oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.  
Bagian Kedelapan
A. ASPEK LANDASAN IDIIL MAHDIISME
Sebagai diketahui paham Mahdi muncul, 
adalah akibat kegagalan kaum Syi'ah berperan di bidang politik. Memang 
benar, paham ini telah dikenal secara luas di kalangan ummat Islam, 
namun pengenalan mereka tidak ditunjang oleh pengetahuan yang luas dan 
obyektif. Mereka kurang memahami proses terbentuknya paham tersebut, dan
 pada umumnya mereka mengenal paham Mahdi hanyalah lewat kitab-kitab 
hadis yang memuat hadis-hadis Mahdiyyah. Ummat Islam mengenal paham ini,
 sangat boleh jadi sesudah tersebarnya hadis-hadis Mahdiyyah secara 
intensif dalam berbagai versinya. Para ahli hadis yang meriwayatkannya, 
menurut penuturan sosiolog Muslim kenamaan, Ibn Kaldun dalam 
Muqaddimah-nya, seperti Imam Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Hakim, 
Imam Tabrani dan Abu Ya'la. Mereka itu menyandarkan hadis-hadis pada 
sekelompok sahabat Nabi seperti: 'Ali, Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, Talhah, 
Ibn Mas'ud, Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Ummu 
Habibah, Ummu Salamah, Sauban ibn Iyas, 'Ali al-Hilaliy, dan Abdullah 
Ibn Haris. Selanjutnya Ibn Khaldun menyatakan:
"Apabila pada tokoh-tokoh (orang yang 
menjadi) sanad (sandaran) hadis-hadis Mahdiyyah, terdapat cacat karena 
ia pelupa atau jelek hafalannya, lemah atau mungkin jelek pandangan 
(paham)-nya, kemudian mereka (para ahli hadis tersebut) mencari jalan 
lain untuk menyahihkan hadis Mahdiyyah atau menilainya di bawah derajat 
hadis sahih ..."1
Dalam kaitan ini al-Maududi dalam 
bukunya [kata-kata Arab] mengelompokkan hadis-hadis Mahdiyyah menjadi 
dua bagian: Pertama, hadis-hadis Mahdiyyah yang secara jelas menyebutkan
 nama "Mahdi." Kedua, hadis-hadis Mahdiyyah yang tidak menyebutkannya 
secara tegas. Akan tetapi, mengenai asal-usul keturunan al-Mahdi 
tersebut, terdapat banyak sekali riwayat yang kontroversial.2 Sebagian 
riwayat-riwayat itu, demikian al-Maududi, bahwa al-Mahdi itu adalah 
keturunan 'Ali dengan Fatimah puteri Rasulullah. Ada pula riwayat yang 
menyatakan, al-Mahdi itu berasal dari keluarga 'Abbas bahkan meluas 
sampai pada keturunan 'Abdul-Muttalib (kakek Rasulullah). Sementara 
riwayat lain lagi memberitakan bahwa tokoh (al-Mahdi) yang 
ditunggu-tunggu itu berasal dari suatu kampung yang bernama "Kara'ah," 
atau "Kadi'ah," atau "Karimah." Golongan Ahmadiyah memandang nama 
kampung tersebut di atas adalah kampung kelahiran al-Mahdi al-Ma'hud 
(Mirza Ghulam Ahmad), artinya, bahwa tokoh al-Mahdi itu dilahirkan di 
luar kota Mekkah dan Madinah.
Pernyataan hadis-hadis Mahdiyyah yang 
kontroversial seperti itu menunjukkan banyaknya motif yang timbul dari 
berbagai kelompok Muslim yang sedang bersaing dan berlomba merebut 
pengaruh, dengan menyebarkan berita-berita akan munculnya seorang tokoh 
al-Mahdi atau Juru Selamat, sesuai dengan kepentingan dan tujuan 
masing-masing. Tokoh itulah yang diisukan sebagai orang yang akan 
membebaskan mereka dari tindakan kezaliman dan penindasan dari 
lawan-lawan politiknya. Seandainya kepemimpinan seorang khalifah yang 
berwibawa, adil, memiliki kesanggupan berkorban, dan selalu berorientasi
 kepada kepentingan rakyat banyak dan melindungi mereka dari berbagai 
macam ancaman bahaya, sebagaimana pernah dilakukan oleh kedua Khalifah 
Abu Bakr dan 'Umar, sehingga kestabilan politik, ekonomi, dan keamanan 
tetap terjamin, kesatuan dan persatuan ummat Islam dapat dipertahankan, 
tentulah paham Mahdi atau Mahdiisme tidak akan muncul secepat itu. 
Dimana kemunculan paham ini didorong oleh timbulnya keresahan dan 
kerawanan dalam berbagai bidang kemasyarakatan yang mengakibatkan 
terjadinya protes-protes sosial yang sulit dihindarkan. Dalam situasi 
yang demikian itulah timbul keinginan masyarakat luas yang mendambakan 
sosok pimpinan yang dapat mengayomi kepentingan dan ketenteraman mereka,
 dari berbagai tindakan kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang 
sedang memerintah.
Dengan demikian landasan ideal paham 
Mahdi tersebut bukanlah didasarkan atas kepentingan agama tetapi, pada 
mulanya, lebih bersifat politis. Kemudian para pendukung paham ini 
sedikit demi sedikit membalut kepentingan politik tersebut dengan 
kepentingan yang bersifat keagamaan, dan barulah kemudian bermunculan 
hadis-hadis Mahdiyyah dalam berbagai versinya. Dan pada akhirnya 
tampaklah paham Mahdi ini sebagai paham keagamaan, apalagi sesudah 
banyak diantara hadis-hadis Mahdiyyah ini secara kurang selektif dimuat 
dalam kitab-kitab Sunan. Mengapa sampai terjadi yang demikian? 
Barangkali salah satu faktor penting yang perlu dicatat adalah, bahwa 
agama merupakan alat paling ampuh untuk meyakinkan masyarakat luas 
terhadap ide-ide kemahdian. Yang dikaji adalah bahwa teks-teks hadis 
Mahdiyyah pada umumnya identik dengan teks bagian akhir pernyataan Ibn 
Saba', yang tidak mempercayai kematian 'Ali ibn Abi Talib, sewaktu 
berita itu sampai ke telinganya.
1. HADIS MAHDIYYAH DAN IDENTITAS KELOMPOK
Dari fenomena tersebut di atas munculah 
dalam gerakan politik Syi'ah pengkultusan pribadi 'Ali ibn Abi Talib dan
 keturunannya. Karena sikap pengkultusan ini, penulis Barat seperti Dozy
 menilai kaum Syi'ah dalam berbagai tradisinya banyak dipengaruhi oleh 
budaya Persia, dimana rakyat memandang raja memiliki hak-hak istimewa 
yang harus dipatuhi dan diikuti seperti halnya Tuhan. Demikian pula 
golongan Syi'ah memandang 'Ali dan keturunannya atau imam-imam mereka 
sebagai memiliki kema'suman (suci dari dosa), sehingga ketundukan mereka
 kepada seorang imam tidak jauh berbeda dengan ketundukan mereka kepada 
seorang rasul.
Dalam hubungan ini Ihsan Ilahi Zahir, 
berkesimpulan bahwa sikap pengkultusan kaum Syi'ah terhadap imam-imam 
mereka, bermula sejak masuknya unsur-unsur Yahudi, Nasrani, dan Majusi 
(agama Persia kuno) ke dalam Islam. Akan tetapi, unsur yang paling 
dominan dalam tradisi Syi'ah tersebut adalah unsur kepersiaan, terutama 
dalam pengkultusan mereka terhadap para imam.3
Fenomena tersebut, tampaknya juga 
mewarnai hadis-hadis Mahdiyyah, di mana dinyatakan bahwa pasti ada 
diantara keturunan 'Ali atau Ahlul-Bait yang akan bangkit untuk 
menegakkan kembali kejayaan Islam, setelah mereka mengalami kekalahan 
yang serius, terutama untuk menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan. 
Dengan demikian, wajarlah apabila kaum Syi'ah sangat mendambakan 
hadirnya seorang Juru Selamat yang dapat membebaskan mereka dari 
berbagai kezaliman dan dapat mempertahankan eksistensinya sebagai 
penguasa tunggal di dunia Islam. Di kalangan Syi'ah Iran umpamanya, 
dalam paham kemahdiannya, nampak diwarnai oleh perasaan dendam dan 
cemburu terhadap penguasa Arab, sehingga tidak mustahil antar kedua 
bangsa itu akan selalu timbul perselisihan yang diikuti dengan tindak 
kekerasan dan reaksioner.
Perasaan tersebut sangat boleh jadi 
dipengaruhi oleh sejarah bangsa itu (Iran) sendiri. Di satu pihak, 
mereka mencapai puncak kejayaan dan merasa sebagai bangsa nomor satu di 
dunia, akan tetapi di pihak lain, mereka juga pernah dikalahkan bangsa 
Arab (tentara Islam di bawah pimpinan Khalifah 'Umar ibn Khattab). 
Tentunya oleh Khalifah, mereka yang telah memeluk Islam, diperlakukan 
sama dengan Muslim lainnya tanpa dibeda-bedakan satu dengan yang lain. 
Barangkali saja bangsa Iran ini dianggap sebagai bangsa asing atau 
'Ajam, sehingga karenanya kedudukan mereka disejajarkan dengan kedudukan
 kaum mawali (bekas budak) atau sebagai masyarakat kelas dua. Dengan 
demikian, perlakuan dinasti Umayyah terhadap bangsa Persia yang 
bertentangan dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah yang diajarkan oleh 
Nabi, tampaknya merupakan faktor yang mendorong timbulnya rasa dendam 
bangsa Persia terhadap bangsa Arab hingga sekarang.
Disamping itu, perkawinan antara puteri 
Yazdajir III dengan Husain, cucu Rasulullah, juga merupakan faktor 
tersendiri yang mendorong sebagian besar di antara mereka lebih 
cenderung menjadi pengikut Syi'ah yang menginginkan hak legitimasi 
kekhilafahan berada di tangan keturunan 'Ali dengan Fatimah. Oleh karena
 itu, lepasnya jabatan khalifah dari tangan Ahlul-Bait ke tangan pihak 
lain dipandang sebagai penyerobotan hak-hak Ahlul-Bait. Itulah sebabnya 
mereka ingin menjatuhkan dinasti Umayyah dengan jalan kekerasan 
walaupun, karena kokohnya kekuasaan Umayyah, mereka selalu gagal dan 
bahkan mereka selalu mendapat tekanan, baik di masa Umayyah maupun 
'Abbasiyyah. Karena penderitaan yang berkepanjangan inilah, mereka 
sangat mengharapkan kehadiran al-Mahdi al-Muntazar untuk membalas dendam
 mereka.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa 
faktor yang membentuk kefanatikan Syi'ah Iran terhadap paham Mahdi agak 
berbeda dengan paham Mahdi Syi'ah lainnya. Dampak dari paham Mahdi 
Syi'ah Iran tersebut terlihat nyata dalam sikap politik bangsa itu 
sampai hari ini, terutama sesudah Ayatullah Khumaini berkuasa di Iran.
Rupanya paham Mahdi ini tidak hanya 
menjadi milik golongan Syi'ah saja, tetapi di kalangan Sunni pun dikenal
 paham tersebut. Di masa Dinasti Umayyah, terutama di masa-masa 
kemundurannya, muncul pula paham seperti itu, namun tokohnya bukanlah 
al-Mahdi, tetapi Sufyani. Demikian pula halnya di kalangan dinasti 
'Abbasiyyah. Mereka menunggu-nunggu munculnya al-Mahdi lain dari 
keturunan 'Abbas. Timbulnya harapan seperti itu, tidak lain karena 
mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka yang telah silam. Oleh 
karena dinasti terakhir ini menggunakan bendera hitam sebagai lambang 
kemenangannya, maka ciri seperti ini juga muncul dalam hadis-hadis 
Mahdiyyah yang mereka pegangi.
Ada riwayat yang menyatakan, bahwa pada 
suatu saat nanti akan lahir sekelompok manusia yang datang dari arah 
timur (Khurasan) berbendera hitam dengan membawa kemenangan. Bahkan ada 
riwayat lain yang secara jelas menyebutkan bahwa mereka berperang 
melawan putera Abu Sufyan dari dinasti Umayyah dan para pendukungnya. 
Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, warna hitam merupakan lambang
 kejayaan pasukan 'Abbasiyyah yang dipimpin oleh Salman al-Farisi dari 
Khurasan. Dengan demikian, nyata sekali kepalsuan hadis Mahdiyyah 
tersebut. Kenyataan seperti itu tidak jauh berbeda dengan apa yang 
dilakukan oleh golongan Umayyah.
Dalam penyebaran paham Mahdi tersebut, 
rupanya mereka juga tidak ketinggalan untuk membuat hadis-hadis palsu 
sebagaimana dilakukan oleh golongan Syi'ah, agar paham Mahdi yang mereka
 jadikan sebagai landasan ideal perjuangan politiknya dapat diterima 
oleh masyarakat luas dan dapat memotivasi mereka untuk menjadi pendukung
 ide perjuangannya.
Dalam penuturan Ahmad Amin, pembuat 
hadis Mahdiyyah untuk golongan Umayyah adalah Khalid ibn Yazid ibn 
Mu'awiyah.4 Selanjutnya ditegaskan, bahwa kepandaian membuat hadis-hadis
 Mahdiyyah tersebut ialah dengan cara meninggalkan teks-teks hadis yang 
dapat dipakai oleh siapa saja dan untuk masa kapan saja. Apabila yang 
menang itu golongan 'Ali atau golongan 'Abbasiyyah umpamanya, maka 
hadis-hadis Mahdiyyah tersebut dapat mereka pergunakan untuk kepentingan
 mereka.5 Penggunaan nama "Sufyani" sebagai nama tokoh yang 
ditunggu-tunggu oleh golongan Mu'awiyah seperti halnya al-Mahdi yang 
ditunggu-tunggu oleh kaum Syi'ah, mungkin sekali diambil dari nama salah
 seorang tokoh putera Umayyah, yaitu Abu Sufyan, dan karena itu nama 
"Sufyani" sekaligus menjadi identitas golongan ini.
Jika hadis-hadis Mahdiyyah yang 
dipegangi oleh golongan Syi'ah itu menunjukkan, bahwa kedudukan Mahdi 
diunggulkan sehingga ia narnpak lebih tinggi daripada kedudukan 'Isa 
al-Masih, maka tidak tertutup kemungkinan ada kelompok lain yang kurang 
sependapat dengan cara-cara Syi'ah tersebut, dan mencobanya untuk 
menyejajarkan kedudukan 'Isa al-Masih dengan al-Mahdi, bahkan 
mengidentikkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah 
hadis-hadis Mahdiyyah versi lain, seperti hadis yang dijadikan pegangan 
golongan Ahmadiyyah:
"Tidak ada Mahdi selain 'Isa ibn Maryam."
Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun sebagai 
sosiolog Muslim, mencoba mengomentari hadis Mahdiyyah diatas, yang 
diriwayatkan oleh Muhammad ibn Khalid. Perawi ini, menurut penilaian 
al-Hakim dan al-Baihaqi, adalah orang yang tidak diketahui identitasnya 
(majhul) sebagai Ahli hadis dan sebagai orang yang boleh meriwayatkan 
hadis.6 Bahkan seorang Ahli hadis, Sayyid Ahmad, menilai hadis tersebut 
sebagai palsu dan tidak berdasar.
Selanjutnya dijelaskan bahwa hadis diatas, oleh sementara orang diinterpretasikan: [kata-kata Arab] artinya,
"tidak seorang (bayi) pun dalam ayunan yang dapat berbicara, selain 'Isa ibn Maryam."
Sedangkan Ibn Abi Wasil menafsirkan demikian:
"Tidak ada Mahdi yang petunjuknya serupa dengan petunjuk 'Isa Ibn Maryam."
Senada dengan hadis Mahdiyyah diatas, Imam Ahmad meriwayatkan sebagai berikut:
"Hampir tibalah saatnya orang yang hidup
 diantara kalian, akan dapat menjumpai 'Isa ibn Maryam sebagai Imam 
Mahdi dan sebagai hakim yang adil." (HR. Ahmad).
Hadis ini secara tegas menyamakan antara
 Mahdi dan 'Isa al-Masih sebagai satu pribadi. Yang menjadi pertanyaan, 
apakah kehadiran kembali 'Isa al-Masih di dunia ini melalui proses 
reinkarnasi sebagaimana diyakini oleh golongan Ahmadiyah ataukah tidak? 
Untuk menjawab pertanyaan di atas, al-Maududi menjelaskan:
"Bahwa kehadiran 'Isa yang kedua kalinya
 tidaklah melalui proses kelahiran kembali, yang jelas dipergunakan term
 nuzul' atau turun. Dan kehadirannya bukan sebagai nabi yang mendapatkan
 wahyu. Ia tidak membawa Syari'at baru dan tidak menambah atau 
mengurangi Syari'at Nabi Muhammad. Dia pun tidak mengadakan pembaharuan 
atau membentuk sekte baru, serta tidak mengajak manusia untuk beriman 
kepadanya. Kehadirannya yang kedua ini hanya untuk tujuan tertentu, 
yaitu memberantas fitnah Dajjal."7
Penegasan al-Maududi ini, hanyalah 
mewakili paham Sunni pada umumnya, tentang 'Isa al-Masih. Namun 
penegasan tersebut juga mengundang timbulnya pertanyaan baru, yaitu: 
Apakah selama ini 'Isa a.s., masih hidup di alam malaikat, di alam jin, 
atau di alam ruh lainnya? Jika ia membenarkan alternatif yang terakhir, 
bahwa 'Isa bisa hidup di alam ruh, maka akan timbul lagi pertanyaan 
berikutnya. Apakah dia manusia setengah malaikat, manusia setengah jin, 
ataukah manusia sebenarnya yang dapat hidup di alam ruh dan terlepas 
dari hukum alam yang berlaku bagi manusia lainnya? Barangkali pertanyaan
 terakhir ini, sekaligus merupakan kunci jawaban golongan Sunni dengan 
disertai interpretasi intuitif, serta mengembalikan persoalan tersebut 
kepada Masyi'atullah atau kehendak mutlak Tuhan, sebagaimana kepercayaan
 mereka terhadap Khidir yang pernah hidup semasa dengan Nabi Musa. 
Masalah tersebut (turunnya 'Isa a s.), menurut Dr. Ahmad asy-Syirbashi, 
telah menjadi perdebatan diantara para ulama baik dulu maupun sekarang. 
Selanjutnya ia menambahkan, bahwa para ulama pada umumnya memandang 
masalah tersebut bukan merupakan keyakinan pokok, karena tidak ada 
dasarnya yang mutawatir (otentik) sehingga tidak perlu diperdebatkan.8
Disamping itu perlu dicatat, bahwa hadis
 sahih hanyalah menghasilkan zan (dugaan) yang tidak bisa dijadikan 
sebagai dalil dalam masalah keyakinan. Apalagi masalah turunnya 'Isa 
al-Masih ini sudah menjadi kepercayaan kaum Yahudi dan Nasrani, dan 
al-Quran tidak menyinggungnya sedikitpun. Al-Quran hanya menegaskan:
"Sungguh Aku (Allah akan mematikan kamu ('Isa) dan mngangkatmu kepada-Ku ..." (S. Al-Ahzab: 55)
Ayat diatas memberi petunjuk kepada kita
 bahwa Nabi 'Isa ermasuk makhluk Allah yang mengalami proses kematian 
sesuai dengan Sunnatullah (hukum alam) yang berlaku untuk setiap 
ciptaan-Nya, sebagaimana yang dialami oleh manusia lainnya.9
Oleh sebab itu, informasi akan kehadiran
 'Isa al-Masih, ebagaimana dinyatakan dalam hadis Bukhari dan Muslim, 
untuk kedua kalinya masuk akal, apabila informasi tersebut 
diinterpretasikan sebagai lambang kebangkitan Islam di abad odern 
setelah manusia kehilangan makna spiritual dalam idupnya. Dengan 
demikian kerancuan atau kesimpangsiuran adis-hadis Mahdiyyah, jelas 
menunjukkan kepalsuan hadis tersebut. Dalam hubungan ini perlu 
dikemukakan beberapa endapat para 'ulama' dan cendekiawan Muslim tentang
 hal ersebut.
2. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG HADIS-HADIS MAHDIYYAH SEBAGAI HADIS PALSU
Pertama, pendapat Syaikh Muhammad Darwisy, yang mengatakan dalam bukunya Asna'ul-Matalib:
"Hadis-hadis Mahdiyyah semuanya adalah 
lemah, tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan seorang tidak boleh 
terkecoh oleh orang yang (berusaha) mengumpulkannya dalam berbagai 
karyanya."
Kedua, pendapat Sayyid Ahmad, seorang 
ahli hadis, dalam bukunya Ibrazul-Wahmil-Ma'mun, terutama mengenai hadis
 Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Ahmadiyah:
"Sungguh hadis Mahdiyyah ini, bukanlah 
hadis da'if (lemah) sebagai yang dikatakan oleh si pengeritik hadis (Ibn
 Khaldun) dan sekalipun (pengeritik) lain mengatakan yang demikian itu, 
bahkan hadis itu batal, palsu dan dibuat-buat, tidak ada dasarnya hadis 
itu dari ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam., juga bukan ucapan 
Anas Ibn Malik, ataupun ucapan Hasan al-Basri."10
Ketiga, pendapat Muhammad Farid Wajdi dalam karya besarnya, Da'iratul-Ma'arif al-Qarnil-'Isyrin, menyatakan:
"Maka sesungguhnya di dalam hadis-hadis 
Mahdiyyah itu, tergolong (pernyataan) yang keterlaluan, dan merupakan 
pukulan keras bagi sejarah, serta sangat berlebih-lebihan, tidak 
memahami pelbagai persoalan manusia, dan jauh dari sunnatullah 
(hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semua ciptaanNya), yang 
dikenal oleh manusia. Pada mulanya pembaca tidak merasa, bahwa 
hadis-hadis Mahdiyyah itu adalah hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat 
oleh tokoh-tokoh yang sesat, atau oleh para pendukung ('Ali) untuk 
sebagian ahli propagandisnya yang menuntut kekhilafahan di Arabia atau 
di Magrib (Afrika)."11
Selain itu, Ahmad Amin juga berpendapat,
 bahwa hadis-hadis Mahdiyyah itu merupakan hadis yang mengandung cerita 
bohong, sebab dalam kisah kehidupan al-Mahdi telah dipenuhi dengan 
cerita yang aneh-aneh dan kabar gaib tentang peristiwa zamannya. 
Disamping itu, terdapat juga apa yang disebut al-Jafr yaitu ilmu ramalan
 yang ditulis pada kulit lembu, tentang apa yang akan dialami oleh 
Ahlul-Bait, dan menurut kaum Syi'ah, ramalan tersebut diriwayatkan dari 
Ja'far as-S-adiq.12 Berita-berita aneh semacam itu, banyak juga terdapat
 dalam kitab yang disebut kitab al-Malahim yang dimiliki oleh sebagian 
ummat Islam. Anehnya berita-berita semacam itu oleh pengarangnya 
dijadikan sebagai hadis, dan menghubungkannya dengan Rasulullah. 
Sebagian lagi dihubungkan dengan Ahlul-Bait. Dan sebagian yang lain 
menghubungkannya dengan Ka'ab al-Akbar dan Wahb ibn Munabbah.
Demikianlah pendapat sementara para 
sarjana Muslim. Tampaknya mereka meneliti dan melihat dengan jeli 
hadis-hadis Mahdiyyah itu, tidak hanya dari aspek 'ulumul-hadis atau 
ilmuilmu hadis, akan tetapi juga menghubungkannya dengan aspek-aspek 
sejarah yang obyektif, terutama sejarah ummat Islam itu sendiri. Dengan 
cara seperti ini, seorang akan lebih selamat dan tidak mudah terjebak ke
 dalam paham-paham yang keliru dan sesat. Hadis-hadis Mahdiyyah yang 
kontroversial itu, rupanya merupakan akibat dari terjadinya persaingan 
ketat antara kelompok-kelompok Muslim yang sedang berselisih pada saat 
itu untuk merebut pengaruh yang lebih luas di bidang politik. 
Kecenderungan politik yang didasari dengan paham agama, tampaknya 
mendorong terciptanya paham keagamaan yang bermacam-macam Di saat 
seperti itulah masing-masing pihak membuat hadis-hadis palsu tentang 
al-Mahdi dengan berbagai versinya.
B. BEBERAPA INTERPRETASI TENTANG AL-MAHDI
Perbedaan pendapat mengenai tokoh Mahdi 
sebagaimana digambarkan oleh para pengikut paham (Mahdi) tersebut, 
menunjukkan adanya bermacam-macam penafsiran mengenai sifat dan sikap 
kepemimpinan tokoh al-Mahdi. Kaum Syi'ah pada umumnya menilainya sebagai
 pemimpin otoriter yang memiliki hak-hak istimewa, kejam, dan ingin 
membalas dendam kepada lawan-lawan politiknya. Bahkan Syi'ah Imamiyyah 
dan sebagian diantara golongan Syi'ah Rafidah berkeyakinan bahwa tiga 
orang khalifah (Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman), Mu'awiyah, Yazid, Marwan, 
Ibn Ziyad, dan lain sebagainya, serta semua pembunuh para Imam Syi'ah, 
akan dibangkitkan kembali untuk diadili oleh Imam Mahdi dan disiksanya 
sebelum munculnya Dajjal. Kemudian mereka dimatikan lagi dan akan 
dibangkitkan untuk kedua kalinya di hari kiamat. Selanjutnya dijelaskan 
oleh Syarif Murtada, bahwa Abu Bakr dan 'Umar akan disalib pada sebuah 
pohon oleh al-Mahdi.13
Selain interpretasi tentang al-Mahdi 
yang otoriter ini, tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan di sini, 
interpretasi kaum Sufi (Syi'ah) yang bertolak dari pemahaman mereka 
mengenai hadis [kata-kata Arab].
Semula hadis ini ditafsirkan bahwa tidak
 ada Mahdi selain Mahdi yang ada hubungannya dengan Syari'at Nabi 
Muhammad, sebagaimana halnya hubungan 'Isa a.s., dengan Syari'at Nabi 
Musa. Kemudian penafsiran ini mengalami perubahan dan penafsiran baru 
bahwa hal itu mengisyaratkan akan munculnya seorang laki-laki yang akan 
membawa pembaharuan terhadap hukum-hukum Islam dan akan menegakkan 
kebenaran. Diantara kaum Sufi tersebut berpendapat bahwa al-Mahdi itu 
adalah keturunan Fatimah dengan 'Ali, dan ada pula yang berpendapat 
bahwa al-Mahdi itu bisa dari keturunan siapa saja.14
Interpretasi kaum Sufi inilah yang 
tampaknya mengilhami konsep Mirza Ghulam Ahmad tentang al-Mahdi, 
mengingat kakeknya berasal dari Persia, dan ia pun kemudian dibesarkan 
di India yang relatif banyak mendapatkan pengaruh paham Syi'ah yang 
disebarkan oleh para pengikut Sufi itu.
Adapun menurut interpretasi golongan 
Ahmadiyah, al-Mahdi ini bukan pimpinan atau tokoh agama bayangan yang 
suka berperang dan selalu menghunus pedang untuk menghakimi 
musuh-musuhnya. Dia adalah "juru damai" antar kelompok-kelompok agama 
yang berselisih dan saling bermusuhan satu sama lain. Interpretasi 
kemahdian seperti ini merupakan refleksi keadaan ummat beragama di India
 pada saat itu, baik di kalangan ummat Islam maupun non-Islam. 
Kelompok-kelompok agama -Islam, Hindu, dan Kristen- yang berselisih itu,
 ingin ia persatukan lewat Islam. Untuk mencapai maksud tersebut, perlu 
dilakukan pembaharuan pemikiran keagamaan. Kedua versi interpretasi 
diatas rupanya menunjukkan bahwa masing-masing golongan ingin 
mewujudkannya dalam kenyataan. Dengan demikian, penafsiran terhadap 
al-Mahdi sangat dipengaruhi oleh keadaan ummat saat itu. Dan oleh sebab 
itu, masing-masing kelompok dalam merealisasikan ketokohan al-Mahdi, 
baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahmadiyah, melekatkan sifat dan watak 
yang berbeda terhadap al-Mahdi itu.
Dalam hubungan ini Ibn Khaldun menginterprestasikan tentang al-Mahdi sebagai berikut:
"Sesungguhnya dakwah agama dan 
(propaganda politik) kerajaan, tidak akan (berlangsung) dengan sempurna,
 kecuali dengan mewujudkan sesuatu kekuatan yang fanatik, guna 
menegakkan dan mempertahankan (dakwah atau propaganda) itu sehingga 
sempurnalah pertolongan Allah untuknya."15
Dengan demikian, munculnya al-Mahdi 
dalam teori 'asabiyah Ibn Khaldun adalah suatu pertanda atau fenomena 
lahirnya kelompok masyarakat baru yang ingin mewujudkan cita-cita 
politik yang didasarkan pada ide millenarium. Untuk itu ide tersebut 
harus dipacu dengan semangat fanatisme kelompok sehingga dapat 
mewujudkan kekuatan baru untuk memenangkan perjuangan. Oleh sebab itu, 
kelompok masyarakat baru tersebut tidak akan memperoleh kekuatan dan 
tidak pula dapat mencapai tujuan perjuangan, tanpa ikut sertanya para 
propagandis yang memiliki fanatisme yang kuat terhadap Islam dan 
Ahlul-Bait. Teori tersebut menegaskan bahwa kemunduran dan kekalahan 
suatu ummat disebabkan oleh lemah atau memudarnya semangat fanatisme 
dari jiwa ummat itu sendiri.
Interpretasi tentang al-Mahdi model Ibn 
Khaldun ini, tampaknya lebih sesuai dengan panalaran ummat dewasa ini 
daripada harus membayangkannya dalam ujud al-Mahdi yang amat abstrak dan
 imajinatif. Term al-Mahdi ini rasanya lebih cocok ditafsirkan sebagai 
pembawa ide-ide baru guna membangun kembali dunia Islam yang tenggelam 
dalam keterbelakangan, kepesimisan, dan kedangkalan wawasan dalam 
menghadapi tantangan zamannya. Kemudian ia dapat mengangkat harkat Islam
 dan ummat Islam dalam arti yang sebenarnya, sehingga ummat Islam dapat 
diselamatkan dari ekses-ekses modernisasi yang bersifat materialistis, 
dan sikap latah atau suka meniru tradisi kaum kafir. Seperti diketahui 
Rasulullah dalam sabdanya pernah mengemukakan sinyalemen sebagai 
berikut:
"Sungguh kalian (nanti) akan mengikuti 
tradisi orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
 sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, pastilah 
kalian mengikuti mereka." Aku menyela, "Apakah (mereka itu) orang Yahudi
 dan Nasrani?" Jawab beliau: "Siapa lagi?" (HR. Bukhari dan Muslim dari 
Sa'id al-Khudri).
Lagi pula, dengan pernyataan Rasulullah 
akan kehadiran kembali Isa al-Masih, sebagaimana disebut dalam kitab 
Sahih Bukhari dan Muslim, yang diberi mandat untuk membunuh Dajjal 
(musuh) Islam, hal itu bisa ditafsirkan sebagai lambang akan munculnya 
kaum pembaharu yang selalu sadar akan bahaya yang senantiasa mengancam 
dan menteror rohani ummat. Disamping itu mereka pun selalu berorientasi 
pada kepentingan Islam dan ummat Islam dan berjuang untuk 
menyelamatkannya dari rongrongm kebebasan hawa nafsu yang ingin mencari 
kepuasan lahiriah, sebagai ekses dari penerapan teknologi canggih dalam 
berbagai bidang kehidupan manusia. Dengan demikian, orang tidak perlu 
mengaku dan menyatakan dirinya sebagai al-Mahdi maupun sebagai 'Isa 
al-Masih, apa lagi dengan mengajarkan keyakinan atau peribadatan yang 
penuh khurafat dan bid'ah.
Keterangan hadis diatas, menunjukkan 
betapa besarnya pengaruh tradisi Yahudi dan Nasrani dewasa ini terhadap 
sikap dan perilaku ummat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sistem 
kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya, tampaknya banyak 
diwarnai oleh tradisi masyarakat Yahudi dan Nasrani yang dipandang 
sebagai tradisi modern dan mesti diikuti. Tradisi keislaman hanya tampak
 pada aspek-aspek ritualnya saja, sedangkan cara hidup dan 
mempertahankan hidup dan penghidupannya, cara bergaul dan lain 
sebagainya masih diwarnai oleh tradisi keyahudian atau kenasranian. 
Jarang diantara ummat Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang 
sebenarnya. Dalam kondisi ummat seperti inilah diperlukan Mahdi-Mahdi 
baru dalam pengertian para da'I (penyeru agama) yang tangguh, sebagai 
penuntun atau penunjuk ummat dan dapat menyelamatkannya dari 
kemunafikan, kemusyrikan, kefasikan, dan kekafiran.
Realitas sinyalemen Rasulullah diatas, 
memang sulit dihindari oleh masyarakat Muslim dewasa ini, dimana 
perubahan sosial terjadi sangat dinamis. Salah satu penyebabnya adalah 
adanya akulturasi budaya dan interaksi sosial yang cepat melalui sistem 
komunikasi modern yang canggih dan yang dapat membuka isolasi masyarakat
 tradisional untuk menyerap berbagai budaya asing, dalam kaitan ini 
adalah budaya Barat yang liberal.
Penemuan-penemuan baru yang ditunjang 
oleh sistem pendidikan modern dalam upaya untuk memperoleh 
kemudahan-kemudahan dan kenikmatan hidup lahiriah, membawa manusia 
selalu dilanda oleh rasa ketidakpuasan dalam bidang-bidang kehidupan 
tertentu. Keadaan seperti ini mendorong manusia abad modern bersikap 
longgar terhadap ikatan-ikatan dan keyakinan agama, yang semula dianggap
 sakral atau tabu. Sebagai akibatnya terjadilah pergeseran nilai dari 
perilaku manusia itu sendiri. Suatu perbuatan yang sebelumnya dipandang 
nista, bisa jadi berubah menjadi sesuatu yang biasa atau bahkan menjadi 
kebanggaan; dan demikian pula sebaliknya. Sebagai akibatnya banyak 
manusia di zaman modern kehilangan makna spiritual dalam kehidupannya.
Ketidakseimbangan antara kemajuan 
materiil yang dicapai oleh manusia, di satu pihak, dan kemunduran 
spiritual yang dideritanya, di pihak lain, menggiring manusia bersikap 
kurang selektif dalam menerima budaya atau tradisi asing yang 
destruktif. Oleh karena itu, mereka bersikap sangat toleran terhadap 
perilaku yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran agama. Dalam 
kondisi seperti ini kaum kapitalis modern, sebagai penguasa teknologi 
canggih, mampu membuat hitam atau putihnya situasi kehidupan 
bangsa-bangsa di dunia. Barangkali mereka inilah yang dilambangkan oleh 
Rasulullah sebagai Dajjal-nya ummat manusia di zaman akhir. Pada saat 
seperti ini diperlukan kehadiran al-Mahdl atau al-Masih dalam pengertian
 simbolis yang lebih aktual dan kontekstual. Yaitu kehadiran kelompok 
Muballig atau Da'I yang tangguh dan memiliki pengetahuan luas dan visi 
yang jauh, mampu memecahkan problema kehidupan masyarakat, dan sanggup 
memberikan berbagai alternatif yang lebih Islami dalam menanggulangi 
berbagai perilaku, tradisi dan situasi ummat di masa mendatang dan 
tanggap terhadap kondisi ummat masa kini, sehingga mereka diharapkan 
dapat menyampaikan ajaran Islam secara tepat dan up to date. Yang lebih 
penting lagi adalah kemampuan mereka mengisi kekosongan rohaniah para 
penguasa teknologi dengan ajaran Islam dan menghimpunnya menjadi 
kekuatan baru yang Islami, sehingga tidak mustahil kebangkitan Islam 
kembali justru muncul dari Barat sebagai suatu keharusan sejarah.
C. PROSES TERSEBARNYA PAHAM MAHDI
Paham Mahdi atau Mahdiisme, semula 
merupakan isu politik dari golongan Syi'ah yang kalah secara serius 
dalam percaturan politik di abad-abad pertama Hijrah. Kekalahan Syi'ah 
ini, tentunya melemahkan semangat dan daya juang diantara pengikutya. 
Gejala melemahnya semangat juang mereka dalam mempertahankan 
eksistensinya, tampaknya menjadi perhatian khusus bagi kaum politisi 
Syi'ah yang berambisi untuk merebut kekuatan politik. Mereka berusaha 
membangkitkan kembali semangat perjuangan para pengikutnya dengan 
mengisukan al-Mahdi sebagai Juru Selamat yang akan memberi pertolongan 
dan memenangkan kembali perjuanganmereka, lewat para propagandis Syi'ah 
yang amat fanatik.
Bersamaan dengan isu politik yang baru 
ini, dicipta pula hadis-hadis Mahdiyyah yang memberi harapan-harapan 
baru, yaitu akan diraihnya kembali kejayaan dan kemenangan kaum Syi'ah 
dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Isu al-Mahdi yang bersifat 
politis ini ditopang oleh 'aqidah ar-raj'ah, masalah al-gaibah dan 
imamah ciptaan Ibn Saba'. Kemudian isu tersebut diformulasikan oleh 
kelompok politisi Syi'ah yang lihai, menurut analisis Ahmad Amin rupanya
 proses terbentuknya paham Mahdi dimulai dari term "pemerintahan Syi'ah 
yang ditunggu-tunggu," kemudian isu tersebut berkembang dan berubah 
menjadi "penguasa yang ditunggu-tunggu," yang selanjutnya berubah lagi 
menjadi "al-Mahdi yang ditunggu-tunggu." Sayang proses terbentuknya 
paham Mahdi itu, tidak dijelaskan secara kronologis dengan menyebutkan 
tokoh-tokoh Syi'ah yang mencipta paham tersebut.
Akan tetapi, sejak kekalahan Syi'ah 
Kaisaniyyah, isu al-Mahdi al-Muntazar sudah muncul dan mereka sebarkan 
di kalangan pengikutnya. Dari sekte ini, isu al-Mahdi diambil alih oleh 
sub-sub sekte dari Syi'ah Imamiyyah, dan pengikut paham Mahdi yang 
paling dikenal dalam sejarah adalah paham Mahdi Syi'ah Isna 'Asyariyyah 
dan Isma'iliyyah, keduanya mempunyai daerah pengaruh yang cukup luas, 
lantaran aktivitas para propagandisnya yang fanatik. Keefektivan 
penyebaran paham Mahdi ini ditunjang pula oleh adanya suasana kemunduran
 dan kekalahan diantara kelompok-kelompok Muslim yang sedang bersaing, 
di satu pihak, dan, di pihak lain, karena adanya semangat baru diantara 
kelompok tersebut untuk bangkit kembali guna menebus kekalahan mereka di
 bidang politik. Tujuan utamanya tidak lain adalah membangun kembali 
kejayaan mereka yang telah hilang, namun demikian, tidak jarang dijumpai
 dalam masyarakat kita muncul seorang yang mendakwahkan dirinya sebagai 
Imam Mahdi secara person, tanpa memiliki latar belakang perjuangan dari 
suatu kelompok tertentu.
Selain itu perlu ditambahkan disini, 
bahwa golongan Sufi tidak kalah hebat peranannya dalam menyebarkan paham
 Mahdi. Merekalah yang digambarkan oleh Fazlur Rahman sebagai Qussas, 
story-teller atau juru cerita yang sangat besar pengaruhnya di kalangan 
masyarakat umum. Untuk menarik perhatian umum, mereka memperluas cerita 
dalam al-Quran dan membumbuinya dengan kisah-kisah yang bersumber dari 
agama Nasrani, Yahudi, Gnostik, bahkan diambil juga dan kisah-kisah 
dalam agama Buddha dan Zoroaster. Juru cerita yang berhaluan Syi'ah dan 
yang berada dalam pengaruh Kristen ini dengan sengaja memasukkan ide-ide
 baru tentang al-Mahdi sebagai figur spiritual yang akan muncul di akhir
 zaman dan akan menegakkan kembali supremasi dan keadilan Islam dengan 
memberantas kaum yang menentang Tuhan.16
Dalam hubungan ini, sementara golongan 
Sufi lain dalam paham kemahdiannya mempunyai corak kemahdian yang 
berbeda, yaitu apa yang disebut al-Quth, atau pemimpin utama penguasa 
rohaniah Al-Qutb ini, menurut Ahmad Amin, merupakan tandingan Imam atau 
al-Mahdi. Dia dipandang sebagai pengatur segala urusan sepanjang masa 
dan diyakini sebagai tiang penyangga langit dan tanpa keberadaannya 
sudah barang tentu langit itu akan runtuh. Selanjutnya dijelaskan bahwa 
di bawah al-Qutb ini adalah tingkatan para cerdik pandai, demikian Ahmad
 Amin.17
Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa 
al-Mahdi dalam perspektif rasional tampak sulit diterima sebagai ajaran 
dari Nabi, dan hal itu sendiri tidak terdapat didalam al-Quran maupun 
didalam kitab Sahih Bukharõ dan Sahih Muslim. Memang, jika orang membaca
 hadis-hadis Mahdiyyah hanya sepintas dan hanya beberapa buah hadis saja
 yang ditelaahnya, tanpa mau membandingkan secara jeli dengan 
hadis-hadis Mahdiyyah lainnya yang penuh kontroversial, tentunya dia 
akan menerimanya dan mempercayainya sebagai sesuatu yang benar-benar 
datang dari Nabi. Akan tetapi, jika dia mempelajarinya dengan sikap 
kritis serta menghubungkannya dengan sejarah ummat Islam secara 
obyektif, maka dia tidak akan menerima begitu saja pernyataan-pernyataan
 hadis Mahdiyyah yang bertentangan dengan penalaran akal sehat itu.
Catatan kaki:
1 'Ibn Khaldun, op. cit.,hlm. 311-2. 
2 Al-Maudidi, op. cit., hlm. 159-60. 
3 Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 401. 
4 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 238. 
5 Ibid., Hlm. 219. 
6 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322. 
7 al-Maududi, op. cit., hlm. 216-7. 
8 Ahmad asy-Syirbasyi, Yas'alunaka fid-Din wal-Hayah, (Beirut: Darul-Jail, tt.), hlm. 514. 
9 Bandingkan dengan Ahmad asy-Syirbasyi, ibid., hlm. 513. 
10 M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 35 dan 45. 
11
 Muhammad Farid Wajdi Da'iratul-Maarifil-Qarnil-'Isyrin, (Beirut, 
Libanon: Darul-Ma'rifah lit-Tiba'ah wan-Nasyr, 1971), hlm. 480. 
12 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 243. 
13 Syah 'Abdul-'Aziz Ghulam Hakim ad-Dihlawi, op. cit., hlm. 201. 
14 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327. 
15 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327. 
16 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 132-3. 
17 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 245.
Sumber : http://www.akhirzaman.info