LATEST POSTS:
Recent Posts
Showing posts with label Foto Sejarah Cianjur. Show all posts
Showing posts with label Foto Sejarah Cianjur. Show all posts

Nama Kerajaan serta lokasi Situs dan juga PerkiraanTahun Berdirinya dan Nomor Urutnyaa


Nama Kerajaan serta lokasi Situs dan juga PerkiraanTahun Berdirinya dan Nomor Urutnyaa
mulai dari
KANDIS - REPUBLIK INDONESIA
  • 1.Kerajaan Kandis* Lubuk Jambi, Riau Sebelum Masehi
  • 2.Kerajaan Melayu Jambi Jambi Abad ke-2 M
  • 3.Kerajaan Salakanegara Pandeglang, Banten 150 M
  • 4.Kepaksian Skala Brak Kuno Gunung Pesagi, Lampung Abad ke-3 M
  • 5.Kerajaan Kutai Muara Kaman, Kaltim Abad ke-4 M
  • 6.Kerajaan Tarumanegara Banten Abad ke-4 M
  • 7.Kerajaan Koto Alang Lubuk Jambi, Riau Abad ke-4 M
  • 8.Kerajaan Barus Barus, Sumatra Utara Abad ke-6 M
  • 9.Kerajaan Kalingga Jepara, Jawa Tengah Abad ke-6 M
  • 10.Kerajaan Kanjuruhan Malang, Jawa Timur Abad ke-6 M
  • 11.Kerajaan Sunda Banten-Jawa Barat 669 M
  • 12.Kerajaan Sriwijaya Palembang, Sumsel Abad ke-7 M
  • 13.Kerajaan Sabak Muara Btg. Hari, Jambi 730 M
  • 14.Kerajaan Sunda Galuh Banten-Jawa Barat 735 M
  • 15.Kerajaan Tulang Bawang Lampung 771 M
  • 16.Kerajaan Medang Jawa Tengah 820 M
  • 17.Kerajaan Perlak Peureulak, Aceh Timur 840 M
  • 18.Kerajaan Bedahulu Bali 882 M
  • 19.Kerajaan Pajajaran Bogor, Jawa Barat 923 M
  • 20.Kerajaan Kahuripan Jawa Timur 1009 M
  • 21.Kerajaan Janggala Sidoarjo, Jawa Timur 1042 M
  • 22.Kerajaan Kadiri/Panjalu Kediri, Jawa Timur 1042 M
  • 23.Kerajaan Tidung Tarakan, Kalimantan Timur 1076 M
  • 24.Kerajaan Singasari Jawa Timur 1222 M
  • 25.Kesultanan Ternate Ternate, Maluku 1257 M
  • 26.Kesultanan Samudra Pasai Aceh Utara 1267 M
  • 27.Kerajaan Aru/Haru Pantai Timur, Sumatra Utara 1282 M
  • 28.Kerajaan Majapahit Jawa Timur 1293 M
  • 29.Kerajaan Indragiri Indragiri, Riau 1298 M
  • 30.Kerajaan Panjalu Ciamis Gunung Sawal, Jawa Barat Abad ke-13 M
  • 31.Kesultanan Kutai Kutai, Kalimantan Timur Abad ke-13 M
  • 32.Kerajaan Dharmasraya Jambi 1341 M
  • 33.Kerajaan Pagaruyung Batu Sangkar, Sumbar 1347 M
  • 34.Kesultanan Aceh Banda Aceh 1360 M
  • 35.Kesultanan Pajang Jawa Tengah 1365 M
  • 36.Kesultanan Bone Bone, Sulawesi Selatan 1392 M
  • 37.Kesultanan Buton Buton Abad ke-13 M
  • 38.Kesultanan Malaka Malaka 1402 M
  • 39.Kerajaan Tanjung Pura Kalimantan Barat 1425 M
  • 40.Kesultanan Berau Berau 1432 M
  • 41.Kerajaan Wajo Wajo, Sulawesi Selatan 1450 M
  • 42.Kerajaan Tanah Hitu Ambon, Maluku 1470 M
  • 43.Kesultanan Demak Demak, Jawa Tengah 1478 M
  • 44.Kerajaan Inderapura Pesisir Selatan, Sumbar 1500-an M
  • 45.Kesultanan Pasir/Sadurangas Pasir, Kalimantan Selatan 1516 M
  • 46.Kerajaan Blambangan Banyuwangi, Jawa Timur 1520-an M
  • 47.Kesultanan Tidore Tidore, Maluku Utara 1521 M
  • 48.Kerajaan Sumedang Larang Jawa Barat 1521 M
  • 49.Kesultanan Bacan Bacan, Maluku 1521 M
  • 50.Kesultanan Banten Banten 1524 M
  • 51.Kesultanan Banjar Kalimantan Selatan 1526 M
  • 52.Kesultanan Cirebon Jawa Barat 1527 M
  • 53.Kesultan Sambas Sambas, Kalimantan Barat 1590-an M
  • 54.Kesultanan Asahan Asahan 1630 M
  • 55.Kesultanan Bima Bima 1640 M
  • 56.Kerajaan Adonara Adonara, Jawa Barat 1650 M
  • 57.Kesultanan Gowa Goa, Makasar 1666 M
  • 58.Kesultanan Deli Deli, Sumatra Utara 1669 M
  • 59.Kesultanan Palembang Palembang 1675 M
  • 60.Kerajaan Kota Waringin Kalimantan Tengah 1679 M
  • 61.Kesultanan Serdang Serdang, Sumatra Utara 1723 M
  • 62.Kesultanan Siak Sri Indrapura Siak, Riau 1723 M
  • 63.Kasunanan Surakarta Solo, Jawa Tengah 1745 M
  • 64.Kesltn. Ngayogyakarto Hadiningrat Yogyakarta 1755 M
  • 65.Praja Mangkunegaran Jawa Tengah-Yogyakarta 1757 M
  • 66.Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat 1771 M
  • 67.Kerajaan Pagatan Tanah Bumbu, Kalsel 1775 M
  • 68.Kesultanan Pelalawan Pelalawan, Riau 1811 M
  • 69.Kadipaten Pakualaman Yogyakarta 1813 M
  • 70.Kesultanan Sambaliung Gunung Tabur 1810 M
  • 71.Kesultanan Gunung Tabur Gunung Tabur 1820 M
  • 72.Kesultanan Riau Lingga Lingga, Riau 1824 M
  • 73.Kesultanan Trumon Sumatra Utara 1831 M
  • 74.Kerajaan Amanatum NTT 1832 M
  • 75.Kesultanan Langkat Sumatra Utara 1877 M
  • 76.Republik Indonesia Kepulauan Nusantara 17-8-1945

Dalam catatan sejarah terdapat informasi yang terputus antara zaman pra sejarah dengan zaman Hindu/Budha.

Namun
dari Tabel 1 diatas dapat diperoleh gambaran bahwa peradaban Nusantara kuno bermula di Sumatra bagian tengah dan ujung barat pulau Jawa.

Dari abad ke-1 sampai abad ke-4 daerah yang dihuni meliputi :

  • Jambi (kerajaan Melayu Tua),
  • Lampung (Kepaksian Skala Brak Kuno), dan
  • Banten (kerajaan Salakanegara).

Untuk mengetahui peradaban awal Nusantara kemungkinan besar dapat diketahui melalui analisa keterkaitan tiga kerajaan tersebut.
{[['']]}

Buku Putih Islam Jawa

Buku Putih Islam Jawa
Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Prof. Hasanu Simon dan telah mendapat izin dari beliau untuk disebarluaskan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang mungkin masih ada di dalam makalah tersebut, tentunya ini merupakan usaha yang patut didukung oleh da’i-da’i Islam yang lurus dan benar manhajnya.
Penyelenggara mengundang tiga orang pembicara yangmemang cukup berkompeten pada bidang tersebut bahkan merupakan ahlinya, yaitu Dr. Damarjati Supajar, Dr. Abdul Munir Mulkhan (pengarang buku tersebut) dan Prof. Hasanu Simon (guru besar sosiologi kehutanan dan lingkungan UGM).
Singkat cerita, pada diskusi tersebut dua pembicara pertama, yaitu Dr. Damarjati Supajar dan Dr. Abdul Munir Mulkhan berusaha untuk mendukung ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Hal tersebut dibuktikan dengan pembelaaan tanpa cela terhadap syekh tersebut dan juga pengajuan alternatif wacana terhadap para peserta bahwa ajaran tersebut silahkan bila mau diikuti, toh dalam dunia Islam tokoh seperti itu sudah pernah ada, seperti misalnya Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lain. Mereka juga memberi pilihan tersebut dengan alasan ajaran-ajaran Islam sendiri pada hakikatnya dipraktekkan sebagai rutinitas dan sebagai tafsir dari para pengikutnya, sehingga sholat dan syariat-syariat lainnya bisa saja diganti dengan bentuk-bentuk lainnya (jelas ini pendapat yang salah). Menurut mereka lagi, syariat dalam ajaran Syekh Siti Jenar itu dipraktekkan oleh orang yang hidup, sedangkan hidup yang sebenarnya bagi manusia itu adalah nanti di akherat. Sedangkan di dunia pada hakekatnya adalah mati. Sehingga sholat,puasa, zakat haji itu tidak perlu.
Ajaran tersebut nampak semakin subur diikuti oleh umat Islam dewasa ini, apalagi dengan pemimpin Indonesia pada saat itu (mantan Presiden Gus dur) termasuk yang menyetujui dan mendukung ajaran tersebut (sufi/kebatinan/kejawen). Pendukung yang lain yang cukup dikenal adalah Anand Khrisna. Bila terus dibiarkan, ajaran tersebut akan semakin mengaburkan Islam sebagai agama yang murni dari kesyirikan dan bid’ah , menjunjung tinggi akal manusia, dan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai andil dalam pemberantasan penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat), kami tampilkan sebuah tanggapan dalam acara tersebut.
Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VII di Jakarta tahun 1978, orientasi system pengelolaan hutan mengalami perubahansecara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat sejak zaman kuno dulu. Disitu saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik. Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejaranh yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (socialforestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan.
Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama Het Book van Mbonang, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi. Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia.
Jadi, seandainya tidak ada Het Book van MBonang, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi data obyektif. Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu, yang berkembang adalah kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syek Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan.
Walisongo Dalam Dunia Mitos
Kisah walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan. Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW. Yang lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di tho’if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bolpoin ke pasukan majapahit. Begitu dilemparkan bolpoin tersebut, segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberinama keris kolomunyeng, yang oleh kyai Langitan diberikan kepada presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sudah digelar dan ternyata tidak ampuh.
Kisah sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal (serpihan potongan kayu) dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi dan heboh ; salah seorang pembantunya dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat cerita ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk elips sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi Ibrahim as, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo yang lahir dari keluarga penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwa untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan zaman dibandingkan kisah orang-orang yang menjadi panutannya, padahal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
Het Book van Mbonang yang telah melahirkan dua orang Doktor dan belasan Master bangsa Belanda itu memberikan petunjuk pada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. Het Book van Mbonang tidak menghasilkan kisah keris Kolomunyeng, kisah Cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya. Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tetapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.
Itulah sebabnya, saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku tentang Syekh Siti Jenar karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu. Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan aqidah Islamiyah, tetapi sudah ketinggalan zaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum, dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang ? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
Siapa Syekh Siti Jenar Itu
Kalau seorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu, isi buku dapat dijadikan tolak ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit sekali seorang yang berpaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal tersebut sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi karena bidang pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi, tidak mustahil kalau isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang berternak Kambing Ettawa menerangkan tentang seluk beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa. Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini adalah : “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai 6 pada bab 1 tidak relevan. Bab 1 diberi judul : “Melongok jalan sufi : Humanisme Islam Bagi Semua”. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya ; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan mesti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di dalam paragraf tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja pendeta dari Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :
1) Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi, beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2) Dihalaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama. Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian-pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3) Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal sekali.
4) Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing ? Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk mengubah seorang menjadi cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketentraman batinnya ? Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang adalah cerita kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5) Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menambal perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada sunan Kalijogo. Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Mbonang mengajar sunan Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang membawa cacing.
6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah diterangkan bagaimana hubungan Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu Ghaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung ?
Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu, banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Dimana letak Siti Jenar atau Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ; padahal tokoh terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu ? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti.
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada., mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh kedepan jangkauannya, tinggi muatan IPTEKnya., sakral dan di hormati oleh masyrakat dunia. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu, sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad SAW, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak aqidah Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SD, di desa kelahiran ibu saya Palempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo sendiri menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melainkan sholat Da’im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa ilaaha illallah kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas (tersita) untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali lagi, kisah walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam kisah mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan aqidah islamiyyah. Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua orang temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaya dengan tarian oleh penari putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan, pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan kecelek kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinal yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al-Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli tata negara).2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara).6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina. Maulana Aliyudin, dari Palestina.9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat (ahli ruqyah).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau siapa saja, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi Jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul “Ajaran Syekh Siti Jenar” karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar.
Ki Panji Notoroto memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal dimasyarakat tidak berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo, agama yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.
Disamping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh. Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan dari Budha dan Ja mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang ditiru oleh politikus besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu, yaitu Nasakom.
Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan (sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal adalah Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di domplengkan kepada salah satu anggota wali songo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan tanpa tela’ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu logika dan aqidah.
Pernyataan-Pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini (Dr. Abdul Munir Mulkhan) telah saya singgung dimuka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah salah seorang tokoh organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah). Misalnya pernyataan yang menyebutkan “ngurusi Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya”. Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya gusti Allah) di daerah Magelang pada tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek, yaitu Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah dan hubungan mahluk dengan sesamanya)
Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan mempelajari Fiqih atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara Fiqih, Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleknya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar tauhid merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur’an : “Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh mempelajari Al-Qur’an”. Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan lupa bahwa untuk belajar Al-Qur’an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al-Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur’an yang memenuhi kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur’an kepada pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah Gerakan untuk Melawan Islam.
Catatan Kecil
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :
1) Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.2) Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab 1 hampir sama dengan yang tercantum dalam sumber pustaka.4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman 2 yang menyebut : ……….. sejarah Islam (Madjid, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis : …….. Menurut Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984, hlm 33).5) Pada bab 4, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup disitir saja.
Beberapa catatan lain memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor !.
Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima’afkan. Semoga yang saya lakukan berguna berwasiat-wasiatan (saling menasehati) didalam kebenaran sesuai dengan perintah Allah Subhanahuwata’ala dalam Surat Al-‘Ashar. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi wabarookaatuh.
{[['']]}

Peninggalan-Peninggalan Sejarah Yang Bercorak Hindu-Budha

Peninggalan-Peninggalan Sejarah Yang Bercorak Hindu-Budha

Pada masa kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, banyak meninggalkan sumber sejarah, baik berupa bangunan kuno (seni bangun), prasasti, hasil kesusastraan. Berikut beberapa peninggalan sejarah yang bercorak Hindu- Budha.
a. Seni bangun

Peninggalan-peninggalan sejarah ada beberapa jenisnya, seperti komplek percandian, pemandian, keraton, makam. Candi adalah peninggalan berupa komplek bangunan yang bersifat Hindu, sedangkan yang bersifat Budhis disebut Stupa, Stupika. Diantara candi-candi Hindu, di Jawa Tengah terdapat


Disamping candi Hindu, juga terdapat banyak peninggalan yang bersifat Budhis. Pada masa kerajaan Sriwijaya ditemukan candi Muara takus di daerah Jambi. Di Jawa Tengah ada Stupa Borobudur, candi Mendut dan candi Pawon. Bangunanbangunan ini berfungsi sebagai tempat ibadah. Sampai sekarang peninggalan-peninggalan tersebut masih dipergunakan oleh umat Budha untuk pelaksanaan upacara memperingati hari Waisak.

Peninggalan-peninggalan sejarah ada beberapa jenisnya, seperti komplek percandian, pemandian, keraton, makam.

Candi adalah peninggalan berupa komplek bangunan yang bersifat Hindu, sedangkan yang bersifat Budhis disebut Stupa, Stupika. Candi Prambanan merupakan peninggalan yang bersifat Hindu sedangkan Stupa Borobudur bersifat Budha. Kedua monumen tersebut terletak di Jawa Tengah.

b. Seni Rupa dan Seni Ukir.

Pengaruh India membawa perkembangan dalam bidang seni rupa dan seni ukir atau pahat. Hal ini disebabkan adanya akulturasi. Misalnya relief yang dipahatkan pada dinding candi Borobudur yang merupakan relief tentang riwayat Sang Budha. Relief ini dikenal dengan Karma Wibangga yang dipahatkan dalam salah satu dinding Studa Borobudur.

c. Seni Sastra dan Aksara

Hasil sastra berbentuk prosa atau puisi : isinya antara lain tentang tutur (pitutur : kitab keagamaan), wiracarita (kepahlawanan), kitab Hukum (Undang-Undang).

Wiracarita yang terkenal di Indonesia yaitu Kitab Ramayana dan Mahabarata. Timbul wiracarita gubahan pujangga Indonesia. Misalnya, Kitab Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Perkembangan aksara, perkembangan huruf Pallawa dari India ke Indonesia, mengakibatkan berkembangnya karya-karya sastra. Misal, karya-karya sastra Jawa kuno. Huruf Nagari (dari India) disertai huruf Bali kuno (dari Indonesia).

d. Sistem Kemasyarakatan.

Sistem kasta merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan tingkat atau derajad orang yang bersangkutan. Setiap orang sudah ditentukan kastanya. Sistem kasta ini muncul dalam masyarakat Indonesia setelah ada hubungan dengan India. Terdapat empat kasta yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra. Sistem kasta ini bukan asli Indonesia.

e. Filsafat dan Sistem Kepercayaan.

Kepercayaan asli bangsa Indonesia adalah animisme dan dinamisme. percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Kehidupan roh halus memiliki kekuatan maka roh nenek moyang dipuja. Masuknya pengaruh India tidak menyebabkan

pemujaan terhadap roh nenek moyang hilang. Hal ini dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi di India sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, selain sebagai tempat pemujaan, candi juga berfungsi sebagai makam raja dan untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah wafat.

Dapat terlihat adanya pripih tempat untuk menyimpan abu jenazah, dan diatasnya didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa. Hal tersebut merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.

f. Sistem Pemerintahan

Pengaruh India di Indonesia dalam sistem pemerintahan, adalah adanya sistem pemerintahan secara sederhana.
Setelah pengaruh India masuk, kedudukan pemimpin tersebut diubah menjadi raja serta wilayahnya disebut kerajaan. Rajanya dinobatkan dengan melalui upacara Abhiseka, biasanya namanya ditambah “warman”. Contoh: di Kerajaan Kutai, Taruma dan sebagainya.

Bukti akulturasi di bidang pemerintahan, misalnya : raja harus berwibawa dan dipandang punya kesaktian (kekuatan gaib), seperti para Raja disembah menunjukkan adanya pemujaan Dewa Raja.

Wisata: Prambanan Candi Hindu Tercantik di Dunia

Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.

Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.

Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti ‘terbit’ atau ‘bersinar’, biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.

Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan.

Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.
Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.

Nah, masih banyak lagi yang bisa digali di Prambanan. Anda tak boleh jemu tentunya. Kalau pun akhirnya lelah, anda bisa beristirahat di taman sekitar candi. Tertarik? Datanglah segera. Sejak tanggal 18 September 2006, anda sudah bisa memasuki zona 1 Candi Prambanan meski belum bisa masuk ke dalam candi. Beberapa kerusakan akibat gempa 27 Mei 2006 lalu kini sedang diperbaiki.

Obyek Wisata Candi Ijo

Candi Ijo, Candi yang Letaknya Tertinggi di Yogyakarta
Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak, bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.

Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.

Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.

Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.

Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan.

Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah “Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa.” Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.

Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.

Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.

Obyek Wisata Candi Borobudur

Candi Borobudur, Candi Budha Terbesar di Abad ke- 9
Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.

Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.

Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.

Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).

Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.

Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.

Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi.

Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya, anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya sama sekali.

Borobudur adalah salah satu monumen kuno yang terbaik yang dilestarikan dari seluruh dunia bahkan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Monumen ini adalah kuil budha yang terbesar di seluruh dunia dan telah diklaim sebagai hasil budaya manusia yang paling sering dikunjungi lebih dari sejuta wisatawan baik domestik maupun luar negeri sampai saat ini.

Gaya arsitek dari candi inipun tidak ada yang menyerupai di seluruh dunia. Struktur yang terisnpirasi menggambarkan mikro kosmos yang seringkali timbul menjadi suatu pertanyaan, misalnya kapan, dengan cara apa, berapa lama dan oleh siapa cagar alam ini telah dibangun.
Jawaban yang tepat sampai saat ini masih meninggalkan misteri karena tidak ada dokumen tertulis sampai saat ini. Berdasarkan prasasti yang ditemukan oleh peneliti, dicatat bahwa Candi Borobudur dibangun antara abad ke delapan ketika Samaratungga – raja dari dinasti Syailendra memerintah di Jawa Tengah. Arti dari Borobudur masih tidak jelas. Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur.

Bara dari bahasa Sansekerta berarti kompleks candi atau biara. Sedangakan Budur mengingatkan kita dengan kata yang berasal dari Bali Beduhur yang berarti di atas. Dengan kata lain, Borobudur berarti Biara di atas bukit.
Borobudur penuh dengan ornamen filosofis dimana menyimbolkan secara gamblang tentang kesatuan dari perbedaan jalur yang dapat diikuti untuk mencapai tujuan hidup yang paling pokok.Relif yang terukir di dinding candi memberitahukan keindahan dalam mempelajari hidup. Dengan kata lain, Borobudur memiliki jiwa seni, filosofis dan budaya.

Arti dan Makna Lambang Garuda Pancasila

Burung garuda berwarna kuning emas mengepakkan sayapnya dengan gagah menoleh ke kanan. Dalam tubuhnya mengemas kelima dasar dari Pancasila.  Di tengah tameng yang bermakna benteng ketahanan filosofis, terbentang garis tebal yang bermakna garis khatulistiwa, yang merupakan lambang geografis lokasi Indonesia.  Kedua kakinya yang kokoh kekar mencengkeram kuat semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda, Namun Tetap Satu“.

Secara tegas bangsa Indonesia telah memilih burung garuda sebagai lambang kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh percaya diri, energik dan dinamis.  Ia terbang menguasai angkasa dan memantau keadaan sendiri, tak suka bergantung pada yang lain.  Garuda yang merupakan lambang pemberani dalam mempertahankan wilayah, tetapi dia pun akan menghormati wilayah milik yang lain sekalipun wilayah itu milik burung yang lebih kecil.  Warna kuning emas melambangkan bangsa yang besar dan berjiwa priyagung sejati.

Burung garuda yang juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai dengan budaya bangsa yang dihayati secara turun temurun.  Burung garuda pun pantang mundur dan pantang menyerah.  Legenda semacam ini juga diabadikan sangat indah oleh nenek moyang bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai prasasti sejak abad ke-15.

Keberhasilan bangsa Indonesia dalam meraih cita-citanya menjadi negara yang merdeka bersatu dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, tertera lengkap dalam lambang garuda.  17 helai bulu pada sayapnya yang membentang gagah melambangkan tanggal 17 hari kemerdekaan Indonesia, 8 helai bulu pada ekornya melambangkan bulan Agustus, dan ke-45 helai bulu pada lehernya melambangkan tahun 1945 adalah tahun kemerdekaan Indonesia.

Semua itu memuat kemasan historis bangsa Indonesia sebagai titik puncak dari segala perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaannya yang panjang.  Dengan demikian lambang burung garuda itu semakin gagah mengemas lengkap empat arti visual sekaligus, yaitu makna filosofis, geografis, sosiologis, dan historis.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.g-excess.com/id/peninggalan-peninggalan-sejarah-yang-bercorak-hindu-budha.html, 18 November 2010, 02.03 WIB
Tagged as:
{[['']]}

Cuplikan Buku DARMAGANDHUL (Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia)

Cuplikan Buku DARMAGANDHUL 
 (Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia)
Tiga hari kemudian, Sultan Dêmak berangkat ke Ngampel. Yang dipercaya untuk tinggal di istana Majapahit adalah Patih Mangkurat dan Adipati Têrung, untuk menjaga keamanan istana dari serangan-serangan pasukan Majapahit yang mungkin masih tersisa. Sunan Kudus juga ikut menjaga istana sebagai wakil Sang Prabu. Wilayah Têrung dijaga ulama sebanyak tiga ratus, yang setiap malam menunaikan shalat hajat serta membaca Alquran. Separuh pasukan dan beberapa sunan mengiringi Sultan Dêmak menuju Ngampeldênta.

Sunan Ngampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya yang berada di sana. Sang istri berasal dari Tuban, putri Adipati Arya Teja. Sepeninggal Sunan Ngampel, Nyai Agêng Ngampel (istri Sunan Ampel) sangat dituakan oleh masyarakat Ngampel. Prabu Jimbuningrat (Raden Patah), sesampainya di Ngampel, segera memberikan sembah bakti kepada Nyai Agêng. Bergiliran, para sunan juga menghaturkan sembah baktinya. Prabu Jimbuningrat lantas memberikan kabar tentang pasukan Dêmak yang telah berhasil menjebol Majapahit, tentang lolosnya ayahandanya dan Raden Gugur, tentang tewasnya Patih Majapahit, dan tentang dirinya yang sudah mengukuhkan diri sebagai raja yang menguasai tanah Jawa dan berjuluk Senopati Jimbun atau Panembahan Palembang. Maksud kedatangannya ke Ngampel adalah hendak meminta restu agar dia lestari menjadi raja hingga keturunannya kelak.

Usai mendengar laporan Prabu Jimbun, Nyai Agêng seketika menangis dan merangkul Sang Prabu (Jimbuningrat). Hatinya bagai diiris-iris. Beginilah ucapan yang keluar dari bibirnya:

“Anakku, kamu telah melakukan tiga dosa. Kamu telah berani melawan raja sekaligus orangtuamu serta orang yang telah memberimu kemuliaan duniawi, yang kemudian kamu hancurkan tanpa ada dosa. Jika mengingat kebaikan Paman Prabu Brawijaya, yaitu ketika beliau memberi para ulama tempat tinggal sehingga mereka bisa mencari makan di tempatnya masing-masing, serta memberi mereka kebebasan untuk menyebarkan agama, seharusnya mereka sebagai manusia patut mengucapkan terima kasih. Tetapi mengapa balasannya adalah kejahatan? Sekarang, apakah beliau sudah wafat atau masih hidup, tidak ada yang mengetahui nasibnya!”

Nyai Agêng berkata lagi kepada Sang Prabu:

Ngger, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah sejujurnya, siapakah ayahmu yang sesungguhnya? Siapakah yang mengukuhkan kamu menjadi raja tanah Jawa dan siapa yang merestui? Apa sebabnya kamu membunuhi orang Majapahit sedangkan mereka tidak punya kesalahan kepadamu sama sekali?”

Sang Prabu menjawab, konon Prabu Brawijaya memang ayahnya yang sesungguhnya. Yang mengangkat dirinya menjadi raja tanah Jawa tak lain adalah para bupati pesisir utara. Yang merestuinya adalah para sunan. Majapahit diserang sebab Prabu Brawijaya tidak mau masuk Islam, tetap bersikukuh memeluk agama kafir kufur, agama Buda totok yang buruk bagai kuwuk (kucing hutan).

Mendengar penuturan Prabu Jimbun, Nyai Agêng menjerit seketika dan merangkul sambil berkata:

Ngger, ketahuilah! Kamu telah berbuat dosa tiga macam. Pasti kamu akan mendapatkan hukuman Gusti Allah. Kamu telah berani melawan raja dan orangtuamu sendiri, yang telah memberikan kemuliaan duniawi kepadamu, kamu tega telah melakukan kekerasan kepada orang yang tanpa salah. Adanya manusia Islam dan kafir siapa yang menciptakan selain Gusti Allah sendiri? Manusia berganti agama itu tidak bisa dipaksa jika bukan kehendak pribadinya sendiri. Ketahuilah, manusia yang gugur karena memegang teguh keyakinannya termasuk manusia utama! Jika Gusti Allah menghendaki, tak usah disuruh pun dia akan memeluk agama Islam sendiri. Gusti Allah yang bersifat Rahman (Kasih) tidak memerintah untuk memaksa orang masuk agama tertentu, semua harus sesuai kehendak manusia sendiri-sendiri. Gusti Allah tidak akan menyiksa manusia kafir yang tak bersalah dan tidak akan memberikan pahala kepada orang Islam yang perbuatannya tidak benar. Hanya perbuatannya yang akan diadili secara adil, bukan karena agamanya apa! Ibumu Cina dan menyembah Pek Kong, yang diwujudkan dalam kertas bergambar atau arca dari batu. Tidaklah benar membenci orang Buda. Itu tandanya matamu masih terlapisi, sehingga tidak terang penglihatanmu, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

“Konon kamu putra Sang Prabu, tetapi mana ada putra yang tega menghancurkan ayahandanya sendiri, menghancurkannya tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya? Beda dengan mata orang Jawa asli, Jawa atau Jawi, penglihatannya satu, paham mana yang benar dan mana yang salah, sadar mana yang baik dan mana yang buruk. Orang Jawa mesti hormat dan segan kepada orangtua, lalu berbakti kepada raja yang telah memberikan anugerah kemuliaan duniawi. Orangtua maupun raja wajib disuguhi darma bakti. Niatnya adalah berbakti kepada orangtua, jangan melihat dia kafir atau tidak! Kamu aku beri tahu, Agung Kuparman beragama Islam, mertuanya kafir. Mertuanya benci kepadanya karena agamanya beda, senantiasa mencari jalan agar menantunya mati. Akan tetapi Agung Kuparman senantiasa berbakti dan menghormatinya karena mengetahui bahwa dia adalah mertua yang bagaikan orangtua sendiri. Dia tidak melihat kafirnya! Itulah contoh manusia utama, tidak seperti perbuatanmu yang menganiaya orangtua hanya karena beliau beragama Buda dan tidak mau berganti agama Islam. Perbuatanmu tidaklah patut. Dan lagi aku hendak bertanya, apakah kamu pernah meminta secara pribadi kepada ayahandamu agar bersedia berganti agama? Lantas apa yang menyebabkan kamu nekat merusak Negara Majapahit?”

Prabu Jimbun menjawab bahwa dia belum pernah meminta kesediaan ayahandanya agar berganti agama. Dia datang ke Majapahit dan langsung menyerang.

Nyai Agêng Ngampel tertawa dan berkata:

“Perbuatanmu semakin terlihat salah! Para nabi pada zaman dahulu berani menentang orangtuanya sebab sudah setiap hari mereka meminta kesediaan mereka untuk berganti agama, akan tetapi tidak mau juga, bahkan hingga diberi bukti mukjizat yang menandakan bahwa mereka sudah saatnya berganti agama Islam. Akan tetapi permintaan itu tidak digubris, orangtua mereka masih tetap memegang teguh agama lama, lantas mereka dimusuhi oleh orangtua mereka. Jika begitu kejadiannya, kalaupun harus bermusuhan dengan orangtua, mereka tidak salah. Sedangkan dirimu, apa mukjizatmu? Jika memang kamu nyata-nyata khalifatullah (wakil Allah) yang berhak mengganti agama lama, sekarang perlihatkan mukjizatmu! Aku ingin menyaksikannya!”

Prabu Jimbun menjawab bahwa dirinya tidak memiliki mukjizat apa pun, hanya menuruti bunyi kitab, yang katanya jika mengislamkan orang kafir kelak balasannya adalah surga.

Nyai Agêng Ngampel tertawa dan semakin marah:

“Hanya katanya kok dituruti? Bahkan itu bukan ujaran leluhur! Kata-kata pengembara kok dituruti? Akhirnya yang rusak nanti dirimu sendiri. Itu tanda pengetahuan agamamu masih mentah! Kamu berani kepada orangtua hanya karena ingin menjadi raja. Kesengsaraan rakyat banyak tidak kamu pikirkan. Kamu bukan santri ahli budi (kesadaran), hanya manusia yang berikat kepala putih, bagaikan putihnya burung bangau. Yang putih hanya kulitnya saja, di dalamnya masih merah menyala! Saat mertuamu (Sunan Ampel) masih hidup, kamu pernah meminta izin untuk menyerang Majapahit, tetapi mertuamu tidak memberikan izin, bahkan mewanti-wanti kamu agar jangan sampai bermusuhan dengan orangtua. Sekarang mertuamu sudah tiada dan larangannya kamu langgar. Kamu tidak takut melanggar wasiatnya! Jikalau kamu sekarang meminta restu kepadaku untuk menjadi raja di tanah Jawa, diriku tidak berwenang memberikan izin. Diriku ini orang kecil, seorang wanita lagi. Nanti terbalik akhirnya. Sebab seharusnya dirimu yang berwenang memberikan restu kepadaku, sebab dirimu adalah khalifatullah di tanah Jawa. Kamu adalah orangtua, apa yang kamu ucapkan bagaikan ludah berisi api. Diriku hanya tua tanpa arti, dirimulah yang tua karena kamu sekarang raja!”

Lantas Nyai Agêng Ngampel berkata lagi:

“Anakku, dengarkanlah! Aku akan menceritakan empat kisah lama yang bisa dijadikan suri teladan. Dalam sebuah kitab hikayat telah diceritakan, di tanah Mesir pernah suatu ketika putra Kangjêng Nabi Daud merebut takhta ayahnya. Nabi Daud sampai harus meloloskan diri dari kerajaan dan sang putra mengukuhkan diri sebagai raja. Tak lama kemudian, Nabi Daud berhasil merebut kerajaannya. Sang putra lari dengan menunggang kuda ke hutan. Kudanya berlari tak bisa dikendalikan, sehingga dia tersangkut pohon dan batu. Dia mati dengan tubuh tersangkut sebatang pohon. Itulah yang disebut hukum Allah.

“Ada lagi cerita tentang Prabu Dewatacêngkar. Dia juga merebut takhta ayahandanya, lalu dikutuk oleh sang ayah agar menjadi raksasa. Setiap hari dia harus makan daging manusia. Tak lama kemudian, datanglah seorang brahmana dari tanah seberang (India) ke Jawa, namanya Aji Saka. Dia membawa kesaktian di tanah Jawa. Seluruh rakyat Jawa mengasihi Aji Saka dan membenci Dewatacêngkar. Aji Saka diangkat menjadi raja, Dewatacêngkar dilawan hingga lari menceburkan diri ke samudra dan berubah menjadi buaya. Tak lama kemudian, dia meninggal. Ada lagi cerita dari Negara Lokapala. Prabu Danaraja berani melawan ayahandanya. Hukuman yang diterimanya juga tak jauh beda dengan cerita sebelumnya. Semua menemui kesengsaraan. Sedangkan kamu melawan ayah yang tanpa dosa. Pastilah kamu akan menemui kesengsaraan. Jika kelak meninggal, kamu pasti akan masuk neraka. Itulah hukum Allah bagimu!”

Mendengar tuturan sang nenek, Prabu Jimbun dalam hati merasa menyesal, akan tetapi semua sudah terlanjur.

Nyai Agêng Ngampel masih meneruskan penuturannya:

“Ketahuilah, dirimu ini diperalat oleh para ulama dan bupati. Mengapa kamu menurut saja? Yang akan menerima kesengsaraan pastilah hanya kamu seorang. Kamu sudah kehilangan ayah, seumur hidup namamu akan tercemar. Kebanggaan apa yang kamu dapatkan jika sudah unggul berperang melawan ayah sendiri yang patut dihormati? Walau kamu bertobat kepada Yang Mahakuasa, menurutku tobatmu tidak akan diterima. Kesalahan pertama, kamu berani melawan ayahanda sendiri; kesalahan kedua, kamu berani menentang raja; kesalahan ketiga, kamu membalas kebaikan dengan kejahatan serta melakukan pengrusakan dan pembunuhan tanpa alasan. Ingat, Adipati Pranaraga (Bathara Katong) dan Adipati Pêngging (Andayaningrat) tidak akan mungkin bisa menerima kehancuran Majapahit. Pasti mereka akan membela ayah mereka. Menghadapi hal itu saja sudah sangat berat buatmu.”

Banyak lagi penuturan Nyai Agêng kepada Prabu Jimbun. Sesudah Sang Prabu selesai dinasihati, dia lantas disuruh pulang ke Dêmak dan mencari tahu ke mana perginya ayahnya. Jika ayahnya sudah ditemukan, beliau diminta pulang kembali ke Majapahit, dengan terlebih dulu diminta mampir ke Ngampelgadhing. Akan tetapi, jika beliau tidak berkenan, tidak boleh ada paksaan kepadanya. Sebab, jika sampai beliau marah lagi dan mengeluarkan kutuk, pasti kutukannya akan terjadi.
{[['']]}

Babad Tanah Jawi

Babad Tanah Jawi (aksara Jawa: ) yang ditulis oleh carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III ini merupakan karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan jaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa. Akan tetapi siapapun yang kesengsem memahami Babad Tanah Jawi ini harus bekerja keras menafsirkan setiap data yang dituliskan. Maklum seperti babad lainnya ,selain bahasanya yang jawa kuno ,perihal mitosnya cukup banyak
Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.
Tidak dapat dipungkiri buku ini menjadi salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.

[sunting] Banyak versi
Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.
Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai jaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.
Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.
[sunting] Pranala luar
{[['']]}

SYEKH MUSTHAFA HUSEIN PURBABARU 1886 – 1955

Oleh : Yuspar Lubis
Bandung, 22 Juni 1992
Perumahan Cijambe Indah
Jl. Vijayakusuma III Blok C No 31
Ujungberung – Bandung 40619
Telp ( 022 ) 7816074

Penampilan


Syekh Musthafa Husein yang mnamanya diabadikan di gedung utama Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) Sumatera Utara Medan adalah salah seorang ulama dan pendiri Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Syekh Musthafa Husein yang lebih dikenal dengan sebutan TUAN SYEKH PURBA atau TUAN NA TOBANG ( na tobang adalah bahasa daerah yang artinya tua ) itu mempunyai tubuh yang biasa-biasa saja sebagaimana kebanyakan penduduk daerah setempat. Orangnya berkulit sedikit hitam, bermuka oval, tanpa memelihara kumis maupun jenggot, dan berkacamata. Dalam penampilannya sehari-hari selalu memakai kain sarung ( palekat ) dengah baju yang berwarna putih berlengan panjang yang pemakaiannnya selalu dimasukkan ke dala kain sarung dengan ikat pinggang besar yang dipakai banyak orang-orang tua jaman dahulu, berbaju jas berwarna gelap, berkopiah putih yang selalu diikat dengan kain serban berwarna-warni serta berselop ( namun dalam bepergian selalu memakai sepatu ).


Syekh Musthafa Husein orangnya pendiam. Kalau berbicara bahasanya satu-satu dan ungkapan-ungkapannya pelan. Dalam berbicara beliau selalu memandang lawan bicaranya dengan penuh perhatian sehingga sering lawan bicaranya itu tidak mampu memandang wajahnya. Sikapnya tenang dan tidak mudah marah. Kalaupun marah beliau hanya diam, sebaliknya kalau senang beliau hanya senyum. Selanjutnya dalam berjalanlangkahnya teratur dengan muka yang selalu menunduk ke bawah. ( Belakangan sesudah masa tuanya beliau selalu memakai tongkat yang terbuat dari rotan yang sedikit lebih besar dari rotan biasa yang dibengkokkan pada bagian atasnya sebagai tempat pegangan. Tongkat semacam ini banyak dijumpai dan digunakan oleh orang-orang tua setempat )


Keluarga


Syekh Musthafa Husein lahir dari keluarga yang berada ( kaya ) . Bapaknya adalah seorang pedagang hasil bumi di Pasar Tanobato serta sudah pula melakukan ibadah haji. Bapaknya berasal dari Huta ( sekarang desa ) Purbabaru, namun kakek-kakeknya berasal dari Panyabungan Julu dan ibunya berasal dari Ampung Siala, Batang Natal.


Syekh Musthafa Husein yang pada masa kecilnya bernama Muhammad Yatim ini, adalah anak ke 3 dari 8 orang bersaudara, anak dari H. Husein dan Hj Halimah. 
1, Anak tertua ( pertama ) adalah Nuruddin menetap dan wafat di Malaya ( Malaysia 
2. Hamidah wanita kawin dan wafat di Panyabungan
3. Muhammad Yatim riwayat hdupnya yang sedang dibahas
4. Siddik gelar Mangkuto Saleh menetap dan wafat di Kayulaut Mandailing
5. Saleh menetap dan waqfat di Medan
6. Mardin ( H. Umnaruddin ) menetap dan wafat di Mekkah Saudi Arabia 
7. Harun menetap dan wafat di Pekalongan, Jawa Tengah
8. Abdul Gani meninggal hanyut sewaktu Pasar Tanobato mendapat serangan banjir besar pada malam Ahad, tanggal 28 Nopember 1915.



Adapun Muhammad Yatim sendiri yang sesudah nikah dengan nama Musthafa Husein menikah dengan Habibah dari desa Hutapungkut, Kotanopan beliau mempunyaqi 9 orang anak yaitu : 
1`. Siti Aisyah
2. Hj Ramlah
3. H. Abdullah
4. Sa’diyah
5. Asmah
6. Azizah
7. Fatimah
8. Abdul Kholik
9. Faridah 



Kelahiran dan masyarakat sekitar


Musthafa Husein lahir pada tahun 1886 dari keluarga kaya masyarakat biasa ( orang kebanyakan ). Keadaan masyarakat pada masa kelahirannya kebanyakan berada dalam keadaan menyedihkan dan tertekan. Pemerintah kolonial Belanda pada masa sebelumnya membawa sistem paksa dalam penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai. ( Pada masa itu pemerintah kolonial membangun pergudangan kopi di Pekantan di daerah pedalaman Sumatera di dekat perbatasan dengan daerah PASAMAN, Sumatera Barat, Muarasipongi, Kotanopan, Maga, Pasar tanobato,Tapus dan Natal.Hasil……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. ( hilang satu halaman )


selesaikannya dalam waktu 5 tahun sesuai dengan lama pengajaran sekolah rakyat tersebut. Sesudah selesai sekolah ini ada permintaan dari salah seorang gurunya ( alm. Sutan Guru ) anak ini diminta supaya disekolahkan ke sekolah raja di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, namun oleh orangtanya disuruh mengaji kepada Syekh Abdul Hamid ke Hutapungkut, Kotanopan. Desa ini berjarak sekitar 35 KM dari Pasar Tanobato ke arah selatan. Desa ini sedikit masuk ke dalam, sekitar 3 KM dari jalan raya. Namun desa ini dilewati juga oleh jalan umum menuju desa Hutagodang ke Pasaman, Sumatera Barat tapi masih jalan setapak.


Muhammad Yatim mengaji di Hutapungkut sekitar 2 tahun ( 1898 – 1900 ). Dalam pengajian 2 tahun itu pengajiannya hanya sekali seminggu yaitu pada setiap hari Ahad. Di luar hari mengaji Muhammad Yatim mengikuti Syekh Abdul Hamid ke kebun kopi yang jaraknya 3 KM dari desa Hutapungkut. Tidak jarang mereka bermalam di kebun dan baru kembali ke desa menjelang pengajian berlangsung.


Sesudah pengajian di Hutapungkut Muhammad Yatim dianjurkan oleh gurunya Syekh Abdul Hamid untuk memperdalam ilmu agama Islam ke Mekkah, Saudi Arabia. Dan ini pula sejalan dengan harapan orang tuanya. Pada sekitar bulan Rajab tahun 1900 beliau berangkat ke Mekkah, Saudi Arabia bersamaan dengan keberangkatan orang-orang yang akan melaksanakan ibadah haji. Keberangkatan ini dibiayai separuhnya oleh orang tuanya.


Pada 5 tahun pertama sesudah belajar di Masjidil Harom Mekkah Saudi Arabia Muhammad Yatim merasa bahwa dia tidak memperoleh ilmu. Lalu dia pernah memutuskan akan pindah belajar ke Mesir, walau belum dikonsultasikan dengan orang tuanya. Semua barang-barang sudah dikemasi dan tinggal menunggu keberangkatan. Pada saat menunggu keberangkatan ( menunggu keberangkatan kapal ) dia berjumpa dengan salah seorang pelajar yang berasal dari Palembang yang juga sedang menuntut ilmu agama Islam di Masjidil Harom Mekkah. Kepada pelajar ini Muhammad Yatim menuturkan bahwa dia mau pindah belajar dari Masjidil Harom, Mekkah ke Mesir karena sesudah 5 tahun belajar dia belum merasa mendapatkan ilmu. Pelajar yang berasal dari Palembang itu mengajak Muhammad Yatim berdiskusi serta membantu menjelaskan pelajaran yang ada selama ini di Masjidil Harom, Mekkah. Sejak itu Muhammad Yatim mulai memahami perlajaran-pelajaran yang ada selama ini. Dan akhirnya dia mencabut kembali keputusannya untuk tidak jadi pindah ke Mesir. Seterusnya dia kembali belajar di Masjidil Harom sebagaimana sediakala. Semenjak itu para gurunya mulai mengenalnya lebih baik. Pada saat yang demikian guru-gurunya mengubah namanya dari Muhammad Yatim menjadi Musthafa berati orang pilihan. 


Dalam belajar di Masjidil Harom Mekkah yang cara belajarnya secara halaqoh ( belajar dengan duduk bersila mengelilingi guru dan mengambil tempat di serambi mesjid ) dia belajar kepada ulama-ulama yang terkenal pada masa itu seperti :
1. Syekh Abdul Kadir al Mandily
2. Ahmad Sumbawa
3. Saleh Bafadhil
4. Ali Maliki
5. Umar Bajuned
6. Ahmad Khatib
7. Abdul Rahman
8. Umar sato
9. M. Amin Mardin.



Dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya melulu agama Islam seperti :
1. Al Quran
2. Bahasa Arab beserta tata bahasanya
3. Tafsir
4. Fiqh
5. Hadits
6. Tauhid
7. Ilmu Falak
8. Balaghah
9. ‘Arudl
10. Qosidah Barzanji
Pelajaran-pelajaran ini diikutinya secara berurutan



Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1912 ( dipanggil pulang karena orang tuanya meninggal dunia ) beliau sambil mengajar ( selanjutnya lihat karier sebagai pendidik ) dia juga terus menambah ilmu dengan mengadakan hubungan-hubungan ( kunjungan ) kepada guru-guru / pemuka masyarakat di Mandailing. Bersamaan dengan itu dia juga membaca buku-buku sejarah Indonesia dan dunia, politik, perdagangan dan perekonomian, pertanian dan kesehatan. Di samping itu dia juga bergaul dengan pejabat-pejabat pemerintah kolonial yang membidangi pertanian, kesehatan dan pamong desa ( pada jaman pemerintah kolonial disebut kuria dan raja-raja ). Dengan pejabat-pejabat yang digaulinya itu dimintanya pula untuk mengajar di madrasah yang telah dididrikannya ( selanjutnya lihat juga karier sebagai pendidik ). Dan dalam bergaul dengan pejabat itu dia tidak memandang agama, walau pada waktu itu ada anggapan bahwa agama di luar Islam tidak sah. Malahan pendapat ini masih berkembang sampai sekarang di madrasah setempat. Pemuka dan salah seorang yang digaulinya itu adalah Dr F.L. Tobing seorang yang beragama Kristen. Disamping beliau ini juga pernah dimintanya untuk mengajar di madrasah yang didirikannya. ( Dr F.L Tobing jauh sebelum menjadi residen Tapanuli yang berkedudukan di Sibolga pernah memimpin Rumah Sakit Zending di Panyabungan sekitar 11 KM dari Purbabaru ke arah utara ).


Selanjutnya pengetahuannya di bidang pertanian dan perdagangan ini diperaktekkannya pula dengan membuka perkebunan karet , nenas dan rambutan di sekitar desa Purbabaru.


Kemudian di luar dari pada itu dia juga pergi ke pasar secara teratur ( kepergiannya ke pasar yang secara teratur ini dimanfaatkannya untuk menjadi pedagang pengumpul dimana pada waktu harga barang murah dia membeli sejumlah barang dan kalau harga-harga barang tersebut naik, dijualnya kembali ).


Pendidikan lainnya adalah membiasakan diri mencatat kejadian-kejadian penting di daerah lokal, nasional dan internasional seperti letusan gunung berapi, datangnya Tuanku Rao dan Islam ke Mandailing, masuknya Belanda ke daerah setempat, penyerahan Belanda kepada Jepang di Indonesia, kelahiran dan kematian anak / anggota keluarga dan masalah-masalah yang dihadapinya secara pribadi. 


Kemudian dia juga memperluas wawasan dengan bepergian ke kota-kota semacam Bukit Tinggi, Padang, Medan, Banda Aceh, Jakarta, Pekalongan dan Bogor di dalam negeri serta Kualalumpur dan Pahang di luar negeri. Kota-kota di dalam negeri terutama di pulau Sumatera dikunjunginya dengan maksud untuk melihat-lihat perkembangan pendidikan agama, perkembangan kota dan membeli buku-buku agama untuk madrasahnya. Sedangkan ke kota-kota di pulau Jawa beliau membuat catatan-catatan berupa pengalamannya sewaktu naik pesawat terbang, gedung-gedung pemerintah dan pusat-pusat perdagangan yang dilihatnya, kesan naik kereta api, pemandangan alam serta keadaan mesjid dan jamaahnya, dan kota-kota di Malaysia dan ditemani oleh sekretarisnya. Dia melihat-lihat pengolahan karet ( proses pembuatan karet latex ), penambangan bauxit dan proses pengolahannya.


Di luar dari pada pendidikan, pengalaman dan wawasan yang luas ini dia juga mempersiapkan kader-kader penerus baik itu dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang perkebunan. Dalam bidang pendidikan dia menyuruh dan mengirim beberapa orang muridnya untuk memperdalam ilmu agama Islam ke Mekkah maupun negeri-negeri lainnya seperti Mesir dan Lucknow, India. Sedangkan dalam bidang perkebunan dia mengutus sekretaris untuk mempelajari pengawetan buah-buahan seperti nenas dan rambutan serta proses pengalengannya ke Jakarta.


Karier sebagai Pendidik


Sesudah Musthafa Husein kembali ke Pasar Tanobato pada tahun 1912 beliau langsung mengajarkan ilmu agama yang diperolehnya dari Mekkah di mesjid setempat ( di mesjid setempat sebelumnya memang sudah ada pengajian yang dipimpin oleh Syekh Muhammad yang juga pernah belajar agama di Mekkah, Saudi Arabia ). Pengajian itu telah berlangsung kurang lebih 13 tahun dengan pesertanya yang berdatangan dari desa-desa sekitar seperti : Pagaran Tonga, Hutanamale, Maga, Roburan, Lumban Dolok dan Purba Julu. Pengajian itu sendiri walau sudah berlangsung lama namun bahan kajiannya belum teratur. Bahan kajiannya sering berulang-ulang dan banyak terarah kepada peribadatan. Pengajian belum banyak menyingggung masalah-masalah hukum yang pada waktu itu sudah sangat diharapkan oleh masyarakat ( di samping itu pengajian itu sendiri belum menggunakan kitab, walau kitab-kitab Melayu sudah banyak dikenal oleh masyarakat ). 


Pada saat pengajian berlangsung Syekh Muhammad selalu memperkenalkan Musthafa Husein kepada peserta pengajian yang pada masa itu sering disebut wirid-wirid. Syekh Muhammad selalu mengatakan bahwa kita kedatangan seorang guru yang alim dan cakap. Dan sejalan dengan perkenalan ini Syekh Muhammad juga selalu memberi kesempatan kepada Musthafa Husein untuk memberi pengajian. Dalam pengajian ini Musthafa Husein memulainya dengan terlebih dahulu mengaji Al Quran ( tulis bacanya ) kemudian bahasa Arab ( nahwu shorf ) dengan buku pegangan terdiri dari Al Jurumiyah, Mukhtashor dan Kawakib. Kemudian menyusul fiqh dengan kitabnya Fathul Qorib dan kitab Melayu, terus Tauhid dengan kitabnya Kifayatul Awam, dan akhirnya Tasawuf dengan kitabnya Minhajul Abidin.


Pengajian yang teratur ini membuat para pesertanya makin meluas dan Musthafa Husein sendiri makin masyhur serta makin banyak dikenal masyarakat. Dalam pada itu pengajian ini beliau juga banyak menjelaskan masalah-masalah masyarakat terutama yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri dan keluarga.


Pengajian ini membuat masyarakat bukan hanya mengikuti secara teratur ( pengajian hanya sekali seminggu yaitu pada setiap malam Selasa ) akan tetapi masyarakat juga meminta supaya waktu dan peserta pengajiaannya ditambah untuk anak-anak / pemuda dan ibu-ibu. Belakangan dengan bantuan masyarakat diadakanlah pengajian khusus kaum ibu yang waktunya pada setiap malam Selasa sesudah sembahyang magrib sampai waktu sembahyang isya dan sesudah sembahyang isya sampai sekitar jam 21.00 WIB untuk kaum bapak. Sedangkan untuk anak-anak dan pemuda diadakan pada pagi hari di mesjid Pasar Tanobato ( tempatya pengajian ibu-ibu, rumah orangtua beliau sendiri ).


Sealanjutnya di luar dari pengajian yang teratur itu beliau juga pergi ke desa-desa sekitar untuk membuka pengajian sambil mencari obat. ( menurut H. Sulaiman salah seorang muridnya , beliau pada waktu permulaan perkawinannya beliau pernah lemah syahwat. Kunjungan ke desa-dsesa ini pernah sampai ke Sibuhuan di sebelah timur pulau Sumatera. ( Pasar Tanbato sebagai tempat tinggalnya berada di bagian barat pedalaman pulau Sumatera ). Karena itu beliau bukan hanya dikenal masyarakat Tanobato dan sekitarnya akan tetapi juga dikenal oleh masyarakat daerah lainnya.


Bersamaan dengan berkembangnya pengajian yang dipimpin oleh Musthafa Husein, dimana beliau sudah pula mulai mendapat sebutan Tuan Syekh Musthafa Husein, Syekh Muhammad berangsur-angsur pula mengundurkan diri dan mempercayakan sepenuhnya pengajian yang ada kepada Syekh Musthafa Husein ini. ( dalam memimpin pengajian ini Syekh Musthafa Husein melakukannya secara halaqoh, semacam waktu beliau belajar di masjidil harom Mekkah. Namun sedikit berbeda dengan yang di Mekkah, pengajian di masjid Pasar Tanobato ini setiap pesertanya diharuskan memiliki buku seperti belajar di sekolah dewasa ini.


Pengajian di mesjid Pasar Tanobato itu tidak berlangsung lama hanya sekitar 3 tahun saja. Hal ini disebebkan Pasar Tanobato karam ( rusak berat ) akibat serangan banjir besar. ( menurut penuturtan H. Sulaiman salah seorang murid tertua Syekh Musthafa Husein akibat serangan banjir ini penduduk yang hanyut dan hilang cukup banyak. Beruntung murid-murid Syekh Musthafa Husein semuanya selamat karena beberapa hari menjelang banjir pemilik rumah penampungan murid-murid itu berkeberatan rumahnya terus menerus ditumpangi oleh anak mengaji. Karenya murid-murid itu pindah ke tempat yang sedikit lebih jauh dari rumah tumpangan mereka itu. Dan sewaktu datang serangan banjir tempat mereka itu terhindar dari banjir dan mereka semua selamat ). 


Selanjutnya Syekh Musthafa Husein yang selamat dari banjir pindah ke desa Purnbabaru, tempat asal keluarganya bersama dengan beberapa orang murid isterinya. Perpindahan itu sejalan pula dengan permintaan keluarga dan Kepala Desa ( dulu disebut Ketua Kampung ). Permintaan ini disertai dengan harapan kelak sesudah Syekh Musthafa Husein bertempat tinggal di desa Purbabaru penduduknya akan bertambah baik. ( pada masa dahulu beberapa orang penduduk desa Purbabaru dikenal sebagai pencuri, tukang garong dan penjudi ).


Sampai di Purbabaru pengajian dilanjutkan kembali sebagaimana sediakala seperti di Pasar Tanobato. Pengajian juga mengambil tempat di mesjid sebagaimana halnya di Pasar Tanobato. ( sewaktu perpindahan Syekh Musthafa Husein ini ke desa Purbabaru, penduduk mengharapkan pengajian yang sudah ada dilanjutkan kembali ). Lama kelamaan peserta pengajian terus bertambah banyak dan mesjid yang ada dirasakan tidak memadai lagi sebagai tempat pengajian. Maka atas inisiatif Syeklh Musthafa Husein dan dengan bantuan penduduk setempat dibangunlah gedung tempat belajar secara tersendiri di dekat rumahnya di pinggir jalan raya trans Sumatera di tengah-tengah desa Purbabaru. ( semula rumah Syekh Musthafa Husein juga berada di dekat masjid, sedikit jauh dari jalan raya. Belakangan Syekh Musthafa Husein merasa rumahnya terlalu sempit di samping terlalu jauh dari tempat mengaji, lalu beliau meminta kepada penduduk supaya dicarikan tanah perumahan di pinggir jalan raya. Tujuan perpindahan juga untuk memudahkan komunikasi. Pada pembangunan rumah, pada waktu permulaannya, penduduk juga membantu ). Peserta pengajian bukan hanya berdatangan dari desa sekitar akan tetapi juga dari desa-desa yang jauh. Dan karena kebanyakan dari murid-murid ini berasal dari keluarga yang tidak mampu, dimana mereka tidak mampu menyewa tempat tinggal maka atas perkenan penduduk, peserta pengajian membangun gubuk-gubuk sementara untuk tempat tinggalnya. ( gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu dan atap ilalang serta berukuran 2 x 3 meter ini kelak dipertahankan sebagai salah satu ciri Madrasah Musthafawiyah ).


Gedung tempat belajar mendapat bantuan dari penduduk setempat maupun orang-orang yang mengirimkan anaknya mengikuti pengajian dari desa-desa sekitar. Selanjutnya sesudah tempat belajar pindah ke gedung sendiri sistem pengajian juga berubah dari halaqoh kepada klasikal sebagaimana sekolah dewasa ini. Kemudian pengajian itu sendiri diberi nama dengan sebutan madrasah. Dalam perkembangan selanjutnya madrasah ini diberi nama dengan Madrasah Musthafawiyah yang artinya madrasah pilihan. 


Namun walau tempat pengajian sudah pindah ke gedung tersendiri yang pada tahap permulaan selesai pada tahun 1931, pengajian di mesjid tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya. Namun waktunya hanya pada pagi dan malam hari, masing-masing sesudah sembahyang subuh sampai menjelang waktu sembahyang dluha sekitar jam 07.00 WIB, dan sesudah sembahyang magrib sampai isya serta sesudah sembahyang isya sampai sekitar jam 21.00 WIB. Peserta pengajian ini adalah juga anak-anak mengaji bersama penduduk sekitar desa Purbabaru. Di samping itu Syekh Musthafa Husein selalu memelihara sembahyang berjamaah di mesjid mulai dari sembahyang subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya pada setiap harinya. ( dalam pelaksanaan sembahyang wajib ini Syekh Musthafa Husein amat tertib. Menurut penuturan beliau sendiri kepada sekretarisnya, semenjak baligh tidak pernah meninggalkan sembahyang wajib satu waktu-pun ).


Dalam kegiatan sehari-hari Syekh Musthafa Husein sesudah sembahyang subuh berjamaah, mengajar sampai waktu sembahyang dluha. Kemudian kembali ke rumah untuk makan pagi bersama keluarga. Setelah makan pagi pergi ke madrasah sampai menjelang waktu dhuhur. Sesudah sembahyang dhuhur berjamaah di mesjid kembali ke rumah untuk makan siang bersama dengan keluarga. Kemudian pergi ke kebun bersama murid-muridnya sampai menjelang waktu sembahyang ashar. Sesudah sembahyang ashar berjamaah di mesjid kembali ke rumah dan makan sore, juga bersama keluarga. Kemudian duduk-duduk bersama keluarga di beranda rumah sampai menjelang waktu sembahyang magrib. Di saat menjelang magrib beliau berangkat ke mesjid bersama beberapa orang muridnya yang sekaligus juga menjadi pembantunya. Dalam berangkat ke mesjid itu ada yang membawa lampu codok, dan ada pula yang membawa buku yang akan dikaji. Setelah sembahyang magrib secara berjamaah dilanjutkan dengan pengajian yang berakhir menjelang waktu sembahyang isya. Buku yang dikaji di mesjid adalah fiqh dengan kitab Idhotun nasyi’iin. Setelah sembahyang isya berjamaah beliau pulang ke rumah bersama-sama dengan beberapa orang muridnya. Dan sampai di rumah beliau sering membaca Al Quran sampai larut malam. Kemudian pada tengah malam juga sering bangun untuk mngerjakan sembahyang tahajjud secara sendirian. Seterusnya bangun pagi dan langsung ke mesjid, demikian selanjutnya berlangsung secara amat teratur setiap tahunnya.


Adapun kunjungannya ke sekolah, beliau lakukan juga secara teratur. Beliau ke sekolah mengajar pada kelas terakhir. Dalam mengajar ini beliau amat memperhatikan murid-muridnya satu persatu mulai dari perkembangan pengetahuan murid, penampilannya, kesehatannya serta kemampuannya dalam mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu. 


Sesudah tahun 1934 ( sesudah mengajarsekitar 19 tahun ) beliau mulai beralih dari mengajar ke bidang usaha. Beliau hanya sesekali pergi ke madrasah untuk melihat-lihat serta memberi pengarahan dan pengawasan. Untuk selanjutnya madrasah banyak dipercayakan kepada kemenakannya yang sekaligus juga kader dan penerusnya yaitu Syekh Abdul Halim Khatib. Dan menantunya Syekh Ja’far Abdul Wahhab T anjung. Dalam bidang usaha ini beliau memperluas kebun karet, nenas dan rambutan. Termasuk dalam hal ini pengolahan karet menjadi latex, usaha pengawetan buah dan rencana pengalengannya. ( Khusus usaha buah ini belum sempat terlaksana karena datangnya serangan Jepang ke daerah Mandailing / Indonesia ). Di samping itu beliau juga meneruskan usahanya dalam bidang perdagangan serta tetap mengembangkan pengajian di mesjid seperti disebut diatas.


Di dalam pendidikan formal ini beliau selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk hidup mandiri. Ungkapannya yang selalu dikenang ialah “ tuan kecil “ lebih baik dari pada jongos besar. Kemudian dalam hidup ini beliau selalu menekankan jangan mengharap-harapkan bantuan dan belas kasihan orang lain, apalagi mengharapkan sedekah. Dengan tegas beliau mengatakan “ baen na tuho, borkatan dei “ ( usaha sendiri lebih baik dan lebih berkat ). “ Hasil usaha sendiri walaupun kecil lebih baik dari bantuan atau pemberian orang lain, walau bantuan atau pemberian orang lain itu lebih besar “. Kata beliau. 


Lebih dari pada itu beliau juga selalu berpetuah ( semacam nasehat ) kepada murid-muridnya agar setiap ilmu yang diperoleh bagaimanapun sedikitnya supaya diajarkan kepada orang lain. Kemudian dalam menempuh hidup ini juga supaya bekerjasama dengan pemerintah maupun pengusaha. Dan kepada setiap tamu supaya dihormati walaupun tamu itu bukan orang Islam. ( Hal ini dibuktikannya sendiri dengan menerima kunjungan orang Belanda ke rumahnya dengan penyambutan yang semarak, diantarnya dengan penyambutan lagu-lagu pujian yang ungkapan-ungkapannya berbahasa Arab. Di samping itu beliau juga memuliakan raja-raja daerah yang pada masa itu banyak yang korup dan tindakan-tindakannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam ). Kemudian dalam hidup, beliau juga tidak mencampuri perkara adat istiadat daerah, beliau hanya menerangkan hukum-hukumnya terserah kepada yang bersangkutan tetap melaksanakannya atau menghentikannya. Beliau memberi kebebasan kepada setiap orang.


Selanjutnya diluar dari pada itu beliau juga selalu memperhatikan kesukaran orang lain, baik itu yang datang meminta bantuan secara langsung maupun melalui orang lain. Setiap orang yang datang meminta bantuan akan dibantunya sekuat tenaga atau kalau tidak dapat dibantunya, dimintakannya bantuan orang lain ( orang ketiga ) yang memungkinkan untuk membantunya. ( dalam bantuan melalui orang ketiga ini sering yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa dia mendapat bantuan dari Syekh Musthafa Husein ).


Beliau juga sering menghadiri setiap keramaian yang diadakan oleh masyarakat, baik itu perayaan-perayaan keagamaan berupa Maulid Nabi Muhammad maupun Isra’ Mi’rajnya , perkawinan ataupun kemalangan. Disamping itu beliau juga menghadiri acara-acara keluarga semacam memasuki rumah baru, syukuran maupun tahlilan ( dalam bahasa daerah sering disebut mangontang dongan atau marpio malim atau marontang malim ). Kemudian di luar dari pada itu juga beliau mengunjungi ulama-ulama yang lebih kecil sekalipun ke desa-desa tempat tinggalnya dan menghadiri acara-acara peresmian mesjid atau perayaan-oerayaan keagamaan yang diselenggarakan oleh anak-anak muridnya. ( dalam menghadiri setiap upacara ini beliau selalu membawa serta beberapa orang muridnya).


Selanjutnya di luar dari pada itu semua beliau juga mempersiapkan kader-kader penerus dengan mendorongnya untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam ke sumber aslinya ke Mekkah, saudi Arabia atau negara-negara Islam lainnya. Beliau juga mengangkat kader-kader itu menjadi anggota keluarganya dengan mengawinkan putri-putrinya atau putri saudaranya kepada kader-kader yang telah dibinanya itu. Hal itu semua dilakukannya untuk mengembangkan ajaran dan syi’ar Islam kepada seluruh masyarakat, terutama masyarakat Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia. 


Kegiatan dan perjuangannya


Syekh Musthafa Husein mempunyai kegiatan utama mengembangkan dan menyiarkan Islam. Dalam mengembangkan ajaran Islam itu beliau mendirikan lembaga pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Dalam mengelola madrasah ini beliau bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah. Masyarakat memberikan tenaga dan dana serta anak, dan pemerintah memberikan penghargaan ( pemerintah kolonial Belanda pernah memberikan bintang tanda jasa atas usahanya dalam bidang lembaga pendidikan ini pada tahun 1936 ). Pemberiannya diberikan dalam suatu acara besar di gedung kantor Konteler Belanda di Kotanopan yang dihadiri oleh segenap huria di daerah Mandailing dan Natal. 


Selanjutnya dalam bidang pendidikan juga, beliau mengusahakan kitab-kitabnya dari penerbitan-penerbitan di dalam dan di luar negari. Dari penerbitan dalam negeri beliau langsung mendatangi atau menyurati penerbitan tersebut, sedangkan dari penerbitan luar negeri semacam Mekkah, Saudi Arabia beliau memesannya melalui murid-muridnya yang sedang belajar di negara tersebut. Juga dalam bidang pendidikan ini beliau mengangkat pembantu-pembantu yang pintar, berani, berinisiatif, serta komunukatif dengan pemerintah maupun masyarakat. Seterusnya dalam upaya menyiarkan Islam beliau membentuk organisasi persatuan pelajar-pelajar dan lulusan madrasah dengan nama Al Ittihadiyah Islamiyah Indonesia ( AII ). Organisasi ini berpusat di Purbabaru dan dengan cepat cabang-cabangnya berdiri di daerah Mandailing, Angkola, Padangsidempuan, Sipirok dan Sibuhuan. Di samping itu dengan AII ini beliau berusaha menyeragamkan kitab-kitab agama di seluruh madrasah terutama madrasah-madrasah yang ada di daerah setempat.


Bersamaan dengan itu beliau juga mensponsori pendirian koperasi di Madrasah Musthafawiyah dengan maksud untuk membantu murid-muirid yang mengalami kesukaran dalam perbelanjaan selama menuntut ilmu. ( koperasi didirikan dengan badan hukum yang tertanggal 25 Januari 1936 )


Selanjutnya jauh sebelum pengembangan pendidikan ini beliau juga memasuki organisasi Syarekat Isam yang tujuannya untuk mencerdaskan bangsa dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa salah satu tugas Islam untuk membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Dalam organisasi ini beliau pernah terpilih menjadi Presiden ( Ketua ) Cabang Pasar Tanobato. Hanya saja sesudah kepemimpinan beliau, organisasi ini mengalami pasang surut sebagaimana juga yang dialami oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun bagaimanapun dengan organisasi Syarekat Islam ini pula beliau banyak berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Islam lainnya.


Di luar dari pada Syarekat Islam ini beliau juga pernah membawa dan mendirikan organisasi NAHDLATUL ULAMA ( NU ) untuk daerah Sumatera Utara. Dalam organisasi NU ini disamping pernah menjadi pimpinan untuk daerah Sumatera Utara, beliau juga pernah dipilih untuk menjadi anggota syuriyah NU tingkat Pusat di Jakarta. Dan selanjutnya dengan organisasi ini pula beliau pernah dicalonkan dan dipilih menjadi anggota konstituante ( DPR Pusat ) untuk daerah pemilihan Sumatera Utara, walau kedudukan ini belum sempat didudukinya karena sesudah terpilih, beliau meninggal dunia. ( Sehubungan dengan pemilihannya menjadi anggota konstituante beliau pernah memberikan seruan kepada masyarakat untuk memilih tanda gambar NU pada pemilu tahun 1955 ) 


Kemudian sejalan dengan kedudukan beliau selaku pimpinan / pendiri Madrasah Musthafawiyah Purbabaru, Presiden Syarekat Islam di daerah dan Pimpinan Pusat AII (Al Ittihadiyah Islamiyah Indonesia ) serta pimpinan daerah NU pada masa Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia beliau pernah dipilih menjadi anggota Tapanuli Syungyung Kai dan Hokokai pada tahun 1945. Dan menjelang kemerdekaan beliau ditetapkan pula menjadi pimpinan Majlis Islam Tinggi Sumatera Utara yang kelak menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia ( MASYUMI ). Namun belakangan sesudah NU menarik diri dari Masyumi beliau juga ikut menarik diri, dan oleh NU beliau diangkat menjadi salah seorang anggota Syuriyah di Tingkat Pusat sebagaimana disebutkan diatas.


Selanjutnya pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka beliau bersama ulama-ulama setempat sepert Syekh Ja’far Abdul Kadir Al Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan farwa bahwa wajib ( fardu ain ) bagi setiap muslim yang mukallaf untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. ( fatwa ini disebarluaskan oleh Ketua Urusan Agama Kecamatan Kotanopan dan Batanggadis yang masing-masing berkedudukan di Kotanopan dan Panyabungan ).


Pribadi yang mandiri


Semula kepulangan Musthafa Husein ke kampung adalah untuk menziarahi orangtuanya yang telah meninggal dunia ( orang tuanya meninggal semasa beliau sedang memperdalam ilmu agama Islam di Masjidil Harom Mekkah Saudi Arabia ). Sesudah berziarah beliau merencanakan akan kembali ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam yang dirasanya belum memadai. Namun sesampai di kampung beliau diminta untuk mengajar di mesjid Pasar Tanobato untuk melanjutkan pengajian yang telah ada sebelumnya. Dan lebih dari pada itu beliau juga dipaksa oleh ibunya untuk berumah tangga.


Pada saat permulaan mengajar dan berumah tangga perhatiannya hanya terpusat pada masalah kaji tanpa memikirkan masalah-masalah ekonomi. Pada mulanya beliau hanya memanfaatkan harta dan rumah peninggalan orang tuanya serta dari bantuan / sumbangan masyarakat. Baru belakangan beliau membuka usaha sendiri yaitu perkebunan karet. ( perkebunan karet ini pada mulanya juga mendapat bantuan dari murid-muridnya terutama dalam pembukaan lahannya ). Belakangan perkebunan ini dikelola secara besar-besaran dengan mendatangkan buruh Jawa dari Pematang Siantar. ( Usaha mendatangkan buruh ini mendapat bantuan dari saudaranya yang sudah lama menetap di daerah setempat ). Selanjutnya hasil perkebunan karet beliau olah menjadi karet latex yang pada waktu itu mendapat pasaran yang bagus di dunia internasional. Untuk itu beliau mendirikan beberapa buah rumah asap serta membeli beberapa buah mesin giling. Di samping itu karet yang sudah beliau olah ini beliau bawa pula ke kota untuk mendapatkan harga yang lebih besar. ( Hal semacam ini masih jarang dilakukan oleh penduduk setempat di kala itu, walau penduduk banyak juga memiliki perkebunan karet ). 


Selanjutnya usaha perkebunan karet itu beliau perluas pula dengan perkebunan nenas dan rambutan. ( Dalam perkebunan nenas dan rambutan ini pada mulanya juga bantuan dari murid-muridnya dan para orang tua murid yang memasukkan anaknya ke Madrasah Musthafawiyah ). Hasil perkebunan ini menurut rencananya akan diawetkan dan dikalengkan untuk kemudian diekspor ke luar negeri untuk mendapatkan nilai tambah sebagaimana sering didengungkan oleh B J Habibi belakangan ini. Untuk ini beliau sudah mengutus pembantunya ke Jakarta guna mempelajari proses pengawetan dan pengalengan buah. ( Namun karena kedatangan Jepang ke Indonesia rencana itu tidak sempat terealisir ). Akhirnya hasil buah-buahan itu hanya dijual ke pasar-pasar setempat di samping pada setiap panen selalu diberikan kepada murid-muridnya untuk dimakan mereka sepuasnya.


Bersamaan dengan usaha perkebunan ini beliau juga aktif ke pasar untuk mengikuti perkembangan harga-harga beberapa komoditi semacaam karet, kain, mas ataupun lahan persawahan. Beliau selalu pergi ke pasar Kayulaut pada setiap hari Sealasa dan ke pasar Panyabungan pada setiap hari Kamis. Di pasar-pasar ini beliau selalu menempati tempat khusus ( tempat itu adalah rumah saudaranya yang lokasinya di dekat pasar ) selama bertahun-tahun. Dari tempat itulah beliau memantau harga-harga komoditi semacam karet, kain maupun mas sebagaimana disebut diatas. ( Di daerah setempat beliau membeli dan kalau perlu menahan barang semacam karet, kain maupun mas. Dan kalau harganya sudah naik barulah dijual kembali ). Dalam pada itu ( dalam mengembangkan usahanya ) beliau sudah berani meminjam uang untuk membeli barang atau lahan persawahan yang ditawarkan orang kepadanya, dimana untuk itu selanjutnya dalam pengambilan uang tersebut sering dilebihkannya dengan sebutan, ini sedekah saya.


Dalam kehidupan ini beliau berprinsip bahwa seorang muslim itu harus kaya dan mampu menghidupi anak isterinya dengan usaha sendiri. Usaha yang beliau kembangkan itu terutama sesudah tahun 1934, kelihatannya membawa hasil. Dengan hasil usahanya itu beliau bisa membangun rumah yang cukup besar ( walau pada permulaan membangun rumah ini juga mendapat bantuan dari penduduk desa Purbabaru ) di pinggir jalan raya di tengah-tengah desa Purbabaru ………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. ( satu halaman hilang )


Kemudian beliau juga memasuki dan ikut aktif dalam organisasi untuk mencapai tujuannya yaitu mengembangkan ajaran dan syiar Islam sebagaimana disebut diatas. Dalam usahanya mengembangkan ajaran Islam beliau mendirikan lembaga pendidikan yang pada saat itu dan masih berdiri dengan megahnya yaitu Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Dalam usaha mengembangkan ajaran Islam beliau tidak hanya mendirikan lembaga pendidikn Islam akan tetapi juga mempersiapkan kader-kader penerus dan kelak kader penerus itu beliau percayai sepenuhnya dan kemudian kader-kader itu beliau masukkan ke dalam lingkungan keluarga dengan mengawinkan putrinya atau putri-putri saudaranya kepada kader-kader tersebut. Kemudian dalam memperjuangkan ide-idenya itu beliau juga bekerjasama dengan pemerintah kolonial dan raja-raja di daerah setempat. Akhirnya beliau juga berkecimpung ke dalam politik memasuki konstituante untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam di bumi persada tanah air. Dan sebelumnya beliau juga ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dengan memberi fatwa kepada masyarakat bersama dengan ulama-ulama lainnya bahwa mempertahankan kemerdekaan itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah dewasa ( mukallaf ).


{[['']]}
Lihat PETA WISATA ZI'ARAH CIKUNDUL di peta yang lebih besar
Lisensi Creative Commons
WISATACIKUNDUL oleh BUDAKSHARETM disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.
Berdasarkan ciptaan pada http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/.
Izin di luar dari ruang lingkup lisensi ini dapat tersedia pada @WISATACIKUNDUL.

 
Support : MOVIE LIVE | LIVE DOWNLOAD
Profile Google + : PUTRA SUNDA | BUDAKSHARE-TM
Copyright © 2014. WISATA CIKUNDUL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Follow on FACEBOOK : (1) Wisata Cikundul
Follow on TWITER : (2) Wisata Cikundul
Loading the player...