oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
Akidah tauhid yang merupakan sokoguru
kesatuan bagi ummat Muslim yang diliputi oleh suasana persaudaraan,
sejak zaman Nabi SAW., menjadi goyah terutama menjelang berakhirnya
dekade kedua masa Khulafa'ur-Rasyldin yaitu, diakhir pemerintahan
Khalifah 'Usman ibn 'Affan. Sebab utama goyahnya kesatuan ummat Muslim
tersebut, berpangkal pada pertikaian politik yang bercorak keagamaan
diantara kelompok-kelompok Muslim yang sedang bersaing. Peristiwa
tersebut merupakan awal masa desintegrasi yang dalam perkembangan
selanjutnya, terutama sesudah terbunuhnya Khalifah ketiga, benar-benar
mendorong lahirnya sekte-sekte dalam Islam dengan doktrin atau ajaran
masing-masing yang berbeda-beda.
Kambuhnya semangat fanatisme golongan di
satu pihak, dan munculnya sikap kultus individu terhadap diri 'Ali ibn
Abi Talib dan Ahl al-Bait di pihak lain, tampaknya sangat berpengaruh
terhadap lahirnya doktrin teologi kaum Syi'ah dalam penalaran
sejarahnya. Kekalahan mereka di bidang politik dan militer, selama
pemerintahan Bani Umayyah dan Bani 'Abbasiyyah, yang menyebabkan banyak
di antara para imam mereka menjadi korban politik, rupanya merupakan
faktor penting yang mendorong lahirnya ide atau mitos tentang Imam Mahdi
atau al-Mahdi al-Muntazar.
Keanekaragaman aspirasi politik dan
doktrin yang dibawa oleh berbagai sekte dalam Islam itu, berdampak
negatif sebagai akibat terjadinya akulturasi budaya dan keyakinan,
sesudah meluasnya daerah kekuasaan Islam. Rupanya al-Quran dan Sunnah
Rasul tidak lagi dijadikan sebagai rujukan oleh sekian banyak aliran
yang muncul waktu itu guna mencari titik temu. Akan tetapi sebaliknya,
justru keduanya mereka jadikan sebagai dasar untuk menguatkan doktrin
atau paham mereka masing-masing. Sikap demikian ini mendorong mereka
kepada tindakan-tindakan yang ekstrem dan permusuhan dengan sesama
Muslim, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh golongan Syi'ah maupun
Ahmadiyah dalam mewujudkan dan menyebarkan ide serta pengaruh mereka
masing-masing.
Paham Mahdi atau Mahdiisme, sebagaimana
diketahui dalam sejarah, adalah ajaran yang meyakini akan datangnya
seorang tokoh Juru Selamat atau Messiah pada ummat yang tertindas,
akibat merajalelanya kezaliman penguasa. Tokoh tersebut dikenal sebagai
al-Mahdi yang ditunggu-tunggu. Paham yang millenaristis ini, juga pernah
muncul di Indonesia sekitar abad XIX - abad XX, khususnya di Jawa pada
masa pemerintahan kolonial Belanda. Tokoh gerakan tersebut oleh sebagian
masyarakat Jawa dikenal pula dengan nama Ratu Adil.1) Dengan demikian,
corak gerakan Mahdiisme dapat dikatakan sebagai modus gerakan masyarakat
belum maju yang tertindas serta mengalami perubahan tata sosial yang
drastis untuk melakukan protes sosial terhadap penguasa yang lalim guna
memperoleh kejayaan mereka kembali. Lahirnya Mahdiisme juga bermula dan
protes-protes sosial sebagai akibat pergolakan politik yang didorong
oleh ambisi ingin merebut kekuasaan dari sekian banyak kelompok Muslim
yang saling bermusuhan pada permulaan sejarahnya.
Dari serangkaian kegagalan pemberontakan
bersenjata yang dimotori oleh kaum Syi'ah selama kurang lebih dua abad
lamanya, mereka mengalami kekecewaan yang mendalam, kekalahan serta
penderitaan yang beruntun, dan selalu menjadi korban kekerasan
lawan-lawan politiknya. Disamping itu, tidak sedikit di antara para imam
mereka menjadi korban kekerasan politik; dan ini menyebabkan kecintaan
mereka kepada imam-imam tersebut semakin mendalam. Keadaan seperti
inilah yang menyebabkan kaum Syi'ah mudah mencerna 'aqidah ar-raj'ah dan
masalah al-gaibah, dua masalah yang tampaknya merupakan faktor dominan
dalam mempercepat proses lahirnya sikap menunggu-nunggu kehadiran
kembali para imam mereka yang telah wafat atau yang tidak mereka akui
kematiannya.
Kepercayaan seperti ini tidak dikenal
oleh ummat Muslim sebelumnya. Oleh karena itu, doktrin Mahdiisme, yang
semula lahir sebagai penggerak gerakan keagamaan yang bersifat politis,
berkembang menjadi doktrin teologi yang eskatologis. Paham Mahdiisme ini
semakin luas pengaruhnya dan bahkan akhirnya menjadi milik berbagai
aliran dalam Islam.
Paham Mahdi semula muncul di kalangan
Syi'ah Kaisaniyyah, aliran ini berkeyakinan bahwa Muhammad ibn Hanafiyah
adalah al-Mahdi al-Muntazar. Menurut keyakinan mereka, dia masih hidup
dan tinggal di bukit Radwa, dan kehadirannya kembali senantiasa mereka
tunggu Dalam hubungan ini timbul pertanyaan, mengapa paham Mahdi ini
tidak tumbuh di kalangan kaum Khawarij? Jawaban terhadap pertanyaan ini
cukup jelas: bahwa kaum Khawarij tidak mengenal 'aqidah ar-raj'ah dan
al-gaibah, sekalipun sekte tersebut juga mengalami nasib yang sama
dengan nasib kaum Syi'ah.
Selanjutnya paham Mahdi ini pun muncul
di kalangan sekte Syi'ah al-Jarudiyyah. Para pengikut keyakinan sekte
ini selalu menunggu kehadiran kembali imam mereka, Muhammad ibn
'Abdullah, atau yang dikenal dengan sebutan an-Nafsuz-Zakiyyah, sebagai
al-Mahdi.
Di kalangan Syi'ah Imamiyyah, terdapat
dua kelompok pengikut paham Mahdi yang besar pengaruhnya dan terkenal
dalam sejarah, yaitu sekte Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh) atau yang
dikenal dengan Syi'ah Isma'iliyyah atau Syi'ah Batiniyyah, dan kedua
adalah sekte Isna 'Asyariyyah (Syi'ah Duabelas). Dalam merealisasikan
ide kemahdiannya kedua aliran tersebut tampaknya terdapat perbedaan yang
cukup menonjol. Jika kemahdian Syi'ah Isma'iliyyah lebih bersifat
realistis, maka kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah lebih bersifat
idealis. Menurut sekte yang disebut pertama, al-Mahdi itu telah
mengejawantah pada diri Abdullah ibn Muhammad, dan ia berhasil membentuk
dinastinya di Magrib (Afrika), sedangkan menurut sekte yang disebut
kedua, al-Mahdi itu terjelma pada diri Muhammad ibn Hasan al-'Askari
(Imam keduabelas) sesudah ia dinyatakan hilang secara misterius dan
dinyatakan pula sebagai yang ditunggu-tunggu tanpa batas waktu tertentu.
Paham Mahdi yang pernah berkembang di
Indonesia lebih mirip dengan paham Mahdi Syi'ah daripada paham Mahdi
Ahmadiyah. Menurut aliran terakhir ini, al-Mahdi dan al-Masih adalah
satu pribadi yang terjelma pada diri Mirza Ghulam Ahmad, pendiri aliran
tersebut. Selain itu, ia juga mengaku sebagai jelmaan Krishna. Aliran
ini berpendapat bahwa kehadiran al-Mahdi didasarkan atas pengangkatan
dari Tuhan melalui jalan ilham atau mukasyafah (terbukanya tirai alam
gaib).
Pengalaman Mirza Ghulam Ahmad tersebut
oleh sementara pengikutnya diinterpretasikan sebagai wahyu. Asumsi ini
tampaknya dibenarkan oleh Mirza, karena itu wahyu dipandang masih
terbuka sepanjang zaman, asalkan syari'atnya tetap mengikuti syari'at
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikian pandangan aliran
Ahmadiyah Qadian terhadap diri Mirza. Berbeda dengan aliran Ahmadiyah
Lahore, mereka memandangnya hanya sebagai mujaddid abad ke-14 H, dan ia
bukan nabi hakiki. Sebab ia hanya menerima wahyu tajdid atau wahyu
walayah (wahyu kewalian), bukan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian).
Sekalipun demikian, aliran kedua ini, secara implisit masih mengakui
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, yakni nabi secara lugawi.2) Tugas
kemahdian dan kemasihan Mirza memang dapat dijumpai dalam berbagai
literatur dan diuraikan secara jelas baik oleh Mirza sendiri maupun oleh
para pengikutnya. Akan tetapi dapat dikatakan langka uraian yang
menyangkut tugas kekrishnaannya, sebagai yang pernah dinyatakan pada
1904, bahwa dirinya adalah penjelmaan Krishna. Jika pengakuannya sebagai
Krishna adalah atas dasar wahyu maka sulit dibuktikan kebenarannya baik
secara literal maupun melalui tanda-tanda alamiah. Dengan demikian,
ummat Muslim yang non-Ahmadiyah, tentunya sulit menerima kebenaran
pengakuan tersebut.
Sebagaimana diketahui, tugas kemahdian
dan kemasihan Mirza memang berbeda dengan tugas kemahdian dalam Syi'ah.
Menurut Paham Syi'ah, al-Mahdi dikenal pula dengan al-Qa'im (orang yang
bangkit untuk menuntut balas terhadap musuh-musuhnya), sehingga
kepercayaan terhadap al-Mahdi ini merupakan faktor pendorong bagi
perjuangan kaum Syi'ah untuk merebut kekuasaan politik dan untuk
menegakkan pemerintah Islam sesuai dengan aspirasi mereka. Berbeda
dengan tugas kemahdian menurut Ahmadiyah, disini al-Mahdi ingin
menegakkan Islam diatas semua agama, dan karenanya dia dikenal pula
dengan sebutan Hakim Pengislah, yang bertugas mendamaikan ummat Muslim
seluruhnya dan mengislamisasikan yang lain tanpa jalan kekerasan.
Masalah Mahdi tersebut di atas, rupanya
tidak disinggung sama sekali baik dalam al-Quran maupun dalam Sahih
Bukhari maupun Sahih Muslim, sebagaimana dikenal dalam sejarah.3) Akan
tetapi, bagi kaum Syi'ah dan Ahmadiyah, hadis-hadis Mahdiyyah yang
terdapat di dalam kitab-kitab Sunan mereka pandang sebagai hadis
mutawatir (otentik). Oleh sebab itu kedua aliran ini menjadikan paham
Mahdi sebagai prinsip keyakinan. Mereka beranggapan bahwa seorang Muslim
yang menolak Mahdi, berarti Islamnya belum benar. Sikap dan anggapan
seperti ini sering menimbulkan perselisihan dan permusuhan.
Selanjutnya tentang paham kewahyuan
kedua aliran tersebut, dapat dikatakan tidak jauh berbeda, masing-masing
beranggapan bahwa Tuhan tetap akan menurunkan wahyu-Nya sampai hari
kiamat. Dan wahyu yang diturunkan itu menurut golongan Syi'ah dikenal
dengan wahyu ta'lim (wahyu pengajaran), sedangkan menurut golongan
Ahmadiyah dikenal dengan wahyu walayah (wahyu kewalian), atau wahyu
tajdid (wahyu pembaharuan), atau dikenal pula dengan Wahyu muhaddas
(wahyu yang diterima dengan cara berdialog langsung dengan Tuhan-ini
sama dengan Yahudi - Talmud). Term wahyu yang terakhir ini, tampaknya
telah dicipta dan dikenal oleh golongan Syi'ah jauh sebelum lahirnya
Ahmadiyah. Wahyu seperti itu, oleh kedua golongan di atas sangat
dibutuhkan untuk membimbing ummat dan memberi interpretasi sesuai dengan
perkembangan zaman terhadap pernyataan-pernyataan al-Quran. Adapun
perbedaan kedua paham kewahyuan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan
berpangkal pada perbedaan motivasi yang melatarbelakangi lahirnya
gerakan kedua aliran itu.
Sebelum lahirnya paham Mahdi dalam
Islam, paham seperti itu sebenarnya telah dimiliki oleh agama-agama
besar lainnya, terutama dari golongan Hindu, Yahudi, Nasrani dan lain
sebagainya Dan wajarlah apabila golongan Syi'ah yang memunculkannya
untuk pertama kalinya. Sebab kaum Syi'ah lah Yahudi maupun Nasrani.
Kemudian dibuatlah hadis-hadis Mahdiyyah, karena kaum Syi'ah sangat
berkepentingan dengan ide kemahdian tersebut dalam meneruskan perjuangan
menuntut hak legitimasi kekhilafahan. Dan dengan demikian hadis-hadis
Mahdiyyah yang mereka buat cepat menguasai opini masyarakat, sehingga
golongan non Syi'ah pun tidak ketinggalan membuat hadis-hadis Mahdiyyah
dengan versi lain sesuai dengan identitas golongannya masing-masing.
Oleh sebab itu banyak di kalangan para intelektual Muslim yang datang
kemudian menilai hadis-hadis Mahdiyyah tidak ada yang otentik bahkan
keseluruhannya adalah palsu.
Selanjutnya dalam kajian ini akan
dibahas ciri-ciri utama doktrin dan gerakan Mahdiisme Syi'ah dan
Ahmadiyah, dengan harapan pembaca akan memperoleh informasi atau
keterangan yang lebih jelas tentang sifat-sifat kedua gerakan Mahdi
tersebut. Terlepas dari sikap setuju atau tidak setuju terhadap ajaran
mereka, pembaca diharap dapat menilai sendiri secara obyektif, sejauh
mana penyimpangan atau relevansinya dengan ajaran al-Quran dan Sunnah
Rasul.
Maksud dan tujuan penulisan buku ini
ialah memberikan pengertian secara obyektif kepada masyarakat luas
tentang gerakan Mahdiisme tersebut dan tentang cara-cara mereka
mewujudkan cita-cita perjuangannya. Untuk itu, diharapkan agar seluruh
ummat Muslim, tidak mudah terpengaruh dan terlibat dalam
tindakan-tindakan yang ekstrem, apalagi terseret ke dalam permusuhan
dengan sesama Muslim, hanya karena keyakinan yang tidak fundamental
bahkan tidak ada dasar otentiknya sama sekali. Barangkali perlu selalu
diingat bahwa gerakan Syi'ah khususnya dalam memenuhi ambisinya yang
ditopang oleh ide-ide Mahdiisme, manakala masih menjadi kelompok
minoritas ia selalu menyembunyikan identitasnya namun, bila ia merasa
kuat, ia tidak segan-segan bertindak ekstrem dan menyeret pada para
pengikutnya untuk bersikap konfrontatif terhadap pengikut paham lain.
(ini juga sifat Yahudi)
Dengan mengetahui dan memahami keyakinan
dan paham kemahdian Syi'ah dan Ahmadiyah, seorang akan bersikap toleran
dan akan terhindar dari sikap picik karena pandangan yang sempit dan
tindakan ekstrem. Perlu dijelaskan, mengapa dalam kajian ini tidak
dibahas paham Mahdi Ahlus-Sunnah. Hal ini disebabkan oleh langkanya
literatur yang dapat menunjang pembahasan tersebut, seperti:
Al-Mahdiyyah fil-Islam tulisan Sa'ad Muhammad Hasan, al-Mahddyyah karya
Dr. Ahmad Amin, dan lain sebagainya. Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam kajian ini adalah: Dimanakah letak persamaan dan
perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah? Dengan
demikian, pembahasannya akan dapat memberi informasi, manakah diantara
ajaran kedua golongan tersebut yang lebih relevan dengan al-Quran dan
Sunnah, apabila dilihat dari aspek teologi. Untuk memecahkan
permasalahannya, akan digunakan pendekatan secara historis dan
komparatif. Selanjutnya dalam bahasan ini penulis akan membicarakan
pokok-pokok persoalan sebagai berikut: Dalam Bab I, yang berupa
pendahuluan, disini akan diberikan deskripsi global tentang paham Syi'ah
dan Ahmadiyah Selanjutnya paham Mahdi Syi'ah yang meliputi:
a. Pengertian al-Mahdi dalam Syi'ah dan Ahmadiyah.
b. Sejarah lahirnya Syi'ah, di sini
akan dijelaskan mengenai latar belakang sejarahnya, pertumbuhan dan
perkembangan sekte-sektenya berikut paham mereka masing-masing.
c. Beberapa ajaran pokok Syi'ah yang berkaitan dengan paham Mahdi yaitu masalah imamah, 'aqidah raj'ah, dan masalah al-gaibah.
Kemudian diuraikan pula tentang paham Mahdi Ahmadiyah dalam Bab III, di sini dijelaskan tentang:
a. Sejarah lahirnya Ahmadiyah yang
mencakup latar belakang sejarah berdirinya Ahmadiyah, pertumbuhan dan
perkembangan sekte-sektenya.
b. Beberapa ajaran pokok Ahmadiyah
yang meliputi: Masalah wahyu, nubuwwah, dan masalah jihad yang berkaitan
dengan paham Mahdiisme.
Uraian tentang perbandingan antara paham
Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah dimuat dalam Bab IV. Dalam bab
ini dijelaskan tentang:
a. Asal mula lahirnya paham Mahdi yang mencakup tentang situasi yang melatar belakanginya, dan beberapa faktor penyebabnya.
b. Persamaan dan perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah.
c. Corak kemahdian Syi'ah dan Ahmadiyah, dan
d. Paham Mahdi dan masalah 'akidah.
Selanjutnya Bab V menjelaskan tentang: Paham kewahyuan Syi'ah dan Ahmadiyah, yang mencakup masalah-masalah:
a. Al-Quran dan paham kewahyuan ummat
Muslim, disini juga diterangkan: Hubungan paham kewahyuan Syi'ah dengan
doktrin keimaman serta sikap Syi'ah yang eksklusif, dan
b. Paham kewahyuan Ahmadiyah yang berkaitan dengan ide pembaharuan Mirza Ghulam Ahmad dan doktrin kenabian.
Dalam Bab VI diuraikan tentang Paham
Mahdi dalam perspektif rasional. Di sini akan dijelaskan mengenai aspek
landasan idiil paham Mahdiisme yang mencakup:
a. Hadis-hadis Mahdiyyah dan identitas kelompok,
b. Beberapa pendapat tentang hadis-hadis Mahdiyyah sebagai hadis palsu. Selanjutnya disusul dengan uraian tentang:
Beberapa interpretasi mengenai al-Mahdi dan proses tersebarnya paham Mahdi.
Kemudian diakhiri dengan Bab VII, yaitu:
Penutup. Pada bab ini diajukan beberapa kesimpulan serta saran-saran
yang berkaitan dengan penulisan naskah ini. Dalam kajian ini, perlu
dikemukakan dua pendekatan, yaitu, pertama, pendekatan historis. Dengan
pendekatan ini penulis harus mengumpulkan data sejarah yang berkaitan
dengan golongan Syi'ah dan Ahmadiyah khususnya, dan sejarah ummat Muslim
pada umumnya.
Setelah data sejarah diperoleh,
diklasifikasikan secara kronologis, dan diseleksi, dihubung-hubungkan
satu sama lain, serta diperbandingkan antara data yang bersumber dari
karya-karya penulis dari kedua golongan tersebut dan data yang berasal
dari karya-karya penulis non-Syi'ah dan non-Ahmadiyah. Kedua, pendekatan
komparatif. Disini penulis mencoba membandingkan baik yang menyangkut
ide, paham, doktrin, maupun corak gerakan dari kedua golongan di atas,
yaitu: golongan Syi'ah dan Ahmadiyah, untuk dianalisis lebih jauh guna
memperoleh tingkat obyektivitas yang diharapkan.
Adapun metode yang dipergunakan dalam
penulisan ini, adalah dengan metode verstehen (memahami
permasalahannya). Di sini penulis berusaha memahami dan mengerti pokok
permasalahan yang hendak dibahas terlebih dahulu, dengan menggunakan dua
pendekatan di atas. Setelah datanya dianalisis kemudian disusun dalam
kesatuan yang harmonis dan sistematis, sehingga mudah dimengerti
maksudnya, kemudian baru ditarik suatu kesimpulan yang utuh dan
menyeluruh.
Catatan kaki:
[1] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 57
[2] Al-Mawdudi, Ma hiyal-Qadiyaniyah, (Kuwait: Darul-Qalam, hlm. 22, 25).
Selanjutya lihat pula Susmoyo Djoyo
Sugito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Pedoman Besar
Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hlm. 6-8.
[3] Dwight M. Donaldson, 'Aqidah
asy-Syi'ah, terj. dalam bahasa Arab, selanjutnya disebut Donaldson
(Mesir: Matba'ah as-Sa'adah, tt.), hlm. 231.
Sumber : http://www.akhirzaman.info