Lenyapkan Sterilitiet Dalam Gerakan Mahasiswa
=Article=Kongres Besar GMNI
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
6:16 PM
with
No comments
Lenyapkan Sterilitiet Dalam Gerakan Mahasiswa
PIDATO TERTULIS PYM PRESIDEN SUKARNO PADA KONFERENSI BESAR GMNI DI KALIURANG JOGJAKARTA, 17 FEBRUARI 1959.
Terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan Konferensi Besar GMNI ini.
Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan GMNI adalah Marhaenisme. Apa sebab saya gembira?
Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih
dari 30 tahun yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan rakyat
-suatu partai politik- yang asasnya pun adalah Marhaenisme.
Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu
asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia. Rumusannya
adalah sebagai berikut: Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki
susunan masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya menyelamatkan
kaum Marhaen. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner
sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya. Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan “tegelijk“,
menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.
Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah
nasionalisme yang social bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.
Dan siapakah yang saya namakan kaum
Marhaen itu? Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia
yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap
kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.
Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur:
Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh) Kedua : Unsur kaum tani
melarat Indonesia, dan Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum
Marhaenis? Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot
Bangsa. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu, dan Yang
bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem
kapitalisme, imprealisme, kolonialisme, dan Yang bersama-sama dengan
massa Marhaen itu membanting tulang untuk membangun Negara dan
masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.
Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah
setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan di
atas tadi. Camkan benar-benar: setiap kaum Marhaenis berjuang untuk
kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen!
Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi Besar GMNI dewasa ini?
Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada
banyak kesimpangsiuran tentang tafsir pengertian kata-kata Marhaenisme,
Marhaen dan Marhaenis itu.
Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan
saya ini saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara praktikkan
sebaik-baiknya, tidak hanya dalam lingkungan dunia kecil mahasiswa,
tetapi juga di dunia besar daripada massa Marhaen.
Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril! Karena itu:
Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan
Mahasiswa! Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen! Agar
semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni! Dan agar yang tidak murni
terbakar mati!
Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan
selamat kepada Konferensi Besar GMNI, dan mudah-mudahan berhasillah
Konferensi Besar ini.
Jakarta, 17 Februari 1959
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
SUKARNO BAPAK MARHAENISME
Sumber : http://penasoekarno.wordpress.com/2009/11/08/kongres-besar-gmni/
{[['']]}
Label:
Indo
,
Jawa
,
Jejak Sejarah
,
SejarahRI
Seekor Singa dan Orang Saleh yang Sedang Shalat
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
6:12 PM
with
No comments
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩Ϫ۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Video ini diambil dari TheMercifulServant:
http://www.youtube.com/TheMercifulSer...
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩Ϫ۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Ada sebuah kisah yang disebutkan oleh Imam Zahbi di dalam Sir Alam un Nubala.
Dia berkata bahwa ada sekumpulan orang yang melakukan perjalanan di malam hari. Kemudian mereka sampai ke suatu lembah yang dikelilingi hutan belantara. Lalu mereka bersiap-siap untuk tidur. Seiring mereka sedang bersiap-siap, seekor singa datang. Jadi mereka memanjat pepohonan untuk menyelamatkan diri.
Tapi ada satu orang yang sedang shalat Qiyamul Lail (shalat malam). Ketika singa itu menghampirinya, dia terus beribadah. Kemudian sang singa berputar mengelilingi orang itu, lalu meninggalkannya.
Ketika teman-temannya turun dari pohon, mereka berkata "Kau gila." Kira-kira begitulah percakapan mereka. Mereka berkata "Singanya menghampirimu tapi kau tidak bergerak." Dia berkata "Demi Allah, aku merasa malu bahwa aku berdiri di hadapan Allah S.W.T., tapi aku malah takut kepada hal lainnya. Aku malu bahwa aku berdiri di hadapan Allah S.W.T., tapi aku malah takut kepada salah satu ciptaan-Nya."
Video Hosted By : Video ini diambil dari TheMercifulServant:
http://www.youtube.com/TheMercifulSer...
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩Ϫ۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Ada sebuah kisah yang disebutkan oleh Imam Zahbi di dalam Sir Alam un Nubala.
Dia berkata bahwa ada sekumpulan orang yang melakukan perjalanan di malam hari. Kemudian mereka sampai ke suatu lembah yang dikelilingi hutan belantara. Lalu mereka bersiap-siap untuk tidur. Seiring mereka sedang bersiap-siap, seekor singa datang. Jadi mereka memanjat pepohonan untuk menyelamatkan diri.
Tapi ada satu orang yang sedang shalat Qiyamul Lail (shalat malam). Ketika singa itu menghampirinya, dia terus beribadah. Kemudian sang singa berputar mengelilingi orang itu, lalu meninggalkannya.
Ketika teman-temannya turun dari pohon, mereka berkata "Kau gila." Kira-kira begitulah percakapan mereka. Mereka berkata "Singanya menghampirimu tapi kau tidak bergerak." Dia berkata "Demi Allah, aku merasa malu bahwa aku berdiri di hadapan Allah S.W.T., tapi aku malah takut kepada hal lainnya. Aku malu bahwa aku berdiri di hadapan Allah S.W.T., tapi aku malah takut kepada salah satu ciptaan-Nya."
Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}
Kisah Islam
,
pesanan rasulullah
,
Video Islam
,
{[['']]}
Label:
Kisah Islam
,
pesanan rasulullah
,
Video Islam
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif - Bagian Kedelapan
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
4:44 PM
with
No comments
oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Kedelapan
A. ASPEK LANDASAN IDIIL MAHDIISME
Sebagai diketahui paham Mahdi muncul,
adalah akibat kegagalan kaum Syi'ah berperan di bidang politik. Memang
benar, paham ini telah dikenal secara luas di kalangan ummat Islam,
namun pengenalan mereka tidak ditunjang oleh pengetahuan yang luas dan
obyektif. Mereka kurang memahami proses terbentuknya paham tersebut, dan
pada umumnya mereka mengenal paham Mahdi hanyalah lewat kitab-kitab
hadis yang memuat hadis-hadis Mahdiyyah. Ummat Islam mengenal paham ini,
sangat boleh jadi sesudah tersebarnya hadis-hadis Mahdiyyah secara
intensif dalam berbagai versinya. Para ahli hadis yang meriwayatkannya,
menurut penuturan sosiolog Muslim kenamaan, Ibn Kaldun dalam
Muqaddimah-nya, seperti Imam Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Hakim,
Imam Tabrani dan Abu Ya'la. Mereka itu menyandarkan hadis-hadis pada
sekelompok sahabat Nabi seperti: 'Ali, Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, Talhah,
Ibn Mas'ud, Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Ummu
Habibah, Ummu Salamah, Sauban ibn Iyas, 'Ali al-Hilaliy, dan Abdullah
Ibn Haris. Selanjutnya Ibn Khaldun menyatakan:
"Apabila pada tokoh-tokoh (orang yang
menjadi) sanad (sandaran) hadis-hadis Mahdiyyah, terdapat cacat karena
ia pelupa atau jelek hafalannya, lemah atau mungkin jelek pandangan
(paham)-nya, kemudian mereka (para ahli hadis tersebut) mencari jalan
lain untuk menyahihkan hadis Mahdiyyah atau menilainya di bawah derajat
hadis sahih ..."1
Dalam kaitan ini al-Maududi dalam
bukunya [kata-kata Arab] mengelompokkan hadis-hadis Mahdiyyah menjadi
dua bagian: Pertama, hadis-hadis Mahdiyyah yang secara jelas menyebutkan
nama "Mahdi." Kedua, hadis-hadis Mahdiyyah yang tidak menyebutkannya
secara tegas. Akan tetapi, mengenai asal-usul keturunan al-Mahdi
tersebut, terdapat banyak sekali riwayat yang kontroversial.2 Sebagian
riwayat-riwayat itu, demikian al-Maududi, bahwa al-Mahdi itu adalah
keturunan 'Ali dengan Fatimah puteri Rasulullah. Ada pula riwayat yang
menyatakan, al-Mahdi itu berasal dari keluarga 'Abbas bahkan meluas
sampai pada keturunan 'Abdul-Muttalib (kakek Rasulullah). Sementara
riwayat lain lagi memberitakan bahwa tokoh (al-Mahdi) yang
ditunggu-tunggu itu berasal dari suatu kampung yang bernama "Kara'ah,"
atau "Kadi'ah," atau "Karimah." Golongan Ahmadiyah memandang nama
kampung tersebut di atas adalah kampung kelahiran al-Mahdi al-Ma'hud
(Mirza Ghulam Ahmad), artinya, bahwa tokoh al-Mahdi itu dilahirkan di
luar kota Mekkah dan Madinah.
Pernyataan hadis-hadis Mahdiyyah yang
kontroversial seperti itu menunjukkan banyaknya motif yang timbul dari
berbagai kelompok Muslim yang sedang bersaing dan berlomba merebut
pengaruh, dengan menyebarkan berita-berita akan munculnya seorang tokoh
al-Mahdi atau Juru Selamat, sesuai dengan kepentingan dan tujuan
masing-masing. Tokoh itulah yang diisukan sebagai orang yang akan
membebaskan mereka dari tindakan kezaliman dan penindasan dari
lawan-lawan politiknya. Seandainya kepemimpinan seorang khalifah yang
berwibawa, adil, memiliki kesanggupan berkorban, dan selalu berorientasi
kepada kepentingan rakyat banyak dan melindungi mereka dari berbagai
macam ancaman bahaya, sebagaimana pernah dilakukan oleh kedua Khalifah
Abu Bakr dan 'Umar, sehingga kestabilan politik, ekonomi, dan keamanan
tetap terjamin, kesatuan dan persatuan ummat Islam dapat dipertahankan,
tentulah paham Mahdi atau Mahdiisme tidak akan muncul secepat itu.
Dimana kemunculan paham ini didorong oleh timbulnya keresahan dan
kerawanan dalam berbagai bidang kemasyarakatan yang mengakibatkan
terjadinya protes-protes sosial yang sulit dihindarkan. Dalam situasi
yang demikian itulah timbul keinginan masyarakat luas yang mendambakan
sosok pimpinan yang dapat mengayomi kepentingan dan ketenteraman mereka,
dari berbagai tindakan kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang
sedang memerintah.
Dengan demikian landasan ideal paham
Mahdi tersebut bukanlah didasarkan atas kepentingan agama tetapi, pada
mulanya, lebih bersifat politis. Kemudian para pendukung paham ini
sedikit demi sedikit membalut kepentingan politik tersebut dengan
kepentingan yang bersifat keagamaan, dan barulah kemudian bermunculan
hadis-hadis Mahdiyyah dalam berbagai versinya. Dan pada akhirnya
tampaklah paham Mahdi ini sebagai paham keagamaan, apalagi sesudah
banyak diantara hadis-hadis Mahdiyyah ini secara kurang selektif dimuat
dalam kitab-kitab Sunan. Mengapa sampai terjadi yang demikian?
Barangkali salah satu faktor penting yang perlu dicatat adalah, bahwa
agama merupakan alat paling ampuh untuk meyakinkan masyarakat luas
terhadap ide-ide kemahdian. Yang dikaji adalah bahwa teks-teks hadis
Mahdiyyah pada umumnya identik dengan teks bagian akhir pernyataan Ibn
Saba', yang tidak mempercayai kematian 'Ali ibn Abi Talib, sewaktu
berita itu sampai ke telinganya.
1. HADIS MAHDIYYAH DAN IDENTITAS KELOMPOK
Dari fenomena tersebut di atas munculah
dalam gerakan politik Syi'ah pengkultusan pribadi 'Ali ibn Abi Talib dan
keturunannya. Karena sikap pengkultusan ini, penulis Barat seperti Dozy
menilai kaum Syi'ah dalam berbagai tradisinya banyak dipengaruhi oleh
budaya Persia, dimana rakyat memandang raja memiliki hak-hak istimewa
yang harus dipatuhi dan diikuti seperti halnya Tuhan. Demikian pula
golongan Syi'ah memandang 'Ali dan keturunannya atau imam-imam mereka
sebagai memiliki kema'suman (suci dari dosa), sehingga ketundukan mereka
kepada seorang imam tidak jauh berbeda dengan ketundukan mereka kepada
seorang rasul.
Dalam hubungan ini Ihsan Ilahi Zahir,
berkesimpulan bahwa sikap pengkultusan kaum Syi'ah terhadap imam-imam
mereka, bermula sejak masuknya unsur-unsur Yahudi, Nasrani, dan Majusi
(agama Persia kuno) ke dalam Islam. Akan tetapi, unsur yang paling
dominan dalam tradisi Syi'ah tersebut adalah unsur kepersiaan, terutama
dalam pengkultusan mereka terhadap para imam.3
Fenomena tersebut, tampaknya juga
mewarnai hadis-hadis Mahdiyyah, di mana dinyatakan bahwa pasti ada
diantara keturunan 'Ali atau Ahlul-Bait yang akan bangkit untuk
menegakkan kembali kejayaan Islam, setelah mereka mengalami kekalahan
yang serius, terutama untuk menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan.
Dengan demikian, wajarlah apabila kaum Syi'ah sangat mendambakan
hadirnya seorang Juru Selamat yang dapat membebaskan mereka dari
berbagai kezaliman dan dapat mempertahankan eksistensinya sebagai
penguasa tunggal di dunia Islam. Di kalangan Syi'ah Iran umpamanya,
dalam paham kemahdiannya, nampak diwarnai oleh perasaan dendam dan
cemburu terhadap penguasa Arab, sehingga tidak mustahil antar kedua
bangsa itu akan selalu timbul perselisihan yang diikuti dengan tindak
kekerasan dan reaksioner.
Perasaan tersebut sangat boleh jadi
dipengaruhi oleh sejarah bangsa itu (Iran) sendiri. Di satu pihak,
mereka mencapai puncak kejayaan dan merasa sebagai bangsa nomor satu di
dunia, akan tetapi di pihak lain, mereka juga pernah dikalahkan bangsa
Arab (tentara Islam di bawah pimpinan Khalifah 'Umar ibn Khattab).
Tentunya oleh Khalifah, mereka yang telah memeluk Islam, diperlakukan
sama dengan Muslim lainnya tanpa dibeda-bedakan satu dengan yang lain.
Barangkali saja bangsa Iran ini dianggap sebagai bangsa asing atau
'Ajam, sehingga karenanya kedudukan mereka disejajarkan dengan kedudukan
kaum mawali (bekas budak) atau sebagai masyarakat kelas dua. Dengan
demikian, perlakuan dinasti Umayyah terhadap bangsa Persia yang
bertentangan dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah yang diajarkan oleh
Nabi, tampaknya merupakan faktor yang mendorong timbulnya rasa dendam
bangsa Persia terhadap bangsa Arab hingga sekarang.
Disamping itu, perkawinan antara puteri
Yazdajir III dengan Husain, cucu Rasulullah, juga merupakan faktor
tersendiri yang mendorong sebagian besar di antara mereka lebih
cenderung menjadi pengikut Syi'ah yang menginginkan hak legitimasi
kekhilafahan berada di tangan keturunan 'Ali dengan Fatimah. Oleh karena
itu, lepasnya jabatan khalifah dari tangan Ahlul-Bait ke tangan pihak
lain dipandang sebagai penyerobotan hak-hak Ahlul-Bait. Itulah sebabnya
mereka ingin menjatuhkan dinasti Umayyah dengan jalan kekerasan
walaupun, karena kokohnya kekuasaan Umayyah, mereka selalu gagal dan
bahkan mereka selalu mendapat tekanan, baik di masa Umayyah maupun
'Abbasiyyah. Karena penderitaan yang berkepanjangan inilah, mereka
sangat mengharapkan kehadiran al-Mahdi al-Muntazar untuk membalas dendam
mereka.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa
faktor yang membentuk kefanatikan Syi'ah Iran terhadap paham Mahdi agak
berbeda dengan paham Mahdi Syi'ah lainnya. Dampak dari paham Mahdi
Syi'ah Iran tersebut terlihat nyata dalam sikap politik bangsa itu
sampai hari ini, terutama sesudah Ayatullah Khumaini berkuasa di Iran.
Rupanya paham Mahdi ini tidak hanya
menjadi milik golongan Syi'ah saja, tetapi di kalangan Sunni pun dikenal
paham tersebut. Di masa Dinasti Umayyah, terutama di masa-masa
kemundurannya, muncul pula paham seperti itu, namun tokohnya bukanlah
al-Mahdi, tetapi Sufyani. Demikian pula halnya di kalangan dinasti
'Abbasiyyah. Mereka menunggu-nunggu munculnya al-Mahdi lain dari
keturunan 'Abbas. Timbulnya harapan seperti itu, tidak lain karena
mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka yang telah silam. Oleh
karena dinasti terakhir ini menggunakan bendera hitam sebagai lambang
kemenangannya, maka ciri seperti ini juga muncul dalam hadis-hadis
Mahdiyyah yang mereka pegangi.
Ada riwayat yang menyatakan, bahwa pada
suatu saat nanti akan lahir sekelompok manusia yang datang dari arah
timur (Khurasan) berbendera hitam dengan membawa kemenangan. Bahkan ada
riwayat lain yang secara jelas menyebutkan bahwa mereka berperang
melawan putera Abu Sufyan dari dinasti Umayyah dan para pendukungnya.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, warna hitam merupakan lambang
kejayaan pasukan 'Abbasiyyah yang dipimpin oleh Salman al-Farisi dari
Khurasan. Dengan demikian, nyata sekali kepalsuan hadis Mahdiyyah
tersebut. Kenyataan seperti itu tidak jauh berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh golongan Umayyah.
Dalam penyebaran paham Mahdi tersebut,
rupanya mereka juga tidak ketinggalan untuk membuat hadis-hadis palsu
sebagaimana dilakukan oleh golongan Syi'ah, agar paham Mahdi yang mereka
jadikan sebagai landasan ideal perjuangan politiknya dapat diterima
oleh masyarakat luas dan dapat memotivasi mereka untuk menjadi pendukung
ide perjuangannya.
Dalam penuturan Ahmad Amin, pembuat
hadis Mahdiyyah untuk golongan Umayyah adalah Khalid ibn Yazid ibn
Mu'awiyah.4 Selanjutnya ditegaskan, bahwa kepandaian membuat hadis-hadis
Mahdiyyah tersebut ialah dengan cara meninggalkan teks-teks hadis yang
dapat dipakai oleh siapa saja dan untuk masa kapan saja. Apabila yang
menang itu golongan 'Ali atau golongan 'Abbasiyyah umpamanya, maka
hadis-hadis Mahdiyyah tersebut dapat mereka pergunakan untuk kepentingan
mereka.5 Penggunaan nama "Sufyani" sebagai nama tokoh yang
ditunggu-tunggu oleh golongan Mu'awiyah seperti halnya al-Mahdi yang
ditunggu-tunggu oleh kaum Syi'ah, mungkin sekali diambil dari nama salah
seorang tokoh putera Umayyah, yaitu Abu Sufyan, dan karena itu nama
"Sufyani" sekaligus menjadi identitas golongan ini.
Jika hadis-hadis Mahdiyyah yang
dipegangi oleh golongan Syi'ah itu menunjukkan, bahwa kedudukan Mahdi
diunggulkan sehingga ia narnpak lebih tinggi daripada kedudukan 'Isa
al-Masih, maka tidak tertutup kemungkinan ada kelompok lain yang kurang
sependapat dengan cara-cara Syi'ah tersebut, dan mencobanya untuk
menyejajarkan kedudukan 'Isa al-Masih dengan al-Mahdi, bahkan
mengidentikkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah
hadis-hadis Mahdiyyah versi lain, seperti hadis yang dijadikan pegangan
golongan Ahmadiyyah:
"Tidak ada Mahdi selain 'Isa ibn Maryam."
Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun sebagai
sosiolog Muslim, mencoba mengomentari hadis Mahdiyyah diatas, yang
diriwayatkan oleh Muhammad ibn Khalid. Perawi ini, menurut penilaian
al-Hakim dan al-Baihaqi, adalah orang yang tidak diketahui identitasnya
(majhul) sebagai Ahli hadis dan sebagai orang yang boleh meriwayatkan
hadis.6 Bahkan seorang Ahli hadis, Sayyid Ahmad, menilai hadis tersebut
sebagai palsu dan tidak berdasar.
Selanjutnya dijelaskan bahwa hadis diatas, oleh sementara orang diinterpretasikan: [kata-kata Arab] artinya,
"tidak seorang (bayi) pun dalam ayunan yang dapat berbicara, selain 'Isa ibn Maryam."
Sedangkan Ibn Abi Wasil menafsirkan demikian:
"Tidak ada Mahdi yang petunjuknya serupa dengan petunjuk 'Isa Ibn Maryam."
Senada dengan hadis Mahdiyyah diatas, Imam Ahmad meriwayatkan sebagai berikut:
"Hampir tibalah saatnya orang yang hidup
diantara kalian, akan dapat menjumpai 'Isa ibn Maryam sebagai Imam
Mahdi dan sebagai hakim yang adil." (HR. Ahmad).
Hadis ini secara tegas menyamakan antara
Mahdi dan 'Isa al-Masih sebagai satu pribadi. Yang menjadi pertanyaan,
apakah kehadiran kembali 'Isa al-Masih di dunia ini melalui proses
reinkarnasi sebagaimana diyakini oleh golongan Ahmadiyah ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, al-Maududi menjelaskan:
"Bahwa kehadiran 'Isa yang kedua kalinya
tidaklah melalui proses kelahiran kembali, yang jelas dipergunakan term
nuzul' atau turun. Dan kehadirannya bukan sebagai nabi yang mendapatkan
wahyu. Ia tidak membawa Syari'at baru dan tidak menambah atau
mengurangi Syari'at Nabi Muhammad. Dia pun tidak mengadakan pembaharuan
atau membentuk sekte baru, serta tidak mengajak manusia untuk beriman
kepadanya. Kehadirannya yang kedua ini hanya untuk tujuan tertentu,
yaitu memberantas fitnah Dajjal."7
Penegasan al-Maududi ini, hanyalah
mewakili paham Sunni pada umumnya, tentang 'Isa al-Masih. Namun
penegasan tersebut juga mengundang timbulnya pertanyaan baru, yaitu:
Apakah selama ini 'Isa a.s., masih hidup di alam malaikat, di alam jin,
atau di alam ruh lainnya? Jika ia membenarkan alternatif yang terakhir,
bahwa 'Isa bisa hidup di alam ruh, maka akan timbul lagi pertanyaan
berikutnya. Apakah dia manusia setengah malaikat, manusia setengah jin,
ataukah manusia sebenarnya yang dapat hidup di alam ruh dan terlepas
dari hukum alam yang berlaku bagi manusia lainnya? Barangkali pertanyaan
terakhir ini, sekaligus merupakan kunci jawaban golongan Sunni dengan
disertai interpretasi intuitif, serta mengembalikan persoalan tersebut
kepada Masyi'atullah atau kehendak mutlak Tuhan, sebagaimana kepercayaan
mereka terhadap Khidir yang pernah hidup semasa dengan Nabi Musa.
Masalah tersebut (turunnya 'Isa a s.), menurut Dr. Ahmad asy-Syirbashi,
telah menjadi perdebatan diantara para ulama baik dulu maupun sekarang.
Selanjutnya ia menambahkan, bahwa para ulama pada umumnya memandang
masalah tersebut bukan merupakan keyakinan pokok, karena tidak ada
dasarnya yang mutawatir (otentik) sehingga tidak perlu diperdebatkan.8
Disamping itu perlu dicatat, bahwa hadis
sahih hanyalah menghasilkan zan (dugaan) yang tidak bisa dijadikan
sebagai dalil dalam masalah keyakinan. Apalagi masalah turunnya 'Isa
al-Masih ini sudah menjadi kepercayaan kaum Yahudi dan Nasrani, dan
al-Quran tidak menyinggungnya sedikitpun. Al-Quran hanya menegaskan:
"Sungguh Aku (Allah akan mematikan kamu ('Isa) dan mngangkatmu kepada-Ku ..." (S. Al-Ahzab: 55)
Ayat diatas memberi petunjuk kepada kita
bahwa Nabi 'Isa ermasuk makhluk Allah yang mengalami proses kematian
sesuai dengan Sunnatullah (hukum alam) yang berlaku untuk setiap
ciptaan-Nya, sebagaimana yang dialami oleh manusia lainnya.9
Oleh sebab itu, informasi akan kehadiran
'Isa al-Masih, ebagaimana dinyatakan dalam hadis Bukhari dan Muslim,
untuk kedua kalinya masuk akal, apabila informasi tersebut
diinterpretasikan sebagai lambang kebangkitan Islam di abad odern
setelah manusia kehilangan makna spiritual dalam idupnya. Dengan
demikian kerancuan atau kesimpangsiuran adis-hadis Mahdiyyah, jelas
menunjukkan kepalsuan hadis tersebut. Dalam hubungan ini perlu
dikemukakan beberapa endapat para 'ulama' dan cendekiawan Muslim tentang
hal ersebut.
2. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG HADIS-HADIS MAHDIYYAH SEBAGAI HADIS PALSU
Pertama, pendapat Syaikh Muhammad Darwisy, yang mengatakan dalam bukunya Asna'ul-Matalib:
"Hadis-hadis Mahdiyyah semuanya adalah
lemah, tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan seorang tidak boleh
terkecoh oleh orang yang (berusaha) mengumpulkannya dalam berbagai
karyanya."
Kedua, pendapat Sayyid Ahmad, seorang
ahli hadis, dalam bukunya Ibrazul-Wahmil-Ma'mun, terutama mengenai hadis
Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Ahmadiyah:
"Sungguh hadis Mahdiyyah ini, bukanlah
hadis da'if (lemah) sebagai yang dikatakan oleh si pengeritik hadis (Ibn
Khaldun) dan sekalipun (pengeritik) lain mengatakan yang demikian itu,
bahkan hadis itu batal, palsu dan dibuat-buat, tidak ada dasarnya hadis
itu dari ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam., juga bukan ucapan
Anas Ibn Malik, ataupun ucapan Hasan al-Basri."10
Ketiga, pendapat Muhammad Farid Wajdi dalam karya besarnya, Da'iratul-Ma'arif al-Qarnil-'Isyrin, menyatakan:
"Maka sesungguhnya di dalam hadis-hadis
Mahdiyyah itu, tergolong (pernyataan) yang keterlaluan, dan merupakan
pukulan keras bagi sejarah, serta sangat berlebih-lebihan, tidak
memahami pelbagai persoalan manusia, dan jauh dari sunnatullah
(hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semua ciptaanNya), yang
dikenal oleh manusia. Pada mulanya pembaca tidak merasa, bahwa
hadis-hadis Mahdiyyah itu adalah hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat
oleh tokoh-tokoh yang sesat, atau oleh para pendukung ('Ali) untuk
sebagian ahli propagandisnya yang menuntut kekhilafahan di Arabia atau
di Magrib (Afrika)."11
Selain itu, Ahmad Amin juga berpendapat,
bahwa hadis-hadis Mahdiyyah itu merupakan hadis yang mengandung cerita
bohong, sebab dalam kisah kehidupan al-Mahdi telah dipenuhi dengan
cerita yang aneh-aneh dan kabar gaib tentang peristiwa zamannya.
Disamping itu, terdapat juga apa yang disebut al-Jafr yaitu ilmu ramalan
yang ditulis pada kulit lembu, tentang apa yang akan dialami oleh
Ahlul-Bait, dan menurut kaum Syi'ah, ramalan tersebut diriwayatkan dari
Ja'far as-S-adiq.12 Berita-berita aneh semacam itu, banyak juga terdapat
dalam kitab yang disebut kitab al-Malahim yang dimiliki oleh sebagian
ummat Islam. Anehnya berita-berita semacam itu oleh pengarangnya
dijadikan sebagai hadis, dan menghubungkannya dengan Rasulullah.
Sebagian lagi dihubungkan dengan Ahlul-Bait. Dan sebagian yang lain
menghubungkannya dengan Ka'ab al-Akbar dan Wahb ibn Munabbah.
Demikianlah pendapat sementara para
sarjana Muslim. Tampaknya mereka meneliti dan melihat dengan jeli
hadis-hadis Mahdiyyah itu, tidak hanya dari aspek 'ulumul-hadis atau
ilmuilmu hadis, akan tetapi juga menghubungkannya dengan aspek-aspek
sejarah yang obyektif, terutama sejarah ummat Islam itu sendiri. Dengan
cara seperti ini, seorang akan lebih selamat dan tidak mudah terjebak ke
dalam paham-paham yang keliru dan sesat. Hadis-hadis Mahdiyyah yang
kontroversial itu, rupanya merupakan akibat dari terjadinya persaingan
ketat antara kelompok-kelompok Muslim yang sedang berselisih pada saat
itu untuk merebut pengaruh yang lebih luas di bidang politik.
Kecenderungan politik yang didasari dengan paham agama, tampaknya
mendorong terciptanya paham keagamaan yang bermacam-macam Di saat
seperti itulah masing-masing pihak membuat hadis-hadis palsu tentang
al-Mahdi dengan berbagai versinya.
B. BEBERAPA INTERPRETASI TENTANG AL-MAHDI
Perbedaan pendapat mengenai tokoh Mahdi
sebagaimana digambarkan oleh para pengikut paham (Mahdi) tersebut,
menunjukkan adanya bermacam-macam penafsiran mengenai sifat dan sikap
kepemimpinan tokoh al-Mahdi. Kaum Syi'ah pada umumnya menilainya sebagai
pemimpin otoriter yang memiliki hak-hak istimewa, kejam, dan ingin
membalas dendam kepada lawan-lawan politiknya. Bahkan Syi'ah Imamiyyah
dan sebagian diantara golongan Syi'ah Rafidah berkeyakinan bahwa tiga
orang khalifah (Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman), Mu'awiyah, Yazid, Marwan,
Ibn Ziyad, dan lain sebagainya, serta semua pembunuh para Imam Syi'ah,
akan dibangkitkan kembali untuk diadili oleh Imam Mahdi dan disiksanya
sebelum munculnya Dajjal. Kemudian mereka dimatikan lagi dan akan
dibangkitkan untuk kedua kalinya di hari kiamat. Selanjutnya dijelaskan
oleh Syarif Murtada, bahwa Abu Bakr dan 'Umar akan disalib pada sebuah
pohon oleh al-Mahdi.13
Selain interpretasi tentang al-Mahdi
yang otoriter ini, tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan di sini,
interpretasi kaum Sufi (Syi'ah) yang bertolak dari pemahaman mereka
mengenai hadis [kata-kata Arab].
Semula hadis ini ditafsirkan bahwa tidak
ada Mahdi selain Mahdi yang ada hubungannya dengan Syari'at Nabi
Muhammad, sebagaimana halnya hubungan 'Isa a.s., dengan Syari'at Nabi
Musa. Kemudian penafsiran ini mengalami perubahan dan penafsiran baru
bahwa hal itu mengisyaratkan akan munculnya seorang laki-laki yang akan
membawa pembaharuan terhadap hukum-hukum Islam dan akan menegakkan
kebenaran. Diantara kaum Sufi tersebut berpendapat bahwa al-Mahdi itu
adalah keturunan Fatimah dengan 'Ali, dan ada pula yang berpendapat
bahwa al-Mahdi itu bisa dari keturunan siapa saja.14
Interpretasi kaum Sufi inilah yang
tampaknya mengilhami konsep Mirza Ghulam Ahmad tentang al-Mahdi,
mengingat kakeknya berasal dari Persia, dan ia pun kemudian dibesarkan
di India yang relatif banyak mendapatkan pengaruh paham Syi'ah yang
disebarkan oleh para pengikut Sufi itu.
Adapun menurut interpretasi golongan
Ahmadiyah, al-Mahdi ini bukan pimpinan atau tokoh agama bayangan yang
suka berperang dan selalu menghunus pedang untuk menghakimi
musuh-musuhnya. Dia adalah "juru damai" antar kelompok-kelompok agama
yang berselisih dan saling bermusuhan satu sama lain. Interpretasi
kemahdian seperti ini merupakan refleksi keadaan ummat beragama di India
pada saat itu, baik di kalangan ummat Islam maupun non-Islam.
Kelompok-kelompok agama -Islam, Hindu, dan Kristen- yang berselisih itu,
ingin ia persatukan lewat Islam. Untuk mencapai maksud tersebut, perlu
dilakukan pembaharuan pemikiran keagamaan. Kedua versi interpretasi
diatas rupanya menunjukkan bahwa masing-masing golongan ingin
mewujudkannya dalam kenyataan. Dengan demikian, penafsiran terhadap
al-Mahdi sangat dipengaruhi oleh keadaan ummat saat itu. Dan oleh sebab
itu, masing-masing kelompok dalam merealisasikan ketokohan al-Mahdi,
baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahmadiyah, melekatkan sifat dan watak
yang berbeda terhadap al-Mahdi itu.
Dalam hubungan ini Ibn Khaldun menginterprestasikan tentang al-Mahdi sebagai berikut:
"Sesungguhnya dakwah agama dan
(propaganda politik) kerajaan, tidak akan (berlangsung) dengan sempurna,
kecuali dengan mewujudkan sesuatu kekuatan yang fanatik, guna
menegakkan dan mempertahankan (dakwah atau propaganda) itu sehingga
sempurnalah pertolongan Allah untuknya."15
Dengan demikian, munculnya al-Mahdi
dalam teori 'asabiyah Ibn Khaldun adalah suatu pertanda atau fenomena
lahirnya kelompok masyarakat baru yang ingin mewujudkan cita-cita
politik yang didasarkan pada ide millenarium. Untuk itu ide tersebut
harus dipacu dengan semangat fanatisme kelompok sehingga dapat
mewujudkan kekuatan baru untuk memenangkan perjuangan. Oleh sebab itu,
kelompok masyarakat baru tersebut tidak akan memperoleh kekuatan dan
tidak pula dapat mencapai tujuan perjuangan, tanpa ikut sertanya para
propagandis yang memiliki fanatisme yang kuat terhadap Islam dan
Ahlul-Bait. Teori tersebut menegaskan bahwa kemunduran dan kekalahan
suatu ummat disebabkan oleh lemah atau memudarnya semangat fanatisme
dari jiwa ummat itu sendiri.
Interpretasi tentang al-Mahdi model Ibn
Khaldun ini, tampaknya lebih sesuai dengan panalaran ummat dewasa ini
daripada harus membayangkannya dalam ujud al-Mahdi yang amat abstrak dan
imajinatif. Term al-Mahdi ini rasanya lebih cocok ditafsirkan sebagai
pembawa ide-ide baru guna membangun kembali dunia Islam yang tenggelam
dalam keterbelakangan, kepesimisan, dan kedangkalan wawasan dalam
menghadapi tantangan zamannya. Kemudian ia dapat mengangkat harkat Islam
dan ummat Islam dalam arti yang sebenarnya, sehingga ummat Islam dapat
diselamatkan dari ekses-ekses modernisasi yang bersifat materialistis,
dan sikap latah atau suka meniru tradisi kaum kafir. Seperti diketahui
Rasulullah dalam sabdanya pernah mengemukakan sinyalemen sebagai
berikut:
"Sungguh kalian (nanti) akan mengikuti
tradisi orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, pastilah
kalian mengikuti mereka." Aku menyela, "Apakah (mereka itu) orang Yahudi
dan Nasrani?" Jawab beliau: "Siapa lagi?" (HR. Bukhari dan Muslim dari
Sa'id al-Khudri).
Lagi pula, dengan pernyataan Rasulullah
akan kehadiran kembali Isa al-Masih, sebagaimana disebut dalam kitab
Sahih Bukhari dan Muslim, yang diberi mandat untuk membunuh Dajjal
(musuh) Islam, hal itu bisa ditafsirkan sebagai lambang akan munculnya
kaum pembaharu yang selalu sadar akan bahaya yang senantiasa mengancam
dan menteror rohani ummat. Disamping itu mereka pun selalu berorientasi
pada kepentingan Islam dan ummat Islam dan berjuang untuk
menyelamatkannya dari rongrongm kebebasan hawa nafsu yang ingin mencari
kepuasan lahiriah, sebagai ekses dari penerapan teknologi canggih dalam
berbagai bidang kehidupan manusia. Dengan demikian, orang tidak perlu
mengaku dan menyatakan dirinya sebagai al-Mahdi maupun sebagai 'Isa
al-Masih, apa lagi dengan mengajarkan keyakinan atau peribadatan yang
penuh khurafat dan bid'ah.
Keterangan hadis diatas, menunjukkan
betapa besarnya pengaruh tradisi Yahudi dan Nasrani dewasa ini terhadap
sikap dan perilaku ummat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sistem
kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya, tampaknya banyak
diwarnai oleh tradisi masyarakat Yahudi dan Nasrani yang dipandang
sebagai tradisi modern dan mesti diikuti. Tradisi keislaman hanya tampak
pada aspek-aspek ritualnya saja, sedangkan cara hidup dan
mempertahankan hidup dan penghidupannya, cara bergaul dan lain
sebagainya masih diwarnai oleh tradisi keyahudian atau kenasranian.
Jarang diantara ummat Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang
sebenarnya. Dalam kondisi ummat seperti inilah diperlukan Mahdi-Mahdi
baru dalam pengertian para da'I (penyeru agama) yang tangguh, sebagai
penuntun atau penunjuk ummat dan dapat menyelamatkannya dari
kemunafikan, kemusyrikan, kefasikan, dan kekafiran.
Realitas sinyalemen Rasulullah diatas,
memang sulit dihindari oleh masyarakat Muslim dewasa ini, dimana
perubahan sosial terjadi sangat dinamis. Salah satu penyebabnya adalah
adanya akulturasi budaya dan interaksi sosial yang cepat melalui sistem
komunikasi modern yang canggih dan yang dapat membuka isolasi masyarakat
tradisional untuk menyerap berbagai budaya asing, dalam kaitan ini
adalah budaya Barat yang liberal.
Penemuan-penemuan baru yang ditunjang
oleh sistem pendidikan modern dalam upaya untuk memperoleh
kemudahan-kemudahan dan kenikmatan hidup lahiriah, membawa manusia
selalu dilanda oleh rasa ketidakpuasan dalam bidang-bidang kehidupan
tertentu. Keadaan seperti ini mendorong manusia abad modern bersikap
longgar terhadap ikatan-ikatan dan keyakinan agama, yang semula dianggap
sakral atau tabu. Sebagai akibatnya terjadilah pergeseran nilai dari
perilaku manusia itu sendiri. Suatu perbuatan yang sebelumnya dipandang
nista, bisa jadi berubah menjadi sesuatu yang biasa atau bahkan menjadi
kebanggaan; dan demikian pula sebaliknya. Sebagai akibatnya banyak
manusia di zaman modern kehilangan makna spiritual dalam kehidupannya.
Ketidakseimbangan antara kemajuan
materiil yang dicapai oleh manusia, di satu pihak, dan kemunduran
spiritual yang dideritanya, di pihak lain, menggiring manusia bersikap
kurang selektif dalam menerima budaya atau tradisi asing yang
destruktif. Oleh karena itu, mereka bersikap sangat toleran terhadap
perilaku yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran agama. Dalam
kondisi seperti ini kaum kapitalis modern, sebagai penguasa teknologi
canggih, mampu membuat hitam atau putihnya situasi kehidupan
bangsa-bangsa di dunia. Barangkali mereka inilah yang dilambangkan oleh
Rasulullah sebagai Dajjal-nya ummat manusia di zaman akhir. Pada saat
seperti ini diperlukan kehadiran al-Mahdl atau al-Masih dalam pengertian
simbolis yang lebih aktual dan kontekstual. Yaitu kehadiran kelompok
Muballig atau Da'I yang tangguh dan memiliki pengetahuan luas dan visi
yang jauh, mampu memecahkan problema kehidupan masyarakat, dan sanggup
memberikan berbagai alternatif yang lebih Islami dalam menanggulangi
berbagai perilaku, tradisi dan situasi ummat di masa mendatang dan
tanggap terhadap kondisi ummat masa kini, sehingga mereka diharapkan
dapat menyampaikan ajaran Islam secara tepat dan up to date. Yang lebih
penting lagi adalah kemampuan mereka mengisi kekosongan rohaniah para
penguasa teknologi dengan ajaran Islam dan menghimpunnya menjadi
kekuatan baru yang Islami, sehingga tidak mustahil kebangkitan Islam
kembali justru muncul dari Barat sebagai suatu keharusan sejarah.
C. PROSES TERSEBARNYA PAHAM MAHDI
Paham Mahdi atau Mahdiisme, semula
merupakan isu politik dari golongan Syi'ah yang kalah secara serius
dalam percaturan politik di abad-abad pertama Hijrah. Kekalahan Syi'ah
ini, tentunya melemahkan semangat dan daya juang diantara pengikutya.
Gejala melemahnya semangat juang mereka dalam mempertahankan
eksistensinya, tampaknya menjadi perhatian khusus bagi kaum politisi
Syi'ah yang berambisi untuk merebut kekuatan politik. Mereka berusaha
membangkitkan kembali semangat perjuangan para pengikutnya dengan
mengisukan al-Mahdi sebagai Juru Selamat yang akan memberi pertolongan
dan memenangkan kembali perjuanganmereka, lewat para propagandis Syi'ah
yang amat fanatik.
Bersamaan dengan isu politik yang baru
ini, dicipta pula hadis-hadis Mahdiyyah yang memberi harapan-harapan
baru, yaitu akan diraihnya kembali kejayaan dan kemenangan kaum Syi'ah
dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Isu al-Mahdi yang bersifat
politis ini ditopang oleh 'aqidah ar-raj'ah, masalah al-gaibah dan
imamah ciptaan Ibn Saba'. Kemudian isu tersebut diformulasikan oleh
kelompok politisi Syi'ah yang lihai, menurut analisis Ahmad Amin rupanya
proses terbentuknya paham Mahdi dimulai dari term "pemerintahan Syi'ah
yang ditunggu-tunggu," kemudian isu tersebut berkembang dan berubah
menjadi "penguasa yang ditunggu-tunggu," yang selanjutnya berubah lagi
menjadi "al-Mahdi yang ditunggu-tunggu." Sayang proses terbentuknya
paham Mahdi itu, tidak dijelaskan secara kronologis dengan menyebutkan
tokoh-tokoh Syi'ah yang mencipta paham tersebut.
Akan tetapi, sejak kekalahan Syi'ah
Kaisaniyyah, isu al-Mahdi al-Muntazar sudah muncul dan mereka sebarkan
di kalangan pengikutnya. Dari sekte ini, isu al-Mahdi diambil alih oleh
sub-sub sekte dari Syi'ah Imamiyyah, dan pengikut paham Mahdi yang
paling dikenal dalam sejarah adalah paham Mahdi Syi'ah Isna 'Asyariyyah
dan Isma'iliyyah, keduanya mempunyai daerah pengaruh yang cukup luas,
lantaran aktivitas para propagandisnya yang fanatik. Keefektivan
penyebaran paham Mahdi ini ditunjang pula oleh adanya suasana kemunduran
dan kekalahan diantara kelompok-kelompok Muslim yang sedang bersaing,
di satu pihak, dan, di pihak lain, karena adanya semangat baru diantara
kelompok tersebut untuk bangkit kembali guna menebus kekalahan mereka di
bidang politik. Tujuan utamanya tidak lain adalah membangun kembali
kejayaan mereka yang telah hilang, namun demikian, tidak jarang dijumpai
dalam masyarakat kita muncul seorang yang mendakwahkan dirinya sebagai
Imam Mahdi secara person, tanpa memiliki latar belakang perjuangan dari
suatu kelompok tertentu.
Selain itu perlu ditambahkan disini,
bahwa golongan Sufi tidak kalah hebat peranannya dalam menyebarkan paham
Mahdi. Merekalah yang digambarkan oleh Fazlur Rahman sebagai Qussas,
story-teller atau juru cerita yang sangat besar pengaruhnya di kalangan
masyarakat umum. Untuk menarik perhatian umum, mereka memperluas cerita
dalam al-Quran dan membumbuinya dengan kisah-kisah yang bersumber dari
agama Nasrani, Yahudi, Gnostik, bahkan diambil juga dan kisah-kisah
dalam agama Buddha dan Zoroaster. Juru cerita yang berhaluan Syi'ah dan
yang berada dalam pengaruh Kristen ini dengan sengaja memasukkan ide-ide
baru tentang al-Mahdi sebagai figur spiritual yang akan muncul di akhir
zaman dan akan menegakkan kembali supremasi dan keadilan Islam dengan
memberantas kaum yang menentang Tuhan.16
Dalam hubungan ini, sementara golongan
Sufi lain dalam paham kemahdiannya mempunyai corak kemahdian yang
berbeda, yaitu apa yang disebut al-Quth, atau pemimpin utama penguasa
rohaniah Al-Qutb ini, menurut Ahmad Amin, merupakan tandingan Imam atau
al-Mahdi. Dia dipandang sebagai pengatur segala urusan sepanjang masa
dan diyakini sebagai tiang penyangga langit dan tanpa keberadaannya
sudah barang tentu langit itu akan runtuh. Selanjutnya dijelaskan bahwa
di bawah al-Qutb ini adalah tingkatan para cerdik pandai, demikian Ahmad
Amin.17
Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa
al-Mahdi dalam perspektif rasional tampak sulit diterima sebagai ajaran
dari Nabi, dan hal itu sendiri tidak terdapat didalam al-Quran maupun
didalam kitab Sahih Bukharõ dan Sahih Muslim. Memang, jika orang membaca
hadis-hadis Mahdiyyah hanya sepintas dan hanya beberapa buah hadis saja
yang ditelaahnya, tanpa mau membandingkan secara jeli dengan
hadis-hadis Mahdiyyah lainnya yang penuh kontroversial, tentunya dia
akan menerimanya dan mempercayainya sebagai sesuatu yang benar-benar
datang dari Nabi. Akan tetapi, jika dia mempelajarinya dengan sikap
kritis serta menghubungkannya dengan sejarah ummat Islam secara
obyektif, maka dia tidak akan menerima begitu saja pernyataan-pernyataan
hadis Mahdiyyah yang bertentangan dengan penalaran akal sehat itu.
Catatan kaki:
1 'Ibn Khaldun, op. cit.,hlm. 311-2. Catatan kaki:
2 Al-Maudidi, op. cit., hlm. 159-60.
3 Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 401.
4 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 238.
5 Ibid., Hlm. 219.
6 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322.
7 al-Maududi, op. cit., hlm. 216-7.
8 Ahmad asy-Syirbasyi, Yas'alunaka fid-Din wal-Hayah, (Beirut: Darul-Jail, tt.), hlm. 514.
9 Bandingkan dengan Ahmad asy-Syirbasyi, ibid., hlm. 513.
10 M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 35 dan 45.
11 Muhammad Farid Wajdi Da'iratul-Maarifil-Qarnil-'Isyrin, (Beirut, Libanon: Darul-Ma'rifah lit-Tiba'ah wan-Nasyr, 1971), hlm. 480.
12 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 243.
13 Syah 'Abdul-'Aziz Ghulam Hakim ad-Dihlawi, op. cit., hlm. 201.
14 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327.
15 Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327.
16 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 132-3.
17 Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 245.
Sumber : http://www.akhirzaman.info
Imam Mahdi
,
{[['']]}
Label:
Imam Mahdi
=Film Full= Rhoma Irama "Melodi Cinta" [1984]
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
1:31 PM
with
No comments
Movie Full Rhoma Irama&Ricca Rahim"
Pertemuan pertama Rhoma dan Ricca terjadi ketika Rhoma menolong Ricca yang terjatuh saat mengikuti kegiatan kerja bakti di kampung. Sejak itu terjalin cinta di antara keduanya, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan. Namun, sebenarnya, Herman yang kos di rumah Ricca juga menaruh hati pada Ricca. Dengan menikahi Ricca, Herman berharap dapat menguasai perusahaan ayah Ricca di mana Herman bekerja padanya.
Karena tidak berhasil merebut Ricca dari Rhoma, Herman meminta bantuan Bonang, seorang teknisi kendaraan, untuk mencelakakan Rhoma. Bonang diikutkan dalam tur pertunjukan Rhoma dan ditugasi menangani masalah teknik kendaraan. Serangkaian aksi dilakukan Bonang di perjalanan di setiap kesempatan agar Rhoma celaka. Mulai dari memberi aliran listrik pada mikrofon yang akhirnya mencelakakan orang lain. Bonang juga gagal mencelakakan mobil Rhoma walaupun sudah memblongkan remnya. Rhoma mengajak anak buahnya berkemah sambil menanti perbaikan mobil. Ketika Rhoma sedang tidur, Bonang memasukkan ular berbisa ke dalam kemahnya. Rhoma berhasil membunuh ular itu.
Keesokan harinya, rem mobil Rhoma benar-benar "dibereskan" oleh Bonang. Rhoma mengendarai mobil didampingi seorang krunya. Kali ini celakalah Rhoma. Mobilnya terperosok ke jurang. Dia luka cukup parah, tapi bisa keluar dari mobil yang kemudian terbakar. Sedangkan pendamping Rhoma telah tewas sebelum mobil terbakar. Orang itulah yang disangka sebagai Rhoma oleh orang-orang yang menemukan.
"Kematian" Rhoma membuat Ricca terpukul. Herman yang telah berhasil menyingkirkan Rhoma secara intensif mendekati Ricca. Ricca pun bersedia dinikahi Herman. Namun, Ricca sempat mendengar pembicaraan Herman dengan Bonang di mana Bonang telah dikeluarkan dari perusahaannya dan meminta Herman menyediakan uang untuk membeli truk. Herman diancam akan dilaporkan ke polisi jika tidak memenuhi permintaan Bonang.
Sementara itu, Rhoma ditolong oleh keluarga Muhammad dengan anaknya Hadiah dan cucunya Abduh. Setelah sembuh, Rhoma segera menelepon Ricca. Semula Ricca tidak percaya. Ricca yang sedang mempersiapkan pernikahan dengan Herman baru dapat diyakinkan setelah Rhoma menyanyikan lagu Sayang .
Rhoma datang tepat pada waktu akad nikah Herman dan Ricca akan dilangsungkan. Mengetahui kedatangan Rhoma, Ricca menolak dinikahi Herman, bahkan membongkar rahasia selama ini bahwa Hermanlah otak percobaan pembunuhan Rhoma. Herman yang kalap dibantu oleh Bonang mencoba menghabisi Rhoma, namun Rhoma berhasil mengalahkan keduanya.
Dilanjutkan Film Badai di Awal Bahagia
Pemain: Rhoma Irama - Ricca Rachim - Soultan Saladin - Farah Meuthia - Eddy Wardi - Chitra Dewi - Sofia W.D. - Aedy Moward - H. Alwi A.S. - Billy Sumampouw - Yatti Kusuma - Youstine Rais - A. Rasyid Subadi - Ustaz Anwar Sanusi - Tirry Andio - Beben M. Firmansyah (Bintang Cilik) - Soneta Group
Cerita: Rhoma Irama - Muchlis Raya
Skenario: Rhoma Irama
Cameraman: Sadeli H.S.
Pimpinan Produksi: C.J. Beslar
Produser: R.H. Benny Muharram
Sutradara: Muchlis Raya
Video Hosted By :
Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}
Sumber Videos : http://www.youtube.com/
Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}
Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}
Action
,
Adventure
,
Flm Full
,
year1984
,
{[['']]}
=Film Full= Rhoma Irama "Cinta Kembar" [1984]
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
8:42 PM
with
No comments
Film Cinta Kembar Roma Irama
Download Video via Youtube Tanpa IDM {internet download manager}
Action
,
Adventure
,
Flm Full
,
year1984
,
{[['']]}
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif - Bagian Kedua
Posted by
IWANCIANJUR1
Posted on
8:04 PM
with
No comments
oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Kedua
A. Pengertian Al-Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah
Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud
dalam kajian ini, bermula dari sekte Syi'ah Kaisaniyyah yang banyak
terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'.1) Kata al-Mahdi adalah ism
maf'ul dari [kata-kata Arab] seperti: [kata-kata Arab].
Kata ini bisa berarti, Allah telah
memberitahukan, menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya. Dengan
demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut al-Mahdi. Dalam
hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa sigat kata al-Mahdi itu
adalah maf'ul (dalam bentuk mabni lil-majhul dari [kata-kata Arab] dan
kata al-Mahdi berarti orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata
tersebut, dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa'il, yakni orang yang
terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang sigat [kata-kata
Arab] tidak terdapat dalam al-Quran, yang ada adalah sigat al-fa'il,
sebagaimana dalam firman Allah:
Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (Q.S. al-Hajj: 54)
Juga dalam firman-Nya:
... Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (Q.S. al-Furqan: 31).
Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya
sama sekali dengan masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara
ummat Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema pembahasan
tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta menghubungkannya dengan
hadis-hadis Mahdiyyah.2)
Dalam hubungan ini, Ahmad Amin
menjelaskan, bahwa dalam al-Quran hanya ada kata [kata-kata Arab] dan
kata [kata-kata Arab] sedangkan kata yang terdapat dalam sebagian
kitab-kitab hadis adalah untuk menyipati pribadi 'Ali ibn Abi Talib.
Seperti sabda Nabi yang dikutip dari kitab Usdul-Gabah:
" ... Dan jika kalian mengangkat 'Ali
sebagai pemimpin, namun aku melihat kalian tidak melakukan itu, kalian
akan mendapatinya sebagai seorang pemberi petunjuk yang membawa kalian
ke jalan yang lurus."
Kemudian pengertian bahasa agama ini
berubah menjadi pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang
ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan keadilan
sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan. Selanjutnya ia
berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama menggunakan pengertian yang
terakhir ini adalah Syi'ah Kaisaniyyah.3 ) Selanjutnya perlu
ditambahkan disini bahwa kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang
telah diberi petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu
berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang yang telah
diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided one, dengan cara yang
menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan demikian, orang yang disebut
Mahdi atau al-Mahdi, benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa
lalu, nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan
dimasa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara eskatologis.4)
Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh laki-laki dari keturunan
Ahlul-Bait yang akan muncul di akhir zaman. Dia akan menegakkan agama
dan keadilan dan diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih
yang turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam sewaktu
salat bersama-sama Nabi Isa a.s. Demikianlah pengertian al-Mahdi yang
dikenal secara umum di kalangan ummat Islam.
Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut
paham Syi'ah ialah seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan
datang memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi oleh
kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut aliran ini
al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang merupakan penjelmaan
atau pengejawantahan dari al-Mahdi dan al-Masih a.s., dan diangkat oleh
Tuhan sebagai mujaddid atau pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham
Ahmadiyah Lahore. Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam
Ahmad disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.
Uraian diatas menunjukkan bahwa
kepercayaan kaum Ahmadiyah terhadap al-Mahdi ini bermula dari pengakuan
Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam yang
ditemukannya di Srinagar, Punjab, India. Menurut penyelidikan mereka,
makam tersebut adalah makam Yus Asaf yang diyakini sebagai Isa al-Masih,
sesudah pengembaraannya yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India.
Dan sesudah penemuan makam tersebut, barulah dicari hadis-hadis
Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan aliran ini. Paham
kemahdian Ahmadiyah diatas, berbeda dengan paham kemahdian Syi'ah yang
timbul dari 'Aqidah ar-Raj'ah dan masalah al-Gaibah. Oleh karena kaum
Syi'ah tidak mau mengakui kematian imam-imam mereka, dan karena pengaruh
ajaran ibn Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan mereka
tentang imam yang bersembunyi (gaib). Dalam kaitan ini, Ahmad Amin
menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu bermula dari ucapan Ibn
Saba', yang menyatakan bahwa Muhammad SAW akan kembali lagi ke dunia,
adalah mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya Isa a.s., tetapi
ia mendustakan kembalinya Muhammad.5)
Dalam salah satu pernyataannya yang
lain, ia tidak mengakui kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu bukan
'Ali tetapi, setan yang menjelma sebagai 'Ali, dia naik ke langit
sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang bersembunyi tersebut akan muncul
lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian, akhirnya,
muncul pula pemikiran tentang al-Mahdi, dan kemudian dibuatlah
hadis-hadis Mahdiyyah.
Adapun arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut, atau berarti golongan. Seperti firman Allah:
... Dan benar-benar Ibrahim adalah termasuk golongannya... (Q.S. as-Saffat: 83).
Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:
Syi'ah adalah golongan yang membantu
'Ali dalam menumpas pemberontakan yang dimotori oleh Talhah, Zubair,
bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum Khawarij.
Para pendukung 'Ali tersebut, sebagian besar mengakui kekhilafahan Abu
Bakr, 'Umar, dan 'Usman sampai terjadinya penyimpangan yang menimbulkan
huru-hara. Sebagian lagi, mereka yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin
mereka. Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang
mengunggulkan 'Ali sebagai khalifah sesudah Rasul wafat, daripada tokoh
sahabat lainnya.6)
Istilah Syi'ah sebagai yang dikembangkan
oleh al-Mahdi Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an
pada umumnya, dan tampaknya istilah tersebut lebih cocok untuk golongan
Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah Syi 'ah sebagai yang
dikemukakan oleh Dr. Ahmad Amin dalam Duhal-Islam III, tampak lebih
luas. Syi'ah menurut pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa
'Ali dan keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat khalifah
daripada Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Dan bahwasanya Nabi telah
menjanjikan kekhilafahan sesudahnya kepada 'Ali, dan setiap imam
menjanjikan kekhilafahan tersebut kepada penerusnya.
Selanjutnya tentang arti kata
'Ahmadiyah' berasal dari kata 'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism'alam yang
searti dengan kata 'mahmud,' artinya orang yang terpuji. Namun menurut
Mirza Ghulam Ahmad, bahwa kata 'Muhammad' artinya, berkaitan dengan
sifat jalal atau kebesaran, karena itu, Rasulullah dalam menghadapi
musuh-musuhnya dengan cara berperang. Sedang kata 'Ahmad' lebih
berkonotasi dengan sifat jamal atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi saw.
itu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh
jalan kekerasan), sifat ini menurut pendapatnya, lebih dimanifestasikan
sewaktu Nabi tinggal di Madinah.7)
Apabila kata "Ahmad" ditambah dengan
"ya" nisbah, maka jadilah kata [kata-kata Arab]. Kata inilah yang oleh
Mirza dijadikan sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir abad
ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi. Nama Ahmadiyah dipakai
secara resmi sebagai nama aliran tersebut, sejak 4 November 1900,
sewaktu pendirinya membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte
baru dalam Islam. Nama 'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu
nama Rasulullah, bukan diambil dari nama pendiri aliran tersebut.
B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH
1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA
Masalah khalifah sesudah Rasul wafat,
merupakan fokus perselisihan diantara tiga golongan besar, ya?tu:
Golongan Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya masih
ada kelompok terselubung yang cukup potensial dalam mewujudkan
ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah golongan Bani Umayyah. Sikap
golongan terakhir ini, tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu Abu
Sufyan yang enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari
Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam lain,
sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.
Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah
yang dimotori oleh Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah
kembali bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar suku
yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat dipahami bahwa
pemilihan khalifah tersebut, tanpa keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani
Hasyim, tampaknya membawa kekecewaan mereka yang menginginkan hak
legitimasi kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus
jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih berhak dan lebih
utama menggantikannya, karena dia adalah menantunya, dan selain itu ia
juga seorang yang mula-mula masuk Islam sesudah Khadijah, istri
Rasulullah. Selanjutnya tak seorang pun yang mengingkari perjuangan,
keutamaan, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang
berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan Ansar yaitu
Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam suatu pertemuan di Saqifah: " ...
Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr,
Umar, dan'Ali), sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang yang
seandainya ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan
menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8)
Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada
tahun 12 H (634 M), tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan
berbagai pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara tokoh-tokoh
sahabat itu yang lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Selain itu,
juga merupakan awal terbentuknya pemikiran golongan ketiga yakni Bani
Hasyim, disamping golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh karenanya tidak
mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at 'Ali ibn Abi
Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak 'Ali dan sebagai
akibatnya, para pendukung 'Ali menunda-nunda pembai'atan mereka pada
Khalifah Abu Bakr.
Memang benar, bahwa sesudah 'Ali
membai'at Khalifah pertama ini, isu politik tentang hak legitimasi
Ahlul-Bait, sebagai pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur
mereda sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab.
Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan oleh keberhasilan
kedua khalifah tersebut dalam mempersatukan potensi ummat Islam untuk
menghadapi musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.
Munculnya Bani Umayyah dalam
pemerintahan 'Usman, sebagai kekuatan politik baru, telah mengundang
reaksi keras ummat Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama
sesudah enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah
ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi kaum
kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah yang selama 20
tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu politik tentang hak
legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah,
tindakan politik Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang
diangkat oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari
keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan keresahan ummat
secara luas. Seperti: Pengangkatan Marwan ibn Hisyam sebagai sekretaris
Khalifah, Mu'awiyah sebagai Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn
Surrah sebagai wali di Mesir, dan ia masih saudara seibu dengan
Khalifah, dan Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai
penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan
kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan aspirasi rakyat.
Sikap politik seperti ini tampaknya merupakan faktor penyebab timbulnya
protes-protes sosial yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada
pemerintahannya sendiri.
Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon
utama untuk menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini,
segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang berambisi
menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh itu adalah Talhah dan
Zubair yang mendapat dukungan dari 'A'isyah, untuk mengadakan aksi
militer yang dikenal dengan perang Jamal. Akhirnya kedua tokoh tersebut
terbunuh, sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke
Madinah.
Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai
akibat kegagalan kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping
itu, keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan Basrah
untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang terhunus. Alasan terakhir
ini rupanya dijadikan alasan baru untuk menuntut Khalifah, mereka
berjanji akan taat dan patuh, jika Khalifah menghukum semua orang yang
terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn 'Affan. Tuntutan tersebut
senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar Khalifah 'Ali mengadili
Muhammad ibn Abu Bakr, anak angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang
keladi peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali
dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal pemerintahannya.
Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair
tersebut, dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang
dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan semangat
antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali, Mu'awiyah menggantungkan
baju 'Usman yang berlumuran darah beserta potongan jari istrinya, yang
dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9) Posisi 'Ali
yang sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya terhadap
Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah sebagai faktor yang
mempercepat berkobamya perang Siffin. Perang ini mengakibatkan munculnya
golongan Khawarij, musuh 'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya
upaya perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada al-Qur-an,
setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali dibawah panglima Malik
al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini,
sebenarnya telah diketahui oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi
siasat licik ini terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang
memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak
sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus diwakili oleh seorang
juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan
pihak 'Ali diwakili Abu Musa al-Asy'ari.
Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di
Daumatul-Jandal, sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan
oleh sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya kepada siasat
'Amr. Bahkan menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu- Musa ini secara
diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As tampaknya dengan mudah meyakinkan
Abu Musa, bahwa untuk kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus
disingkirkan. Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang
lebih tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna mengumumkan hasil
perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu Musa menyatakan
pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik mimbar kemudian, menyatakan
kegembiraannya atas pemecatan 'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat
Mu'awiyah sebagai penggantinya.10) Sekalipun pihak 'Ali kalah total,
namun 'Ali tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid
Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41 H/661 M.
Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan
oleh peristiwa tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah,
semakin mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama sekali
sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum separatis ini di
Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan dendam mereka semakin memuncak
terhadap Khalifah. Dalam hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum
Khawarij membentuk pasukan berani mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman ibn
Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah as-Sarimi untuk
membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk membunuh 'Amr ibn 'As. Akan
tetapi, dua petugas yang disebut belakangan ini gagal mencapai
maksudnya.11) Dengan demikian, posisi Mu'awiyah semakin kuat.
Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali
lebih tampak sebagai seorang panglima perang daripada sebagai seorang
politikus. Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus
banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang pernah
ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte oleh pihak lawan. Tipe
perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.
Para pendukung dan pengikut setia
Khalifah 'Ali apabila dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh
berbeda dengan akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang
tentu, mereka belum mengenal sama sekali apalagi memiliki
doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah sebagaimana yang
kita kenal dalam sejarah, selain pendirian mereka bahwa 'Ali lebih utama
memangku jabatan Khalifah sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif lebih
kecil. Dengan demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita
perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin tertentu,
maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum lahir. Ini berbeda
dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada hukum yang wajib dipatuhi
selain hukum Allah," sejak keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai
doktrin dan pengikutnya selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh
karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?
Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat
beberapa pendapat yang kontroversial. Pendapat al-Jawad yang dikutip
oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah,
menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan lahirnya nash
(hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi Talib oleh Nabi sebagai
khalifah sesudahnya nash yang dimaksud antara lain, mengenai kisah
perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah
pamannya, Abu Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya.
Dalam perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku,
penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian, oleh karena itu, dengar
dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi
sesudah 'Ali menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.
Nash seperti ini, jelas tidak terdapat
dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni
menolak nash tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim kekhilafahan
bagi 'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum Syi'ah. Sebaliknya,
tidak dimuatnya nas-nas semacam itu, demikian Syarafuddin al-Musawi,
oleh kedua imam hadis tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi
golongan Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan
kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi senjata
kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka.12) Abu Zahrah berpendapat
bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini
merupakan tanah subur untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian
menyebar ke Irak dan di sinilah mereka menetap.13)
Selain itu, adalah wajar apabila ada
yang berpendapat, bahwa lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras,
pamannya, 'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap Nabi
untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan menggantikan
kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut ditolak 'Ali dengan tegas,
dan ia pun bersumpah tidak akan memintanya.14) Selanjutnya masih ada
pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan
terjadinya perang Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena
pada saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah kecuali
orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada 'Usman ibn 'Affan,
sebagai yang telah disinggung diatas.
Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa
pendapat diatas, maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak
realistis, sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih
menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan nyata sebagai
pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa hidupnya. Akan tetapi, apabila
kelahiran Syi'ah dilihat sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat
politis secara utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau
doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi kekhilafahan pada
keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri Rasulullah, sebab dari segi
doktrin inilah identitas Syi'ah tampak lebih jelas, berbeda dengan
identitas sekte-sekte Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah
seperti ini adalah bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah -
pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan kepada keluarga
Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan orang-orang yang dianggap telah
merampasnya. Dari penerapan doktrin ini, penulis berpendapat bahwa
lahirnya Syi'ah itu bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan ibn
'Ali ibn Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para
pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya, hanyalah
merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi'ah
yang sudah siap tumbuh dan berkembang.
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH
Dalam kajian ini, penulis lebih
menitikberatkan pada bahasan yang berkaitan dengan perkembangan
sekte-sekte Syi'ah secara garis besar, serta hubungannya dengan paham
Mahdiyyah.
Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum
Syiah semakin goyah karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan
di kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan Saba'iyyah,
pengikut Ibn Saba'.15) Lemahnya daya juang dan kurang wibawanya Hasan
adalah menjadi faktor yang mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha
Hasan dalam memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya
menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya sangat mengecewakan. Pada
saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh kaumnya, demikian Ihsan Ilahi
Zahir, sehingga sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan
Saba'iyyah, sebagian lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan
Khawarij.16) Oleh karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai
dengan pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah
secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara de jure, ia
menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi secara de facto, ia berkuasa
hanya enam bulan tiga hari.
Sesudah Hasan wafat, diangkatlah
saudaranya, Husain ibn 'Ali sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak
memiliki semangat dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun
sayang, ia harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang Karbela
secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.
Kematian Husain ini merupakan bencana
bagi kaum Syi'ah, sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang
keramat serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran
kecintaan mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu, mereka
mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan Muharam.
Kematian Husain tersebut bermula dari
banyaknya surat penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada
putera 'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia
lebih mempercayai janji orang Kufah daripada ia mempertimbangkan
saran-saran para penasihatnya yang cukup berpengalaman dan mengetahui
benar tabiat orang Kufah yang telah mengkhianati keluarganya. Dan
karenanya, kematian Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam
moral agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat berdosa
atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk menebus dosa mereka
dengan mengangkat senjata menuntut bela atas kematiannya pada penguasa
Umayyah. Golongan tersebut menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang
bertobat).
Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa
mati berperang karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati
syahid. Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali dan
keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi atau agama.
Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia
terhadap penguasa Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama
sekali baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah,
demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin sekali ia
orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari bangsa Arab ke bangsa
Persia.17) Sejak itulah kaum Syi'ah mengalami perubahan besar dan mulai
mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata kepada gerakan
keagamaan yang bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir
menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur asing yang
melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan bangsa Arab yang terdidik
secara Islami, dan sekalipun mereka kaum Syi'ah masih berada dalam
lingkaran Islam, namun bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam
dalam bentuknya yang baru.18)
Pada saat yang sama, Syi'ah mulai
membawa pikiran-pikiran asing secara terselubung, aliran ini juga
merupakan wadah dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya
musuh-musuh Islam yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah
terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak sekali.
Diantara kelompok-kelompok yang
memasukkan ajaran-ajaran nenek moyang mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah
golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu berkeinginan
melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam dengan menyembunyikan niat
jahat mereka dan menunjukkan sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait
sebagai kedok.19)
Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah
ar-Raj'ah, ucapan sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan
membakar mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka ada
yang mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan, sifat ketuhanan
yang menyatu dengan sifat kemanusiaan seperti pada diri seorang imam,
juga ada yang mengatakan bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan
terhenti untuk selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka yang
menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau Reinkarnasi dan Hulul
dan lain sebagainya.
Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah
mempunyai keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal itu
mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu pihak, sedangkan
istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III, mantan raja Persia di pihak
lain. Sebelum Islam, di Persia telah berkembang suatu tradisi yang
bertolak dan pandangan tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang
berarti bahwa dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan.
Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus dipatuhi
oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi untuk menegakkan
kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan seperti ini, demikian Ahmad
Syalabi, masih tetap ada sesudah orang Persia itu memeluk Islam,
sehingga karenanya mereka memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak
memerintah dan harus ditaati oleh manusia.20) Rupanya pandangan seperti
inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
faktor sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti sekarang ini
adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah
berakar pada suatu masyarakat di suatu negeri, dan pernah memiliki
peradaban yang lebih maju daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum
Syi'ah membentuk pola kehidupan keagamaan yang berbeda dan bahkan sering
bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya. Kepercayaan
hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu Islam
dan non-Islam, yang melahirkan praktek keagamaan baru dalam Islam
merupakan bid'ah yang sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
"... Maka sesungguhnya sebaik-baik
ajaran adalah kitab Allah (al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah
petunjuk Muhammad saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru
yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah sesat".
(Hadis riwayat Muslim).
Sebagaimana diketahui dalam sejarah,
agama Nasrani setelah memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi
yang jauh lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s.
Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran Nasrani dengan
kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat munculnya praktek-praktek
keagamaan baru yang diikuti oleh lahirnya berbagai sekte keagamaan.
Demikian pula dengan sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain
wafat.
Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah,
bermula dari masalah imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang
berhak menjadi imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat
itu belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia dewasa.
Rupanya kaum Syi'ah sulit menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga
kelompok yang berbeda paham.
Golongan pertama, memandang bahwa
keimaman harus berada di tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas
dari mereka, dan keimaman harus melalui nas dari imam baik yang dikenal
maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat putera Husain
yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini kemudian disebut golongan
Imamiyyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa
mengangkat imam yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin
bahwa Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang
puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap
menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera keturunan Husain atau
Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan, keberanian, kesalehan,
keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap penguasa yang zalim.
Oleh karenanya golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka
menghentikan aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain
sampai bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang memberontak
kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. Kemudian golongan
ini dikenal dengan nama Syi'ah Zaidiyyah.
Golongan ketiga berpendapat bahwa
jabatan imam sesudah Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu
saudara seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi.
Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa
'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad, saat menjelang wafat dan
saat berwasiat kepada putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad
agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat
baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu,
kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya
menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa dia juga memperoleh hak
untuk diangkat sebagai imam.21) Golongan ketiga ini dikenal dengan nama
Syi'ah Kaisaniyyah. Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula
yang mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga
golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.
Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat
langsung terhadap lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang
berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman lebih
menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan al-Waqifah yang
kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah, lebih memfokuskan perhatiannya
pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang imam.
Mereka tidak perduli, apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain
asalkan dia masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi
golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan itu dari
Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
A. SYI'AH KAISANIYYAH
Dilihat dari eksistensi dan gerakannya,
golongan ini dapat dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka
mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan dalih
membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini tampaknya didukung oleh kaum
Mawali Irak dan Persia, yang diperlakukan oleh pemerintah Umayyah
sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk kedua kota
tersebut tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.
Sekte ini mengangkat Muhammad ibn
Hanafiyyah sebagai imam, sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn
Saba' dan golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah,
'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam yang telah
wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan, bahwa sesudah Muhammad
ibn al-Hanafiyyah yang dikenal sebagai orang yang berpengetahuan luas
dan berpikiran cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran
bohong dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan
kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut aliran ini
terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia memiliki berbagai
keluarbiasaan atau al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang
mereka buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.22)
Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih
kepada puteranya, Abu Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang
dikenal dengan al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah
siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini tampaknya menjadi
rebutan diantara kelompok-kelompok yang berambisi, sehingga timbul
pendapat yang kontroversial.
Dalam hubungan ini asy-Syahrastani
menjelaskan bahwa kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan,
sebenarnya Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad ibn
'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat dalam perjalanan
pulang dari Syria. Selanjutnya penerima wasiat ini terus mewasiatkan
keimaman ini kepada anak keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu
jatuh ke tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan
imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn Muhammad
al-Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan, keimaman itu
dilimpahkan kepada saudara Abu Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian,
'Ali mewasiatkan pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir
mengatakan, bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia
telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,23) oleh karenanya
menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah berpindah ke dalam diri
'Abdull-ah al-Kindi, sehingga berkembanglah paham Reinkarnasi di
kalangan pengikutnya.
B. SYI'AH ZAIDIYYAH
Sekte ini berdiri sesudah berselang 60
tahun setelah Husain wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte
tersebut memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu
seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia),
pemberani, pemurah, dan mau berjihad di jalan Allah guna menegakkan
keimaman taat pada agama baik dia dari putera Hasan atau Husain.
Dalam masalah kekhilafahan atau
keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam
Mafdul yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam al-Afdal
atau imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri
sekte Zaidiyyah, pernah berguru kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri
Mu'tazilah. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau membenci
khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang
[kata-kata Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya
seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi keras dari
Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah sebabnya mereka
disebut golongan Syi'ah Rafidah.
Sebagaimana diketahui, umumnya kaum
Syi'ah berprinsip bahwa 'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang
yang lebih berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda
paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat.
Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor yang mewarnai
identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte Zaidiyyah, karena
doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih
suka menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang
mengalami nasib sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi
korban kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikan saran-saran
dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan saran dari saudaranya
sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada saat dia
berada di ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun
ditinggalkan oleh orang-orang Kufah.24) Sesudah ia wafat pada 122H,
jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke
Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan
Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya. Sesudah
itu keimaman dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal
dengan an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya
terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di Madinah. Seandainya
sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan dalam mengembangkan ide-ide
doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya ijtihad para imam
mereka, tentu keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam
masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah
terbunuhnya Ibrahim di Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak
terorganisasikan lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan
mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang kemudian
menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.25) Sebagaimana sekte-sekte yang lain,
golongan Zaidiyyah pun mengalami perpecahan menjadi beberapa subsekte.
Diantara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah
al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai
al-Mahdi.
C. SYI'AH IMAMIYYAH
Aliran ini menjadikan semua urusan agama
harus berpangkal pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan
seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran Nabi.
Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak boleh sunyi dari
imam, karena masalah keagamaan dan keduniaan selalu membutuhkan
bimbingan para imam. Bahkan mereka mengatakan, tidak ada yang lebih
penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam. Kebangkitannya
adalah untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan. Oleh
karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri dan
menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang mengakibatkan
perpecahan.
Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman
'Ali ibn Abi Talib sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas dan
benar. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak hanya
merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan kepada ummat untuk
menentukannya, bahkan imam merupakan tiang agama dan tatanan Islam yang
tidak mungkin dilupakan oleh Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus
seorang yang ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu sendiri menurut
mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang samar-samar.26)
Konsep keimaman mereka, bagi sekte
Zaidiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya,
pengangkatan seorang imam bukan ditetapkan oleh nas, tetapi dengan
pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang diberi
wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika Syi'ah Imamiyyah
menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar, maka berarti mereka harus
menerima paham Sunni, dan secara tidak langsung mereka harus mengakui
pula kekhilafahan Bani Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok
Sunni. Oleh karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka
tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan Ahlul-Bait
yang menjurus ke arah kultus individu di satu pihak, dan kebencian
mereka terhadap Bani Umayyah karena penindasannya pada Ahlul-Bait di
pihak lain, bermula dari dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim
dengan Bani Umayyah sebelum Islam.
Di sisi lain, rupanya hubungan kaum
Mawali Persia dengan keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara
menunjukkan kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak
Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya keluarga Bani
Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan lahirnya kelompok pendukung
keturunan 'Ali ibn Abu Talib di satu pihak, yang dikenal dengan golongan
Syi'ah, dan munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali
selalu gagal merebut kekuasaan politik pada masa pemerintahan dinasti
Umayyah, maka keturunan 'Abbas, lewat Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil
merebutnya dan mendirikan dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui
dalam sejarah, untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya kelompok
terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan politiknya
sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga penguasa baru tersebut
tidak bisa terlepas dari sikap dan tindak kekerasan terhadap saudara
sesukunya (Bani Hasyim) seperti yang pernah dilakukan oleh dinasti
Umayyah terhadap lawan-lawan politiknya.
Sebagai yang telah disinggung diatas,
perpecahan Syi'ah Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak
menjadi imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu
dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang sah
pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan Zainal-'Abidin,27)
sekalipun ia belum dewasa. Imam ini selamanya tinggal di Madinah sampai
wafatnya di tahun 94 H, dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi
kekerasan terhadap penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn
Husain wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi
mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia menduduki
jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan al-Walid, namun ia
tetap tinggal di Madinah sebagaimana ayahnya.28) Sepeninggal al-Baqir,
jabatan imam dipegang oleh puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam
ini, dari jalur ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya,
Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya sebagai
guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh semua pihak yang
mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang ilmu fiqh dan hadis.
Sejumlah muridnya telah memberikan andil
besar dalam memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, seperti: Abu Hanifah
dan Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama seperti
Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan pendiri Mu'tazilah, dan
Jabir ibn Hayyan sebagai ahli kimia yang masyhur. Karena kemasyhurannya
itu, beberapa tokoh Syi'ah abad modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi,
'Ali Syariati dan lain sebagainya , menunjukkan klaim terhadap ummat
Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan menerima pikiran-pikiran
hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai mazhab ke-5 dalam Islam,
namun demikian, karya-karya besar Imam ini, di perguruan tinggi Timur
Tengah, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang
studi sendiri dalam Ilmu Fiqh.
'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait
ini menyatakan berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan
ucapan serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada dirinya,
seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah, ar-Raj'ah, al-Bada',
Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau penyerupaan Tuhan dengan manusia.
Penolakannya terhadap kebid'ahan-kebid'ahan kaum Syi'ah dinyatakan
dengan tegas sebagai berikut:
"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum
Syi'ah), sesungguhnya kami tidak membiarkan para pendusta yang
senantiasa membuat kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami,
Allah sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah
menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."29)
Dari uraian diatas, nyatalah bahwa
tokoh-tokoh Ahlul-Bait yang diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada
umumnya tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya yang
bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang pun di antara
para Imam itu yang menyimpang dari ajaran Islam, dan bahkan mereka tidak
suka menyerang pribadi Abu Bakr atau 'Umar, malahan mereka
menghormatinya. Oleh karena itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas
terhadap segala penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai
salah satu faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai
reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama baik imam-imam
mereka untuk menguatkan pendirian atau paham masing-masing. Tidak
mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian mendirikan sub-sub sekte yang
ekstrem dengan menyerap ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka
membuat cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan keluarbiasaan
imam-imam mereka.
Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah
Ja'far as-Sadiq wafat, semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya
berpangkal, siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak
menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru seperti:
An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq sebagai al-Qa'im atau
al-Mahdi demikian pula halnya dengan al-Musawiyah, pengikut Musa
al-Kazim yang berkeyakinan bahwa Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan
akan kembali lagi ke dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam
sesudahnya. Oleh karena itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan
al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua subsekte yang
terpenting, dan keduanya mempunyai corak kemahdian yang berbeda satu
sama lain
1. SYI'AH ISMAILLIYYAH
Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah
Sab'iyyah atau Syi'ah Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut
sekte berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il
atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa setiap yang lahir,
pasti ada yang batin dan setiap ayat yang turun pasfi ada Ta'wil
atauTafsir Batiniyyah-nya.
Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah
tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip
pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang
yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan
sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.30) Mereka dihimpun oleh suatu
perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang yang ahli tentang Islam
dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu
daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya kedalam
masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan
Islam.31) Untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak, kemudian ia
mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan. Di
daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan
versi lama dan pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda di sekitar
abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di
dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India dengan mengobarkan
revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide
platonisme dan gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem
filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong
struktur keagamaan ortodoks.32)
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya,
diyakini keimamannya melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut
sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im
(yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia.
Sesudah Isma'il, jabti Fatimiyyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya,
berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib
yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara subatan imam
diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan
tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh
penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi. Dalam propagandanya ia mendapat sukses
karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat
penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan
Magrib (Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi
ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan mendirikan dinassektenya yang
paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn
Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang
politik, membantu berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di
bidang sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas
kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir menyerupai
sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap
al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.
Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il
sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati serta
akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut
keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam
pendahulunya.33)
Selain aliran Qaramitah, muncul pula
golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya
aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di
masa al-Hakim bin Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386
H. Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan.
Dalam hubungan ini, menurut salah satu
riwayat, dia adalah Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir,
kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk
mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan, sehingga
manusia mau menyembahnya.34) Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan
Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj
(858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia
pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut). Kemudian ajaran ini oleh
ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai
tuhan.
Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah
Batiniyyah yang inovatif, terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat
al-Quran, adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita
pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa Aga Khan,
sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad Syalabi menjelaskan,
dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dan menguasai ummat
Islam dengan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah
pihak.35) Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya
terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu kepentingan Inggris di
India. Dalam kerjasamanya dengan Inggris, aliran Batiniyyah atau
Isma'iliyyah ini, mendapat kebebasan menyebarkan pahamnya di
koloni-koloni Inggris, dan sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh
pada Inggris.
2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH
Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan
lebih kuat posisinya sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh
dan posisi aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini
tinggal di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad ke-3 H, akan
tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa ia lahir sesudah hilangnya
Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara misterius pada tahun 260 H.
Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far
as-Sadiq, adalah Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh
puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari Ahlul-Bait
yang diangkat sebagai putera mahkota oleh Khalifah al-Ma'mun dari
dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian keimaman sesudahnya beralih kepada
puteranya Muhammad at-Taqi, dan selanjutnya ia pun digantikan oleh
puteranya 'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi
pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam terhadap Khalifah
al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra sampai wafatnya tahun 254 H/
868 M dalam usia 40 tahun. Selanjutnya keimaman beralih kepada
puteranya, Hasan al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan
menguasai beberapa bahasa.
Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah
Isna 'Asyariyyah ini semakin meluas, dan banyak diantara para
pengikutnya, terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib)
mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani, Hasan
al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di Samarra.36)
Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn Hasan al'Askari sebagai
imam yang ke-12, yang dimitoskan sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia
dianggap hilang secara mimana para penguasanya mengklaim bahwa diri
mereka adalah masih keturunan Musa al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran
sekte ini sebagai mazhab resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa
Syah Isma'il, ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah
formula khutbah dan azisterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia
akan kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan, sebagaimana
bumi ini dipenuhi oleh kecurangan. Demikian menurut keyakinan pengikut
Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran ini sejak berdirinya sampai hilangnya
Imam ke- 12, tampaknya kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian
Gibb dan Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya,
aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah berdirinya
dinasti Safawiyah dannya, yaitu dengan menyebutkan nama-nama kedua belas
Imam mereka dalam khutbah dan menambahkan kalimat [kata-kata Arab]
dalam azannya, formula semacam ini tentunya dimaksudkan untuk
menunjukkan ciri khas kesyi'ahan.37)
Imam Mahdi
,
pesanan rasulullah
,
{[['']]}
Label:
Imam Mahdi
,
pesanan rasulullah