LATEST POSTS:
Recent Posts

SEJARAH KERAJAAN / KESULTANAN JAMBI

SEJARAH KERAJAAN/KESULTANAN JAMBI

Sejarah
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.

Dalam sejarahnya, negeri ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.

Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan Swarnabhumi di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M.

Sebelum bercerita lebih banyak mengenai Aditywarman, ada baiknya tulisan ini diawali dengan pemaparan sejarah leluhur Adityawarman di tanah Melayu ini. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.

Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu, namanya adalah Dharmasraya. Sayang sekali, hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak

Menjelang akhir abad ke-13, Kartanegara mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M.

Pada tahun 1286 M, Kartanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kartanegara ini. Sebagai tanda terimakasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Aditywarman. Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan Jayakatwang dan pasukan Kubilai Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul Kerajaan Majapahit dengan raja pertama Raden Wijaya. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Ketika Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara.

Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Aditywarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Aditywarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.

Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau di perairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini.

Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.


Sejarah kerajaan melayu jambi oleh pengaruh islam.

Pada permulaan abad ke-8 salah seorang raja Melayu Jambi (Sri Maharaja Srindrawarman) menganut agama Islam. Namun, antara permulaan abad ke-8 dan permulaan abad ke-12 terjadi masa vacum dakwah Islam di Jambi. Agama Islam mazhab Syafi’i baru mulai berkembang di Jambi, setelah daerah ini takluk di bawah kekuasaan Samudra Pasai (1285—1522). Yang memberi corak khusus dan yang menentukan jalannya perkembangan serta yang nyata-nyata mengubah kebudayaan Melayu Jambi adalah pengaruh-pengaruh dari agama Islam. Pengaruh ini menghasilkan ciptaan-ciptaan yang memberi ciri tertentu kepada kebudayaan Melayu Jambi. Agama Hindu/Budha, yang dalam zaman purba telah menentukan corak dan disebut kebudayaan Melayu Jambi didesak oleh agama Islam. Dalam pembentukan kebudayaan baru, yang tumbuh dan berkembang adalah kebudayaan pengaruh Islam. Pengaruh Islam itu pulalah yang memberikan dan menentukan arah baru serta corak khusus kebudayaan material dan spiritual Melayu Jambi.
Dalam kurun Islam pada abad ke-15 dan 16, pemerintahan kesultaan muncul di Jambi. Di Kesultanan Jambi pada abad ke-20 dan awal abad ke-21, struktur pemerintahannya terdiri atas:
(1) Kuasa Sultan,
(2) Kuasa Patih Dalam,
(3) Kuasa Patih Luar,
(4) Kuasa Batin (Jenang),
(5) Kuasa Tengganai,
(6) Kuasa Dusun (Penghulu).
Sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, daerah Jambi merupakan daerah keresidenan, bagian dari Provinsi Sumatera. Ketika Provinsi Sumatera pecah menjadi Provinsi Sunmatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Keresidenan Jambi yang terdiri dari Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari, dan Kotapraja Jambi masuk Provinsi Sumatera Tengah.
Para penyebar Islam banyak menduduki berbagai Jabatan di kerajaan dan di antaranya ada yang kawin dengan penduduk setempat. Banyak mesjid yang di bangun para penyebar agama Islam. Beberapa elemen kebudayaan lokal bernuansa Islami semakin menyebar. ada Raja dan keluarganya yang di Islamkan, banyak rakyat yang tertarik karena sosialisasi yang menyentuh hati tanpa pembongkaran akar budaya setempat. Fase ini berlangsung pada akhir abad ke 16,17 dan abad ke-18 M, dan awal abad ke 19 M. Ketiga fase ini menurut penulis terjadi dan di alami oleh Jambi.
Salah satu ranah kebudayaan Melayu Jambi yang tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas adalah adat. Adat, baik adat istiadat, adat yang teradat, adat yang diadatkan, dan adat yang sebenarnya adat merupakan pedoman perilaku keseharian masyarakat Melayu Jambi. Untuk menentukan salah atau benar sesuatu perbuatan diteliti (disimak) dari ungkapan-ungkapan dalam pepatah dan petitih serta seloko adat yang ada kaitannya dengan perbuatan atau kejadian tersebut. Contoh ungkapan tersebut, antara lain:
(1) Terpijak benang arang, hitam tapak. Tersuruk di gunung kapur, putih tengkuk.
(2) Sia-sia negeri alah Tateko hutang tumbuh.
(3) Pinjam memulangkan Sumbing menitik Hilang mengganti
Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat merupakan elemen perekat dalam sendi kemasyarakatannya yang memungkinkan masyarakat tumbuh dan berkembang secara serasi dalam suasana kekeluargaan yang harmonis dan dinamis. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem adat memuat komponen hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi, seperti tertuang dalam ungkapan: ”Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.

Kehidupan Sosial Budaya

Beberapa benda arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa, orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius. Ini hanyalah sedikit gambaran mengenai kehidupan di Jambi. Bagaimana sisi sosial budaya masyarakat secara keseluruhan? Sangat sulit untuk menggambarkan secara detil, bagaimana kehidupan sosial budaya ini berlangsung, mengingat data arkeologis yang sangat minim. 
Sumber : http://melayuonline.com/ind/history/dig/288/kerajaan-melayu-jambi
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Jambi
{[['']]}

SEJARAH KERAJAAN BALI

Kerajaan Bali adalah sebuah kerajaan yang terletak di sebuah pulau berukuran kecil yang tak jauh dari Pulau Jawa dan berada di sebelah timur. Kerajaan ini berada di sebuah pulau kecil yang dahulu masih dinamakan dengan Pulau Jawa sehingga bisa dikatakan pulau ini masih dianggap sebagai bagian dari Pulau Jawa.
Kerajaan ini pada umumnya menganut kepercayaan berupa agama Hindu walau pada perkembangannya nanti ternyata tidak hanya agama Hindu yang dominan, tapi juga kepercayaan-kepercayaan seperti animisme dan dinamisme. Ini bisa terjadi karena kentalnya budaya nenek moyang pada saat itu walau kerajaan ini sudah berdiri. Di kerajaan ini pun berkembang agama Buddha dengan cukup baik dan cukup banyak penganutnya.
Bukti adanya kerajaan di pulau kecil yang dahulu juga dinamai Pulau Dewata ini bisa didapatkan dari bukti-bukti sejarah yang ditemukan di pulau ini. Salah satunya adalah sebuah prasasti yang ditemukan di sebuah desa bernama Desa Blanjong Sanur. Prasasti itu menuliskan tahun 836 saka dengan nama-nama rajanya pada saat itu.
Pusat Kerajaan Bali kali pertama ada di Singhamandawa dengan raja pertama kerajaan ini bernama Sri Ugranesa. Menariknya, jika mengacu pada bukti sejarah prasasti, kerajaan ini pernah dikuasai oleh Kerajaan Singasari pada abad ke-10 dan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Walau Pulau Bali terpisah secara geografis dengan Pulau Jawa, hubungan di antara keduanya sangatlah baik, termasuk ketika kerajaan ini berkuasa di Pulau Bali. Hubungan yang dibangun pun sangat baik. Hal ini terbukti ketika pada saat kerajaan ini ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit sehingga sebagian besar masyarakat Kerajaan Bali melarikan diri ke Pulau Jawa, sedangkan sisanya memilih untuk tetap tinggal di Bali.
Kejayaan Kerajaan Bali

Memang sudah menjadi hukum alam bahwa suatu peradaban yang muncul pasti akan mengalami masa kejayaan, masa kemunduran, dan pada akhirnya keruntuhan. Hal ini bisa kita lihat dengan silih bergantinya kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia lewat berbagai macam sumber sejarah. Sama halnya dengan kerajaan ini. Kerajaan Bali pun mengalami masa kejayaan dan masa kemunduran.
Masa kejayaan Kerajaan Bali terjadi pada saat Dharmodayana naik tahta. Pada masa Dharmodaya, kerajaan ini mengalami kejayaan dengan sistem pemerintahan yang semakin jelas daripada sebelumnya. Di sisi lain, kita mengetahui bagaimana akrabnya hubungan Bali dengan Pulau Jawa.
Pada masa Dharmodayana ini, pihak kerajaan memperkuat hubungan tersebut dengan mengawinkan Dharma Udayana dengan Mahendradata, putri dari raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Hal ini akhirnya semakin memperkokoh kedudukan kerajaan di antara Pulau Jawa dan Bali.


Kehidupan Masyarakatnya


a.      Kehidupan Politik
Stuktur birokasi kerajaan Bali berdasarkan pada prasati yang dikeluarkan oleh raja Udayana adalah sebagai berikut.
1)      Raja berperan sebagai kepala pemerintahan, jabatan Raja diwariskan secara turun temurun.
2)      Badan penasihat Raja disebut pekirakiran i jro makabehan yang bertugas memberi nasehat dan pertimbangan kepada Raja dalam pengambilan keputusan penting. Badan ini terdiri dari beberapa senapati dan beberapa pendeta agama Hindu ( dang acarya ) dan Buddha ( dan upadhyaga )
3)      Pegawai Kerajaan membantu raja dalam bidang pemerintahan, penarikan pajak dan administrasi.
b.      Kehidupan Sosial
Pada masa Kerajaan Bali Kuno, struktur masyarakatnya didasarkan pada sistem kasta, sistem hak waris, sistem kesenian, serta agama dan kepercayaan. Ada hal  yang menarik dalam sistem keluarga Bali yang berkaitan dengan pemberian nama anak, misalnya Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut. Pada golongan Brahmana dan Ksatria untuk anak pertama disebut Putu. Pemberian nama tersebut diperkirakan dimulai pada zaman Raja Anak Wungsu dan berkaitan dengan upaya pengendalian jumlah penduduk.
c.       Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat Kerajaan Bali adalah bercocok tanam. Hal tersebut dapat di ketahui dari beberapa prasasti Bali yang menyebutkan sawah, parlak ( sawah kering ), gaja (ladang), kebwan (kebun), dan kasuwakan (pengairan sawah).

d   b. Kehidupan Budaya
Pada prasasti-prasasti sebelum  pemerintahan Raja Anak Wungsu, telah disebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Namun baru pada zaman Raja Anak Wungsu dapat membedakan jenis seni ke dalam dua kelompok besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat yang biasanya berkeliling menghibur rakyat. Berikut jenis-jenis seni yang berkembang pada masa itu :
a)      Patapukan (atapuk/topeng)
b)      Pamukul (amukul/penabuh gamelan)
c)      Abanwal (permainan badut)
d)      Abonjing (bujing musik Angklung)
e)      Bhangin (peniup suling)
                         f)       Perbwayang (permainan wayang)
 Kemunduran Kerajaan Bali

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa adalah sifat alamiah suatu peradaban mengalami pasang surut. Ketika peradaban itu muncul, ia akan mengalami masa kejayaan kemudian mengalami masa kemunduran dan pada akhirnya akan berakhir pada masa kehancurannya.
Pernah pada suatu masa, pihak kerajaan memiliki seorang patih yang kekuatannya sangat luar biasa. Patih itu bernama Kebo Iwa, kekuatannya yang sangat terkenal di seantero Pulau Jawa dan Bali membuat kedudukan kerajaan semakin kuat dan sulit untuk ditaklukkan. Patih Kebo Iwa hidup bersamaan tepat pada masa Kerajaan Majapahit yang kemudian mulai berpikir untuk menaklukkan Bali.
Suatu ketika, Patih Kebo Iwa berhasil dibujuk untuk pergi ke Majapahit sebagai sebuah penghargaan terhadap dirinya oleh Patih Gajah Mada. Hal ini dilakukan karena Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit yang pada saat itu pergi ke Bali untuk menaklukkannya ternyata tidak bisa karena ketangguhan pasukan di bawah pimpinan Patih Kebo Iwa.
Ketika sampai di Pulau Jawa, Patih Kebo Iwa diminta untuk membuat sebuah sumur. Dengan kekuatannya, hal itu tentu menjadi hal yang mudah bagi dirinya. Tetapi, kemudian muslihat pun dilaksanakan. Ketika Patih Kebo Iwa sedang menggali sumur, sumur itu pun ditutup dengan tanah dan batu-batu oleh para tentara Kerajaan Majapahit.
Mereka berniat untuk mengubur hidup-hidup Patih Kebo Iwa di dalam sumur itu. Namun, hal ini ternyata tidak berhasil karena saking kuatnya Patih Kebo Iwa, pasir dan batu-batu yang ditimpakan di atas Patih Kebo Iwa tadi berhasil dilontarkan ke atas. Itu membuktikan betapa kuatnya Patih Kebo Iwa dan tidak dapat dibunuh dengan cara seperti itu.
Pada akhirnya, Patih Kebo Iwa menyerahkan dirinya sendiri kepada Kerajaan Majapahit dan merelakan dirinya untuk dibunuh. Mengetahui hal ini, tentu pihak Kerajaan sangat marah. Kemudian, Patih Gajah Mada mengambil inisiatif berupa sebuah strategi perang untuk pergi ke Bali dengan berpura-pura menyerah dan minta diadakan perundingan di Bali.
Patih Gajah Mada berniat untuk menangkap Raja Bali pada saat itu, yakni Gajah Waktra dengan dalih menyerah dan ingin mengadakan perundingan di Bali. Ia pun berhasil hingga pada saat itulah kerajaan ini resmi runtuh dan berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Setelah ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit, para penduduk Kerajaan Bali pun melarikan diri ke daerah pegunungan, masyarakat Bali Kuno ini sering disebut Bali Aga. Kini, mereka bisa kita temui di daerah Pulau Bali seperti di Desa Tenganan atau mungkin di daerah Tengangan Pengringsingan. Mereka memiliki adat dan pakaian adat sendiri yang khas dan sedikit berbeda dengan pakaian adat Bali pada umumnya.
Beberapa Peninggalan Kerajaan Bali

Sudah menjadi sifat alamiah jika suatu peradaban meninggalkan berbagai macam benda bersejarah. Demikian juga dengan Kerajaan ini. Banyak sekali peninggalan benda bersejarah yang ditinggalkan oleh kerajaan ini, seperti benda-benda berikut ini.
Komplek Candi Gunung Kawi, terletak di Tampaksiring
Prasasti Blanjong, dikeluarkan oleh Sri Kesari
Prasasti-prasasti Raja Jayapangus, Udayana, Jayasakti, dan Anak Wungsu
Seni keraton
Seni rakyat
Memang banyak sekali peninggalan dari kerajaan ini. Tidak bisa dimungkiri, untuk mendapatkan dan mengidentifikasinya cukup sulit mengingat bukti sejarah yang kurang dan sebagian sudah mulai hancur dimakan zaman.
Namun, kita masih bisa mengingatnya dengan berkunjung, melihat berbagai macam peninggalannya tadi, hingga merasakan dan mungkin membayangkan bagaimana kondisi pada saat itu. Tertarik? Silakan langsung berkunjung ke tempat-tempat bersejarah peninggalan Kerajaan Bali.
Ingatlah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu dan ingat dengan sejarahnya, termasuk sejarah Kerajaan Bali. Kita pun bisa mengambil berbagai macam pelajaran dan pengalaman dari sana.

Raja2 Bali sebelum Majapahit yang datanya di dapat berdasarkan prasasti :

1. Çri Keçari Warmad?wa (Saka 835/913M)
2. Çri Ugras?na (Saka 837-864/915-942M)
3. Agni Nripati (Saka 841-875/953-953 M)
4. Taban?ndra Warmad?wa (Saka 877-889/955-967 M)
5. Candrabhaya Singha Warmad?wa (Saka 878-896/956-974M) –> Pendiri Tirta Empul.
6. Jana Sadhu Warmad?wa (Saka 897/975M)
7. Gunapryadharmapatni-Dharmo
dayana Warmad?wa (Saka 910-933/998-1011M)
Memiliki tiga Putra :
a. Airlangga (Kemudian menjadi Raja Kahuripan/Sebelum disebut Kadiri)
b. Marakata
c. Anak Wungsu

8. Çri Adnya Dewi (Saka 933-938/1011-1016M)
9. Marakata Pangkaja Sthana Tunggad?wa (Saka 938-962/1016-1040M)
10. Anak Wungsu (Saka 971-999/1049-1077M)
11. Sakalendu Kirana (Saka 1020-1023/1088-1101M)
12. Suradipa (Saka 1037-1041/1115-1119M)
13. Jaya Çakti (Saka 1055-1072/1133-1150M)
14. Ragajaya (Saka 1077-1092/1155-1170M)
15. Jayapangus (Saka 1099-1103/1177-1181M)
16. Arjaya Deng Jayaketana (Tidak diketemukan tahunnya, namun dari cara penulisan dan isinya diperkirakan antara Jayapangus dengan Ekajayalancana)
17. Ekajayalancana (Saka 1122-1126/1200-1204M)
18. Adhikuntiketana (Saka 1126/1204M)
19. Masula Masuli
20. Pameswara Çri Hyangning Hyang Adhidewalancana (Saka 1182-1208/1260-1286M)

Serangan Prabhu Kerthanegara Raja Singhasari Saka 1208/1286M
Pemerintahan Bali di bawah Singhasari :
1. Kryan Demung Sasabungalan (Saka 1206/1284M)
2. Kebo Parud Makakasir (Saka 1206-1246/1284-1324M)
a. Kedatangan para Arya dan Rohaniwan Kerajaan Singhasari
b. Kedatangan Para Mpu Keturunan Sapta Rsi bersama Bhujangga

Runtuhnya Singhasari, Bali kembali Mandiri :
1. Bethara Çri Maha Guru (Saka 1246/1324M)
2. Çri Walajaya Krethaningrat (Saka 1250-1259/1328-1337M)
3. Asta Sura Ratna Bumi Banten (Saka 1259-1265/1337-1343M)

Serangan Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada, bersama masuknya para Arya :
1. Arya Damar (1343-1345M)
2. Arya Kenceng (1343-1345M)
3. Arya Gajahpara (1343-1345M)

Kemenangan akhirnya diperoleh walau pun dengan berbagai trik dan tipu muslihat sebab kalah sakti oleh orang Bali Aga dan Bali Mula.
Pemerintahan Bali oleh Raja yang ditunjuk oleh Majapahit dan masih berasal dari Bali :
1. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel (Saka 1265-1272/1343-1350M)

Pemerintahan Bali oleh Raja (Adipati/sekarang = Gubernur) yang ditunjuk oleh Majapahit dan masih berasal dari Jawa :
1. Çri Kresna Kapakisan / Adipati Samprangan (Saka 1272-1295/1350-1373M)
Kemudian karena Çri Kresna Kapakisan merasa tidak sanggup memerintah Bali, maka bermaksud ingin meletakkan jabatan dan melapor ke Kota Raja Majapahit.
Akhirnya Gajah Mada mengutus Arya Kepakisan sebagai Patih Agung untuk mendampingi Çri Kresna Kapakisan. Sebab Gajah Mada memahami bahwa rakyat Bali tetap tidak akan mau tunduk kepada Majapahit jika tidak dipimpin oleh bukan orang2 keturunan Bali. Arya Kepakisan adalah keturunan dari Prabu Airlangga (Raja Kahuripan) yang merupakan anak kandung dari Gunapryadharmapatni-Dharmodayana Warmad?wa.

2. Çri Agra Samprangan (Saka 1295/1373M)
3. Çri Smara Kapakisan (Saka 1302-1382/1380-1460M)
4. Dalem Watur Enggong (Saka 1382-1472/1460-1550M)
5. Dalem Bekung (Saka 1472-1502/1550-1580M)
6. Dalem Sagening (Saka 1502-1543/1580-1621M)
7. Dalem Di Made (Saka 1543-1573/1621-1651M)
8. Gusti Anglurah Ketut Karang (Saka 1572-1602/1650-1680M)
9. I Gusti Agung Maruti (Saka 1573-1599/1677-1651M)
10. I Dewa Agung Jambe (Saka 1599-1664/1722-1736M)
11. I Dewa Agung Di Made (Saka 1664-1742/1714-1792M)
12. I Dewa Agung Gde (Saka 1714-1759/1792-1837M)
13. I Dewa Agung Sakti (Saka 1759/1837M)
14, Dst ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,..................
sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Bali
            http://www.anneahira.com/kerajaan-bali.htm
{[['']]}

SEJARAH KERAJAAN BLAMBANGAN


Blambangan berasal dari kata “Bala” yang artinya adalah rakyat dan “Ombo” yang artinya besar atau banyak sehingga dapat diartikan bahwa Blambangan adalah suatu kerajaan yang rakyatnya sangat banyak. Karena berhasilnya kerajaan Majapahit berdiri atas bantuan Arya Wiraraja maka beliau diberikan “tanah lungguh” yaitu hutan Lumajang termasuk Gunung Bromo dan sampai tepi timur Jawi Wetan, sampai selat Bali pada tahun 1294. Pada Babad tanah Blambangan dimuat, ”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan.” Yang artinya Beliau memerintah Blambangan sejak tahun 1294 sampai 1301 dan diganti oleh putranya yang bernama Arya Nambi dari tahun 1301 sampai 1331. Setelah perang Nambi 1331 kerajaan Blambangan kosong tidak ada yang memerintah sampai tahun 1352. Kemudian diangkatlah Sira Dalem Cri Bhima Chili Kapakisan di Blambangan yang merupakan saudara tertua Dalem Cri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Cri Kapakisan di Sumbawa dan Dalem Cri Kresna Kapakisan di Bali. Melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang, pusat-pusat pemerintahan seringkali berpindah-pindah namun perpindahannya cenderung ke arah wilayah timur Jawa Timur.

Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di Ujung paling timur pulau Jawa Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Di abad ke-16, satu-satunya kerajaan Islam yang berarti di Jawa Timur adalah Pasuruan. Daerah lain masih dipimpin penguasa yang beragama Hindu. Kemungkinan besar terjadi perang antara Pasuruan dan Blambangan pada tahun 1540-an, 1580-an dan 1590-an. Rupanya pada tahun 1600 atau 1601 ibukota Blambangan ditaklukkan. 

Menurut babad Jawa dan juga penulis Belanda François Valentyn, pada abad ke-17, Blambangan adalah bawahan Surabaya, namun hal ini diragukan. Yang jelas, Sultan Agung dari Mataram (bertahta 1613-1646), yang menyerang Blambangan tahun 1633, tidak pernah dapat menaklukkannya. Tahun 1697 Blambangan ditaklukkan oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti, raja Buleleng di Bali Utara, mungkin dengan bantuan Surapati Raja Blambangan Prabu Tawang Alun dikalahkan dan untuk sementara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menunjuk perwakilannya untuk memerintah Blambangan sementara, I Gusti Anglurah Panji Sakti memberikan kekekuasaan Kerajaan Blambangan kepada Cokorda Agung Mengwi setelah dinikahkan putri Raja Mengwi tersebut. 

setelah Blambangan dalam kendali Mengwi, Badung Ditunjuklah keturunan Prabu Tawang Alun untuk memegang Kerajaan Blambangan yaitu Pangeran Danuningrat, dimana Prabu Danuningrat untuk mengikat kesetiaan ia beristrikan Putri Cokorda Agung Mengwi. Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan Bali. Kerajaan Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan Kesultanan Mataram terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.

Silsilah Raja Kerajaan Blambangan :

Silsilah Awal


  • Mpu Withadarma
  • Mpu Bhajrastawa
  • Mpu Lempita
  • Mpu Gnijaya
  • Mpu Wiranatha
  • Mpu Purwantha
  • Ken Dedes
  • Mahisa Wonga Teleng
  • Mahisa Campaka
  • Lembutal
  • Rana Wijaya/Raden Wijaya
  • Tribuana Tunggadewi
  • Hayam Wuruk
  • Wikramawardhana
  • Kerta Wijaya
  • Cri Adi Suraprabawa
  • Lembu Anisraya/Minak Anisraya
  • Mas Sembar/Minak Sembar
  • Bima Koncar/Minak Sumendhe (memerintah Blambangan pada tahun 1489-1500)
  • Minak Pentor (memerintah Blambangan 1500-1541)
  • Minak Gadru ( Memerintah Prasada/Lumajang): Minak Gadru menurunkan Minak Lampor yang memerintah di Werdati-Teposono-Lumajang.
  • Minak Cucu (Memerintah Candi Bang/Kedhaton Baluran): Minak Cucu terkenal dengan sebutan Minak Djinggo penguasa Djinggan beliau berputra SONTOGUNO yang memerintah Blambangan pada 1550 hingga 1582.
  • Minak Lampor
  • Minak Lumpat (Sebagai Raja di Werdati)
  • Minak Luput (Sebagai Senopati)
  • Minak Sumendi (sebagai Karemon/Agul Agul)
Kemudian Minak Lumpat atau SUNAN REBUT PAYUNG berputra Minak Seruyu/Pangeran Singosari (Sunan Tawang Alun I), Pangeran Singosari menaklukan Mas Kriyan dan seluruh keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak ada keturunannya, Sunan Tawang Alun I memerintah wilayah Lumajang, Kedawung dan Blambangan pada tahun 1633-1639
Gusti Sunan Tawang Alun I memiliki Putra :

  • Gede Buyut
  • Mas Ayu Widharba
  • Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas Brondong)
  • Mas Senepo/Mas Kembar
  • Mas Lego.
selanjutnya Mas Lego menurunkan MAS SURANGGANTI dan MAS SURODILOGO (MBAH KOPEK), Sementara Mas Lanang Dangiran menurunkan Mas Aji Reksonegoro dan Mas Danuwiryo.

Arkeologi :

Beberapa penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan kerajaan blambangan adalah Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng kerajaan Blambangan sepanjang lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan tanah dan membentang dari masjid pasar muncar hingga di areal persawahan Desa Tembok Rejo. Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan setinggil yang artinya Siti adalah tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi.Objek Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan pasar muncar (lebih kurang 400 meter arah utara TPI/Tempat Pelelangan ikan). Siti Hinggil ini merupakan pos pengawasan pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa kerajaan Blambangan, berupa batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing yang mempunyai "keistimewaan" untuk mengawasi keadaan di sekitar teluk pang Pang dan Semenanjung Blambangan. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang kini tersimpan di museum daerah berupa Guci dan asesoris gelang lengan, sedangkan kolam dan Sumur kuno yang ditemukan masih berada di sekitar Pura Agung Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Di samping itu pada lokasi Keraton Macan Putih didaerah Kecamatan Kabat didapati relief arkeologi dan benda benda yang terkubur saat ini dilokasi seluas 44 Hectare yang telah menjadi persawahan dan kebun sering didapati benda arkeologi milik kerajaan, beberapa puing tembok batas kerajaan pun terkubur rusak dan hancur, masyarakat setempat sering memindahkan dan atau menyimpan puing puing tersebut. Ditemui juga beberapa koleksi di beberapa museum di Belanda yang berisi gambar, foto maupun artefact Keraton Macan Putih.
Setelah Keraton Macan Putih hancur penerus Raja Blambangan yaitu Mas Jaka Rempeg mendirikan Kerajaan Bayu yang berada di sekitar Rawa Bayu kerajaan ini tidak bertahan lama karena perang Puputan Bayu 1771, yakni dalam hitungan bulan saja disini dapat ditemukan beberapa sisa artefact dan bekas peperangan dengan VOC
Hingga kini meskipun Kerajaan sudah hancur Para kerabat Kerajaan secara turun temurun tetap menjaga beberapa pusaka penting peninggalan Kerajaan.
Sumber : http://northmelanesian.blogspot.com/
{[['']]}

SAT Manager v2.1(Free Full)


SAT Manager v2.1 Spanish |  5.81 MB 
DESCRIPTION
SAT Manager is a solution to the needs of individual technicians added the SGTaller management experience, plus experience in information services, Internet, and large community Fault Bases.
FUNCTIONALITY
Need

Sort your job??
Print a good order of service?
Do carry a good record?
Does working in a team?
SAT Manager 2.0 is for you!
Customers
Farewell to the notebooks, Excel spreadsheets or slips. Keep good records of all your customers and your contact details, and relate with their repairs.
Repairs
Enter a team workshop and know instantly:
Previous repairs (by history)
Owner Details
All just to enter your serial number.
Technical
Organize work by assigning technical repairs.
Know who repaired it and when.
Parts
Let take the SAT Manager Parts stock and know when it's time to replenish.
Keep track of parts compatible replacements for use when the original is not available.
Base Fault
Repair more intelligently. Bring your own SAT Failure Database Manager, connected to the thousands of failures in BaseDeFallas.com
SYSTEM REQUIREMENTS
Disk Space: 15MB
Pentium III 800MHz or higher
128MB RAM

Supported operating systems for SAT MANAGER: Windows 2000/2003/XP/Vista/7
Link Download
[https://www.box.com/s/m185ykwwsabhx7l7y7a2]
Pasword : putrasunda 
 
{[['']]}

SEJARAH KERAJAAN SELAPARANG (SELEPARANG)

Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pusat kerajaan ini pada masa lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang), yang saat ini kurang lebih lebih berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.
Sejujurnya minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan Selaparang, terutama sekali tentang awal mula berdirinya. Namun, tentu saja terdapat beberapa sumber objektif yang cukup dapat dipercaya. Salah satunya adalah kisah yang tercatat di dalam daun Lontar yang menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.

Berdirinya Selaparang

Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya) pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang muballigh dari kota Bagdad, Iraq, bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sulthan-Sulthan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok. Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sulthan-Sulthan di Pulau Lombok.
Betara Nala memiliki seorang putra bernama Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rambitan yang bernama asli Sayyid Abdrurrahman. Beliau ini dikenal pula dengan nama Wali Nyatok, Kata "Nyatoq" artinya Nyata. Ia disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang. Namun, ketinggian ilmu tarekatnya telah mendorongnya untuk mengundurkan diri dari panggung Kerajaan Kayangan dan kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah, sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini. Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan Semeru, sedangkan di Pulau Jawa beliau bernama Aji Duta Semu atau Pangeran Sangupati. Wali Nyatoq dikenal juga di Lombok dengan nama Datu Pangeran Djajing Sorga yang dipercaya datang dari Majapahit, Kabangan]], Jawa Timur, untuk menyebarkan agama Islam. Ia dikenal sebagai penyebar agama Islam, pun dianggap sebagai seorang Wali Allah. Ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang, Tasawuf dan Fiqh. Dalam proses menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakannya adalah Wayang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga. Adapun bentuk mistik Islam yang dibawanya merupakan kombinasi (sinkretisme) antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu ajaran filsafat Hindu, yaitu Advaita Vedanta.
Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaos Abdul Razak. Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya beliau masuk ke Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Beliaupun menetap dan berda'wah di sana. Beliau kemudian menikah dan lahirlahi tiga orang anak, ya'ni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut, Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qomariah atau yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.
Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang melahirkan dua orang anak, ya'ni seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan sebutan Syaikh 'Abdul Rahman) atau disebut pula dengan Ghaos 'Abdul Rahman, dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang juluki pula dengan Denda Rabi'ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.
Nah, sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal Sulthan-Sulthan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang. Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah: Tidakkah keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu sebagai Ghaos Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos 'Abdul Rahman. Hal itu masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda ditempat yang berbeda.

Kejayaan Selaparang

Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.[9]

Keruntuhan Selaparang

Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan Selaparang.
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem dan terutama sekali Belanda?maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Pada akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang mana pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang. Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.

sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Selaparang
{[['']]}

SEJARAH KERAJAAN INDERAPURA


Kerajaan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Walau pada prakteknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.

Kebangkitan



Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.
Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.
Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan, ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.
Saat Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman. Inderapura menghentikan ekspansi tersebut dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Walau kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan para ulama di Aceh.
Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 1588 salah seorang yang masih berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II atau Sultan Buyong, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh. 

Perekonomian

Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur dibawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditi beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.
Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.
  
Kemunduran

Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.
Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.
Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC). Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem matrilineal. Akibatnya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas. Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.
Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian, berdasarkan catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk EIC.
Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahannya bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya.Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura.
Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana (1824).

Pemerintahan

Secara etimologi Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, dan dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada awalnya adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatera. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.

Wilayah kekuasaan

Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.
Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.
Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.
Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.
Walau pada tahun 1691 kawasan Anak Sungai di bawah Raja Adil, melepaskan diri dari Inderapura dan menjadi kerajaan sendiri, yang pada awalnya didukung oleh Inggris. Namun tidak lama berselang ia mangkat dan digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Gulemat (1691-1716). Sultan Gulemat tidak berhasil menjadikan kawasan itu stabil dan kemudian juga kehilangan dukungan dari para menteri yang ada pada kawasan tersebut.

Daftar Nama-Nama Raja Yang Pernah Memerintah Indrapura

  • Sultan Munawar Syah / Raja Mamulia . Tahun 1550
  • Raja Dewi . Tahun 1580
  • Raja Itam . Tahun 1616
  • Raja Besar . Tahun 1624
  • Raja Puti . Tahun 1625 
  • Sultan Muzzaffar Syah / Raja Malfarsyah . Tahun  1633
  • Sultan Muhammad Syah . Tahun 1660
  • Sultan Mansur Syah . Tahun 1691
  • Raja Pesisir . Tahun 1696
  • Raja Pesisir II . Tahun 1760
  • Raja Pesisir III. Tahun 1790    
 Sumber : http://id.wikipedia.org/
{[['']]}
Lihat PETA WISATA ZI'ARAH CIKUNDUL di peta yang lebih besar
Lisensi Creative Commons
WISATACIKUNDUL oleh BUDAKSHARETM disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.
Berdasarkan ciptaan pada http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/.
Izin di luar dari ruang lingkup lisensi ini dapat tersedia pada @WISATACIKUNDUL.

 
Support : MOVIE LIVE | LIVE DOWNLOAD
Profile Google + : PUTRA SUNDA | BUDAKSHARE-TM
Copyright © 2014. WISATA CIKUNDUL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Follow on FACEBOOK : (1) Wisata Cikundul
Follow on TWITER : (2) Wisata Cikundul
Loading the player...