Pidato Pres. Soekarno di SU PBB
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
7:50 PM
with
No comments
MEMBANGUN DUNIA KEMBALI
Pidato Presiden Republik Indonesia Dimuka Sidang Umum P.B.B. ke – XV tanggal 30 September 1960
Tuan Ketua, Para Yang Mulia, Para Utusan dan Wakil yang terhormat,
Hari ini, dalam mengucapkan
pidato kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, saya
merasa tertekan oleh suatu rasa tanggung-jawab yang besar. Saya merasa
rendah hati berbicara dihadapan rapat agung daripada negarawan-negarawan
yang bijaksana dan berpengalaman dari timur dan barat, dari utara dan
dari selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari bangsa-bangsa muda dan
dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama.
Saya telah memanjatkan do’a kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa agar lidah saya dapat menemukan kata-kata yang tepat
untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah berdo’a agar
kata-kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya.
Saya merasa gembira sekali dapat
mengucapkan selamat kepada Tuan Ketua atas pengangkatannya dalam
jabatannya yang tinggi dan konstruktif. Saya juga merasa gembira sekali
untuk menyampaikan atas nama bangsa saya ucapkan selamat datang yang
sangat mesra kepada keenambelas Anggauta baru dari Perserikata
Bangsa-Bangsa.
Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu
kepada kita pada saat ini. Qur’an berkata: “Hai, sekalian manusia,
sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan
seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia
diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu”.
Dan juga Kitab Injil agama Nasrani
beramanat pada kita. “Segala kemuliaan bagi Allah ditempat yang
Mahatinggi, dan sejahtera diatas bumi diantara orang yang
diperkenanNya”.
Saya sungguh-sungguh merasa sangat
terharu melepaskan pandangan saya atas Majelis ini. Disinilah buktinya
akan kebenaran perjuangan yang berjalan bergenerasi. Disinilah buktinya,
bahwa pengorbanan dan penderitaan telah mencapai tujuannya. Disinilah
buktinya, bahwa keadilan mulai berlaku, dan bahwa beberapa kejahatan
besar sudah dapat disingkirkan.
Selanjutnya, sambil melepaskan pandangan
saya kepada Majelis ini, hati saya diliputi dengan suatu kegirangan yang
besar dan hebat. Dengan jelas tampak dimata saya menyingsingnya suatu
hari yang baru, dan bahwa matahari kemerdekaan dan emansipasi, matahari
yang sudah lama kita impikan, sudah terbit di Asia dan Afrika.
Sekarang, hari ini, saja berbicara
dihadapan para pemimpin bangsa-bangsa dan para pembangun bangsa-bangsa.
Namun, secara tidak langsung, saya juga berbicara kepada mereka yang
Tuan-tuan wakili, kepada mereka yang telah mengutus Tuan-tuan kemari,
kepada mereka yang telah mempercayakan hari depan mereka ditangan
Tuan-tuan. Saya sangat menginginkan agar kata-kata saya akan bergema
juga didalam hati mereka itu, didalam hati nurani ummat manusia, didalam
hati besar yang telah mencetuskan demikian banyak teriakan kegembiraan,
demikian banyák jeritan penderitaan dan putus-harapan, dan demikian
banyak cinta-kasih dan tawa.
Hari ini presiden Soekarno-lah yang
berbicara dihadapan tuan-tuan. Namun lebih dari itu, ia adalah seorang
manusia, Soekarno, seorang Indonesia, seorang suami, seorang Bapak,
seorang anggauta keluarga ummat manusia. Saya berbicara kepada Tuan-tuan
atas nama rakyat saya, mereka yang 92 juta banyaknya disuatu nusantara
yang jauh dan luas, 92 juta jiwa yang telah mengalami hidup penuh dengan
perjuangan dan pengorbanan, 92 juta jiwa yang telah membangun suatu
Negara diatas reruntuhan suatu Imperium.
Mereka itu, dan rakyat Asia dan Afrika,
rakyat-rakyat benua Amerika dan benua Eropa serta rakyat benua
Australia, sedang memperhatikan dan mendengarkan serta mengharap-harap.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini bagi mereka merupakan suatu
harapan akan masa-depan dan suatu kemungkinan-baik bagi zaman sekarang
ini.
Keputusan untuk menghadiri Sidang Majelis
Umum ini bukanlah merupakan suatu keputusan yang mudah bagi saya.
Bangsa saya sendiri menghadapi banyak masalah, sedangkan waktu untuk
memecahkan masalah-masalah itu selalu sangat terbatas. Akan tetapi
sidang ini mungkin merupakan sidang Majelis yang terpenting yang pernah
dilangsungkan dan kita semuanya mempunyai suatu tanggung-jawab kepada
dunia seluruhnya disamping kepada bangsa-bangsa kita masing-masing.
Tak seorangpun diantara kita dapat
menghindari tanggungjawab itu, dan pasti tak seorangpun ingin
menghindarinya. Saya sangat yakin bahwa pemimpin-pemimpin dari
negara-negara yang lebih muda dan negara-negara yang lahir kembali dapat
memberikan sumbangannya yang sangat positif untuk memecahkan demikian
banyak masalah-masalah yang dihadapi Organisasi ini dan dunia pada
umumnya. Memang, saya percaya bahwa orang akan mengatakan sekali lagi
bahwa: “Dunia yang baru itu diminta untu memperbaiki keseimbangan dunia
yang lama”.
Jelaslah bahwa pada dewasa ini segala
masalah dunia kita saling berhubungan. Kolonialisme mempunyai hubungan
dengan keamanan; keamanan mempunyai hubungan dengan persoalan perdamaian
dan perlucutan senjata; perlucutan senjata berhubungan dengan
perkembangan secara damai dari negara-negara yang belum maju. Yah,
segala itu saling bersangkut-paut. Jika kita pada akhirnya berhasil
memecahkan satu masalah, maka terbukalah jalan untuk penyelesaian
masalah-masalah lainnya. Jika kita berhasil memecahkan misalnya masalah
perlucutan senjata, maka akan tersedialah dana-dana yang diperlukan
untuk membantu bangsa-bangsa yang sangat memerlukan bantuan itu.
Akan tetapi, yang sangat diperlukan ialah
bahwa masalah-masalah semuanya itu harus dipecahkan dengan penggunaan
prinsip-prinsip yang telah disetujui. Setiap usaha untuk memecahkannya
dengan mempergunakan kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan, atau
dengan pemilikan kekuasaan, tentu akan gagal bahkan akan mengakibatkan
masalah-masalah yang lebih buruk lagi. Dengan singkat, prinsip yang
harus diikuti ialah prinsip persamaan kedaulatan bagi semua bangsa, hal
mana tentunya tidak lain dan tidak bukan, merupakan penggunaan hak-hak
azasi manusia. dan hak-hak azasi nasional. Bagi semua bangsa-bangsa
harus ada: satu dasar, dan semua bangsa harus menerima dasar itu, demi
perlindungan dirinya dan demi keselamatan ummat manusia.
Bila saya boleh mengatakannya,
kami dari Indonesia menaruh perhatian yang khusus sekali atas
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami mempunyai keinginan yang sangat khusus
agar Organisasi ini berkembang dan berhasil baik. Karena tindakan-
tindakannya, perjuangan untuk kemerdekaan dan kehidupan nasional kami
sendiri telah dipersingkat. Dengan berkepercayaan penuh saya mengatakan,
bahwa perjuangan kami, bagaimanapun juga, akan berhasil baik, namun
tindakan-tindakan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu telah mempersingkat
perjuangan dan telah mencegah banyak pengorbanan dan penderitaan serta
kehancuran, baik dipihak kami maupun dipihak lawan-lawan kami.
Apakah sebabnya saya percaya, bahwa
perjuangan kami akan berhasil baik, dengan atau tanpa kegiatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa? Saya yakin akan hal itu kerena dua sebab.
Pertama, saya mengenal rakyat saya; saya mengetahui kehausan mereka yang
tiada terhingga akan kemerdekaan nasional, dan saya mengetahui akan
tekadnya. Kedua, saya yakin akan hal itu karena jalannya sejarah.
Kita semua, dimanapun didunia ini, hidup
di zaman pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium-imperium,
Inilah zaman bangkitnya bangsa-bangsa dan bergejolaknya nasionalisme.
Menutup mata akan kenyataan ini adalah membuta terhadap sejarah, tidak
mengindahkan takdir dan menolak kenyataan. Sekali lagi saya katakan,
kita hidup dizaman pembangunan bangsa-bangsa.
Proses ini tidak dapat dielakkan dan
merupakan sesuatu yang pasti; kadang-kadang lambat dan tidak dapat
dielakkan, bagaikan lahar menurun lereng sebuah guning-api di Indonesia;
kadang-kadang cepat dan tidak terelakkan, bagikan dobrakan airbah dari
balik sebuah bendungan yang dibangun tidak sempurna. Lambat dan tak
terelakkan, atau cepat dan tak terelakkan, kemenangan perjuangan
nasional adalah suatu kepastian.
Bila perjalanan menuju kebebasan itu
sudah selesai diseluruh dunia, maka dunia kita akan menjadi suatu tempat
yang lebih baik; akan merupakan suatu tempat yang lebih bersih dan jauh
lebih sehat. Kita tidak boleh berhenti berjuang pada saat ini, manakala
kemenangan telah menampakkan diri, sebaliknya kita harus
melipat-gandakan usaha kita. Kita telah berjanji kepada masa-depan dan
itu harus dipenuhi. Dalam hal ini kita tidak hanya berjuang untuk
kepentingan kita sendiri, melainkan kita berjuang untuk kepentingan
ummat menusia seluruhnya, ya, perjuangan kita bahkan untuk kepentingan
mereka yang kita tentang.
Lima tahun yang lalu, dua puluh sembilan
bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah mengirimkan utusannya kekota Bandung
Indonesia. Dua puluh sembilan bangsa Asia dan Afrika. Kini, berapakah
jumlah bangsa yang merdeka disana? Saya tidak akan menghitungnya, tetapi
silahkan melihat disekeliling Majelis ini sekarang! Dan katakanlah
apakah saya benar, bila saya berkata bahwa kinilah saatnya pembangunan
bangsa, dan saat bangkitnya bangsa-bangsa. Kemarin Asia, dan itu
merupakan suatu proses yang belum selesai. Kini Afrika, itupun merupakan
suatu proses ya, belum selesai.
Lagi pula, belum semua bangsa-bangsa Asia
dan Afrika diwakili disini. Organisasi bangsa-bangsa ini telah
dilemahkan selama masih menolak perwakilan satu bangsa, dan teristimewa
suatu bangsa yang tua dan bijaksana serta kuat.
Saya maksudkan Tiongkok. Saya maksudkan
yang sering disebut Tiongkok Komunis, yang bagi kami adalah satu-satunya
Tiongkok yang sebenarnya. Organisasi bangsa-bangsa ini sangat
dilemahkan justru karena ia menolak keanggautaan bangsa yan terbesar
didunia.
Setiap tahun kami menyokong diterimanya
Tiongkok kedalam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai anggauta. Kami akan
terus melakukannya. Kami tidak memberikan sokongan itu semata mata
karena kami mempunyai hubungan baik dengan negara tersebut. Dan pasti
sokongan itu tidak kami berikan karena sesuatu alasan partisan. Tidak,
pendirian kami mengenai persoalan ini di bimbing oleh realisme politik.
Dengan secara picik mengecualikan suatu bangsa yang besar, bangsa agung
dan kuat dalam arti kwantitet, kebudayaan, ciri-ciri suatu peradaban
kuno, suatu bangsa yang penuh dengan kekuatan dan daya ekonomi, dengan
mengecualikan bangsa itu kita lebih melemahkan Organisasi internasional
ini, dan dengan demikian, lebih menjauhkannya dari kebutuhan dan
cita-cita kita.
Kita bertekad untuk menjadikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa kuat dan universil serta mampu untuk memenuhi
fungsinya yang layak. Itulah sebabnya mengapa kami senantiasa
memberikan sokongann atas ikut-sertanya Tiongkok dalam lingkungan kita.
Lagi pula, perlucutan senjata merupakan suatu keperluan yang mendesak
dalam dunia ini. Persoalan yang terpenting ini dari semua masalah harus
dirundingkan dan dipecahkan dalam rangka Organisasi ini. Namun bagaimana
dapat tercapai suatu perlucutan realistis mengenai perlucutan senjata,
bila Tiongkok yang merupakan salah satu negara terkuat dalam dunia ini,
tidak diturut sertakan dalam musyawarah-musyawarah itu?
Diwakilinya Tiongkok dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa akan mengikut sertakan negara itu dalam masalah dunia yang
konstruktif dan dengan demikian akan betul-betul memperkuat lembaga
ini.
Ditahun sembilan belas enam puluh ini,
Majelis Umum kembali berkumpul dalam sidang tahunannya. Namum Majelis
Umum ini janganlah hanya dianggap sebagi suatu sidang routine lainnya,
dan bila dianggap demikian, bila dianggap sebagai suatu sidang routine,
maka kemungkinan besar Organisasi intemasional seluruhnya iri akan
terancam dengan kehancuran.
Camkanlah kata-kata saya, itulah
permohonan saya! Janganlah memperlakukan masalah-masalah yang akan
Tuan-tuan perbincangkan sebagai masalah routine. Bila diperlakukan
demikian, Organisasi ini yang telah memberikan kita suatu harapan untuk
‘masa-depan, suatu kemungkinan-baik akan adanya persesuaian
internasional, mungkin akan pecah. Ia mungkin akan lenyap perlahan-lahan
dibawah gelombang pertikaian, sebagimana dialami oleh organisasi yang
digantikannya. Bila hal ini terjadi, maka ummat manusia sebagai
keseluruhan akan menderita, dan suatu impian yang agung, suatu cita-cita
yang agung, akan hancur. Ingatlat bukanlah hanya kata-kata yang
Tuan-tuan hadapi. bukanlah pion-pion diatas papan catur yang Tuan-tuan
hadapi. Yang Tuan-tuan hadapi adalah manusia, impian-impian manusia,
cita-cita manusia dan hari-depan semua manusia.
Dengan segala kesungguhan, saya katakan:
kami bangsa bangsa yang baru merdeka bermaksud berjuang untuk
kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami bermaksud memperjuangkan
suksesnya dan menjadikannya effektif. Badan itu dapat dijadikan
effektif, dan akan dijadikan effektif, hanya bila anggauta-anggauta
seluruhnya mengakui tiada terelakkannya jalan sejarah. Badan itu hanya
dapat menjadi effektif, bila badan tersebut mengikuti jalannya sejarah,
dan tidak mencoba untuk membendung atau mengalihkan ataupun menghambat
jalannya itu.
Telah saya katakan, bahwa inilah saat
pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium-imperium. Itulah
kebenaran yang sesungguhnya. Berapa banyaknya bangsa-bangsa yang telah
memperoleh kemerdekaannya sejak terciptanya Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa? Berapa banyak bangsa-bangsa telah melemparkan rantai
penindasan yang membelenggunya? Berapa banyaknya imperium-imperium yang
dibangun atas penindasan manusia telah hacur-lebur? Kami yang tadinya
tiada bersuara, tidak membisu lagi. Kami yang tadinya membisu dialam
kesengsaraan imperalisme tidak membisu lagi. Kami yang perjuangan
hidupnya tertutup dibawah selubung kolonialisme, tidak tersembunyikan
lagi.
Sejak hari bersejarah ditahun
Sembilanbelas Empatpulut Lima dunia telah berobah, dan dia telah berobah
kearah perbaikan. Dari zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul
kemungkinan – ya, keharusan – akan suatu dunia yang bebas dari
ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan
nasional. Kini, saat ini juga, di Majelis Umum ini, kita dapat
mempersiapkan diri untuk menempatkan diri kita didunia masa-depan itu,
dunia yang telah kita pikirkan dan impikan serta bayangkan.
Hal itu dapat kita lakukan, tetapi hanya
bila kita tidak memperlakukan sidang ini sebagai suatu sidang routine.
Kita harus mengakui, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadapai suatu
penimbunan masalah-masalah, masing-masing mendesak, masing-masing
mengandung kemungkinan ancaman terhadap perdamaian dan kamajuan secara
damai.
Kita bertekad, bahwa nasib
dunia, dunia kita, tidak akan ditentukan tanpa kita. Nasib itu akan
ditentukan dengan keikut-serta dan kerjasama kita. Keputusan-keputusan
yang penting bagi perdamaian dan masa-depan dunia dapat ditentukan
disini den sekarang ini juga. Disini berkumpul Kepala-Kepala Negara den
Kepala-Kepala Pemerintah. Itulah rangka Organisasi kita. Saya sangat
mengharapkan agar soal-soal protokol yang kaku serta perasaan sakit hati
yang picik, – perasaaan-perasaan perorangan maupun nasional, – tidak
akan menghalangi dipergunakannya kesempatan itu sebaik-baiknya.
Kesempatan seperti ini tak akan sering ada. Hal itu harus dipergunakan
sebaik-baiknya. Kita pada saat ini mempunyai kesempatan unik untuk
menggabungkan diplomasi perseorangan dengan diplomasi umum. Marilah kita
pergunakan kesempatan itu. Kesempatan tak akan kembali lagi!
Saya menyadari sedalam-dalamnya bahwa
hadirnya demikian banyak Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, memenuhi
harapan berjuta-juta orang. Mereka itu dapat mengambil
keputusan-keputusan yang vital untuk menentukan wajah baru bagi dunia
kita ini dan dengan sendirinya juga wajah baru bagi Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Layaklah pada saat ini untuk
mempertimbangkan kedudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hubungan
dengan zaman pembangunan dan bangkitnya bangsa-bangsa hari ini.
Ini saya kemukakan: bagi suatu bangsa
yang baru lahir atau suatu bangsa yang baru lahir-kembali milik yang
paling berharga adalah kemerdekaan dan kedaulatan.
Mungkin – saya tidak tahu, tapi mungkin –
bahwa rasa untuk memegang teguh permata kedaulatan dan kemerdekaan yang
berharga ini, hanya terdapat dilingkungan bangsa-bangsa yang baru
bangkit kembali. Mungkin setelah berlalunya beberapa generasi perasaan
kebanggaan dan tercapainya cita-cita itu menjadi pudar. Mungkin
demikian, tetapi saya rasa tidak.
Bahkan sekarang ini, duaratus tahun
kemudian, adalah seorang Arnerika yang tidak tergetar jiwanya
mendengarkan kata-kata Declaration of Independence? Adalah seorang
Italia yang kini tidak menyambut penggilan Mazzini? Adalah seorang warga
Amerika Latin yang tidak lagi mendengar gemahnya suara San Martin?
Benar, adakah seorang warga dunia yang
tidak menyambut panggilan dan suara-suarai tu? Kita semua tergetar, kita
semua menyambut, karena suara-suara itu adalah universil, baik
mengengenai waktu maupun tempatnya. Suara-suara itu adalah suara ummat
manusia yang menderita, suara masa depan, dan kita masih mendengarnya
sepanjang zaman.
Tidak, saya yakin, seyakin-yakinnya bahwa
didalam kedaulatan dan kemerdekaan nasional ada sesuatu yang kekal,
sesuatu yang sekeras dan secerlang permata, dan jauh lebih berharga.
Banyak bangsa-bangsa didunia ini telah
lama memiliki permata ini. Mereka telah biasa memilikinya, tetapi saya
yakin, bahwa mereka masih tetap menganggapnya yang paling dicintai
diantara milik-miliknya, dan mereka akan lebih baik mati daripada
melepaskannya.
Bukankah begitu? Apakah bangsa saudara
sendiri akan pernah bersedia melepaskan kemerdekaannya? Setiap bangsa
yang patut dinamakan bangsa akan memilih mati! Setiap pemimpinya yang
patut disebut pemimpin dari bangsa manapun, juga akan memilih mati!
Betapa lebih berharga hal itu bagi kami,
yang pernah suatu waktu memiliki permata kemerdekaan dan kedaulatan
nasional itu, dan kemudian merasakan dirampasnya dari tangan kami oleh
bandit-bandit yang bersenjata lengkap, dan yang kini telah kami rebut
kembali!
Perserikatan Bangsa-bangsa ini
adalah suatu organisasi dari Negara-Negara Bangsa yang masing-masing
menggenggam permata itu kuat-kuat sebagai sesuatu yang berharga. Kita
semuanya telah berhimpun dengan sukarela, sebagai saudara dan sederajat
dalam Organisasi ini. Sebagai suadara dan sederajat, karena
kita semua memiliki kedaulatan yang sederajat dan kita semua menganggap
kedaulatan yang sederajat itu sama-sama berharga.
Ini adalah suatu badan international.
Badan ini belumlah super-nasional ataupun supra-nasional. Badan ini
merupakan suatu organisasi Negara-Negara Bangsa, dan hanya dapat bekerja
sepanjang Negara-Negara Bangsa menghendakinya.
Apakah kita semuanya dengan suara bulat
telah menyetujui untuk menyerahkan suatu bagian dari kedaulatan kita
kepada badan ini? Tidak, tidak pernah. Kita telah menerima baik Piagam
dan Piagam itu telah ditandatangani oleh Negara-Negara Bangsa yang
berdaulat penuh dan sederajat penuh.
Ada kemungkinan, bahwa badan ini harus
mempertimbangkan, apakah anggauta-anggautanya harus menyerahkan sesuatu
bagian dari kedaulatan mereka kepada badan internasional ini. Tetapi
jika keputusan yang semacam itu diambil, keputusan itu harus diambil
secara bebas, dan dengan suara bulat, dan sederajat. Harus diuputuskan
sederajat oleh semua bangsa, yang kuno dan yang baru, bangsa yang baru
muncul dan yang sudah lama maju dan yang belum maju.
Hal ini bukannya sesuatu yang dapat
dipaksakan pada bangsa manapun juga. Selanjutnya, dasar satu-satunya
yang mungkin bagi badan semacam itu ialah persamaan yang sejati.
Kedaulatan dari bangsa yang paling baru atau bangsa yang paling kecil
sama berharganya, sama tidak dapat dilanggarnya, seperti kedaulatan
bangsa yang paling besar atau bangsa yang paling tua. Dan selain
daripada itu, sesuatu pelanggaran terhadap kedaulatan sesuatu bangsa
merupakan suatu ancaman potensiil terhadap kedulatan semua bangsa.
Dalam gambaran dunia inilah, kita harus
melihat dunia sekarang ini. Dunia kita yang satu ini terdiri dari
Negara-Negara Bangsa, masing-masing sama berdaulat dan masing-masing
berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dan masing-masing berhak untuk
menjaga kedaulatan itu. Dan sekali lagi saya katakan – dan saya ulang
ini karena merupakan dasar dari pengertian terhadap dunia dewasa ini –
kita hidup dalam zaman pembangunan bangsa.
Kenyataan ini jauh lebih penting daripada
adanya senjata-senjata nuklir, lebih eksplosif daripada bom-bom
hidrogin, dan mempunyai harga potensiil yang lebih besar untuk dunia
daripada pemecahan atom.
Keseimbangan dunia telah berobah sejak
hari itu dalam bulan Juni, limabelas tahun yang lalu, ketika Piagam
ditandatangani dikota San Franciscco di Amerika, pada saat manusia
sedang bangkit kembali dari neraka peperangan.
Nasib umat manusia tidak dapat lagi
ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat. Juga kami, bangsa-bangsa
yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebil
kecil, kamipun berhak bersuara dan suara itu pasti akan berkumandang
disepanjang zaman.
Yah, kami insyaf akan pertangungan jawab
kami terhadap masa-depan semua bangsa, dan kami dengan gembira menerima
pertanggung-jawab itu. Bangsa saya berjanji pada diri sendiri untul
bekerja mencapai suatu dunia yang lebih baik, suatu dunia yang bebas
dari sengketa dan ketegangan, suatu dunia dimana anak-anak dapat tumbuh
dengan bangga dan bebas, suatu dunia dimana keadilan dan kesejahteraan
berlaku untuk semua orang. Adakah sesuatu bangsa akan menolak janji
semacam itu?
Beberapa bulan yang lalu, sesaat sebelum
pemimpin-pemimpin Negara-Negara Besar bertemu sesingkat itu di Paris,
tuan Khrushchov menjadi tamu kami di Indonesia. Saya jelaskan padanya
sejelas-jelasnya, bahwa kami menyambut baik Konperensi Tingkat
Tertinggi, yang kami harapkan berhasil, tetapi bahwa kami skeptis.
Empat Negara Besar itu saja,
tidak dapat menentukan masalah perang dan damai. Lebih tepat,
barangkali, mereka mempunyai kekuatan untuk merusak perdamaian, tetapi
mereka tidak mempunyai hak moril, baik secara sendirian maupun
bersama-sama, untuk mencoba menentukan hari-depan dunia.
Selama lima belas tahun ini Barat telah
mengenal perdamaian, atau sekurang-kurangnnya ketiadaan perang. Tentu
saja, ada ketegangan-ketegangan. Memang, ada bahaya. Tetapi tetap
merupakan kenyataan, bahwa ditengah-tengah suatu revolusi yang meliputi
tiga perempat dari dunia, Barat tetap dalam keadaan damai. Kedua blok
besar, sebetulnya, telah berhasil mempraktekkan koeksistensi selama
bertahun-tahun itu, sehingga dengan demikian membantah mereka yang
menyangkal kemungkinan adanya koeksistensi.
Kami di Asia tidak pernah mengenal
keadaan damai! Setela perdamaian datang untuk Eropah, kami merasai
akibat bom-bom atom. Kami merasai revolusi nasional kami sendiri di
Indonesia. Kami merasai penyiksaan Vietnam. Kami menderita penganiayaan
Korea. Kami masih senantiasa menderita kepedihan Aljazair. Apa sekarang
ini seharusnya giliran Saudara-saudara kita di Afrika? Apakah mereka
harus disiksa, sedang luka-luka kami masih belum sembuh?
Toh masih saja Barat dalam keadaan damai. Herankah Tuan-tuan bahwa kami sekarang menuntut, ya, menuntut batalnya siksaan terhadap kami? Herankah Tuan-tuan, bahwa kini suara saya diperdengarkan sebagai protes?
Kami, yang dulu tidak bersuara, mempunyai
tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan; kami berhak untuk didengar.
Kami bukannya barang perdagangan, tetapi adalah bangsa-bangsa yang hidup
dan yang perkasa, yang mempunyai peranan didunia ini, dan yang harus
memberikan sumbangannya.
Saya pergunakan kata-kata yang keras, dan
saya pergunakan kata-kata itu dengan sengaja, karena saya punya
pendirian yang tegas mengenai soal itu. Dengan sengaja saya pergunakan
kata-kata keras, karena saya bicara untuk bangsa saya dan karena saya
bicara di muka pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa.
Selain dari pada itu, saya tahu bahwa
Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika mempunyai pendirian yang sama
tegasnya, walaupun saya tidak berani berbicara atas nama mereka.
Majelis Umum ini tentunya akan menghadapi
banyak hal-hal yang penting. Tetapi tidaklah ada hal yang lebih penting
dari pada perdamaian. Mengenai ini, saya pada saat ini tidak
membicarakan soal-soal yang timbul antara Negara-Negara Besar didunia.
Soal-soal demikian itu sangat vital bagi kami, dan saya nanti kembali
pada soal-soal tersebut. Tapi tengoklah sekeliling dunia kita ini.
Dibanyak tempat terdapat ketegangan-ketegangan dan sumber-sumber
sengketa potensiil. Perhatikanlah tempat-tempat itu dan tuan akan
jumpai, bahwa hampir tanpa perkecualian, imperialisme dan kolonialisme
didalam salah satu dari banyak manifestasinya adalah sumber ketegangan
atau sengketa itu. Imperialisme dan kolonialisme dan pemisahan
terus-menerus secara paksa dari bangsa-bangsa merupakan sumber dari
hampir semua kejahatan internasional yang mengacam didunia kita ini.
Sebelum kejahatan-kejahatan dari
masa-lampau yang terkutuk itu diakhiri, tidak akan ada ketenangan atau
perdamaian diseluruh dunia ini.
Imperialisme, dan perjuangan untuk
mempertahankannya, merupakan kejahatan yang besar didunia kita ini.
Banyak diantara Tuan-tuan dalam Sidang ini tidak pernah mengenal
imperialisme. Banyak diantara Tuan-tuan lahir merdeka dan akan mati
merdeka. Beberapa diantara Tuan-tuan lahir dari bangsa-bangsa yang telah
menjalankan imperialisme terhadap yang lain, tetapi tidak pernah
menderitanya sendiri. Akan tetapi Saudara-saudara saya di Asia dan
Afrika telah mengenal cambuk imperialisme. Mereka telah menderitanya.
Mereka mengenal bahayanya dan kelicikannya serta keuletannya.
Kami di Indonesia mengenalnya
juga. Kami adalah ahli-ahli dalam soal ini! Berdasarkan pengetahuan itu
dan berdasarkan pengalaman itu, saya katakan pada Tuan-tuan bahwa
berlanjutnya imperialisme dalam setiap bentuknya merupakan suatu bahaya
yang besar dan yang berlarut-larut.
Imperialisme belum lagi mati. Ya, sedang
dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah sedang melanda bentengnya dan
menggerogoti pondamen-pondamennya; ya, kemenangan kemerdekaan dan
nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi – dan camkanlah perkataan saya ini
– imperialisme yang sedang sekarat itu berbahaya, sama berbahayanya
dengan se-ekor harimau yang luka didalam rimba raya tropik.
Ini saya tegaskan pada Tuan-tuan – dan
saya sadar bahwa sekarang berbicara untuk Saudara-saudara saya di Asia
dan Afrika – perjuangan untuk kemerdekaan senantiasa dibenarkan dan
benar. Mereka yang menentang gerakmaju yang tidak terelakan dari
kemerdekaan nasional dan hak menentukan nasib sendiri, adalah buta;
mereka yang berusaha untuk mengembalikan apa yang tidak dapat
dikembalikan merupakan bahaya bagi mereka sendiri dan bagi dunia.
Sebelum kenyataan-kenyataan ini – dan ini
memang kenyataan-kenyataan – diakui, tidak akan ada perdamaian dunia
ini, dan tidak akan lenyaplah ketegangan. Saya serukan kepada Tuan-tuan:
tempatkanlah kewibawaan dan kekuatan moril dari Organisasi
Negara-Negara ini dibelakang mereka yang berjuang untuk kemerdekaan.
Lakukanlah itu secara jelas dan tegas. Lakukanlah itu sekarang!
Lakukanlah, dan Tuan-tuan akan memperoleh dukungan bulat dan
tulus-ikhlas dari semua orang yang berkemauan baik. Lakukanlah sekarang,
dan generasi-generasi yang akan datang akan menghargai Tuan-tuan. Saya
serukan kepada Tuan-tuan, kepada semua anggauta Perserikatan
Bangsa-Bangsa : Bergeraklah bersama arusnya sejarah; janganlah mencoba
membendung arus itu.
Perserikatan Bangsa-bangsa sekarang ini
juga berkesempatan untuk membangun bagi dirinya sendiri reputasi dan
gengsi yang besar. Mereka yang berjuang untuk kemerdekaan akan mencari
sokongan dan sekutu-sekutu dimana saja dapat diperolehnya; alangkah
baiknya bilamana mereka berpaling kepada badan ini dan kepada Piagam
kita daripada kepada sesuatu kelompok atau bagian dari badan ini.
Lenyapkanlah sebab-sebab peperangan, dan
kita akan merasa damai. Lenyapkanlah sebab-sebab ketegangan dan kita
akan merasa tenang. Jangan ditunda-tunda. Waktunya singkat. Bahayanya
besar.
Umat manusia diseluruh dunia berteriak
minta perdamaian dan ketenangan, dan hal-hal itu adalah dalam kekuasaan
kita. Jangan mencegahnya, karena nanti badan ini akan dicemarkan namanya
dan ditinggalkan. Tugas kita bukannya untuk mempertahankan dunia ini,
akan tetapi untuk membangun dunia kembali! Hari depan – andai-kata ada hari depan – akan menilai kita berdasarkan berhasilnya tugas kita ini.
Saya minta kepada bangsa-bangsa yang
sudah lama berdiri, janganlah menganggap remeh kekuatan nasionalisme.
Jika tuan menyangsikan kekuatannya, tengoklah disekitar Majelis ini dan
bandingkanlah dengan San Francisco lima belas tahun yang lalu.
Nasionalisme, nasionalisme yang mencapai kemenangan dengan gemilang,
telah menyebabkan perobahan ini, dan ini adalah baik. Dewasa ini dunia
diperkaya dan dimuliakan oleh kebijaksanaan dari para pemimpin-pemimpin
bangsa-bangsa berdaulat yang baru dibentuk. Untuk menyebut enam dari
banyak contoh-contoh, yakni seorang Norodom Sihanouk, seorang Nasser,
seorang Nehru, seorang Sekao Toure, seorang Mao Tse Tung dan seorang
Nkrumah. Bukankah dunia menjadi lebih baik, jika mereka berada disini
daripada mereka mempergunakan seluruh hidupnya dan seluruh kekuatannya
untuk menggulingkan imperialisme yang membelenggu mereka? Dan
bangsa-bangsa merekapun sudah merdeka, dan bangsa saya merdeka, dan
lebih banyak lagi bangsa yang merdeka. Bukankah dengan demikian dunia
menjadi suatu tempat yang lebih baik dan lebih kaya?
Memang, saya tidak perlu
membentangkan kepada Tuan-tuan, bahwa kami dari Asia dan Afrika
menentang kolonialisme dan imperialisme. Lebih daripada itu, siapakah
dalam dunia sekarang ini masih akan membela hal-hal itu? Secara
universil hal-hal itu telah dikutuk, dan sudah sepantasnya, dan
alasan-alasan sinis yang usang itu tidak terdengar lagi. Pertentangan
sekarang berpusat pada persoalan kapankah daerah-daerah jajahan akan
merdeka, dan bukan pada persoalan apakah mereka akan merdeka.
Tetapi saya hendak menegaskan soal ini.
Oposisi kami terhadap kolonialisme dan imperialisme timbul baik dari
hati maupun dari kepala kami. Kami menentangnya atas dasar kemanusiaan,
dan kami menentangnya pula dengan alasan bahwa hal ini merupakan suatu
ancaman yang besar dan makin besar lagi terhadap perdamaian.
Tiadanya persesuaian pendapat dengan
kekuatan-kekuatan kolonial berkisar pada soal-soal waktu dan keamanan,
karena sekarang setidak-tidaknya mereka beromong-kosong tentang
cita-cita kemerdekaan nasional.
Oleh karena itu renungkanlah dalam-dalam
mengenai nasionalisme dan kemerdekaan, mengenai patriotisme dan mengenai
imperialisme. Renungkanlah dalam-dalam, demikian permohonan saya,
jangan sampai arus sejarah melanda Tuan-tuan.
Dewasa ini, kita banyak mendengar dan
membaca mengenai perlucutan senjata. Perkataan itu biasanya dipakai
dalam hubungan perlucutan senjata nuklir dan atom. Maafkanlah saya. Saya
seorang sederhana dan seorang yang cinta damai. Saya tidak dapat bicara
mengenai detail-detail perlucutan senjata. Saya tidak dapat memberikan
penilaian mengenai pendapat-pendapat yang bersaing tentang pengawasan,
mengenái percobaan-percobaan dibawah tanah dan mengenai catatan-catatan
seismografik.
Mengenai persoalan-persoalan imperialisme
dan nasionalisme saya seorang ahli, sesudah seumur hidup mempelajarinya
dan berjuang, dan mengenai soal-soal ini saya bicara dengan kewibawaan.
Tetapi mengenai persoalan-persoalan peperangan nuklir, saya hanya
seorang biasa saja, mungkin seperti tetangga tuan atau seperti saudara
tuan atau bahkan seperti ayah tuan. Saya ikut merasakan kengerian
mereka, saya ikut merasakan ketakutan mereka.
Saya ikut merasakan kengerian dan
ketakutan, itu karena saya adalah bagian dari dunia ini. Saya punya
anak-anak, dan hari depan mereka terancam bahaya. Saya seorang
Indonesia, dan bangsa itu terancam bahaya.
Mereka yang mempergunakan senjata
penghancur masal itu sekarang harus menghadapi hati nurani mereka
sendiri, dan akhirnya, mungkin dalam keadaan hangus menjadi debu radio
aktif, mereka harus menghadapi Al Chaliknya. Saya tidak iri terhadap
mereka.
Mereka yang mempersoalkan perlucutan
senjata nuklir jangan lupa bahwa kami, yang dalam hal ini sebelumnya
tidak dapat bersuara, sedang memperhatikan dan mengharap-harap.
Kami sedang memperhatikan dan
mengharap-harap, toh kami diliputi oleh kecemasan, karena jika perang
nuklir menghancurkan dunia kita ini, kami juga ikut menderita.
Tidak seorang mahlukpun berhak untuk
menggunakan hak hak prerogatif dari Tuhan Yang Maha Esa Kuasa. Tidak
seorangpun berhak mempergunakan bom-bom hidrogin. Tidak satu bangsapun
berhak untuk menyebabkan kemungkinan hancurnya semua bangsa-bangsa.
Tiada suatu sistim politik, tiada suatu
organisasi ekonomi yang layak untuk menyebabkan musnahnya dunia,
termasuk sistem maupun organisasi itu sendiri.
Jika hanya negara-negara yang bersenjata
hidrogin yang tersangkut dalam persoalan ini, maka kami bangsa-bangsa
Asia dan Afrika tidak akan menghiraukannya. Kami hanya akan melihat saja
sambil menjauhkan diri, dengan perasaan heran mengapa negara-negara,
darimana kami belajar sedemikian banyaknya itu, serta yang sangat kami
kagumi itu, pada dewasa ini harus tenggelam dalam rawa immoralitet. Kami
akan dapat berseru: “Terkutuklah kalian!”, dan kami akan dapat kembali
ke dalam dunia kami sendiri yang lebih berimbang dan damai.
Tetapi kami tak dapat, berbuat demikian.
Kami bangsa Asia telah menderita akibat bom atom. Kami bangsa Asia
terancam lagi, dan selain itu kami merasa sebagai suatu kewajiban moral
untuk memberikan bantuan dimana mungkin. Kami bukanlah musuh Timur
maupun Barat. Kami merupakan suatu bagian dari dunia ini dan kami ingin
membantu.
Ini adalah suatu jeritan dari
hati-sanubari Asia. Biarkanlah kami membantu memecahkan masalah-masalah
ini. Mungkin Tuan-tuan memperhatikannya terlampau lama, dan tak lagi
melihatnya secara jelas. Biarkanlah kami membantu Tuan-tuan, dan dalam
membantu Tuan-tuan, kami bantu diri kami sendiri, dan semua generasi
yang akan datang diseluruh dunia.
Jelaslah, bahwa masalah perlucutan
senjata bukan hanya perselisihan pendapat tentang dasar-dasar teknis
yang sempit. Ini adalah pula persoalan saling mempercayai. Sebetulnya
telah jelas, bahwa dalam bidang teknik dan dalam cara-cara berunding dan
berdiplomasi, sesungguhnya antara kami dari Asia-Afrika dan kedua blok
itu tidaklah banyak berbeda. Soalnya sebenarnya lebih merupakan soal
saling tidak mempercayai. Ini adalah suatu masalah yang dapat dipecahkan
dengan cara-cara itu. Negara-negara lain yang tidak tergabung dalam
suatu blok, bisa memberi bantuan dalam hal ini! Kami tidak kurang
pengalaman dan kepandaian untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan.
Mungkin perantaraan kami dapat juga berharga. Mungkin kami dapat pula
memberikan bantuan dalam mencari suatu penjelesaian. Mungkin – siapa
tahu – kami dapat memperlihatkan kepada Tuan-tuan jalannya menuju kearah
satu-satunya perlucutan senjata yang sesungguhnya, yaitu perlucutan
senjata di dalam hati manusia, perlucutan ketidak percayaan dan
kebencian manusia.
Tidak sesuatupun lebih mendesak daripada
hal ini. Dan persoalan ini adalah demikian vital bagi seluruh umat
manusia, sehingga seluruh ummat manusia harus dikut sertakan dalam
pemecahannya. Saya kira pada saat ini kita boleh berkata, bahwa
sebenarnya hanyalah desakan dan usaha dari negara-negara non blok akan
memberikan hasil yang diperlukan seluruh dunia. Pembicaraan yang
sungguh-sungguh tentang perlucutan senjata, di dalam rangka organisasi
ini, dan didasarkan pada suatu harapan yang sungguh-sungguh akan
suksesnya, adalah. yang essensiil sekarang ini.
Saya tekankan “dalam rangka organisasi
ini”, karena hanya Majelis inilah yang mulai mendekati suatu cerminan
yang sebenarnya dari dunia dimana kita hidup.
Renungkan, renungkan sejenak,
apa yang mungkin terjadi jika kita dapat meletakkan suatu dasar bagi
perlucutan senjata yang sejati. Ingatlah akan dana-dana yang sangat
besar yang dapat digunakan untuk perbaikan dunia dimana kita hidup ini.
Ingatlah akan daya gerak yang maha hebat yang dapat diberikan kepada
perkembangan mereka yang kurang maju, sekalipun hanya sebagian saja dari
anggaran belanja pertahanan dari Negara-Negara Besar disalurkan kearah
itu. Ingatlah akan bertambahnya secara hebat kebahagiaan manusia,
produktivitet manusia dan kesejahteraan manusia jika hal itu
diselenggarakan.
Perlu saja tambahkan sesuatu lagi pada
hal ini. Jika ada suatu immoralitet yang lebih besar daripada
memperagakan senjata-senjata hidrogin, maka hal itu adalah melakukan
percobaan-percobaan dengan senjata-senjata tersebut. Saya tahu bahwa ada
suatu perbedaan pendapat ilmiah tentang akibat genetik daripada
percobaan-percobaan itu. Akan tetapi perbedaan ini hanya mengenai jumlah
korban-korban. Tentang adanya akibat genetik yang buruk terdapat
persesuaian pendapat. Pernakah mereka yang mengesahkan
percobaan-percobaan itu membayangkan akibat-akibat perbuatan mereka?
Pernakah mereka melihat kepada anak-anak mereka sendiri dan merenungkan
akibat-akibat itu? Pada dewasa ini percobaan-percobaan dengan
senjata-senjata nuklir ditangguhkan, – perhatikan tidak dilarang, tetapi
hanya ditangguhkan. Maka, marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai
permulaan. Marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai dasar untuk
melarang percobaan, dan kemudian untuk pelucutan senjata yang
sungguh-sungguh.
Sebelum meninggalkan persoalan perlucutan
senjata, saya hendak memberikan suatu ulasan lagi. Berbicara tentang
perlucutan senjata memang baik. Tetapi berusaha dengan sungguh-sungguh
menyusun suatu persetujuan perlucutan senjata akan lebih baik. Dan yang
terbaik adalah pelaksanaan daripada persetujuan perlucutan senjata itu.
Akan tetapi marilah kita realistis.
Bahkan pelaksanaan dari pada suatu persetujuan perlucutan senjatapun
tidak akan merupakan jaminan bagi perdamaian didunia yang dalam
kesengsaraan dan kesukaran. Perdamaian hanya akan datang, jika
sebab-sebab ketegangan dan bentrokan disingkirkan.
Jika ada suatu sebab untuk bentrokan,
maka manusia akan berjuang dengan bambu runcing, jika tidak terdapat
senjata lain. Saya tahu oleh karena bangsa saya sendiri melakukannya
dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan. Kami telah berjuang dengan
menggunakan pisau dan bambu runcing. Untuk mencapai perdamaian, kita
harus menyingkirkan sebab-sebab ketegangan dan sebab-sebab bentrokan
itu. Itulah sebabnya saya berbicara dari lubuk hati saya mengenai
perlunya bekerja sama untuk menyebabkan matinya yang hina dari
imperialisme.
Dimana terdapat imperialisme, dan dimana
terdapat penyusunan kekuatan bersenjata yang serentak, maka keadaan
memang berbahaya, Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman.
Begitulah keadaannya di Irian Barat. Begitulah keadaannya diseperlima
wilayah nasional kami yang pada dewasa ini masih tetap membungkuk di
bawah belenggu imperialisme.
Disanalah kami menghadapi imperialisme
dan kekuatan bersenjata dari imperialisme. Diperbatasan daerah itu
tentara kami berbicara di darat maupun di lautan. Kedua kekuatan
bersenjata itu saling berhadapan, dan dapat saya katakan bahwa hal itu
merupakan suatu keadaan yang eksplosif. Belum lama berselang tentara di
Irian Barat yang masih muda serta tersesat itu dan yang membela suatu
faham yang telah ketinggalan zaman, diperkuat dengan datangnya kapal
induk Karel Doorman dari tanah airnya yang jauh itu. Maka saatitulah
keadaan menjadi betul-betul berbahaya.
Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia
duduk dalam delegasi saya ini: Namanya Jenderal Nasution. Ia adalah
prajurit profesional dan seorang perajurit yang ulung. Seperti halnya
dengan anak buah yang dipimpinnya, dan seperti juga halnya dengan bangsa
yang dibelanya, ia pertama-tama adalah seorang yang cinta damai. Tetapi
lebih daripada itu, ia dan anak buahnya serta bangsa saya mengabdi
untuk mempertahankan tanah air kami.
Kami telah berusaha untuk menyelesaikan
masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan
dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah
berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral. Kami telah
berusaha dengan sungguh-sungguh dan bertahun-tahun. Kami telah berusaha
dan tetap berusaha. Kami telah berusaha menggunakan alat-alat
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Kekuatan pendapat dunia yang dinyatakan
disini. Kami telah berusaha dan dalam hal inipun kami tetap berusaha.
Harapan lenyap; kesabaran hilang; bahkan
toleransipun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan
Belanda tidak memberikan alternatif lainnya kecuali memperkeras sikap
kami. Jika mereka gagal untuk secara tepat menilai arus sejarah, maka
kita tidaklah dapat dipersalahkan. Akan tetapi akibat dari pada
kegagalan mereka ialah timbulnya ancaman terhadap perdamaian dan, sekali
lagi, hal ini menyangkut pula Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Irian Barat merupakan pedang kolonial
yang diancamkan terhadap Indonesia. Pedang ini diarahkan pada jantung
kami, akan tetapi disamping itu mengancam pula perdamaian dunia.
Usaha-usaha kami dewasa ini yang
sungguh-sungguh untuk mencapai penyelesaian dengan cara-cara kami
sendiri, adalah bagian dari sumbangan kami kearah terjaminnya perdamaian
dunia ini. Ini adalah bagian dari usaha kami untuk mengakhiri masalah
dunia ini yang merupakan kejahatan yang usang. Usaha kami adalah usaha
pembedahan yang sungguh-sungguh untuk menyingkirkan kanker imperialisme
dari daerah di dunia, dimana kami hidup dan berada.
Saya katakan dengan segala kesungguhan
bahwa keadaan di Irian Barat adalah keadaan yang berbahaya, suatu
keadaan yang eksplosif, suatu hal yang merupakan sebab ketegangan dan
suatu ancaman bagi perdamaian. Jenderal Nasution tidak bertanggung-jawab
atas hal itu. Tentara kami tidak bertanggung jawab atas hal itu.
Soekarno tidak bertanggung jawab atas hal itu. Indonesia tidak
bertanggung jawab atas hal itu. Tidak! Ancaman terhadap perdamaian
berasal langsung dari adanya imperialisme dan kolonialisrne itulah.
Singkirkan pengekangan terhadap
kemerdekaan dan emansipasi, dan ancaman terhadap perdamaian akan lenyap.
Tumbangkan imperialisme, dun segera dengan sendirinya dunia akan
menjadi suatu tempat yang lebih bersih, suatu tempat yang lebih baik
dari suatu tempat yang lebih aman.
Saya tahu bahwa jika saya kemukakan hal
ini, banyak pikiran akan beralih kepada keadaan di Konggo. Tuan-tuan
mungkin bertanya, bukankah imperialisme telah diusir dari Konggo dengan
akibat bahwa didaerah itu sekarang terjadi persengketaan dan pertumpahan
darah? Tidak demikian halnya! Keadaan di Konggo yang sangat disesalkan
adalah langsung disebabkan oleh imperialisme, dan tidak disebabkan oleh
berakhirnya imperialisme itu. Imperialisme berusaha untuk mempertahankan
kedudukannya di Konggo; berusaha untuk dapat memutungkan dan
melumpuhkan Negara baru itu. Itulah sebabnya Konggo berkobar.
Ya, di Konggo, terdapat penderitaan. Akan
tetapi penderitaan itu merupakan kesakitan kelahiran dari kemajuan dan
kemajuan yang eksplosif senantiasa membawa kesakitan. Mencabut sampai
ke-akar-akarnya kepentingan nasional dun internasional yang sudah
bercokol selalu menyebabkan kesakitan dun kegoncangan.
Kami mengetahuinya. Kami mengetahui pula
dari pengalaman-pengalaman kami sendiri bahwa perkembangan itu sendiri
menimbulkan pergolakan. Suatu bangsa yang sedang bergolak membutuhkan
pimpinan dan bimbingan, dan akhirnya akan menghasilkan pimpinan serta
bimbingannya sendiri.
Kami bangsa Indonesia berbicara
berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pahit. Masalah Konggo, yang
merupakan masalah kolonialisme dan imperialisme, harus diselesaikan
dengan menggunakan prinsip-prinsip yang telah saya uraikan tadi. Konggo
adalah Negara yang berdaulat. Hendaknya kedaulatan itu dihormati.
Ingatlah kedaulatan Konggo tidak kurang daripada kedaulatan setiap
bangsa yang diwakili dalam Majelis ini, dan kedaulatan ini harus
dihormati secara sama.
Dalam soal-soal dalam negeri Konggo tidak
boleh ada cumpur tangan dan sama sekali tidak boleh ada bantuan, baik
yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, untuk menghancurkan negara
ini.
Ya, memang bangsa itu akan membuat
kesalahan-kesalahan, kita semua membuat kesalahan-kesalahan dan kita
semua belajar dari kesalahan-kesalahan. Ya, pergolakan akan timbul, akan
tetapi itupun biarlah berlangsung, karena ini merupakan tanda bagi
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Sampai mana pergolakan itu
adalah soalnya bangsa itu sendiri.
Marilah kita, baik secara perseorangan,
maupun secara bersama-sama, membantu disana apabila kita diminta oleh
pemerintah yang sah dari bargsa itu. Akan tetapi tiap-tiap bantuan
semacam itu harus jelas didasarkan atas kedaulatan Konggo yang tidak
boleh diganggu-gugat.
Akhirnya, taruhlah kepercayaan pada
bangsa itu! Mereka sedang mengalami masa percobaan yang besar dan sedang
sangat menderita. Taruhlah kepercayaan pada mereka sebagai bangsa yang
baru merdeka, dan mereka akan menemukan jalannya sendiri kearah
penyelesaiannya sendiri daripada masalah-masalahnya sendiri.
Disini hendak saya kemukakan peringatan
yang sangat serius. Banyak anggauta organisasi ini dan banyak pejabat
organisasi ini mungkin tak begitu menyadari perbuatan-perbuatan
imperialisme dan kolonialisme.
Mereka tak pernah mengalaminya; mereka tak mengenal keuletannya dan kebengisannya dan banyaknya mukanya, dan kejahatannya.
Kami dari Asia dan Afrika mengenalnya.
Saya katakan pada Tuan-tuan: Janganlah bertindak sebagai alat yang tak
tahu apa-apa dari imperialisme. Janganlah bertindak sebagai tangan kanan
yang buta dari kolonialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan
pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, dan
dengan begitu tuan akan.membunuh harapan dari berjuta-juta manusia, yang
tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan menyebabkan hari depan mati
dalam kandungan.
Sebelum meninggalkan persoalan-persoalan
ini, saya hendak, menyinggung pula suatu persoalan besar lain yang
kira-kira sama sifatnya. Yang saya maksud ialah Aljazair. Disini
terdapat suatu gambaran yang menyedihkan, dimana kedua belah fihak
sedang berlumuran darah dan dihancurkan karena ketiadaan penyelesaian.
Itu merupakan suatu tragedi!
Sudah jelas sekali bahwa rakyat Aljazaïr
menghendaki kemerdekaan. Hal itu tidak dapat dibantah lagï. Andaikata
tidak demikan, maka perjuangan yang lama dan pahit dan berdarah itu
sudah akan berakhir bertahun-tahun yang lalu. Kehausan akan kemerdekaan
serta ketabahan untuk memperoleh kemerdekaan itu merupakan faktor-faktor
pokok dalam situasi ini.
Apa yang belum ditentukan, hanyalah
betapa akrab dan selaras suatu kerjasama dihari depan dengan Perancis
seharusnya. Kerjasama yang sangat akrab dan sangat selaras tidak akan
sukar dicapai, bahkan pada taraf sekarang ini, meskipun barangkali ia
akan bertambah sukar dicapainya dengan terus berlangsungnya perjuangan
itu.
Maka, adakanlah suatu plebisit di bawah
pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Aljazair untuk menentukan
kehendak rakyat akan betapa akrab dan selaras hubungan-hubungan itu
seharusnya. Plebesit itu hendaknya jangan mengenai soal kemerdekaan.
Kemerdekaan itu sudah ditentukan dengan darah dan air mata dan pastilah
akan berdiri suatu Aljazair yang merdeka.
Plebesit seperti yang saya sarankan, jika
diselenggarakan dalam waktu singkat, akan merupakan jaminan yang
terbaik bahwa antara Aljazair merdeka dan Perancis akan terdapat suatu
kerjasama yang akrab dan baik untuk keuntungan bersama. Sekali lagi saya
berbicara berdasarkan pengalaman. Indonesia tadinya tida kmengandung
niat untuk merusak hubungan-hubungan yang erat dan selaras dengan
Belanda. Akan tetapi, rupa-rupanya bahkan dewasa ini, seperti
generasi-generasi yang sudah-sudah, pemerintah bangsa itu berpegang
teguh pada “memberi terlalu sedikit dan meminta terlampau banyak”. Baru
ketika hal itu tak tertahankan lagi, hubungan-hubungan tersebut
diputuskan.
Ijinkanlah saya beralih kemasalah yang
lebih luas tentang perang dan damai didunia kita ini. Yang pasti adalah
bahwa negara-negara yang baru lahir dan yang dilahirkan kembali tidak
merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia. Kami tidak mempunyai
ambisi-ambisi teritorial; kamipun tidak mempunyai tujuan-tujuan ekonomi
yang tidak bisa disesuaikan. Ancaman terhap perdamaian tidak datang dari
kami, tetapi malahan dari fihak negara-negara yang lebih tua, yang
telah lama berdiri dan stabil itu.
O, ya, dinegara-negara kami terdapat
pergolakan. Sebenarnya, pergolakan itu seakan-akan merupakan suatu
fungsi dari jangka waktu pertama daripada kemerdekaan. Apakah itu
mengherankan? Coba, marilah saya ambil contoh dari sejarah Amerika.
Dalam satu generasi harus dialami Perang Kemerdekaan dan Perang Saudara
antara Negara-Negara Bagian. Selanjutnya dalam generasi itu juga harus
dialami timbulnya perserikatan-perserikatan buruh yang militant, – masa
dari Internasional Workers of the World (I.W.W.), “Wobblies”. Harus pula
dialami hijrah ke Barat. Harus pula dialami Revolusi Industri dan, ya,
bahkan masa “pedagang-pedagang aktentas”. Harus pula diderita akibat
orang-orang á la Benedict Arnold. Dan seperti sering saya katakan, kami
desakkan banyak revolusi dalam satu revolusi dan banyak generasi dalam
satu generasi.
Maka herankah Tuan-tuan jika terdapat
pergolakan pada kami? Bagi kami hal itu adalah biasa dan kami telah
menjadi biasa untuk menunggang angin pusar. Saya mengerti benar bahwa
untuk orang luaran hal ini seringkali tampak seperti gambaran kekacauan
dan kerusuhan dan rebut-merebut kekuasaan. Bagaimanapun juga pergolakan
itu adalah merupakan urusan kami sendiri dan tidak merupakan suatu
ancaman bagi siapapun, meskipun hal itu sering memberi
kesempatan-kesempatan untuk mencampuri urusan kami.
Meskipun demikian,
kepentingan-kepentingan yang bertentangan dari Negara-Negara Besar
adalah soal lain: Dalam hal ini masalah-masalah dikaburkan oleh
ancaman-ancaman dengan bom-bom hidrogin dan oleh diulang-ulanginya
slogan-slogan lama yang telah usang.
Kami tak dapat mengabaikannya karena
masalah-masalah itu mengancam kami. Toh; terlalu sering masalah-masalah
tersebut nampak seakan-akan tidak sungguh. Dengan terus terang dan tanpa
ragu-ragu hendak saya katakan kepada Tuan-tuan bahwa kami menempatkan
hari-depan kami sendiri jauh di atas percekcokan-percekcokan di Eropah.
Ya, kami banyak belajar dari Eropah dan
Amerika. Kami telah mempelajari sejarah Tuan-tuan dan penghidupan
orang-orang besar dari bangsa tuan. Kami telah mengikuti contoh dari
Tuan-tuan, bahkan kami telah berusaha melebihi Tuan-tuan. Kami berbicara
dalam bahasa-bahasa Tuan-tuan dan membaca buku-buku tuan-tuan. Kami
telah diilhami oleh Lincoln dan Lenin, oleh Cromwell dan Garibaldi. Dan
memang masih banyak yang harus kami pelajari dari Tuan-tuan dibanyak
bidang. Tetapi pada dewasa ini bidang-bidang yang kami harus pelajari
lebih banyak lagi dari Tuan-tuan, adalah bidang teknik dan ilmiah, dan
bukan faham-faham atau gerakan yang didiktekan oleh ideologi.
Di Asia dan Afrika pada dewasa ini masih
hidup, masih berpikir, masih bertindak, mereka yang memimpin bangsanya
kearah kemerdekaan, mereka yang mengembangkan teori-teori ekonomi yang
agung dan membebaskan, mereka yang telah menumbangkan kelaliman, mereka
yang mempersatukan bangsanya dan mereka yang menaklukkan perpecahan
bangsanya.
Oleh karena itu dan memang selayaknya,
kami dari Asia-Afrika saling mendekati untuk memperoleh bimbingan dan
inspirasi dan kami mencari pada diri sendiri pengalaman dan
kebijaksanaan yang telah terhimpun pada bangsa-bangsa kami.
Apakah Tuan-tuan tidak berpendapat bahwa Asia dan Afrika mungkin mempunyai suatu amanat dan suatu cara untuk seluruh dunia?
Ahli filsafah Inggeris Bertrand Russell
yang ulung itulah yang pemah berkata bahwa ummat manusia sekarang
terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of
American Independece dari Thomas Jefferson. Golongan lainnya menganut
ajaran Manifesto Komunis.
Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya
kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari
pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula
rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto
Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi
kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan
kami telah diilhami, oleh keduanya itu.
Siapakah yang tidak akan dapat
ilham dari kata-kata dan semangat Declaration of Independence itu! “Kami
menganggap kebenaran-kebenaran ini sebagai suatu, yang tak dapat
disangkal lagi : bahwa manusia diciptakan dengan hak-hak yang sama,
bahwa mereka diberikan oleh AI Chalik hak-hak tertentu yang tak dapat
diganggu-gugat, dan bahwa diantara hak-hak itu terdapat hak untuk hidup,
hak kemerdekaan dan hak mengejar kebahagiaan”. Siapakah yang terlibat
dalam perjuangan untuk kehidupan dan kemerdekaan nasional; tak akan
diilhami! Dan sekali lagi, siapakah diantara kita, yang berjuang
menegakkan suatu masyarakat, yang adil dan makmur diatas puing-puing
kolonialisme, tak akan diilhami oleh bayangan kerjasarna dan
perkembangan ekonomi yang dicetuskan oleh Marx dan Engels!
Sekarang telah terjadi suatu konfrontasi
diantara kedua pandangan itu, dan konfrontasi itu membahayakan, tidak
hanya untuk mereka yang berhadapan tetapi juga untuk bagian dunia
lainnya.
Saya tidak dapat berbicara atas nama
negara-negara Asia dan Afrika lainnya ? saya tidak diberi kuasa untuk
itu, dan bagaiamanapun juga mereka sendiri cakap untuk mengemukakan
pandangannya masing?masing. Akan tetapi saya diberi kuasa ? bahkan
ditugaskan ? untuk berbicara atas nama bangsa saya yang berjumlah
sembilan puluh dua juta itu.
Sepeirti saya katakan; kami telah membaca
dan mernpelajari kedua dokumen yang pokok itu: Dari masing-masing
dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak
berguna bagi kami, kami yang hidup dibenua Iain dan beberapa generasi
kemudian. Kami telah mensintesekan apa yang kami perlukan dari kedua
dokumen itu, dan ditinjau dari pengalaman serta dari pengetahuan kami
sendiri, sintese itu telah kami saring dan kami sesuaikan.
Jadi, dengan minta maaf kepada Lord
RusselI yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi
dalam dua fihak seperti dikiranya.
Meskipun kami telah mengambil sarinya,
dan meskipun kami telah mencoba mensintesekan kedua dokumen yang peting
itu; kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak mengikuti
konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman
kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain,
sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.
Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata
bahwa semua bangsa memerlukan sesuatu konsepsi dan cita-cita. Jika
mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi
kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Sejarah Indonesia
kami sendiri memperlihatkannya dengan jelas, dan demikian pula halnya
dengan sejarah seluruh dunia.
“Sesuatu” itu kami namakan “Panca Sila”.
Ya, “Panca Sila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah
langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of
Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita?cita itu, mungkin sudah
ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa karni. Dan memang
tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan
kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun
peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum
imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.
Jadi berbicara tentang Panca Sila dihadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun.
Apakah Lima Sendi itu? la sangat
sederhana : pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Nasionalisme, ketiga
Internasionalisme, ke-empat Demokrasi dan kelima Keadilan Sosial,
Perkenankanlah saya sakarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa
saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang
Islam, ada yang Kristen ada yang Budha dan ada yang tidak menganut
sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari
sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para
pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan
berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami.
Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya
yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha
Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima
Sila pertama ini.
Kemudian sebagai nomor dua ialah
Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan
kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami
sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya
pejuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap
menyala-nyala didada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami!
Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah Chauvinisme. Kami
sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa
lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak
kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar bahwa
istilah “nasionalisme” dicurigai, bahkan tidak dïpercayai di
negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa
dan memutar balikan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih
tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, rnaka
Barat tidak akan menantang dengan senjata chauvinisme Hitler yang
agresif.
Tidakkah nasionalisme ? sebutlah jika
mau, patriotisme – mempertahankan kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa
yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa yang berani
berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin
besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita;
nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.
Nasionalisme kami di Asia dan Afrika
tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem Negara-negara Barat. Di
Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang
mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme
di Barat adalah kakek dari imperialisme, yang bapaknya adalah
Kapitalisme. Di Asia dan Afrika dan saya kira juga di Amerrka Latin,
nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap
imperialisme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan
nasionalisme-chauvinis yang bersumber di Eropah. Nasionalisme Asia dan
Afrika serta Nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa
memperhatikan inti sosialnya.
Di Indonesia kami menganggap inti sosial
itu sebagai pendorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah
itu tujuan yang baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak
berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya
tentang Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin.
Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat adil dan makmur dapat
merupakan cita-cita dan tujuan semua orang.
Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya
seorang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya adalah
perikemanusiaan”. Kamipun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta
kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami
percaya bahwa bangsa-bangsa adalah sangat penting bagi dunia dimasa
sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat memandang
kemasa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan
menganjurkan nasionalisme dimana saja kami jumpainya.
Sila ketiga kami adalah
Internasionalisme. Antara Nasionalisme dan Internasionalisme tidak ada
perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa internasionalisme
tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah yang subur
dari nasionalisme. Bukankah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu
merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa.
Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan
bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan
internasional, dimana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat.
Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan
penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang
bertentangan dengan kenyataan.
Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi
bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas,
demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari manusia, meskipun
diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus.
Selama beribu-ribu tahun dari peradaban
Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia.
Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti
internasional. Ini adalah soal saya bicarakan kemudian.
Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang
terutama ialah Keadilan Sosial. Pada Keadilan Sosial ini kami rangkaikan
kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat
dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat
merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa
bersemayam dalam ketidak-adilan sosial.
Demikianlah Panca Sila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial.
Tidaklah termasuk tugas saya hari ini
untuk menguraikan bagaimana kami berusaha, dalam kehidupan dan urusan
nasional kami, menggunakan dan melaksanakan Panca Sila. Jika saya
menguraikan hal ini, maka ini akan mengganggu keramah-tamahan badan
internasional ini.
Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya
bahwa Panca Sila mengandung lebih banyak daripada arti nasional saja.
Panca Sila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara
internasional.
Tidak sorangpun akan
membantah unsur kebenaran dalam pandangan yang dikemukakan oleh Bertrand
Russell itu. Sebagian besar dari dunia telah terbagi menjadi golongan
yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Declaration of American
Independence dan golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip
Manifesto Komunis. Mereka yang menerima gagasan yang satu menolak
gagasan yang lain, dan terdapatlah bentrokan atas dasar ideologis maupun
praktis.
Kita semuanya terancam oleh bentrokan ini
dan kita merasa khawatir karena bentrokan ini. Apakah tidak ada sesuatu
tindakan yang dapat diambil terhadap ancaman ini? Apakah hal ini harus
berlangsung terus dari generasi ke generasi, dengan kemungkinan pada
akhirnya akan meletus menjadi lautan api yang akan menelan kita
semuanya? Apakah tidak ada suatu jalan keluar?
Jalan keluar harus ada. Jika tidak ada,
maka semua musyawarah kita, semua harapan kita, semua perjuangan kita
akan sia-sia belaka.
Kami bangsa Indonesia tidak bersedia
bertopang dagu, sedangkan dunia menuju kejurang keruntuhannya. Kami
tidak bersedia bahwa fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi oleh
awan radio-aktif. Tidak satupun diantara bangsa-bangsa Asia atau Afrika
akan bersedia menerima hal ini. Kami memikul pertanggungan jawab
terhadap dunia, dan kami siap menerima serta memenuhi pertanggungan
jawab itu. Jika itu berarti turut-campur dalam apa yang tadinya
merupakan urusanurusan Negara-Negara Besar yang dijauhkan dari kami,
maka kami akan bersedia melakukannya. Tidak ada bangsa Asia dan Afrika
manapun juga yang akan menyingkiri tugas itu.
Bukankah jelas, bahwa bentrokan itu
timbul terutama karena ketidak-samaan? Di dalam suatu bangsa, adanya
yang kaya dan miskin, dan dihisap dan yang menghisap, menimbulkan
bentrokan. Hilangkan penghisapan, dan bentrokan itu akan lenyap, karena
sebab yang menimbulkan bentrokan itu telah tidak ada,
Diantara bangsa-bangsa, jika ada yang
kaya dan yang miskin, yang menghisap dan dihisap, akan pula ada
bentrokan. Hilangkan sebab yang menimbulkan bentrokan, dan bentrokan itu
akan lenyap. Hal ini berlaku, baik internasional maupun didalam suatu
bangsa. Dilenyapkannya imperialisme dan kolonialisme meniadakan
penghisapan demikian daripada bangsa oleh bangsa.
Saya percaya, bahwa ada jalan keluar
daripada konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya percaya bahwa jalan
keluar itu terletak pada dipakainya Panca Sila secara universil !
Siapakah diantara Tuan-Tuan menolak Panca
Sila? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari Bangsa Amerika yang besar
menolaknya? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari bangsa Rusia yang
besar menolaknya? Ataukan wakil-wakil yang terhormat dari Inggris atau
Polandia, atau Perancis atau Cekoslowakia? Ataukah memang ada diantara
mereka yang agaknya telah mengambil posisi yang statis dalam Perang
Dingin antara gagasan-gagasan dan praktek-paktek, dan yang berusaha
tetap berakar sedalam-dalamnya sedangkan dunia menghadapi
kekacauan-kekacauan?
Lihatlah, lihatlah delegasi yang
mendukung saya ! Delegasi itu bukan terdiri dari pegawai-pegawai negeri
atau politikus-politikus profesional. Delegasi ini mewakili bangsa
Indonesia. Dalam delegasi ini ada prajurit-prajurit. Mereka menerima
Panca Sila, ada seorang ulama islam yang besar, yang merupakan soko guru
bagi agamanya. Ia menerima Panca Sila. Selanjutnya da pemimpin Partai
Komunis Indonesia yang kuat. Ia menerima Panca Sila. Seterusnya ada
wakil-wakil dari Golongan-golongan Katolik dan Protestan, dari Partai
Nasionalis dan organisasi-organisasi buruh dan tani, ada pula
wanita-wanita, kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pemerintahan.
Semuanya ya menerima Panca Sila.
Mereka bukannya menerima Panca
Sila semata-mata sebagai konsepsi ideologi belaka, melainkan sebagai
suatu pedoman yang praktis sekali untuk bertindak. Mereka diantara
bangsa saya yang berusaha menjadi pepmimpin tetapi menolak Panca Sila,
ditolak pula oleh bangsa Indonesia.
Bagaimanakah penggunaan secara
internasional daripada Panca Sila? Bagaimana Panca Sila itu dapat
dipraktekan? Marilah kita tinjau kelima pokok itu satu demi satu.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak
seorangpun yang menerima Declaration Of American Independence sebagai
pedoman untuk hidup dan bertindak, akan menyangkalnya. Begitu pula tidak
ada seorang pengikutpun dari Manifesto Komunis, dalam forum
internasional ini akan menyangkal hak dan untuk percaya kepada Yang Maha
Kuasa. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, saya persilahkan
Tuan-tuan yang terhormat bertanya kepada tuan Aidit, ketua Partai
Komunis Indonesia, yang duduk dalam Delegasi saya yang menerima
sepenuhnya baik Manifesto Komunis mapun Panca Sila.
Kedua : Nasionalisme. Kita semua adalah
wakil-wakil bangsa-bangsa. Bagaimana kita akan dapat menolak
nasionalisme? Jika kita menolak nasionalisme, maka kita harus menolak
kebangsaan kita sendiri dan menolak pengorbanan-pengorbanan yang telah
diberikan oleh generasi-generasi. Akan tetapi saya peringatkan Tuan-tuan
: jika Tuan-tuan menerima prinsip nasionalisme, maka Tuan-tuan harus
menolak imperialisme. Tetapi pada peringatan itu saya ingin menambahkan
peringatan lagi : Jika Tuan-tuan menolak imperialisme, maka secara
otomatis dan dengan segera Tuan-tuan lenyapkan dari dunia yang dalam
kesukaran ini sebab terbesar yang menimbulkan ketegangan dan bentrokan.
Ketiga : Internasionalisme. Apakah perlu
untuk berbicara dengan panjang lebar mengenai internasionalisme dalam
badan in ternasional ini? Tentu tidak ! Jika bangsa-bangsa kita tidak
“Internationally minded”, maka bangsa-bangsa itu tidak akan menjadi
anggauta organisasi ini. Akan tetapi, internasionalisme yang sejati
tidak selalu terdapat disini. Saya menyesal harus mengatakan demikian,
akan tetapi hal ini adalah suatu kenyataan. Terlalu sering perserikatan
bangsa-bangsa dipergunakan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional
yang sempit atau tujuan-tujuan golongan saja. Terlalu sering pula
tujuan-tujuan yang agung dan cita-cita yang luhur dari piagam kita
dikaburkan oleh usaha untuk mencari keuntungan nasional atau prestige
nasional. Internasionalisme yang sejati harus didasarkan atas persamaan
kehormatan, persamaan penghargaan dan atas dasar penggunaan secara
praktis dari pada kebenaran, bahwa semua orang adalah saudara. Untuk
mengutip piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa – dokumen yang sering kali
dilupakan orang itu – internasionalisme itu harus “meneguhkan kembali
keyakinan ……berdasarkan hak-hak-yang sama bagi …… bangsa-bangsa, baik
besar maupun kecil”.
Akhirnya, dan sekali lagi,
internasionalisme akan berarti berakhirnya imperialisme dan
kolonialisme, sehingga dengan demikian berakhirnya banyak bahaya dan
ketegangan.
Keempat : Demokrasi. Bagi kami bangsa
Indonesia, demokrasi mengandung tiga unsur yang pkok. Demokrasi
mengandung pertama-tama prinsip yang kami sebut Mufakat yakni : kebulatan pendapat. Kedua, demokrasi mengandung prinsip Perwakilan.
Akhirnya demokrasi mengandung, bagi kami, prinsip musyawarah. Ya, demokrasi Indonesia mengandung ketiga prinsip itu, yakni : mufakat, perwakilan dan musyawarah antara wakil-wakil.
Perhatikanlah. Organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa ini adalah organisasi dari bangsa-bangsa yang
sederajat, organisasi dari negara-negara yang merupakan kedaulatn yang
sederajat, kemerdekaan yang sederajat dan rasa bangga yang sederajat
tentang kedaulatan serta kemerdekaan. Satu-satunya cara bagi organisasi
ini untuk dapat menjalankan fungsinya secara memuaskan, ialah dengan
jalan mufakat yang diperoleh dalam musyawarah.
Musyawarah harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga, tidak ada saingan
antara pendapat-pendapat yang bertentangan, tïdak ada resolusi-resolusi
dan resolusi-resolusi balasan, tidak ada pemihakan-pemihakan, melainkan
hanya usaha yang teguh untuk mencari dasar umum dalarn memecahkan
sesuatu masalah. Dari musyawarah semacam ini timbullah permufakatan,
suatu kebulatan pendapat, yang lebih kuat dari pada suatu resolusi yang
dipaksakan melalui jumlah suara mayoritet, suatu resolusi yang mungkin
tidak diterima, atau yang mungkin tidak disukai oleh minoritet.
Apakah saya berbicara idealistis? Apakah saya memimpikan dunia yang ideal dan romantis?
Tidak ! Kedua kaki saya dengan teguh
berpijak ditanah ! Betul saya menengadah kelangit untuk mendapatkan
inspirasi akan tetapi pikiran saya tidak berada diawang-awang. Saya
tegaskan bahwa cara-cara musyawarah demikian ini dapat dïlaksanakan.
Cara-cara itu bagi kami dapat dijalankan. Cara-cara itu dapat dijalankan
dalam D.P.R. kami, cara-cara itu dapat dijalankan dalam D.P.A. kami,
cara-cara itu dapat dijalankan dalam Kabinet kami.
Cara musyawarah ini dapat dijalankan,
karena wakil-wakil bangsa kami berkeinginan agar cara-cara itu dapat
berjalan. Kaum Komunis menginginkannya, kaum nasionalïs menginginkannya,
golongan Islam menginginkannya, dan golongan Kristen menginginkannya.
Tentara menginginkannya, baik warga kota maupun rakyat di desa-desa yang
terpencil menginginkannya, kaum cendekiawan menginginkannya dan orang
yang berusaha dengan sekuat tenaga memberantas buta huruf
menginginkannya. Semua menginginkannya, karena semuanya menginginkannya
tercapainya tujuan jelas dari Panca Sila, dan tujuan yang jelas itu
ialah masyarakat adil dan makmur.
Tuan-tuan boleh berkata: “Ya, kita akan
menerima kata-kata Presiden Soekaro dan kita akan menerima bukti-bukti
yang kita lihat dalam susunan delegasinya di Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada hari ini, akan tetapi kita adalah kaum realis dalam dunia yang
kejam. Cara satu-satunya untuk menyelenggarakan pertemuan internasional
ialah cara yang dipergunakan dalam menyelenggarakan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yaitu dengan resolusi-resolusi, amandemen-amandemen,
suara-suara mayoritet dan minoritet”.
Perkenankanlah saya menegaskan sesuatu.
Kami tahu dari pengalaman yang sama pahitnya, sama praktisnya dan sama
realistisnya, bahwa cara-cara musyawarah kami dapat pula diselenggarakan
dibidang intrnmasional. Dibidang itu cara-cara itu berjalan sama
baiknya seperti dibidang nasional.
Seperti Tuan-tuan ketahui, belum begitu
lama berselang, wakil-wakil dari dua puluh sembilan bangsa-bangsa dari
Asia dan Afrika berkumpul di Bandung. Pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa
itu bukan pemimpin pengelamun yang tidak praktis. Jauh dari itu! Mereka
adalah pemimpin-pemimpin yang keras dan realistïs dari rakyat dan
bangsa-bangsa, sebagian besar diantara mereka lulus dari perjuangan
kemerdekaan nasional, semuanya mengetahui benar akan realitet-realitet
dari pada kehidupan serta kepemimpinan baik politik maupun
internasional.
Mereka mempunyai pandangan politik yang berbeda-beda, dari ekstrim kanan sampai ekstrim kiri.
Banyak orang dinegara-negara
barat tidak dapat percaya bahwa konperensi semacam itu dapat
menghasilkan sesuatu yang berguna. Banyak orang bahkan berpendapat bahwa
konperensi itu akan bubar dalam keadaan kacau dan saling tuduh-menuduh,
terpecah-belah di atas karang perbedaan faham politik.
Konperensi Asia-Afrika diselenggarakan dengan cara-cara musyawarah.
Dalam konperensi itu tidak terdapat
mayoritet dan minoritet. Tidak pula diadakan pemungutan suara. Dalam
konperensi itu hanya terdapat musyawarah dan keinginan umum untuk
mencapai persetujuan. Konperensi itu menghasilkan komunike yang dibuat
dengan suara bulat, komunike yang merupakan salah suatu yang terpenting
dalam windu ini atau mungkin salah satu dokumen yang terpenting dalam
sejarah.
Apakah Tuan-tuan masih sangsi terhadap faedah dan efisiensi daripada cara musyawarah semacam itu?
Saya yakin bahwa pemakaian dengan tulus
ikhlas dari cara-cara musyawarah demikian ini, akan mempermudah
pekerjaan organisasi internasional ini. Ya, berangkali cara ini akan
memungkinkan pekerjaan yang sebenarnya dari organisasi ini. Cara
musyawarah ini akan menunjukkan jalan untuk menyelesaikan banyak
masalah-masalah yang makin bertumpuk-tumpuk bertahun-tahun. Cara
musyawarah ini akan memungkinkan terselesaikannya masalah-masalah yang
tampaknya tidak terpecahkan.
Dan saya minta dengan hormat, hendaknya Tuan-tuan ingat bahwa sejarah memperlakukan mereka yang gagal tanpa mengenal ampun.
Siapakah yang sekarang ini ingat kepada
mereka yang membanting-tulang dalam Liga Bangsa-Bangsa? Kita hanya ingat
kepada mereka yang telah menghancurkan suatu organisasi negara-negara
dari sebagian dunia saja. Kita tidak bersedia bertopang dagu dan melihat
organisasi ini, organisasi kita sendiri, dihancurkan karena tidak
flexible, atau karena lambat menyambut keadaan dunia yang berobah.
Apakah tidak patut dicoba? Jika Tuan-tuan
berpendapat tidak, maka Tuan-tuan harus bersedia untuk mempertanggung
jawabkan keputusan Tuan-tuan dihadapan mahkamah sejarah.
Akhirnya, di dalam Panca Sila terkandung
Keadilan Sosial. Untuk dapat dilaksanakan di bidang internasional,
mungkin hal ini akan menjadi keadilan sosial internasional. Sekali lagi,
menerima prinsip ini akan berarti menolak kolonialisme dan
imperialisme.
Selanjutnya, diterimanya oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa keadilan sosial sebagai suatu tujuan, akan
berarti diterimanya pertanggungan jawab dan kewajiban-kewajiban
tertentu.
Ini akan berarti usaha yang tegas dan
berpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial, yang
menyusahkan dunia kita. Ini akan berarti bahwa bantuan kepada
negara-negara yang belum maju dan bangsa-bangsa yang kurang beruntung
akan disingkirkan dari suasana Perang Dingin. Ini akan berarti pula
pengakuan yang praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa sernua
orang mempunyai tanggung-jawab terhadap saudaranya.
Apakah ini bukan tujuan yang mulia!
Apakah ada yang berani menyangkal kemuliaan dan keadilan daripada tujuan
ini? Jika ada yang berani menyangkalnya, maka suruhlah ia menghadapi
kenyataan! Suruh ia menghadapi si-lapar, suruh ia menghadapi sibuta
huruf, suruh ia mengahapi si-sakit dan suruhlah ia kemudian membenarkan
sangkalannya!
Perkenankanlan saya sekali lagi
mengulangi lima sila itu. Ketuhanan Yang Maha Esa; Nasionalisme;
Internasionalisme; Demokrasi; Keadilan Sosial.
Marilah kita selidiki apakah
hal-hal itu sebenarnya merupakan suatu sintese yang dapat diterima oleh
kita semua. Marilah kita bertanya pada diri sendiri, apakah penerimaan
prinsip-prinsip itu akan memberikan suatu pemecahan persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh organisasi ini.
Benar, Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak
hanya terdiri dari pada piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa saja. Meskipun
demikian, dokumen yang bersejarah itu tetap merupakan bintang
pembimbing dan ilham organisasi ini.
Dalam banyak hal piagam mencerrninkan
konstelasi politik dan kekuatan dari pada saat dilahirkannya. Dalam
banyak hal piagam itu tidak mencerminkan kenyataan?kenyataan masa
sekarang.
Oleh karena itu rnarilah kita
pertimbangkan apakah lima sila yang telah saya kemukakan, dapat
memperkuat dan memperbaiki piagam kita.
Saya yakin, ya, saya yakin
seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan dicantumkannya
dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saja
yakin, bahwa Panca Sila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
sejajar dengan perkembangan terakhir dari dunia. Saya yakin bahwa Panca
Sila akan memungkinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghadapi hari
kemudian dengan kesegaran dan kepercayaan. Akhirnya, saya yakin bahwa
diterimanya Panca Sila sebagai dasar piagam, akan menyebabkan piagam ini
dapat diterima lebih ikhlas oleh semua anggauta, baik yang lama maupun
yang baru.
Saya akan ajukan satu soal lagi dalam
hubungan ini. Adalah suatu kehormatan besar bagi suatu negara bahwa
Perserikatan Bangsa-Bangsa berkedudukan di dalam wilayahnya. Kita semua
benar-benar bersyukur bahwa Amerika Serikat telah memberi tempat yang
tetap bagi Orgasisasi kita. Tetapi, mungkin dapat dipersoalkan apakah
itu memang tepat.
Dengan segala hormat, saya kemukakan
bahwa ia mungkin tidak tepat. Bahwasanya kedudukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa berada dalam wilayah salah satu negara yang terkemuka
dalam Perang Dingin, berarti Perang Dingin telah merembes bahkan sampai
kepekerjaan dan administrasi serta rumah-tangga Organisasi kita ini.
Sedemikian luasnya perembesan itu, sehingga hadirnya pemimpin sesuatu
bangsa yang besar dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa ini saja sudah
menjadi persoalan Perang Dingin dan senjata Perang Dingin, serta alat
untuk mempertajam cara kehidupan yang berbahaya serta yang sia-sia itu.
Marilah kita tinjau apakah tempat
kedudukan Organisasi kita tidak perlu dipindahkan dari suasana Perang
Dingin. Marilah kita tinjau apakah Asia atau Afrika atau Jenewa akan
dapat memberi tempat yang permanen kepada kita, yang jauh dari Perang
Dingin, tidak terikat pada salah suatu blok dan dimana para Delegasi
dapat bergerak dengan leluasa dan bebas sekehendak mereka.
Dengan demikian, mungkin akan diperoleh pengertian yang lebih luas tentang dunia dan masalah-masalahnya.
Saya yakin, bahwa suatu negara Asia atau
Afrika, mengingat akan keyakinan dan kepercayaannya, dengan senang akan
mengunjukkan kemurahan hatinya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa,
mungkin dengan menyediakan suatu daerah yang cukup luas, dimana
Organisasi itu sendiri akan berdaulat dan dimana perundirgan-perundingan
yang penting bagi pekerjaan vital itu dapat dilaksanakan secara aman
dan dalam suasana persaudaraan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak lagi
merupakan badan seperti yang menandatangani Piagam lima belas tahun yang
lalu. Dunia inipun tidak sama dengan yang dahulu. Mereka yang dengan
kebijaksanaan berjerih-payah untuk menghasilkan Piagam Organisasi ini,
tidak dapat menyangka akan terjelmanya bentuk yang sekarang ini.
Diantara orang-orang yang bijaksana dan jauh pandangannya itu, hanya
beberapa yang sadar, bahwa akhir imperialisme sudah tampak dan bahwa
bila Organisasi ini harus hidup terus, maka ia mesti memberi kemungkinan
kepada bangsa-bangsa yang lahir kembali untuk masuk beramai-ramai,
berduyun-duyun dan bersemangat.
Tujuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa seharusnya ialah memecahkan masalah-masalah. Untuk
menggunakannya sebagai forum perdebatan belaka, atau sebagai saluran
propaganda, atau sebagai sambungan dari politik dalam negeri, berarti
memutar-balikkan cita-cita mulia yang seharusnya meresap di dalam badan
ini.
Pergolakan-pergolakan kolonial,
perkembangan yang cepat dari daerah-daerah yang belum maju di lapangan
teknis, dan masalah perlucutan senjata, semuanya merupakan
masalah-masalah yang tepat dan mendesak untuk kita pertimbangkan dan
musyawarahkan. Akan tetapi, telah menjadi jelas, bahwa masalah-masalah
yang vital ini tidak dapat dibicarakan secara memuaskan oleh Organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sekarang ini. Sejarah badan ini
menunjukkan kebenaran yang menyedihkan dan yang jelas daripada apa yang
telah saya katakan.
Sungguh tidak mengherankan bahwa
demikianlah jadinya. Kenyataannya ialah bahwa Organisasi kita
mencerminkan dunia tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima, dan bukan dunia
zaman sekarang. Demikianlah halnya dengan semua badan-badannya – kecuali
satu-satunya Majelis yang agung ini – dan dengan semua
Lembaga-lembaganya.
Organisasi dan keanggautaan Dewan
Keamanan – badan yang terpenting itu – mencerminkan peta ekonomi,
militer dan kekuatan daripada dunia tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima,
ketika Organisasi ini dilahirkan dari inspirasi dan angan-angan yang
besar. Demikian pula halnya dengan sebagian besar daripada
Lembaga-lembaga lainya. Mereka itu tidak mencerminkan bangkitnya
negara-negara Sosialis ataupun berkembangnya dengan cepat kemerdekaan
Asia dan Afrika.
Untuk memodernisir dan membuat efisien
Organisasi kita, barangkali juga Sekretariat di bawah pimpinan
Sekretaris Jenderalnya, mungkin membutuhkan peninjauan kembali. Dengan
mengatakan demikian, saya tidak – sama sekali tidak – mengeritik atau
mencela dengan cara apapun Sekretaris Jenderal yang sekarang, yang
senantiasa berusaha, dalam keadaan-keadaan yang tak dapat diterima lagi,
melakukan tugasnya dengan baik, yang kadang-kadang tampaknya tidak
mungkin dilaksanakan.
Jadi, bagaimanakah mereka bisa efisien?
Bagaimanakah anggauta-anggauta kedua golongan dalam dunia ini – yakni
golongan-golongan yang merupakan suatu kenyataan dan yang harus diterima
– bagaimanakah anggauta-anggauta kedua golongan itu bisa merasa tenang
di dalam Organisasi ini dan mempunyai kepercayaan penuh yang diperlukan
terhadapnya.
Sejak perang kita telah menyaksikan tiga gejala-gejala besar yang permanen.
Pertama ialah bangkitnya negara-negara
sosialis. Hal ini tidak disangka dalam tahun Sembilanbelas Empatpuluh
Lima. Kedua ialah gelombang besar daripada pembebasan nasional dan
emansipasi ekonomi yang melanda Asia dan Afrika serta Saudara-saudara
kita di Amerika Latin. Saya kira bahwa hanya kita, yang langsung
terlibat di dalamnya, dapat menduganya. Ketiga ialah kemajuan ilmiah
besar, yang semua bergerak dilapangan persenjataan dan peperangan, akan
tetapi yang dewasa ini berpindah kelapangan rintangan dan perbatasan
ruang angkasa. Siapakah yang dapat meramalkannya ketika itu?
Benar, Piagam kita dapat dirubah. Saya
menyadari, bahwa ada prosedure untuk melakukan hal ini dan akan tiba
waktunya ini dapat dilakukan. Akan tetapi persoalan ini mendesak. Hal
ini mungkin merupakan persoalan mati atau hidup bagi Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Janganlah sampai pandangan legalistik yang picik dapat
menghalangi dikerjakannya usaha itu dengan segera.
Adalah sama pentingnya bahwa pembagian
kursi dalam Dewan Keamanan dan badan-badan serta lembaga-lembaga lainnya
harus dirobah. Dalam hal ini saya tidak berpikir dalam istilah
blok-blokan, tetapi saya memikirkan betapa sangat perlunya Piagam dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Sekretariat Perserikauan Bangsa-Bangsa, semuanya itu mencerminkan
keadaan yang sebenarnya dari dunia kita sekarang ini.
Kami dan Indonesia memandang
organisasi ini dengan harapan yang besar, tetapi juga dengan
kekhawatiran yang besar. Kami memandangnya dengan harapan besar, karena
pernah berfaedah bagi kami dalam perjuangan untuk kehidupan nasional
kami. Kami memandanginya dengan harapan besar, karena kami percaya bahwa
hanya organisasi semacam inilah dapat memberikan rangka bagi dunia yang
sehat dan aman sebagaimana kami rindukan.
Kami memandanginya dengan kekhawatiran
besar, karena kami telah mengajukan suatu masalah nasional yang besar,
masalah Irian Barat, kehadapan Majelis ini, dan tiada suatu penyelesaian
dapat dicapai. Kami memandanginya dengan kekhawatiran, karena
Negara-Negara Besar di dunia telah memasukkan permainan Perang Dingin
mereka yang berbahaya itu ke dalam ruangan-ruangannya.
Kami memandanginya, dengan kekhawatiran,
kalau-kalau Majelis ini akan menemui kegagalan dan akan mengikuti jejak
organisasi yang digantikannya, dan dengan demikian melenyapnya dari
pandangan mata ummat manusia suatu gambaran daripada suatu masa depan
yang aman dan bersatu.
Marilah kita hadapi kenyataan bahwa
Qrganisasi ini, dengan cara-cara yang dipergunakannya sekarang in dan
dalam bentuknya sekarang, adalah suatu hasil sistem Negara Barat.
Maafkan saya, tetapi saya tidak dapat menjunjung tinggi sistim itu.
Bahkan saya tidak dapat memandanginya dengan rasa kasih, meskipun saya
sangat menghargainya.
Imperialisme dan kolonialisme adalah buah
dari sistem negara Barat itu, dan seperasaan dengan mayoriteit yang
luas dari pada Organisasi ini, saya benci pada imperialisme, saya jijik
pada kolonialisme, dan saya khawatir akan akibat-akibat perjuangan
hidupnya yang terakhir yang dilakukan dengan sengitnya. Dua kali didalam
masa hidup saya sendiri sistim Negara Barat itu telah merobek-robek
dirinya sendiri dan pernah hampir saja menghancurkan dunia dalam suatu
bentrokan yang sengit.
Herankah Tuan-tuan, bahwa banyak diantara
kami memandang Organisasi yang juga merupakan hasil sistim Negara Barat
itu dengan penuh pertanyaan? Janganlah Tuan-tuan salah mengerti. Kami
menghormati dan mengagumi sistim telah di-ilhami oleh kata-kata Lincoln
dan Lenin, oleh perbuatan-perbuatan Washington dan oleh
perbuatan-perbuatan Garibaldi. Bahkan, mungkin, kami melihat dengan
irihati kepada beberapa diantara hasil-hasil fisik yang dicapai oleh
Barat. Tetapi kami bertekad bahwa bangsa-bangsa kami, dan dunia sebagai
keseluruhan, tidak akan menjadi permainan dari satu bagian kecil dari
dunia.
Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal, kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik !
Kami berusaha membangun suatu dunia yang
sehat dan aman. Kami berusaha membangun suatu dunia, dimana setiap orang
dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia,
dimana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha
membangun suatu dunia, dimana kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya
yang penuh.
Telah dikatakan bahwa kita hidup di
tengah-tengah suatu Revolusi Harapan Yang Meningkat. Ini tidak benar !
Kita hidup di tengah-tengah Revolusi Tuntutan Yang Meningkat. Mereka
yang dahulunya tanpa kemerdekaan, kini menuntut kemerdekaan. Mereka yang
dahulunya tanpa suara, kini menuntut, agar suaranya di dengar.
Mereka yang dahulunya kelaparan, kini
menuntut beras, banyak-banyak dan setiap hari. Mereka yang dahulunya
buta huruf, kini menuntut pendidikan.
Seluruh dunia ini merupakan suatu sumber-sumber tenaga Revolusi yang besar, suatu gudang mesiu revolusioner yang besar.
Tidak kurang dari tiga-perempat ummat
manusia terlibat di dalam Revolusi Tuntutan Yang Meningkat, dan inï
adalah Revolusi Maha hebat sejak manusia untuk pertama kalinya berjalan
dengan tegak disuatu dunia yang murni dan menyenangkan.
Berhasil atau gagalnya Organisasi ini
akan dinilai dari hubungannya dengan Revolusi Tuntutan Yang Meningkat
itu. Generasi-generasi yang akan datang akan memuji atau mengutuk kita
atas jawaban kita terhadap tantangan ini.
Kita tidak berani gagal. Kita
tidak berani membelakangi sejarah. Jika kita berani, kita sungguh tidak
akan tertolong lagi. Bangsa saya bertekad tidak akan gagal. Saya tidak
berbicara kepada Tuan-tuan karena lemah, saya berbicara karena kuat.
Saya sampaikan kepada Tuan-tuan dalam dari sembilan puluhdua juta rakyat
dan saya sampaikan kepada Tuan-tuan tuntutan bangsa itu. Kita mempunyai
kesempatan untuk bersama-sama membangun suatu dunia yang lebih baik,
suatu dunia yang lebih aman. Kesempatan ini mungkin tidak akan ada lagi.
Maka peganglah, genggamlah kuat-kuat, dan pergunakanlah kesempatan itu.
Tidak seorangpun yang mempunyai kemauan
baik dan kepribadian, akan menolak harapan-harapan dan
keyakinan-keyakinan yang telah saya kemukakan atas nama bangsa saya, dan
sesungguhnya atas nama seluruh ummat manusia. Maka marilah kita
berusaha, sekarang juga dengan tidak menunda lagi, mewujudkan
harapan-harapan itu menjadi kenyataan.
Sebagai suatu langkah yang praktis kearah
ini, maka merupakan kehormatan dan tugas bagi saya untuk menyampaikan
suatu Rancangan Resolusi kepada Majelis Umum ini.
Atas nama Delegasi-Delegasi Ghana, India,
Republik Persatuan Arab, Yugoslavia dan Indonesia, saya sampaikan
dengan ini resolusi sebagai berikut :
“MAJELIS UMUM,
“MERASA SANGAT CEMAS berkenaan dengan
memburuknya hubungan-hubungan internasional akhir-akhir ini, yang
mengancam dunia dengan konsekwensi-konsekwensi berat;
“MENYADARI harapan besar dari dunia ini
bahwa Majelis ini akan membantu dalam menolong mempersiapkan jalan
kearah keredaan ketegangan dunia;
“MENYADARI tanggung jawab yang berat dan
mendesak yang terletak di atas bahu Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk
mengambil inisiatif dalam usaha-usaha yang dapat membantu;
“Minta sebagai langkah pertama yang
mendesak, agar Presiden Amerika Seríkat dan Ketua Dewan Menteri
Republik-Republik Sovyet Sosialis memulai kembali kontak-kontak mereka
yang telah terputus baru-baru ini, sehingga kesediaan yang telah mereka
nyatakan untuk mencari dengan perundingan-perundingan pemecahan
masalah-masalah yang terkatung-katung dapat dilaksanakan secara
progresif”.
Tuan Ketua, perkenankanlah saya memohon,
atas nama Delegasi-Delegasi kelima negara tersebut di atas, supaya
resolusi ini mendapat pertimbangan Tuan yang segera. Sepucuk surat
dengan maksud itu, ditandatangani oleh para Ketua Delegasi-Delegasi dari
Ghana, India, Republik Persatuan Arab, Yugoslavia dan Indonesia, telah
disampaikan kepada Sekretariat.
Saya sampaikan Rancangan Resolusi ini atas nama kelima Delegasi itu dan atas nama jutaan rakyat yang hidup di negara-negara itu.
Menerima Resolusi ini merupakan suatu
langkah yang mungkin dan langsung dapat diselenggarakan. Maka hendaknya
Majelis Umum ini menerima Resolusi ini secepat-cepatnya. Marilah kita
mengambil langkah praktis itu kearah peredaan ketegangan dunia yang
membahayakan. Marilah kita menerima Resolusi ini dengan suara bulat,
sehingga segenap tekanan dari kepentingan dunia dapat dirasakan. Marilah
kita mengambil langkah pertama ini, dan marilah kita bertekad untuk
melanjutkan kegiatan dan desakan kita sampai tercapainya dunia yang
lebih baik dan lebih aman seperti yang kita bayangkan.
Ingatlah apa yang telah terjadi
sebelumnya. Ingatlah akan perjuangan dan pengorbanan yang dialami oleh
kami, anggauta-anggauta baru dari Organisasi ini. Ingatlah bahwa usaha
keras kita telah disebabkan dan diperpanjang oleh penolakan dasar-dasar
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami bertekad agar hal ini tidak akan
terjadi lagi.
Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah
dunia ini kokoh dan kuat dan sehat! Bangunlah suatu dunia dimana semua
bangsa hidup dalam dunia damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang
sesuai dengan impian dan cita-cita ummat manusia. Putuskan sekarang
hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan
sekarang hubungan dengan masa-lampau, sehingga kita bisa mempertanggung
jawabkan diri terhadap masa depan.
Saya memanjatkan do’a hendaknya Yang Maha Kuasa memberi Rachmat dan Bimbingan kepada permusyawaratan Majelis ini.
Terima kasih!
Sumber : http://penasoekarno.wordpress.com/2009/11/08/pidato-pres-soekarno-di-su-pbb-2/
{[['']]}
Label:
Indo
,
Jawa
,
Jejak Sejarah
,
SejarahRI
Pidato Presiden Sukarno Tekad Membebaskan Irian Barat
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
6:33 PM
with
No comments
Tekad Membebaskan Irian Barat
Saudara-saudara, lebih dahulu sebagai
biasa, salam Islam: Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Kemudian, pekik merdeka: Merdeka!
Saudara-saudara, sekalian, November 60
Bapak datang disini, dan sekarang syukur alhamdulillah datang lagi
disini. Sekarang bulan April 1962. Waktu Bapak dalam bulan Nopember 60
datang disini, Bapak berjanji kepada Rakyat, bahwa pembangunan jembatan
Musi segera akan dimulai, dan pada waktu itu Bapak berkata: jembatan
Musi ini harus selesai dalam waktu tiga tahun. Jadi sebenarnya jembatan
ini sudah harus dibuka, November 60 ditambah dengan tiga tahun, November
63. Tapi, yah Saudara-saudara, berhubung dengan beberapa kesulitan yang
harus diatasi lebih dahulu, pemancangan tiang pertama daripada jembatan
Musi itu Insya Allah S.W.T baru dapat dijalankan hari ini,10 April
1962. Jadi kalau saya hitung 3 tahun lagi, lama menjadi 10 April 1965.
Karena itu, ya, meskipun Bapak minta maaf kepada Saudara-saudara
sekalian, bahwa permulaan pekerjaan membuka atau membuat jembatan Musi
itu baru bisa berjalan hari ini, Bapak sekarang perintahkan supaya
jembatan Musi bisa dibuka tanggal 10 April 1964. Dan terutama sekali
kepada pihak Jepang yang akan menjadi aannemer. Duta besar …..saya minta
berdiri. Ini Saudara-saudara Duta besar Jepang. Saya minta agar pihak
Jepang yang menjadi aannemer daripada jembatan ini bekerja keras, supaya
pada 10 April 1964 jembatan Musi sudah bisa dibuka. Kepada rakyat saya
minta bantuan juga sekeras-kerasnya. Nanti permulaan bulan April 1964
itu, ya sedialah masing-masing kambing untuk dipotong, ayam untuk
dipotong.
Ya, kecuali daripada pihak Jepang saya
minta kerja keras, saya minta juga supaya Rakyat Palembang bekerja keras
pula membantu agar supaya jembatan itu selesai. Ya, sebagai kemarin
saya katakan, Saudara-saudara sekalian, kan kita ini didalam satu
revolusi yang saya namakan revolusi simultan. Coba tirukan: si-mul-tan,
si-mul-tan. Apa itu artinya? Artinya simultan yaitu
serentak-sekaligus-bersama-sama. Simultan serentak-sekaligus-
bersama-sama. Itu adalah arti perkataan simultan.
Memang revolusi kita ini adalah satu
revolusi yang serentak sekaligus-bersama-sama. Macam-macam revolusi kita
kerjakan bersama-sama. Dan sering sudah saya katakan bahwa revolusi
Indonesia itu adalah revolusi pancamuka. Panca artinya lima, muka
artinya muka. Muka lima. Rai, kata Pak Bastari. Rainya, mukanya revolusi
kita itu paling sedikit lima. Kataku berulang- ulang, revolusi kita
adalah revolusi nasional. Itu situ muka, untuk mendirikan satu negara
nasional yang besar. Revolusi kita adalah revolusi politik untuk
merombak cara pemerintahan yang kolot, yang kuno, yang feodal, yang
aristokratis, yang otokratis, yang diktator dan lain-lain dengan satu
cara pemerintahan demokratis yang sejati. Revolusi kita adalah pula
revolusi ekonomi, untuk merobah lama sekali ekonomi kolonial menjadi
satu ekonomi nasional. Revolusi kita adalah revolusi sosial, untuk
merobah satu masyarakat, susunan masyarakat yang kapitalis, yang membuat
gendut perutnya beberapa orang saja, menjadi satu susunan masyarakat
yang adil dan samarasa-samarata. Ha? (Hadirin: Makmur dulu pak!) Ha,
apa? (Hadirin: Makmur dulu pak!) Nanti dulu! Makmur dulu pak! Mau
makmur, tapi tidak adil? (Hadirin: Tidak!) Adil tetapi makmur, makmur
tetapi adil. Tempo hari saya katakan disini jangan cuma makmur tok,
makmurnya beberapa orang, tidak adil dikalangan Rakyat. Makmur beberapa
orang yang selalu berbuat demikian, kalau tempo hari. Makmur! Makmur!
Makmur! Makmur! Ya makmur dan adil. Makmur tetapi adil, adil tetapi
makmur. Ini adalah revolusi sosial.
Revolusi kita adalah juga satu revolusi
kebudayaan, untuk merobah satu susunan kebudayaan kolot, feodal,
kolonial menjadi satu kebudayaan Indonesia yang baru.
Malahan lebih daripada lima ini! Revolusi
kita kataku, adalah juga satu revolusi untuk membuat satu macam manusia
Indonesia baru. Manusia Indonesia itu Saudara-saudara, bukan yang baru,
manusia Indonesia seperti yang sudah-sudah, hmm, badannya kecil-kecil,
kerempeng-kerempeng. Ngerti tidak, perkataan kerempeng? Bukan manusia
yang gagah, yang jiwanya tegap, tetapi manusia yang, kata orang Jawa:
“Nun inggih”, “sumuhun dawuh”, kata orang Sunda. Tidak, tetapi manusia
yang jiwanya tegap, badannyapun, potongannya bagus-bagus. Ya, membikin
satu jenis manusia Indonesia baru, dengan jiwa Indonesia yang baru pula.
Karena itu Bapak berkata, revolusi kita ini revolusi macam-macam
revolusi, dikumpulkan dalam satu revolusi yang mahabesar. Bahkan pernah
saya katakan, dengan mengejek Duta besar Sovyet Uni yang duduk disana
itu, saya berkata bahwa revolusi Indonesia malahan lebih besar dan lebih
luas daripada revolusinya Duta besar Sovyet Uni. Lebih besar daripada
revolusi Amerika. Amerika itu pernah berevolusi Saudara-saudara! Amerika
itu pernah dijajah oleh Inggris. Kemudian dalam tahun 1776 mengadakan
satu revolusi, melepaskan dirinya daripada penjajahan Inggris, sehingga
Amerika menjadi satu negara yang berdiri sendiri. Tapi revolusinya itu
cuma revolusi nasional saja. Hanya revolusi politik saja. Yaitu sekadar
mengenyahkan kolonialisme Inggris dari bumi Amerika. O, kita bukan,
bukan cuma politik atau nasional saja. Tidak! Revolusi kita adalah
revolusi yang luas, yang macam- macam. Dan hebatnya macam-macam revolusi
harus kita jalankan serentak sekaligus bersama-sama. Karena itu aku
katakan revolusi Indonesia, didalam pidato saya kemarin pada waktu
memperingati Hari Penerbangan Nasional: Revolusi kita adalah satu
revolusi simultan. Sekali lagi: Revolusi kita adalah satu revolusi
simultan. Harus serentak-sekaligus-bersama-sama, artinya sekarang ini
kita menjalankan, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi
ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi kulturil, kebudayaan, ya
revolusi membuat manusia baru, ya revolusi didalam segala hal. Dan coba
kita, misalnya saja sedang kita ini mengadakan perjuangan memasukkan
Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan Republik. Dalam pada kita
menjalankan perjuangan itu, kita ya menambah produksi padi, kita ya
mengadakan revolusi dilapangan kebudayaan, kita ya mengadakan revolusi
dilapangan politik, kita ya mengadakan revolusi dilapangan sosial dan
lain-lain sebagainya. Simultan! Nah, maka membuat jembatan Musi pun
adalah satu unsur kecil daripada revolusi simultan itu tadi. Karena itu
harus kita tanggulangi, harus kita jalankan dengan semangat yang
revolusioner. Jangan ngulerkambang kita membuat jembatan musi itu.
Jangan kita setengah-setengah, jangan kita Senen-Kemis menjalankan
jembatan Musi itu. Sebab harus kerja keras membanting tulang, memeras
kita punya tenaga agar supaya 10 April 1964 selesai. Boleh potong ayam,
boleh potong kambing, boleh makan ikan belida. Empek-empek boleh! Saya
tidak tahu ini, yang menjalin pidato itu menjalin perkataan empek-empek
itu dalam bahasa Inggrisnya apa. I think you cannot translate the word,
“empek-empek”. Tidak bisa disalin didalam bahasa Inggris. Disalin dalam
bahasa Indonesiapun tidak bisa, apa lagi dalam Bahasa Jawa, atau bahasa
Kalimantan, tidak bisa. Itu khas, khas bahasa Palembang, “empek-empek”.
Ah, Saudara-saudara, kita menjalankan
revolusi simultan dilapangan ekonomi, sosial dan lain-lain sebagainya,
juga dilapangan masional, politik masional. Maka oleh karena itu saya
amat bergembira sekali bahwa Saudara-saudara menyambut pidato Pak
Achmadi tadi dengan semangat yang gegap gempita. Kemarinpun sudah saya
katakan bahwa meskipun kita mau berunding, tetapi toh kita bertekad
bulat untuk memasukkan Irian Barat didalam wilayah kekuasaan Republik
dalam tahun ini juga. Sekarang ini sudah bulan April, tanggal 10. Kalau
aku hitung, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober,
November, Desember, tinggal 9 bulan lagi, Saudara-saudara. Sebelum
sembilan bulan ini lalu, Irian Barat harus sudah masuk didalam kekuasaan
Republik. Ini perlu saya tegaskan sekali lagi. Kita sudah bersumpah,
engkau sudah bersumpah kepada batinmu sendiri, engkau sudah bersumpah,
engkau sudah bersumpah, engkau hai prajurit-prajurit sudah bersumpah,
kita sekalian sudah bersumpah memasukkan Irian Barat kedalam wilayah
kekuasaan Republik dalam tahun 62 ini juga.
Nah, tapi kita mau berunding. Begini
Saudara-saudara, tempo hari tanggal 19 Desember tahun yang lalu saya
memberikan Trikomando Rakyat atau Trikora. Pokok isi daripada Trikomando
itu apa? Ya, Saudara-saudara tahu, sudah tahu semuanya, saya beri
perintah kepada seluruh Angkatan Perang untuk siap sedia, setiap waktu
kalau mendapat perintah untuk membebaskan Irian Barat. Kepada Rakyat
juga. Satu: gagalkan Negara Papua. Dua: pancangkan Sang Merah Putih di
Irian Barat. Tiga: mobilisasi umum akan kita laksanakan. Pokok, pokok,
pokok arti daripada Trikomando ialah, bahwa kita harus membebaskan Irian
Barat, bahwa kita harus menduduki Irian Barat, bahwa kita harus
memancangkan Sang Merah Putih, Sang Dwiwarna di Irian Barat. Itu adalah
pokok arti daripada Trikomando Rakyat. Didalam Trikomando ini, coba
bacakan, tidak kuberitahu jalannya apa. Tidak kukatakan harus Trikomando
TNI, atau membebaskan Irian Barat ini, harus dengan perundingan. Tidak!
Atau tidak pula tertulis disitu harus kita gempur dengan Angkatan
Bersenjata. Tidak. Tidak. Cuma sekadar aku perintahkan: gagalkan “Negara
Papua”, kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat. Pokoknya dua
ini, tiga yaitu dengan mobilisasi umum dan lain-lain sebagainya, asal
Irian Barat dalam tahun ini juga menjadi satu bagian kekuasaan defacto
daripada Republik Indonesia. Jalannya macam-macam. Oleh karena itu Bapak
berkata, kita memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan Republik
tahun ini juga dengan segala jalan. Segala jalan itu apa? Ya segala.
Seperti itu tadi, tulisan tadi bagaimana bunyinya? “Dengan damai atau
dengan kekerasan”. Itu segala, Saudara-saudara. Kalau bisa dengan jalan
damai, ya dengan jalan damai, kalau harus dengan kekerasan, ya harus
dengan kekerasan pula. Segala jalan, kataku, harus kita jalankan. Kalau
misalnya mesti, umpamanya saya ketawa-ketawa, dengan misalnya saya de
Quay atau Luns, – tahu tidak nama de Quay? Tahu tidak nama Luns?-kalau
umpamanya bisa saya masukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan.
Republik dengan, hmmm, ketawa-ketawa dengan de Quay, dengan Luns, akan
saya jalankan itu Saudara-saudara. Kalau kita memasukkan Irian Barat
dengan jalan perundingan, insya Allah itupun harus kita jalankan. Asal
tahun’62 Irian Barat masuk kedalam wilayah kekuasaan Republik. Tetapi
sebaliknyapun kalau harus dengan hantaman senjata, kita tidak dengan
tedeng aling-aling kita berkata: hayo kita gempur pihak Belanda di Irian
Barat. Segala hal harus kita jalankan. Ha, memang sebagai dikatakan
oleh Pak Achmadi itu, imperialisme itu kita tidak beri ampun,
Saudara-saudara. Kita malahan sudah terlalu lama memberi ampun kepada
imperialisme di Irian Barat. Terlalu lama. Sekarang datanglah saat yang
kita dalam tahun ini pula, tidak memberi ampun kepada imperialisme di
Irian Barat. Nah, ini pegang teguh ya! Bung Karno, katakanlah Bung Karno
itu apa, entah Presidenkah, entah Panglima Tinggikah, entah Panglima
Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Baratkah, entah Pemimpin Besar
Revolusikah, entah paling akhir ini dijadikan Panglima Besar Komando
Tertinggi Ekonomi seluruh Indonesiakah, atau ya, sekadar Bung Karno,
sebetulnya itu yang saya paling senang. Titel Bung Karno, penyambung
lidah rakyat itu yang paling kucintai, katakanlah Saudara-saudara, asal
masuk Irian Barat didalam tahun 62 ini, dengan politik dan dengan
bantuan rakyat, dengan lidah, dengan kekuatan senjata, asal Irian Barat
masuk kedalam wilayah kekuasaan Republik dalam tahun ini juga, itu kita
menjalani di satu jalan yang benar. Sebab Saudara-saudara, Saudara tahu
bahwa sejak beberapa hari ini ada pihak ketiga yang mengusulkan satu
cara memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan Republik. Satu
cara. Yaitu yang sudah diusulkan oleh pihak ketiga yang kemarin didalam
pidato saya dimuka hadirin dan hadirat pada perayaan hari Penerbangan
Nasional sudah saya jelaskan, bahwa kita pada prinsipnya setuju dengan
apa yang diusulkan oleh pihak ketiga ini. Caranya? Caranya, caranya itu
bagaimana didalam usul pihak ketiga itu? Begini: Belanda, ya, barangkali
Belanda itu malu memberikan Irian Barat ini kembali kepada Indonesia,
seperti saya memberi saputangan kepada Pak Harum Sohar ini. Barangkali
malu. Saya tidak perduli, asal pada akhir tahun ini Irian Barat kembali
kedalam wilayah kekuasaan Republik.
Nah, Belanda misalnya mau lebih dahulu
minta tolong. Misalnya memberikan saputangan ini kepada Pak Harun Sohar.
Saya tidak keberatan. Boleh. Malahan tadi pagi saya berkata kepada Pak
Adam Malik: tidak perduli, mau dengan jalan PBB supaya tangan PBB
dipinjam oleh Belanda, diberikan kepada Indonesia Irian Barat itu. Tidak
perduli PBB bahkan meskipun meminjam tangannya setan, aku tidak
perduli. Ya, meskipun tangannya setan. I do not care. I do not mind,
asal Irian Barat pada tahun’62 ini juga kembali kepada kita, kepada
Indonesia.
Jadi yang saya terima pada prinsipnya
yaitu bahwa, ini usul pihak ketiga, Irian Barat oleh Belanda harus
dikembalikan kepada Indonesia. Caranya dengan via PBB, OK. all right;
meskipun via apapun, saya all right.
Lha ini Saudara-saudara, harus dimengerti
oleh Saudara- saudara bahwa kita tetap memegang teguh pada jangka
waktu, yaitu ’62, dengan via tangan siapapun tidak perduli, asal pada
akhir tahun ’62 ini Irian Barat telah kembali kepada pangkuan Republik
Indonesia.
Jelas tidak? Ada dari pihak kita itu yang
berkata: O, tidak setuju 2 tahun. Siapa bilang saya mau terima dua
tahun itu’? Ya, catat wartawan-wartawan! Siapa yang bilang saya akan mau
terima dua tahun itu? Tidak, April, Mei, Juni, Juli, Agustus,
September, Oktober, November, Desember. Sembilan bulan kurang sepuluh
hari, Saudara-saudara! Jangan kata saya terima dua tahun! Tidak! Saya
sebagai penyambung lidah Rakyat Indonesia berkata dalam waktu: dalam
waktu sembilan bulan kurang sepuluh hari, Irian Barat sudah harus
kembali kedalam wilayah kekuasaan Republik. Tetapi prinsipnya, caranya
ini, saya terima. Dan ini saya minta dicatat oleh semua Duta besar-duta
besar yang ada disini, bahwa saya menerima prinsip cara penyerahan
sebagai diusulkan oleh ketiga pihak itu. Prinsipnya yaitu dengan cara
itu tadi. Seperti itu tadi, seperti kita kasih saputangan via ini, via
itu, dengan melalui jalan Pak Bastari ke Pak Harun Sohar. Nah ini, tetap
saya berharap agar supaya Belanda sadar, bahwa tuntutan kita memasukkan
Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan Republik dalam tahun ini,
bukanlah sedekar tuntutan Sukarno. Ah tidak! Apakah benar cuma tuntutan
Bung Karno saja? Ini tadi, aku sudah berkata kepada Duta Besar Amerika
begini: Look, look for yourself! look for yourself! Maksudnya itu
lihatlah sendiri, rakyat yang menghendaki agar supaya Irian Barat itu
masuk kedalam wilayah kekuasaan Republik, dalam tahun 1962. Bukan
Sukarno, bukan Achmadi, bukan Chaerul Saleh, bukan Zainul Arifin, bukan
Suprayogi, bukan Kadarusman, bukan Pak Yamin yang termenung duduk
disana. Buka Pak Bastari, bukan Pak Harun Sohar, tetapi seluruh rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke, 96 juta rakyat menuntut,
menghendaki, bertekad, bersumpah, agar supaya Irian Barat masuk kedalam
wilayah kekuasaan Republik dalam tahun ini juga. Saya berkata, rakyat
dari Sabang sampai Merauke, Rakyat Indonesia yang berdiam di Irian Barat
pula. Tidakkah benar, Rakyat Irian Barat ingin masuk kedalam wilayah
kekuasaan Republik? Tidakkah benar sudah ada pertempuran di Kotabaru,
Ibukota Irian Barat? Tidakkah benar sudah ada pertempuran di Waigo?
Tidakkah benar, sudah ada pertempuran dipulau Gag? Tidakkah benar, sudah
ada pertempuran di dekat Sorong? Tidakkah benar sudah ada pertempuran
di dekat Fak-Fak? Tidakkah benar, sudah ada pertempuran di dekat
Kaimana? Benar! Dan saya berkata: Kalau “naga-naga”-nya begini
Saudara-saudara “naga-naga”-nya begini, pihak Belanda mengulur-ulur
waktu, pihak Belanda tidak lekas-lekas memberi kembali Irian Barat
kepada kita, supaya dalam tahun ini juga Irian Barat masuk kedalam
wilayah kekuasaan Republik, kalau terus “naga-naga”-nya begini, seluruh
rakyat Indonesia akan berontak di Irian Barat terhadap imperialisme
Belanda.
Yah, oleh karena itu Saudara-saudara,
kita berbesar hati, Insya Allah S.W.T, Irian Barat masuk kedalam wilayah
kekuasaan kita dalam tahun ini juga. Bukan saja kita, sebagai sudah
kukatakan pada waktu saya berpidato pada Hari Idul Fitri, kita mendapat
berkah, Insya Allah S.W.T dari pada Allah Ta’ala, tapi juga sebagai tadi
dikatakan oleh Pak Achmadi, hmm, simpatinya, bantuan rakyat-rakyat
diseluruh dunia ditemplokan kepada kita. Coba, Belanda itu apa tidak
malu! Coba sampai sekarang masih kirim bala bantuan ke Irian Barat
dengan kapal udara. Sampai, dari Negara Belanda kapal udaranya ke Peru
lebih dahulu, ke Latin Amerika dulu, Amerika Selatan, baru ke Irian
Barat. Kok tidak malu! Sebab apa? Ditolak oleh negara-negara lain:
Engkau tidak boleh membawa bala-bantuan ke Irian Barat melalui lapangan
terbang kami. Negara-negara lain juga menolak: Tidak boleh, tidak boleh;
Belanda, Engkau tidak boleh mendarat dilapangan terbang kami membawa
serdadu-serdadu untuk menggempur Republik Indonesia di Irian Barat.
Sampai Luns mencari-cari jalan, sampai nelusup-nelusup ke Peru, Saudara-
saudara, Lho kok tidak malu. Kata orang Jawa: “pancen rai gedek”! Kata
Palembang juga “rai gedek”. Kalau aku menjadi pihak Belanda, aku melihat
keadaan dunia simpati kepada Republik Indonesia ini, ya, sadar, memang
sejarah menghendaki demikian, sadar, memang kami fikak Belanda salah,
sadar, memang Republik Indonesia adalah dijalan yang benar, berdiri
diatas tuntutan yang halal, yang benar. Tetapi entah, entah, entah,
Saudara-saudara.
Tetapi sebaliknya pun kita kepada pihak
Belanda itu Saudara-saudara, atau kita kenal kepada
imperialis-imperialis Belanda, yang dulupun sudah berpuluh-puluh tahun
menjalankan politik semacam ini terhadap kita. Tetapi ingat
Saudara-saudara, meskipun kita pada waktu itu tidak mempunyai jetbomber
seperti sekarang, meskipun kita pada waktu itu tidak mempunya MIG 19
seperti kemarin Saudara-saudara, – kemarin rakyat di Jakarta, dan orang
asing di Jakarta terperanjat melihat MIG kita diudara seperti kilat,
memecahkan sound barrier, Sound barrier itu batas kecepatan suara.
Saking cepatnya kita punya MIG 19 itu. MIG 19 ini pesawat udara kita,
lebih cepat daripada cepatnya suara, maka pada saat ia memecah ini,
Saudara-saudara, suaranya lebih hebat daripada guntur. Nah semua orang
terperanjat, sampai ada Ibu-ibu yang kaget nyusup kebelakang, dibawah kolong.-Nah,
meskipun kita dulu tidak mempunyai MIG 19, meskipun dulu kita tidak
mempunyai Ilyushin bomber, meskipun dulu kita tidak mempunyai TU
Shobulov bomber, meskipun dulu kita tidak mempunyai bedil, meskipun
tidak mempunyai senapan meskipun dulu kita tidak mempunyai bom, tidak
mempunyai dinamit, tidak mempunyai segala alat peperangan seperti kita
punya sekarang, meskipun dulu kita tidak mempunyai kapal perusak dari
ALRI, meskipun dulu kita tidak mempunyai MTB-MTB, meskipun dulu kita
tidak mempunyai persenjataan lengkap seperti sekarang ini, toh
Saudara-saudara, didalam revolusi fisik yang 5 tahun, kita bisa
mempertahankan Republik Indonesia sehingga pada tanggal 27 Desember
1949, Republik diakui oleh pihak Belanda dan oleh dunia internasional.
Meskipun kita bisa membuat Republik kita ini makin lama makin besar,
makin kuat, meskipun ada pemberontakan, ada gerombolan-gerombolan, toh
kita makin lama makin kuat, makin lama makin kuat. Tanyakan Duta
besar-duta besar yang hadir disini Saudara-saudara, tidakkah benar,
bahwa Republik Indonesia ini adalah satu negara yang sekarang ini
bertumbuh kearah kekuatan dan kesentausaan? En toh, Saudara-saudara,
dulu kita ini mempunyai apa, Saudara- saudara? Tidak mempunyai senapan
tidak mempunyai boomer, tidak mempunyai jet-fighters, tidak mempunyai
kapal-kapal perang, tidak mempunyai alat-alat senjata seperti sekarang
ini.Tetapi sebagai kekuatan, berulang-ulang, sejak dari mulanya kita
mempunyai semangat yang menyala-nyala cinta kepada kemerdekaan: Sekali
merdeka tetap merdeka! Dan semenjak proklamasi berkobar-kobar,
bernyala-nyala, berapi-api didalam dada kita sampai kepada saat sekarang
ini. Dan Insya Allah SWT sampai seterusnya, Saudara-saudara, saya minta
seluruh dunia melihat semangat Indonesia ini, semangat daripada manusia
Indonesia baru sebagai yang saya maksudkan didalam permulaan pidato
saya ini tadi, bahwa kita membangun satu jenis manusia baru yang fisik
dadanya tegap, dan jiwapun tegap, semangatnya tegap, tekadnya tegap,
rakyatnya tegap, tiap tetes darah didalam badan kita itu tegap. Tegak
berdiri diatas kebenaran, tegak untuk mendirikan satu masyarakat yang
adil dan makmur, tegak untuk mempertahankan dan menyempurnakan
kemerdekaan kita ini. Hendaknya Sang Merah-Putih ini benar-benar,
Saudara-saudara, menjadi lambang daripada kejayaan manusia didunia ini.
Lambang daripada kejayaan insanul kamil didunia ini. Lambang daripada
tekad sesuatu bangsa yang sekali telah bersumpah: Sekali merdeka, tetap
merdeka! Dan menjalankan sumpahnya itu dengan segala konsekwensinya!
Saudara-saudara, saya sekarang hendak
pergi ke jembatan Musi untuk mulai pekerjaan membangun jembatan Musi
itu. Sekali lagi saya minta, agar supaya jembatan Musi ini dengan kerja
keras daripada aannemer, dengan bantuan kerja keras daripada seluruh
masyarakat Indonesia, pada tanggal 10 April 1964 bisa dibuka, dan Insya
Allah S.W.T, jikalau diberi oleh Tuhan hendaknya, saya ingin menjadi
manusia yang pertama yang melewati jembatan Musi pada tanggal 10 April
1964.
Sekian Saudara-saudara, Assalamu’alaikum ww.
Merdeka!
Salam Revolusi
Sumber : http://penasoekarno.wordpress.com/2010/09/28/tekad-membebaskan-irian-barat/
Indo
,
Jawa
,
Jejak Sejarah
,
SejarahRI
,
{[['']]}
Label:
Indo
,
Jawa
,
Jejak Sejarah
,
SejarahRI
Pidato Spektakuler Presiden Soekarno
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
6:27 PM
with
No comments
Pidato Spektakuler Presiden Soekarno
Semarang 29 Juli 1956
“Mereka mengerti bahwa kita – atau mereka
– djikalau ingin mendjadi satu bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa
jang mempunjai kehendak untuk bekerdja, perlu pula mempunjai
“imagination”,: “imagination” hebat, Saudara-saudara!!!”
Inilah pidato Bung Karno di Semarang 29 Juli 1956 yang spektakuler itu.
Di pidato penting ini Bung Karno menekankan bagaimana cara, supaya Indonesia menjadi bangsa yang berpikir besar, punya impian-impian dan fantasi besar, tidak kalah dari Amerika. Wajarlah bila Bung Karno begitu dikagumi oleh bangsa Indonesia bahkan seluruh dunia. Selamat membaca.
Di pidato penting ini Bung Karno menekankan bagaimana cara, supaya Indonesia menjadi bangsa yang berpikir besar, punya impian-impian dan fantasi besar, tidak kalah dari Amerika. Wajarlah bila Bung Karno begitu dikagumi oleh bangsa Indonesia bahkan seluruh dunia. Selamat membaca.
“Saudara-saudara,
Djuga sadja pernah tjeritakan dinegara-negara Barat itu hal artinja manusia, hal artinja massa, massa.
Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia.
Bahwa manusia didunia ini, Saudara-saudara, “basically” – pada dasar dan
hakekatnja – adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena
itu manusia inilah jang harus diperhatikan. Bahwa massa inilah achirnja
penentu sedjarah, “The Makers of History”. Bahwa massa inilah jang tak
boleh diabaikan ~ dan bukan sadja massa jang hidup di Amerika, atau
Canada, atau Italia, atau Djerman, atau Swiss, tetapi massa diseluruh
dunia.
Sebagai tadi saja katakan: Bahwa “World
Prosperity”, “World Emancipation”, “World Peace”, jaitu kekajaan,
kesedjahteraan haruslah kekajaan dunia : bahwa emansipasi adalah harus
emansipasi dunia; bahwa persaudaraan haruslah persaudaraan dunia ; bahwa
perdamaian haruslah perdamaian dunia ; bahwa damai adalah harus
perdamaian dunia, berdasarkan atas kekuatan massa ini.
Itu saja gambarkan, saja gambarkan dengan
seterang-terangnja. Saja datang di Amerika,- terutama sekali di Amerika
– Djerman dan lain-lain dengan membawa rombongan. Rombongan inipun
selalu saja katakan : Lihat, lihat , lihat, lihat!! Aku jang diberi
kewadjiban dan tugas untuk begini : Lihat, lihat, lihat!! – Aku membuat
pidato-pidato, aku membuat press-interview, aku memberi
penerangan-penerangan; aku jang berbuat, “Ini lho, ini lho Indonesia,
ini lho Asia, ini lho Afrika!!”
Saudara-saudara dan rombongan : Buka mata, Buka mata! Buka otak! Buka telinga
Perhatikan, perhatikan keadaan!
Perhatikan keadaan dan sedapat mungkin tjarilah peladjaran dari pada hal
hal ini semuanja, agar supaja saudara saudara dapat mempergunakan itu
dalam pekerdjaan raksasa kita membangun Negara dan Tanah Air.
Apa jang mereka perhatikan,
Saudara-saudara? Jang mereka harus perhatikan, bahwa di negara-negara
itu – terutama sekali di Amerika Serikat – apa jang saja katakan tempoh
hari disini ” Hollandsdenken ” tidak ada.
“Hollands denken” itu apa? Saja bertanja
kepada seorang Amerika. Apa “Hollands denken” artinja, berpikir secara
Belanda itu apa? Djawabnja tepat Saudara-saudara “That is thinking
penny-wise, proud, and foolish”, katanja.
“Thinking penny-wise, proud and foolish”.
Amerika, orang Amerika berkata ini, “Thinking penny-wise” artinja
Hitung……..satu sen……..satu sen……..lha ini nanti bisa djadi dua senapa
`ndak?…….. satu sen……..satu sen……… “Thinking penny-wise”………”Proud” :
congkak, congkak, “Foolish” : bodoh.
Oleh karena akhirnja merugikan dia punja
diri sendirilah, kita itu, Saudara-saudara, 350 tahun dicekoki dengan
“Hollands denken” itu. Saudara-saudara, kita 350 tahun ikut-ikut, lantas
mendjadi orang jang berpikir “penny-wise, proud and foolish”
Jang tidak mempunjai “imagination”, tidak
mempunjai konsepsi-konsepsi besar, tidak mempunjai keberanian – Padahal
jang kita lihat di negara-negara lain itu, Saudara-saudara, bangsa
bangsa jang mempunjai “imagination”, mempunjai fantasi-fantasi besar:
mempunjai keberanian ; mempunjai kesediaan menghadapi risiko ; mempunjai
dinamika.
Washington Monument, didirikan tahun 1884
George Washington Monument misalnja,
tugu nasional Washington di Washington, Saudara-saudara : Masja Allah!!! Itu bukan bikinan tahun ini ; dibikin sudah abad jang lalu, Saudara-saudara. Tingginja! Besarnja! Saja kagum arsiteknja jang mempunjai “imagination” itu, Saudara-saudara.
tugu nasional Washington di Washington, Saudara-saudara : Masja Allah!!! Itu bukan bikinan tahun ini ; dibikin sudah abad jang lalu, Saudara-saudara. Tingginja! Besarnja! Saja kagum arsiteknja jang mempunjai “imagination” itu, Saudara-saudara.
Bangsa jang tidak mempunjai :
imagination” tidak bisa membikin Washington Monument. Bangsa jang tidak
mempunjai “imagination”………ja, bikin tugu, ja “rongdepo”,
Saudara-saudara. Tugu “rong depo” katanja sudah tinggi, sudah hebat.
“Pennj-wise” tidak ada, Saudara-saudara.
Mereka mengerti bahwa kita – atau mereka – djikalau ingin mendjadi satu
bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa jang mempunjai kehendak untuk
bekerdja, perlu pula mempunjai “imagination”,: “imagination” hebat,
Saudara-saudara.
Perlu djembatan? Ja, bikin
djembatan……tetapi djangan djembatan jang selalu tiap tiap sepuluh meter
dengan tjagak, Saudara-saudara, Ja , umpamanja kita di sungai
Musi…….Tiga hari jang lalu saja ini ditempatnja itu lho Gubernur
Sumatera Selatan – Pak Winarno di Palembang – Pak Winarno, hampir hampir
saja kata dengan sombong, menundjukkan kepada saja “ini lho Pak!
Djembatan ini sedang dibikin, djembatan jang melintasi Sungai Musi” –
Saja diam sadja -”Sungai Ogan” – Saja diam sadja, sebab saja
hitung-hitung tjagaknja itu. Lha wong bikin djembatan di Sungai Ogan
sadja kok tjagak-tjagakan !!
Kalau bangsa dengan “imagination” zonder tjagak, Saudara-saudara !!
Tapi sini beton, tapi situ beton !! Satu
djembatan, asal kapal besar bisa berlalu dibawah djembatan itu !! Dan
saja melihat di San Fransisco misalnja, djembatan jang demikian itu ;
djembatan jang pandjangnja empat kilometer, Saudara-saudara ; jang hanja
beberapa tjagak sadja.
Satu djembatan jang tinggi dari permukaan
air hingga limapuluhmeter; jang kapal jang terbesar bisa berlajar
dibawah djembatan itu. Saja melihat di Annapolis, Saudara-saudara, satu
djembatan jang lima kilometer lebih pandjangnja, “imagination”,
“imagination” “imagination”!!! Tjiptaan besar!!!
Jembatan raksasa Golden Gate di San Francisco,sudah berdiri sejak tahun 1937
Kita jang dahulu bisa mentjiptakan
tjandi-tjandi besar seperti Borobudur, dan Prambanan, terbuat dari batu
jang sampai sekarang belum hancur ; kita telah mendjadi satu bangsa jang
kecil djiwanja, Saudara-saudara!! Satu bangsa jang sedang
ditjandra-tjengkalakan didalam tjandra-tjengkala djatuhnja Madjapahit,
sirna ilang kertaning bumi!! Kertaning bumi hilang, sudah sirna sama
sekali. Mendjadi satu bangsa jang kecil, satu bangsa tugu “rong depa”.
Candi raksasa Borobudur di Indonesia, sudah berdiri sejak abad 9 Masehi!
Saja tidak berkata berkata bahwa Grand
Canyon tidak tjantik. Tapi saja berkata : Tiga danau di Flores lebih
tjantik daripada Grand Canyon. Kita ini, Saudara-saudara, bahan tjukup :
bahan ketjantikan, bahan kekajaan. Bahan kekajaan sebagai tadi saja
katakan : “We have only scratched the surface ” – Kita baru `nggaruk
diatasnja sadja.
Kekajaan alamnja, Masja Allah
subhanallahu wa ta’ala, kekajaan alam. Saja ditanja : Ada besi
ditanah-air Tuan? – Ada, sudah ketemu :belum digali. Ja, benar!
Arang-batu ada, Nikel ada, Mangan ada, Uranium ada. Percajalah perkataan
Pak Presiden. Kita mempunjai Uranium pula.
Kita kaja, kaja, kaja-raja,
Saudara-saudara : Berdasarkan atas “imagination”, djiwa besar, lepaskan
kita ini dari hal itu, Saudara-saudara.
Gali ! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia.
Gali ! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia.
Salam Revolusi
Sumber : http://penasoekarno.wordpress.com/2010/09/23/pidato-spektakuler-presiden-soekarno/
Indo
,
Jawa
,
Jejak Sejarah
,
SejarahRI
,
{[['']]}
Label:
Indo
,
Jawa
,
Jejak Sejarah
,
SejarahRI