Buku Putih Islam Jawa
Tulisan
ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Prof. Hasanu Simon dan
telah mendapat izin dari beliau untuk disebarluaskan. Terlepas dari
kelemahan-kelemahan yang mungkin masih ada di dalam makalah tersebut,
tentunya ini merupakan usaha yang patut didukung oleh da’i-da’i Islam
yang lurus dan benar manhajnya.
Penyelenggara mengundang tiga orang
pembicara yangmemang cukup berkompeten pada bidang tersebut bahkan
merupakan ahlinya, yaitu Dr. Damarjati Supajar, Dr. Abdul Munir Mulkhan
(pengarang buku tersebut) dan Prof. Hasanu Simon (guru besar sosiologi
kehutanan dan lingkungan UGM).
Singkat cerita, pada diskusi tersebut
dua pembicara pertama, yaitu Dr. Damarjati Supajar dan Dr. Abdul Munir
Mulkhan berusaha untuk mendukung ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar. Hal
tersebut dibuktikan dengan pembelaaan tanpa cela terhadap syekh tersebut
dan juga pengajuan alternatif wacana terhadap para peserta bahwa ajaran
tersebut silahkan bila mau diikuti, toh dalam dunia Islam tokoh seperti
itu sudah pernah ada, seperti misalnya Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi
lain. Mereka juga memberi pilihan tersebut dengan alasan ajaran-ajaran
Islam sendiri pada hakikatnya dipraktekkan sebagai rutinitas dan sebagai
tafsir dari para pengikutnya, sehingga sholat dan syariat-syariat
lainnya bisa saja diganti dengan bentuk-bentuk lainnya (jelas ini
pendapat yang salah). Menurut mereka lagi, syariat dalam ajaran Syekh
Siti Jenar itu dipraktekkan oleh orang yang hidup, sedangkan hidup yang
sebenarnya bagi manusia itu adalah nanti di akherat. Sedangkan di dunia
pada hakekatnya adalah mati. Sehingga sholat,puasa, zakat haji itu tidak
perlu.
Ajaran tersebut nampak semakin subur diikuti oleh umat Islam
dewasa ini, apalagi dengan pemimpin Indonesia pada saat itu (mantan
Presiden Gus dur) termasuk yang menyetujui dan mendukung ajaran tersebut
(sufi/kebatinan/kejawen). Pendukung yang lain yang cukup dikenal adalah
Anand Khrisna. Bila terus dibiarkan, ajaran tersebut akan semakin
mengaburkan Islam sebagai agama yang murni dari kesyirikan dan bid’ah ,
menjunjung tinggi akal manusia, dan menyeimbangkan antara kehidupan
dunia dan akhirat. Sebagai andil dalam pemberantasan penyakit TBC
(Takhayul, Bid’ah dan Churafat), kami tampilkan sebuah tanggapan dalam
acara tersebut.
Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih
jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten,
setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada
Kongres Kehutanan Dunia VII di Jakarta tahun 1978, orientasi system
pengelolaan hutan mengalami perubahansecara fundamental. Kehutanan tidak
lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional,
melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen
bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan
masyarakat sejak zaman kuno dulu. Disitu saya banyak berkenalan dengan
sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di
Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik.
Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejaranh yang amat panjang dan
menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial
(socialforestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh
para ilmuwan.
Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan
diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda
itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku Sunan
Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya
dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang
buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama Het Book van
Mbonang, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan
antropologi. Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia.
Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia.
Jadi,
seandainya tidak ada Het Book van MBonang, kita tidak mengenal sama
sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi data obyektif. Kenyataan sampai
kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri,
Sunan Kalijogo dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu, yang
berkembang adalah kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk
misteri Syek Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan.
Walisongo Dalam Dunia Mitos
Kisah
walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena
kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang
sangat keras anti kemusyrikan. Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW. Yang
lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau
terluka ketika berdakwah di tho’if, beliau juga terluka dan hampir
terbunuh ketika perang uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika
diserang pasukan majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih
banyak itu dengan melemparkan sebuah bolpoin ke pasukan majapahit.
Begitu dilemparkan bolpoin tersebut, segera berubah menjadi keris sakti,
lalu berputar-putar menyerang pasukan majapahit dan bubar serta
kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberinama keris kolomunyeng, yang
oleh kyai Langitan diberikan kepada presiden Gus Dur beberapa bulan lalu
yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang
sudah digelar dan ternyata tidak ampuh.
Kisah sunan Kalijogo yang
paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari
tatal (serpihan potongan kayu) dan sebagai penjual rumput di Semarang
yang diambil dari gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi
dan heboh ; salah seorang pembantunya dapat melihat Masjidil Haram dari
Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat cerita ini jelas belum
tahu kalau bumi berbentuk elips sehingga permukaan bumi ini melengkung.
Oleh karena itu, tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari
Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi Ibrahim as, yang hidup
sekitar 45 abad sebelum era Walisongo yang lahir dari keluarga penyembah
berhala, sepanjang hidupnya berdakwa untuk anti berhala. Ini
menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan zaman
dibandingkan kisah orang-orang yang menjadi panutannya, padahal selisih
waktu hidup mereka sangat jauh.
Het Book van Mbonang yang telah
melahirkan dua orang Doktor dan belasan Master bangsa Belanda itu
memberikan petunjuk pada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan
fakta yang obyektif. Het Book van Mbonang tidak menghasilkan kisah keris
Kolomunyeng, kisah Cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing,
dan sebagainya. Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar
sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk
menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum
selesai, tetapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan
sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan
kemusyrikan.
Itulah sebabnya, saya terima tawaran panitia untuk ikut
membahas buku tentang Syekh Siti Jenar karya Dr. Abdul Munir Mulkhan
ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia
mitos dan memasuki dunia ilmu. Dunia mitos tidak saja bertentangan
dengan aqidah Islamiyah, tetapi sudah ketinggalan zaman ditinjau dari
aspek perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum, dunia mitos telah
ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad
ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang ? Kalau kita masih
berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan
menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak
menghasilkan sesuatu.
Siapa Syekh Siti Jenar Itu
Kalau seorang
menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri
penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu, isi buku
dapat dijadikan tolak ukur tentang kadar keilmuan dan identitas
penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga
berwarna kuning. Sedikit sekali seorang yang berpaham atheis dapat
menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal tersebut sangat
bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang
sosiologi karena bidang pertanian dan sosiologi sering bersinggungan.
Jadi, tidak mustahil kalau isi sebuah buku tentu telah digambarkan
secara singkat oleh judulnya. Buku tentang berternak Kambing Ettawa
menerangkan tentang seluk beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis
pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa.
Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini adalah : “Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar”. Pembaca tentu sudah membayangkan akan
memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti
Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan ketentuan
seperti itu.
Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3
sampai 6 pada bab 1 tidak relevan. Bab 1 diberi judul : “Melongok jalan
sufi : Humanisme Islam Bagi Semua”. Mungkin penulis ingin
mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi
apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6
itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan
di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri
atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya ;
oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh
pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat
berbeda dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan
penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya.
Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang
lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan
yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan
sistematika pernyataan mesti disusun menurut logika keilmuan yang dapat
diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau
menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan
uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh
Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di dalam paragraf
tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak jelas.
Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah
asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan
mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat
UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja
pendeta dari Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti
Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis
buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara
ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita
dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam uraian tentang asal-usul
Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan
kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita
tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :
1) Ayah Syekh Siti
Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Istilah raja
pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi,
beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2) Dihalaman 62,
dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah
Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang
disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama
Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa,
persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama.
Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah
terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu
pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya
Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia.
Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan
pertikaian-pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa
Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh
di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia
(termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3) Kalau
ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi
nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta
yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam,
tentu hal itu janggal sekali.
4) Atas kesalahan yang dilakukan
anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang
ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang
ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang
ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing ? Ilmu apakah
yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk mengubah seorang menjadi
cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar
Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketentraman batinnya ?
Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang adalah cerita kuno
yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya
terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu
(Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5) Cacing Hasan Ali yang dibuang
di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang
digunakan untuk menambal perahu Sunan Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang
berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada sunan Kalijogo.
Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang
tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah
Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Mbonang mengajar sunan
Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang
menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu
dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang
membawa cacing.
6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan
Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah
diterangkan bagaimana hubungan Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal
di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya
menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri
tadi dan memperoleh ilmu Ghaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan
perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan
Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah
dirinya menjadi seekor burung ?
Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr.
Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul
Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu, banyak pula orang yang
meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak.
Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga
berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat tinggal
Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain
Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan
waktu, nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Dimana letak Siti
Jenar atau Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ;
padahal tokoh terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui
tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun
petilasan.
Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan
pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa
sebenarnya Syekh Siti Jenar itu ? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya
jawab di belakang nanti.
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada.,
mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita
berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu
dalam rangka memperbandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang jelas
asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh kedepan jangkauannya, tinggi
muatan IPTEKnya., sakral dan di hormati oleh masyrakat dunia.
Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas
di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan
orang Islam yang telah kaffah bertauhid maka mau tidak mau lalu sebagian
orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu, sebagai orang Islam
yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad
SAW, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam
untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk
mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak aqidah
Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi
orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama
Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke
atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu),
putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias
Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal-usul Sunan Kalijogo
yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi
Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media
cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di
depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini
penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah
tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak
meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa
Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah
Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang
yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit
mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.
Namun
demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis,
yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh
masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal
luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah
satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo
Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SD, di desa kelahiran ibu
saya Palempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan
Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan
kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan
jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang
Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang
sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif
tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung,
mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu).
Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi
Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam
Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk
melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam
Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk
Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung
disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang
Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk
mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan
Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh
tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa
Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat
ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya
sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat
ternyata Sunan Kalijogo sendiri menjadi kaffah mengimani Islam.
Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam,
sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan
terkenal ini bukan sholat lima waktu melainkan sholat Da’im. Menurut
Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan
Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca
Laa ilaaha illallah kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan
rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis
bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis
inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak
kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam
ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas
(tersita) untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga
upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar.
Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti
Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi
tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya
Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo
masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid
kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan
Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang
setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya
yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko
Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang
pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru
R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan
Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali
lagi, kisah walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan
mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa”
telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono
tidak terlarut dalam kisah mistik itu, memberi bahasan yang memadai
tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan aqidah
islamiyyah. Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden
Rachmat dengan dua orang temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaya
dengan tarian oleh penari putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu
Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan,
pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan
sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan kecelek
kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis
menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinal
yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber
tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I.
Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I ingin
mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan
diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk itu Sultan
Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah,
yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah.
Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang
beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun
1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan
ahli mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis
dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan
oleh Syekh Maulana Al-Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli
tata negara).2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan,
ahli pengobatan.3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.4) Maulana
Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.5) Maulana Malik Isro’il, dari
Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara).6) Maulana Muhammad Ali
Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.7) Maulana Hasanuddin, dari
Palestina. Maulana Aliyudin, dari Palestina.9) Syekh Subakir, dari Iran,
Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat (ahli
ruqyah).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah
Walisongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non jawa,
seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh
Belanda atau siapa saja, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama
Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang
sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi Jelaslah apa sebenarnya
Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan
Islam.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang
Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang
mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga
ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul
“Ajaran Syekh Siti Jenar” karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku
induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan
atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji
Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram
penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar.
Ki Panji Notoroto memberi
informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati seangkatannya ternyata
tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah
era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal dimasyarakat tidak
berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak mungkin
kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu akan
menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang
terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo,
agama yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.
Disamping
masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata
pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di
dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu
runtuh. Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa
yaitu Hindu, Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa. Untuk
mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar
dan terakhir Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama
baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan
dari Budha dan Ja mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang
ditiru oleh politikus besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu,
yaitu Nasakom.
Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru,
banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan
secara tidak terang-terangan (sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat
berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu
Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal adalah Syekh Siti
Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di domplengkan kepada
salah satu anggota wali songo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo
seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya
hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari
Hindu-Budha-Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu
sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya mengambil potongan-potongan
ajarannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal.
Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan
tanpa tela’ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu logika dan
aqidah.
Pernyataan-Pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh
penulis buku ini (Dr. Abdul Munir Mulkhan) telah saya singgung dimuka.
Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya,
karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah salah seorang
tokoh organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah). Misalnya pernyataan
yang menyebutkan “ngurusi Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin
tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi,
orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya”. Setahu
saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh
orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai
Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine
Gusti Allah” (matinya gusti Allah) di daerah Magelang pada tahun 1965-an
awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat,
puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang
penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para penganut
agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam.
Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara
formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya
untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek,
yaitu Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah
dan hubungan mahluk dengan sesamanya)
Di dalam buku, seperti saya
sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun
sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan
oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu.
Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari
ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan mempelajari Fiqih
atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara Fiqih,
Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleknya
maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar tauhid merupakan tahap
awal untuk mengenal Islam.
Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga
membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur’an : “Bukan hanya orang Islam
dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh mempelajari Al-Qur’an”.
Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan lupa bahwa untuk belajar
Al-Qur’an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien
(Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun
mengkaji Al-Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa
melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada
siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur’an yang
memenuhi kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur’an kepada pengikut
ajaran Syekh Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti
Jenar adalah Gerakan untuk Melawan Islam.
Catatan Kecil
Untuk
mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada
buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :
1) Banyak
kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga
banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.2) Banyak pernyataan
yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan
sistematika penulisan.3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab
lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum
didalam Daftar kepustakaan Bab 1 hampir sama dengan yang tercantum dalam
sumber pustaka.4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat
dilihat pada halaman 2 yang menyebut : ……….. sejarah Islam (Madjid,
Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis : …….. Menurut
Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984, hlm 33).5) Pada bab 4, seperti diakui
oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya Raden Sosrowardoyo yang
pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di
dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman
179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis
lagi melainkan cukup disitir saja.
Beberapa catatan lain memang
kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang
gelar akademik tertinggi, Doktor !.
Demikianlah tanggapan saya,
kurang lebihnya mohon dima’afkan. Semoga yang saya lakukan berguna
berwasiat-wasiatan (saling menasehati) didalam kebenaran sesuai dengan
perintah Allah Subhanahuwata’ala dalam Surat Al-‘Ashar. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi wabarookaatuh.