sunan Gunung Jati, pagelaran wayang papak dilengkapi dengan kisah-kisah yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Mula-mula bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Namun lambat laun di daerah yang penduduknya berbahasa Sunda, maka para dalang menyesuaikan diri dengan keadaan setempat (menggunakan bahasa Sunda), kecuali dalam beberapa hal seperti, buka panggung/murwa, kakawen dll, sehingga pagelaran wayang dapat dipahami oleh masyarakat setempat.
Wayang
ini diawali oleh dalang Parta Suwanda dari Bandung pada tahun 1960
menciptakan ”Wayang Golek Modern” Perubahan teknik pementasan dengan
pemakaian effek tata cahaya dan bunyi suara untuk adegan-adegan yang
memikat perhatian penonton. Dalam Pembukaan Seminar Perdalangan Jawa
Barat I, tanggal 26 s.d 29.Pebruari.1964 di Bandung telah diwujudkan
bentuk ”Wayang Golek Baru” yang disesuaikan dengan perkembangan Jaman.
Pada saat itu pula R.A. Darya mengajukan naskah ceritera ” Sulanjana”
dan dipentaskan untuk mencari bentuk baru pemanggungan wayang di Jawa
Barat. Atas keputusan para Pengurus Yayasan Pedalangan Jawa Barat
pergelaran wayang baru mendapatkan sebutan ” Wayang Pakuan ”. Wayang
Pakuan dipentaskan pertama kali oleh dalang Elan Surawisastra pada bulan
Nopember 1964 di Bandung. Wayang Golek Pakuan mementaskan
ceritera-ceritera Babat Pajajaran, Penyebaran agama Islam di Jawa Barat,
dan ceritera datangnya Bangsa Asing di Indonesia.
Wayang Golek Mini Bandung
Wayang Golek Purwa Sunda baru dikenal di Priangan pada awal abad ke XIX
dengan dibukanya Jalan Raya Daendels yang membuka isolasi daerah
Priangan yang bergunung-gunung dengan daerah pantai Jawa-Barat. Jalan
Raya Daendels menghubungkan kota Batavia (Jakarta) dengan
Bogor-Sukabumi-Cianjur dan Bandung, selain juga kota
Cirebonn-Majalengka-Sumedang dan Bandung. Kesultanan Cirebon dengan
Kraton Kasepuhan dan Kanoman, banyak pengaruhnya dalam pengembangan
kebudayaan di Priangan dengan adanya hubungan jalan raya Daendels
tersebut. Kota Bandung yang dikenal kemudian menjadi pusat pemerintahan
Propinsi Jawa Barat, menjadi salah satu pusat seni budaya Sunda,
khususnya dibawah pimpinan para bupati keluarga Wiranata Kusumah yang
terkenal. Menurut tokoh pedalangan Sunda yang buku karangannya mennjadi
buku Babon para dalang di Pasundan, yaitu Mas Adung Salmun, menyatakan
bahwa penciptaan Wayang Golek Purwa Sunda diprakarsai oleh Bupati
Bandung, Wiranatakusumah ke IV pada tahun 1940 dengan juru ukir wayang.
golek bernama Darman berasal dari Tegal, Jawa Tengah.
bentuknya seperti wayang golek pada umumnya namun tidak menggunakan penyangga pada tangannya... cara memainkannya pun berbeda..
Cara pementasannya sangat khusus. Wayang ini digantungkan pada empat utas kawat yang direntangkan melintasi panggung. Yang mempertunjukkannya adalah dua orang dalang yang masing-masing berada di sisi panggung
Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com/
Jawabarat
,
Jejak Sejarah
,
Wisata Budaya
,
Wisata Minat Khusus
,
Wisata Sejarah
,
{[['']]}
Label:
Jawabarat
,
Jejak Sejarah
,
Wisata Budaya
,
Wisata Minat Khusus
,
Wisata Sejarah
Rajah Sunda (Seni Papantunan)
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
12:05 PM
with
No comments
Oleh: Anggi Jayadi
A. PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN
Dalam
KBBI rajah merupakan suratan (gambaran, tanda, dsb) yang dipakai
sebagai azimat (untuk penolak penyakit dsb). Rajah juga temasuk dalam
kategori/varian dari mantra. Sedangkan mantra , dalam khazanah sastra
Sunda berarti jenis puisi yang isinya semacam jampi-jampi atau kata-kata
yang bermakna magis; isinya dapat mengandung bujukan, kutukan, atau
tantangan yang ditujukan kepada lawannya; untaian kata-kata yang tidak
jelas maknanya, biasa diucapkan oleh dukun atau pawang bila menghadapi
sesuatu keperluan (Mustappa, 1995: 64).
Sebagaimana pendapat Rusyana (1970) membagi mantra berdasarkan tujuannya menjadi 7 bagian, yaitu jampe 'jampi', asihan 'pekasih', singlar 'pengusir', jangjawokan 'jampi', rajah 'kata-kata pembuka 'jampi', ajian 'ajian/jampi ajian kekuatan', dan pelet 'guna-guna'.
Rajah sunda lebih dikenal dan erat kaitannya dengan seni “papantunan”. Pantun dalam bahasa Sunda berarti balada, atau ballad yakni nyanyian atau syair berlagu yang besifat epis. Hal
ini tidak dipisahkan menjadi sendiri-sendiri antara rajah dan
Papantunan, justru menjadi salah satu kesatuan yang utuh. Dalam seni
papantunan Rajah dibagi menjadi dua bagian yaitu sebagai Rajah bubuka
(pembuka) dan Rajah penutup (pamunah). Dilihat dalam Papantunan Sunda,
Rajah memang belum ditemukan fungsinya secara utuh, seperti yang di
ungkap Ajip rosidi dalam bukunya Beber layar, “nya
eta sababna nu matak nepi ka kiwari ta acan aya nu mesek fungsi rajah,
naon tali tumalina jeung kapercayaan karuhun urang, naon fungsi pantun
dina hirup kumbuh sunda buhun”(1989 : 58). Tapi kalau dilihat dari
bait-bait dan kata yang tersurat di dalamnnya, mungkin saja rajah di
maksudkan sebagai doa yang di dalamnnya terdapat beberapa cirri
kehidupan, dan penghormatan orang Sunda jaman dahulu tehadap suatu
kekuatan yang dianggap lebih besar darinya (gaib).
Memang
kebanyakan “Papantunan” atau cerita Pantun itu selalu di awali dan di
akhiri dengan membaca Rajah. Jikalau di bandingkan jaman sekarang
mungkin lebih tegolong sebagai do’a pembuka dan do’a penutup. “umumna
rangkai carita pantun the angger bae kitu-kitu keneh dimimitian ku
rajah pembuka……………………………….sabada lalkon tamat nya ditutup ku rajah
pamunah” (Rosidi, 2009 : 32).
Ada pula yang berpendapat bahwa Rajah Sunda adalah yang terdapat dalam Mamaos cianjuran. Rajah Sunda (Mamaos cianjuran)
adalah do’a “kolot baheula” orang tua jaman dulu yang menggunakan
kacapi indung. rajah ini hampir sama dengan kacapi suling. yang
membedakannya adalah, jika kacapi suling itu kebanyakan bersangkutan
dengan cinta atau hal-hal lain diluar do’a. sedangkan rajah sunda (Mamaos) hanyalah cuplikan do’a berbahasa sunda.
Ada
dua bentuk rajah yang dikenal di masyarakat umum pada masa ini, ada
rajah yang bebentuk lisan, yang merupakan sutu varian dari mantra, ada
pula yang bebentuk tulisan atau yang sering disebut sebagai azimat yang
terdapat pada sebuah benda, kain, atau tato (di luar sunda) dalam tubuh
yang di anggap bisa memberikan manfaat (sebagai penolak bala/kejahatan).
Dalam KBBI Azimat adalah suatu barang (tulisan) yang dianggap mempunyai
kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal
penyakit, obat dan sebagainya.
Namun
Rajah yang tedapat dalam tulisan di khalayak masyarakat banyak sekarang
ini, bertuliskan dari hurup arab. Entah bagaimana ceritanya dari
sebagian orang menyebut hal yang sepeti ini juga disebut rajah. Hal ini
di mungkinkan juga dari pengaruh islam yang masuk di tatar sunda, dan
juga pengaruh kebudayaan lain, sehingga pemahaman dan arti nya pun
menjadi meluas.
B. GAMBARAN DAN ESENSI RAJAH
Berbicara
masalah definisi, bentuk, bagian, rupa dan pemahaman masalah Rajah,
terutama yang berada di kalangan masyarakat Sunda pada saat ini, memang
tidak diketahui secara begitu mendalam. Hal ini dikarenakan kesulitan
sumber, fakta serta data-data yang otentik yang bisa menguatkan apa,
mengapa, dan bagaimana Rajah yang di maksud secara utuh.
Di bawah ini adalah sebuah contoh rajah, yang di ambil dari Papantunan kang Ibing sebagai pembuka cerita :
Bull…kukus ngelun ka manggung…
ka manggung neda papayung2x….
ka batara neda suka ka pohaci neda suci….
Pun paralun ka sang rumuhun ka batara-kabatari,
kabatara nagaraja ka batari nagasugih,
batara pang raksa jagat batari pang hurip bumi…
ampun paralun………….
pun paralun kaseuneu panyeukeut deuleu,
ka bayu pangusap sukma ka cai panghurip diri,
ka lembah panghudang rasa, pijamaeun da ari mulang
pun paralun ka pohaci dangdayang sari ka ambu sari pangasih,
ka ambu sari ning bumi, ka ambu sari ning hurip, ampun paralun
ahung…ahung 77x
ahung…ahung…. ahung…ahung…ahung
buru limana putih lemah dempak lemah dampit
lemah cikal lemah bakal lemah panginungan rasa
nu nyanggal sareng ka kujang
ahung…ahung…. ahung…ahung…ahung
ahungna ka buyut kukung buyut kukung ulang alung
di tengah camentrang herang,
mata wene beureum koneng lang sinulang nyerengkebeng
asal nyusup buluk gulung asal nu ngabak pakuan
ahung..ampun paralun..
hung ahung paralun ka gunung nu bakal ka catur
ka lembah bakal ka saba ka tangkal bakal ka pahpral ka cai baris ka sungsi..
ci haliwung nu nyang ngidul cisadane nu nya ngaler
ci hanjuang nu nyangetan ci peucang kiruh ti girang,
ci kapundung ulah pundung lulurung tujuh ngabandung ka dalapan teu di sorang..
ahung…ahung…ahung….ahung…ahung..
buru lingga asta bahe sajeroning rajah,
rajah kenang rajah kening punah ku rajah pamunah,
bumi rucita, jagat rucita, jaya sang kalawisesa,
neukteuk leunjeur nilas adegan,
Kabeh siluman sileman jayana mangka sing seda,
sedana beunang ku aing lohp…
aing nyaho ratu sia nu calik di gunung bukit,
gunung bukit buligir putih, palias punah ku rajah pamunah,
amit-amit neda widi seja heureuy papantunan bisi hariring teu uni,
bisi haleuang heunteu merenah,
ulah ngait kana fikir, ulah rengat kana manah,
tungul sirungan catang akaran muga bangblas ku hampura…
amit-amit neda wida amitan kanu tos mangkat
pindah alam ku wayahna lumentang di alam panjang
poe padang nagara tunjung sampurna.
Pun paralun nu mapadane, ngusik-ngusik nu keur calik,
ngeubah-ngeubah nu keur tapa, bisi aya nu kasebit nami keur alit,
bisi aya nu kasebat jenengan keur budak,
neda agung nya paralun menta jembar hampurana,
lain diri ku mawani, teu wani bisi kabadi,
lain diri kumawantun teu wantun bisi ka siku, palias niat nyacampah,…
Amit-amit neda widi ka mbah jambrong nu nga geugeuh bandung kulon,
ka mbah dipa nu ngageugeuh bandung wetan,
ka mbah naya genggong nu ngageugeuh bandung kaler,
ka mbah raksa pujil nu ngageugeuh bandung kidul…
Amit-amit muga di raksa di riksa mugi di aping di jarring,
anu hiri anu dengki anu jail kaniayaya,
pang nyingkirkeun pangnyingkahkeun pangepeskeun…
Rajah kula rajah pamunah, jadi haseup anu ngelun,
ngelunna ngelun ka manggung, ka manggung ka mega mendung,
run turun ngajadi hujan, hujan poyan sirantangan,
nyinglar halangan harungan,
balungbang maka balungbang ngebat jalan nga bulungbung bray nyingray lalangse puri hapsari,
nyingray di unday pohaci…………..
Secara
garis besar Rajah memang termasuk varian Mantra, namun kenapa di
kalangan masyarakat sunda Rajah identik dengan Papapantun. Begitupun
dengan aturan-aturan yang tedapat didalamnya, tidak ada peraturan harus
bgaimana seperti apa dan penggunaan dalam setiap huruf vokalnya
bagaimana, sepeti yang terdapat pada pupuh.
Hal ini tidak diketahui secara jelas tentng peraturan-peraturan yang
dimilikinya. Karena mungkin pada jaman dahulu terdapat suatu missing-link
tentang hal ini, atau mungkin saja sengaja dirahasiakan sebagai
pengetahun yang sangat tetutup. Sepeti yang di ungkap Ajip Rosidi dalam
Beber Layar, “teu acan aya ne mesek kmh susunan kapecayaan Sunda buhun nu kiwari masih aya titinggalna dina kasusastraan buhun (pantun) (1989 : 58).
Namun
walaupun demikian adanya rajah dalam seni Papantunan pun masih sakral
dan penuh dengan mistis. Ada banyak lakon dalam seni Papantunan yang
didalamnnya terdapat Rajah, yaitu : “Panggung Karaton, Demung Kalagan, Mundinglaya di Kusumah, Lutung Leutik, Kembang Penyarikan, Ciung Wanara dan Laiinya” dan setiap cerita Papantunan Pasti terdapat Rajah.
Rajah pun berbeda-beda tergantung orang yang memantunkannya atau tempat
asal di dapatkannya dan dari siapa yang mengajarkannya.
Misalkan Pantun Lutung Leutik yang dibawakan oleh Ki kamal dari kuningan (Depdikbud,
1987). Walaupun lakon tersebut sudah dibukukan, namun akan beda halnya
jika dibawakan oleh pemantun dari Cianjur atau Cirebon, kecuali satu
perguruan atau pernah berguru kepada beliau. “cara Rajah, bedana panataan teh heunteu gumantung kana lalakona, tapi gumantung kana wewengkon jeung saha juru pantuna”(Rosidi, 2009 : 37).
PENUTUP
Diatas
telah dikupas, bahwa Esensi dan makna dari Rajah bisa di hipotesiskan
sebagai do’a yang masih tergolong dalam varian Mantra. Karena Zedgeist jiwa
jaman atau keadaan jaman pada masa itu yang belum tersentuh dengn
agama-agama yang seperti sekarang ini. Diartikan secara sempit masih
banyak yang tergolong dalam Animisme dan dinamisme. Namun di pandang
secara kesusastraan dan kebudayaan (creative minority) ini adalah salah satu warisan yang meski kita gali terus sebagai sumber, untuk mengetahui hiruk pikuk keadaan pada masa itu.
Terakhir
dari tulisan ini mudah-mudahan dapat menambah sedikit pengetahuan bagi
penulis, pembaca dan bagi yang mengetahui. Kalaupun banyak kesalahan
mohon koreksi nya sebagai pengingat, kritik, dan saran bagi penulis yang
masih dalam tahap belajar.
Hapunteun anu kasuhun, Hampura anu kateda, luhur baur bahe carek neda jembar dihampura…..pun….ampun ampun…
DAFTAR PUSTAKA
Rusyana, Yus. (1970) . Bagbagan Puisi Mantra Sunda . Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda
Ki Kamal. (1987) . Carita Lutung Luetik, Pantun Sunda. Jakarta : Depatemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Dareah
Rosidi, Ajip. (1989) . Beber layar. Jakarta : PT Giri Mukti Pasaka
Danandjaja, James. (1994) . Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Mustappa, Abdullah. (1995) .Kamus Sastra. Bandung: PT Granesia
Suroso, Imam. (1999). "Santet, Magis atau Psikis?", dalam Menguak Rahasia Supranatural.
Solo: CV. Aneka.
Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com/
Berkaitan dengan Dalem Cikundul
,
Foto Sejarah Cianjur
,
Jejak Sejarah
,
{[['']]}